Subsidi BBM Dihapus, Sistem Jaminan Sosial Baku Harus Disiapkan

detikFinance,27/09/2009 10:39 WIB

Pemerintah harus menyiapkan sistem jaminan sosial yang baku dan memadai bagi masyarakat kelas bawah, jika ingin menghapuskan subsidi BBM seperti yang diusulkan dalam forum G 20. Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute Pri Agung Rakhmanto saat berbincang dengan detikFinance, Minggu (27/9/2009).

“Kalau pemerintah benar-benar serius, maka harus menyediakan kompensasinya dalam bentuk sistem jaminan sosial yang baku seperti tunjangan kesehatan, pendidikan, kebutuhan bahan pokok dan sebagainya bagi yang tidak mampu,” kata Pri Agung.

Ia menjelaskan, negara-negara maju yang tergabung dalam G-20 seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman, juga tidak begitu saja memberlakukan harga pasar untuk BBM. Menurut Pri Agung, hal itu dilakukan setelah mereka menyediakan sistem jaminan sosial yang baku dan memadai untuk masyarakat ekonomi kelas bawahnya.

“Namun selama itu tidak dilakukan oleh pemerintah kita dan program kompensasinya tidak jelas dan cenderung hanya basa-basi seperti BLT saja, ya susah,” ungkapnya.

Pri Agung menegaskan, persoalan subsidi BBM di Indonesia ini adalah persoalan kemiskinan dan ketidakadilan. Selama keberpihakan terhadap kemiskinan tidak didahulukan, selama itu pula pnghapusan subsidi BBM akan selalu dipandang sebagai ketidakadilan dan akan selalu ditentang.

Dia juga menilai, hingga kini pemerintah masih belum berhasil dalam pengurangan subsidi BBM di negeri ini.

“Nyatanya sejak tahun 1998, subsidi BBM masih ada sampai dengan sekarang dan selalu menjadi persoalan, tidak cuma ekonomi tapi juga politik,” tandas Pri Agung.

Tiga Hal Mengapa 11 Blok WK Tak Laku
Okezone,12 September 2009

JAKARTA – Pengetatan anggaran dana Cost Recovery seharusnya tidaklah dijadikan sebagai kambing hitam atas tidak lakunya Wilayah Kerja Minyak dan Gas (WK MIGAS) dalam penawaran tahap pertama yang diumukan Jumat 11 September kemarin.

Menurut Direktur Eksekutif Reforminer Institute Priagung Rakhmanto, ada tiga hal yang dinilai lebih rasional yang bisa dijadikan alasan atas ketidaklakuan 11 dari 16 blok WK yang ditawarkan tersebut.

Pertama, kemungkinan blok-blok yang ditawarkan adalah blok-blok yang memang tidak prospektif. Kedua, kemungkinan blok-blok tersebut juga adalah blok-blok lama yang dulu juga belum laku.

Serta ketiga, berkaitan dengan data-data atau informasi awal berkenaan dengan blok-blok tersebut mungkin juga masih sangat mentah, sehingga mengharuskan investor untuk provide extra costs untuk memperkaya informasi tersebut.

“Solusinya, pemerintah harus mau keluar modal untuk provide data-data yang lebih matang atau memberi insentif. Kalau masalah cost recovery, kok terlalu jauh menurut saya. Ini kan baru mau eksplorasi,” ungkapnya dalam pesan singkatnya di Jakarta, Jumat (11/9/2009) malam.

Seperti diberitakan sebelumnya, pengetatan anggaran cost recovery mengancam investasi di sektor minyak dan gas bumi. Ditengarai hal itulah yang menjadi penyebab para investor enggan melakukan eksplorasi migas di Indonesia.

Pasalnya, ketidakjelasan Peraturan Pemerintah tentang Cost Recovery menjadi pengganjal. Serta menciutnya anggaran cost recovery yang disetujui dalam RAPBN menjadi hanya USD12,005 miliar.

Hal itu sudah terlihat dari sepinya peminat pada lelang Wilayah Kerja (WK) Migas tahap kedua yang mana dari 16 blok hanya laku lima blok saja menjadi suatu indikasi yang terlihat jelas. (ade)

Harga Minyak Mengancam, Beban Subsidi Meningkat

Kompas, 12 September 2009

Jakarta, Kompas – Pemerintah meminta tambahan dana cadangan risiko fiskal dalam Rancangan APBN 2010 ditambah Rp 3 triliun-Rp 5 triliun dari rencana awal sehingga menjadi Rp 8,6 triliun-Rp 10,6 triliun. Alasannya, APBN 2010 menghadapi risiko asumsi harga minyak meleset sehingga beban subsidi bahan bakar minyak bertambah.

Saat ini, kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan Anggito Abimanyu, harga minyak mentah di pasar dunia sudah 70 dollar AS per barrel untuk transaksi kontrak pembelian untuk pengiriman minyak pada enam bulan ke depan. Adapun asumsi harga minyak dalam RAPBN 2010 hanya 60 dollar AS per barrel. Itu membutuhkan cadangan risiko fiskal tambahan, ujar Anggito di Jakarta, Jumat (11/9).

Menurut Anggito, risiko fluktuasi harga minyak mentah lebih tinggi dibanding risiko asumsi ekonomi makro lain, baik pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 5,5 persen, inflasi 5 persen, tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 6,5 persen, maupun produksi minyak mentah siap jual 0,965 juta kiloliter. Harga minyak lebih tinggi dari asumsi APBN karena perbaikan ekonomi dunia yang memicu peningkatan permintaan global.

