Kompas, Senin, 8 Maret 2010
Jakarta – Sebanyak 14 kontraktor kontrak kerja sama melampaui target produksi yang ditetapkan pemerintah pada tahun 2009. Pencapaian produksi minyak ini diharapkan dapat terus ditingkatkan sehingga target produksi minyak yang ditetapkan dalam APBN 2010 sebesar 965.000 barrel minyak per hari diharapkan bisa tercapai.
Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) R Priyono, Minggu (7/3), di Jakarta menyatakan, status produksi migas per 28 Februari 2010 sebesar 961.964 barrel minyak, termasuk kondesat 148.762 barrel minyak per hari. Potensi produksi 974.000 barrel per hari, katanya.
Untuk mencapai target produksi, Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Edy Hermantoro menyatakan, pemerintah berupaya mengurangi gangguan teknis seperti penghentian produksi akibat kejadian tidak terencana, mempercepat izin eksplorasi dan eksploitasi, serta mempermudah proses pembebasan lahan.
Produksi minyak per Februari rata-rata 959.186 barrel per hari, sedangkan rata-rata produksi minyak 2010 sebesar 951.214 barrel per hari. Sejumlah kontraktor mengalami penurunan produksi karena kendala teknis. Untuk Kodeco, misalnya, produksi turun karena terjadi sludge flow (aliran lumpur) sehingga tekanan tinggi, ujar Priyono.
Namun, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto justru memperkirakan produksi minyak nasional tahun ini di bawah target dalam APBN 2010, yakni 965.000 barrel per hari.
Produksi tetap di bawah target, kisaran 950.000 barrel per hari. Per akhir tahun bahkan bisa lebih rendah, yaitu 945.000 barrel, katanya.
Kondisi ini terjadi karena tidak ada penemuan lapangan baru dan tidak ada lapangan besar lain selain Blok Cepu sehingga tidak akan menutup rasio penurunan produksi secara alamiah. Target produksi minyak nasional 965.000 barrel itu tidak realistis. Tahun lalu, dengan produksi minyak nasional pun tidak mencapai target, ujarnya.
Untuk mempertahankan produksi minyak, menurut Pri Agung, optimalisasi produksi di level teknis perlu dilakukan, disertai upaya mempercepat birokrasi, sehingga produksi minyak bisa sesuai rencana. Agar produksi meningkat signifikan, fondasinya harus sudah diletakkan. Salah satunya dengan merevisi Undang-Undang Migas (UU Nomor 22 Tahun 2001), ujarnya.
Di hulu migas, keberadaan BP Migas yang bukan entitas bisnis membuat iklim bisnis atau kemitraan tidak terbentuk. Jadi, kontraktor bukan mitra, melainkan pihak yang diawasi. Peningkatan produksi itu bisa dilakukan dengan investasi. Kalau pemerintah tidak membuat kesepakatan bisnis untuk investasi, maka itu sulit dilaksanakan, katanya. (evy)