BPH Migas Mengontrol Pembelian BBM

Kompas, Sabtu, 23 Januari 2010

Tanjung Pinang, Kompas – Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi menerapkan sistem pengendalian atau pemantauan pembelian bahan bakar minyak jenis tertentu untuk transportasi darat pada stasiun pengisian bahan bakar. Uji coba sistem pengendalian itu dilakukan di Kota Tanjung Pinang, Kabupaten Bintan, dan Kota Batam, Kepulauan Riau. Hal itu diungkapkan Kepala BPH Migas Tubagus Haryono saat pencanangan sistem pemantauan jenis BBM tertentu untuk transportasi darat di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau (Kepri), Jumat (22/1). Hadir pada acara itu Gubernur Kepri Ismeth Abdullah dan Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Waryono Karno.

Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto, sistem yang diterapkan itu tidak menyelesaikan masalah secara komprehensif. Hanya solusi jangka pendek dan sulit diterapkan secara nasional. Terkesan proyek yang dipaksakan untuk jalan di daerah. Akar masalah BBM itu kemiskinan, pemerintah semestinya menyiapkan program subsidi langsung ke masyarakat, ujar Pri Agung.

Tubagus mengatakan, dengan sistem itu, pembelian BBM bersubsidi, khususnya premium dan solar, di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) bisa dipantau. Jadi, kebutuhan riil BBM di masyarakat dapat diketahui. Penerapan sistem ini dilakukan dengan menggunakan sejenis kartu prabayar yang dilengkapi data kendaraan untuk membeli BBM. Menurut Waryono, penerapan sistem pengendalian pembelian BBM ini bagian dari upaya BPH Migas untuk mengawasi pendistribusian BBM bersubsidi agar tepat sasaran. Sistem pengendalian menggunakan kartu ini hanya diterapkan untuk transportasi darat. Jika uji coba di Tanjung Pinang dan Bintan berhasil, akan diterapkan ke provinsi lain, seperti Bangka Belitung. Sistem ini belum diterapkan di kota besar seperti Jakarta.

Pri Agung menilai, sistem ini hanya cocok untuk daerah tertutup dan tidak memiliki mobilitas tinggi. Jika dilakukan di wilayah Pulau Jawa dengan tingkat mobilitas penduduk tinggi, dituntut kesiapan infrastruktur di SPBU. (FER/EVY)

Tak Realistis, Asumsi Lifting Minyak APBN 2010 Harus Direvisi

DetikFinance, 13 Januari 2010

Jakarta – Pemerintah sebaiknya tidak hanya mengubah asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) dalam APBN-P 2010. Pemerintah juga harus mengubah asumsi lifting minyak dari 965.000 barel per hari (bph) menjadi 945.000-950.000 bph untuk mengurangi potensi defisit anggaran tahun ini.

Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute, Pri Agung Rakhmanto menilai asumsi lifting minyak sebesar 965.000 bph dalam APBN 2010 tidak realistis dan hanya akan menambah defisit negara karena kemungkinan akan tercapainya target tersebut sangat kecil.

“Lebih realistis di 945.000-950.000 bph saja. Bisa mngurangi potensi defisit sekitar Rp 2-5 Triliun,” ujar Pri Agung saat berbincang dengan detikFinance, Rabu (13/1/2010).

Pri Agung menyatakan, besarnya potensi tidak tercapainya target lifting minyak tersebut, karena tambahan produksi minyak dari lapangan-lapangan andalan seperti blok Cepu tidak dapat menutupi penurunan produksi secara alamiah (natural decline) yang terjadi di lapangan-lapangan minyak lainnya.

Terkait rencana pemerintah mengubah asumsi ICP dalam APBN yang saat ini dipatok di level US$ 65 per barel, Pri Agung menyarankan agar pemerintah memasang asumsi ICP tersebut dikisaran US$ 70-75 per barel agar lebih rasional.

“Tapi US$ 70 per barel menurut saya lebih baik, karena khawatirnya kalau dipasang terlalu tinggi, pemerintah akan cenderung over spending dengan program yang tidak efektif,” ungkap dia.

Untuk mengantisipasi harga minyak yang lebih tinggi, Menurut Pri Agung, pemerintah lebih baik menggunakan cadangan fiskal saja.