Nilai tukar rupiah diperkirakan akan diperkuat aliran dana masuk, baik dari investasi langsung maupun portofolio, katanya. BBM naik Pengamat Perminyakan Kurtubi berpendapat, harga minyak mentah tahun 2010 cenderung lebih tinggi dari 70 dollar AS per barrel. Jika asumsi harga minyak di APBN 2010 tidak diubah, tetap di 60 dollar AS per barrel, beban subsidi BBM akan meninggi. Ini bisa memaksa pemerintah menaikkan harga BBM. Agar opsi kenaikan harga BBM bisa dihindari pada 2010, harus diupayakan agar produksi minyak mentah domestik dinaikkan sehingga penerimaan negara dari minyak dan gas meningkat, tutur Kurtubi.

Dijelaskan, produksi minyak mentah seharusnya bisa dinaikkan menjadi 1 juta barrel per hari, lebih tinggi dibanding target dalam RAPBN 2010 yang hanya 965.000 barrel per hari. Adapun Direktur Eksekutif Institute Reforminer (Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi) Priagung Rahmanto menyatakan, kemungkinan naiknya harga BBM pada 2010 sangat besar. Ini karena kecenderungan ekonomi dunia yang semakin membaik. Selain karena sikap OPEC yang enggan menambah pasokan minyak mentah ke pasar internasional. Sebelumnya, pemimpin Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) beberapa kali menyebutkan, level harga yang kondusif adalah 70 dollar AS per barrel. Seluruh faktor itu mendorong penguatan harga minyak mentah ke level yang lebih tinggi dari 60 dollar AS per barrel.

Asumsi harga minyak di APBN 2010 sebesar 60 dollar AS per barrel terlalu rendah dan berisiko. Belum lagi target lifting ,965.000 barrel per hari sulit dicapai. Itu memberi tekanan pada APBN, kata Priagung. (OIN)

Pemerintah Dinilai Tak Siap Eksekusi Divestasi Newmont

detikFinance, 11/09/2009 14:47 WIB

Jakarta – Keinginan pemerintah untuk memperpanjang batas akhir penyelesaian abitrase divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) menunjukan pemerintah tidak siap mengeksekusi divestasi tersebut.

Menurut Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute, Pri Agung Rakhmanto, perpanjangan batas waktu divestasi Newmont tersebut memang diperbolehkan jika pemerintah yang meminta perpanjangan tersebut.

“Tapi ini kan menjadi mengesankan bahwa pemerintah sendiri yang tidak serius dan tidak siap mengeksekusi divestasi,” kata Pri Agung dalam pesan singkatnya kepada detikFinance, Jumat (11/9/2009).

Menurut Pri Agung, hal tersebut semakin mengesankan adanya tarik menarik kepentingan berbagai pihak dalam penyelesaian proses divestasi ini.

“Inilah yang membuat proses ini menjadi bertele-tele,” jelasnya.

Direktur Jenderal Mineral Batubara dan Panas Bumi, Bambang Setiawan sebelumnya mengatakan, pemerintah ingin memperpanjang batas akhir penyelesaian divestasi saham Newmont yang akan berakhir pada 27 September. Pemerintah ingin memperpanjangnya hingga November 2009.

Alasan Pemangkasan Dana Recovery Migas Harus Jelas

Tempo, 31 Agustus 2009

TEMPO Interaktif, Jakarta – Pengamat perminyakan Pri Agung Rakhmanto mempertanyakan dasar pemotongan dana pengembalian biaya produksi minyak dan gas (cost recovery). Alasannya untuk memperjelas kegiatan yang dilakukan pemerintah.

Dia mengatakan cukup bagus ada upaya pemangkasan dari Dewan Perwakilan Rakyat. “Bagus ada upaya pemangkasan, tapi dasarnya apa. Harus jelas juga,” ujar Pri Agung saat dihubungi Tempo dari Jakarta, Senin (31/8).

Senin ini Panitia Kerja Penerimaan Negara 2010 memangkas alokasi dana pengembalian biaya produksi minyak dan gas tahun depan. Mereka memangkas usulan pemerintah pada nota keuangan alokasi dari 13,005 triliun menjadi Rp 12,005 triliun. Dewan menilai pengurangan perlu dilakukan sebagai antisipasi pemberlakuan Peraturan Pemerintah tentang cost recovery yang saat ini masih disusun.

Menurut Pri Agung akan menjadi pertanyaan jika ada perubahan atau pemangkasan tetapi target produksi tetap. Dia juga menilai harus lebih dicermati alasannya. “Itu akan jadi aneh, kok bisa dipotong tanpa perubahan asumsi target produksi,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute ini mengatakan pemangkasan tidak bisa dilakukan begitu saja. Harus ada upaya untuk merinci lebih jelas. “Break down mana yang dari gas, minyak, pengembangan lapangan baru. Jadi akan keliatan nantinya,” ucapnya.

Pri Agung juga mengharapkan dengan DPR melakukan tekanan semacam itu, pemerintah akan menyampaikan ke komisi anggaran dengan lebih rinci lagi. Jika tidak, justru akan membuat pemerintah lebih repot. Hal itu juga untuk menghindari alasan politis dalam perubahan itu.