BP Migas Aceh tak pengaruhi penerimaan negara

Bisnis Indonesia, 12 Juli 2010

JAKARTA (Bisnis.com): Pembentukan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Aceh tidak akan berpengaruh pada porsi penerimaan negara karena hal itu telah diatur dengan regulasi terpisah, yaitu UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerntah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Dalam UU tersebut, pasal 14 butir e disebutkan bagi hasil minyak bumi antara pemerintah dan pemerintah daerah mengacu pada rumusan 84,5% dan 15,5% yang diambil dari bagian pemerintah. Adapun, untuk gas bumi perbandingan bagi hasilnya didasarkan pada rumusan 69,5% untuk pusat dan 30,5% untuk daerah yang diambil dari bagian pemerintah. 15,5% bagi hasil minyak bumi untuk daerah, terdiri dari 3% untuk bagian provinsi, 6% untuk kabupaten atau kota penghasil, 6% untuk kabupaten atau kota lain dalam provinsi, dan 0,5% dana untuk pendidikan dasar.

Adapun, 30,5% bagi hasil gas bumi untuk daerah terdiri dari 6% untuk provinsi, 12% untuk kabupaten atau kota penghasil, 12% untuk kabupaten atau kota dalam provinsi, dan 0,5% untuk pendidikan dasar.

Direktur Pembinaan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Ditjen Migas A. Edy Hermantoro mengatakan dalam kaitan konsekuensi keuangan yang timbul oleh kesepakatan pembentukan BP Migas Aceh antara pemerintah dan pemerintah Aceh, tetap harus mengacu pada perundangan yang berlaku saat ini.

Menurut dia, UU No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menjadi pintu bagi pembentukan BP Migas Aceh hanya khusus untuk masalah pengaturan sumber daya alamnya. A�[Soal keuangan dan dampaknya bagi penerimaan negara]ya harus sesuai dengan UU yang sudah ada, kan tinggal disesuaikan saja. UU No.11/2006 itu kan khusus untuk pengaturan sumber daya alamnya, A�katanya hari ini.

Menurut dia, semua persoalan terkait dengan pembentukan BP Migas Aceh tersebut akan ditangani sepenuhnya oleh Kementerian Dalam Negeri. Kementerian Teknis, katanya, hanya akan memberikan dukungan mengenai substansi teknis yang dibutuhkan.

Namun, Edy mengatakan sejauh ini pembicaraan mengenai substansi keuangan masih belum final disepakati oleh pemerintah dan pemerintah Aceh.

Hal yang sama juga diakui oleh Dirjen Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Evita Herawati Legowo yang menyebutkan persoalan konsekuensi keuangan yang bakal timbul hingga kini belum tuntas dibahas. A�Untuk masalah keuangan memang belum tuntas, A�ujar Evita.

Sementara itu, Direktur EksekutifA�Reforminer InstituteA�Pri Agung Rakhmanto mengatakan pembentukan BP Migas Aceh sebenarnya bukanlah suatu keharusan. Menurut dia, berdasarkan UU Pemerintahan Aceh pasal 160, pembentukan BP Migas Aceh bersifat opsional. A�Kata-kata dalam UU itu menyebutkan pemerintah dan pemerintah Aceh dapat menunjuk atau membentuk BP Migas Aceh. Tetapi, sebenarnya bisa saja pengelolaan migas di Aceh itu dilakukan atas kerja bersama antara pemerintah dan pemerintah Aceh yang melibatkan DPR Aceh, A�paparnya.

Pri Agung juga mengatakan pemerintah Aceh lebih baik menunggu hasil revisi dari UU Migas yang sudah diagendakan DPR. A�Sebab kalau misalnya di UU Migas itu dikatakan tidak perlu ada badan pelaksana, bagaimana

Jika pun pembentukan BP Migas Aceh dilakukan, institusi tersebut hanya akan mengurusi mengenai pengelolaan kontrak-kontrak migas di Aceh. Dia melihat kecilnya kemungkinan keberadaan institusi baru itu akan mempengaruhi penerimaan negara. A�Sebab soal penerimaan negara itu kan sudah di atur dalam UU tersendiri, A�katanya.(msb)