“Katakanlah harga minyak melonjak mencapai US$ 75-80 per barel, itu butuh sekitar Rp 5-10 triliun,” tandas dia.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengumumkan pemerintah akan mengubah asumsi harga minyak dalam APBN 2010 yang ditetapkan US$ 65 per barel. Perubahan ini dikarenakan harga minyak pada awal Januari 2010 ini sudah bergerak di kisaran US$ 80 per barel.

Pemerintah juga akan mengubah asumsi nilai tukar rupiah pada APBN-P 2010 dari Rp 9.200/US$, yang kemungkinan akan diganti menjadi Rp 9.500/US$.

Selanjutnya asumsi inflasi juga akan dinaikkan dari 5% pada APBN 2010, menjadi kemungkinan 5,5% dalam APBN-P 2010. Kenaikan asumsi inflasi ini, menurut Menkeu, akan turut menaikkan asumsi suku bunga SBI 3 bulan dari 6,5% pada APBN 2010, menjadi 6,8% pada APBN-P 2010.

Investasi ESDM Ditingkatkan; Investasi harus diarahkan ke eksplorasi sumber baru.

Cepi Setiadi

Republika, Senin 4 Januari 2009

JAKARTA Pemerintah meningatkan target investasi sektor ESDM untuk tahun ini. Tak tanggung-tanggung, kenaikan investasi yang dikejar pemerintah itu terbilang sangat tinggi. Menteri ESDM, Darwin Zahedy Saleh, menyebutkan target investasi sektor ES DM sepanjang 2010 ditentu kan sebesar 28 miliar do lar AS. ”Untuk total investasi sektor ESDM ditarget kan 28 miliar dolar AS,” ujar nya di Jakarta, pekan lalu. Investasai itu, diperkira kan Darwin, akan da tang dari sub sektor mi gas sebe sar 15,4 miliar dolar AS, ke te na galistrikan 10,1 miliar dolar AS, dan pertambang an umum 2,5 miliar dolar AS.

Sementara, Darwin mema parkan, untuk realisasi investasi sektor ESDM 2009 hanya mencapai 19,29 miliar dolar AS. Investasi tersebut terdiri dari sub sektor migas sebesar 12,18 miliar dolar AS, sub sektor mineral, batu bara dan panas bumi 1,81 miliar dolar AS. ”Dan, sub sek tor ketenagalistrikan 5,3 mi liar dolar AS,” urainya.

Pengamat pertambangan, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan target kenaikan in vestasi sektor ESDM hingga 56 persen dipandang masih realistis. Menurutnya, pe ningkatan target sebesar itu telah mempertimbangkan masuknya nilai bebe rapa proyek besar, seperti lapangan Tangguh dan Cepu. ”Serta, proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt yang telah dirancang sejak la ma, namun baru terealisasi pada 2010,” katanya ketika dihubungi Republika.

Pri Agung menganggap besaran investasi sangat pen ting. Namun yang lebih pen ting, sambungnya, investa si sebesar itu apakah mam pu menjawab dan menyelesaikan permasalahanpermasalahan sektor ESDM. ”Di antaranya, krisis lis trik, pasokan gas, penurun an produksi minyak, impor BBM yang semakin tinggi, dan masalah-masalah lainnya,” paparnya.

Disektor migas, Direktur Eksekutif Reforminer Institute ini mencontohkan, bila anggaran yang ada cenderung dialokasikan untuk eks ploitasi dan produksi se mata, maka di masa menda tang tidak akan terjadi pe ningkatan produksi minyak yang signifikan. Menurut nya, seharusnya anggaran le bih di arahkan ke bidang eks plorasi sumber-sumber mi gas baru.

”Pada 1999 hingga 2004, har ga minyak rendah sehingga minim pula minat me nanamkan modal untuk eksplorasi la pangan ba ru. Ketika harga mi nyak tinggi, hanya mengejar produksi, akibatnya ha nya sedikit temuan sum ber migas baru,” kritiknya. Penerimaan Negara Untuk penerimaan ne gara dari sektor ESDM, Menteri ESDM memasang target sebesar Rp 175,475 triliun. Tar get ini, diperkirakannya, bakal didapat, di antaranya, dari penerima an migas sebesar Rp 159,75 triliun dan per tambangan umum Rp 15,09 tri liun.