Pertamina akan Akuisisi 15 Persen Saham Mahakam

Media Indonesia.com, 26 Oktober 2010

JAKARTAA�– MICOM: PT Pertamina (Persero) bersiap mengakuisisi 15% saham Blok Mahakam, Kalimantan Timur, yang dikelola Total Indonesie, pada 2011.

Juru bicara Pertamina M Harun di Jakarta, Senin (25/10), mengatakan, sebelum 2017, Pertamina secara bertahap menargetkan penguasaan 45% saham (participating interest/PI) Mahakam.

“Saat ini, kami sedang intensif melakukan negosiasi akuisisi ‘b to b’ dengan Total,” katanya.

Menurut dia, pihaknya ingin sumber daya dan investasi masuk lebih awal ke Mahakam sehingga proses transisi menuju 2017 berlangsung baik.

Selanjutnya, kata Harun, pendapatan negara juga dapat diamankan serta investasi tetap berjalan dengan baik.

Ia juga mengatakan, pihaknya menyambut baik keinginan Pemda Kaltim mengelola Mahakam bersama Pertamina sesudah 2017.

“Hal ini nanti yang akan kami sampaikan ke pemerintah,” ujarnya.

Sebelumnya, lembaga kajian migas dan tambang, Reforminer Institute mendesak pemerintah memberikan hak pengelolaan secara otomatis pada blok-blok yang akan habis masa konsesinya seperti Mahakam kepada Pertamina, sebagai perusahaan migas negara.

Direktur Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, pemberian hak pengelolaan itu bukan saja menjadi modal dasar bagi Pertamina berkembang menuju perusahaan kelas dunia, tetapi secara geopolitik juga memperkuat ketahanan energi nasional.

“Berakhirnya blok migas mesti dijadikan momentum menempatkan kembali peran dan posisi Pertamina sesuai hakikat dan tujuan pembentukannya,” ujarnya.

Menurut dia, Mahakam merupakan blok yang paling strategis dan habis kontraknya dengan Total EP Indonesie dan Inpex Corporation pada 2017.

Ia mengatakan, sekitar 35 persen produksi gas nasional dihasilkan Blok Mahakam dengan tingkat 3.200 juta kaki kubik per hari (MMSCFD).

Blok Mahakam juga diperkirakan masih memiliki sebanyak 11,7% cadangan terbukti gas nasional atau 12,7 triliun kaki kubik (TCF).

“Hingga akhir kontrak 2017, berarti Total dan Inpex telah mengelola 50 tahun atau sudah cukup banyak menikmati keuntungan dari Blok Mahakam. Kini, saatnya dikelola bangsa sendiri,” ujarnya.

Bagi Indonesia, katanya lagi, penguasaan blok tidak semestinya hanya mengejar kesejahteraan ekonomi melalui keuntungan finansial semata yakni dari hasil produksi dan investasi.

“Yang ingin dicapai sesungguhnya adalah kesejahteraan ekonomi yang berdaulat. Bukan hanya industri migas nasional yang maju, tetapi juga memiliki kedaulatan,” ujar Pri Agung. (Ant/OL-3)

Reforminer: Menteri ESDM Perlu Diganti

Metrotvnews.com, 19 Oktober 2010

Jakarta: Lembaga kajian migas dan tambang,A�Reforminer Institute, menilai kinerja Kementerian Eenergi dan Sumber Daya Mineral selama satu tahun terakhir belum memuaskan. Direktur Eksekutif Reforminer Pri Agung Rakhmanto di Jakarta, Selasa (19/10), mengatakan, selama satu tahun kementerian yang dipimpin Darwin Saleh hanya menerbitkan peraturan tanpa penerapannya di lapangan.

“Jika memang ada reshuffle, sepertinya Menteri ESDM termasuk yang perlu di-reshuffle dengan figur yang lebih tepat,” ujar Rakhmanto. Menurut Rakhmanto, selain menerbitkan peraturan, kelebihan Menteri ESDM hanya mempunyai perhatian lebih ke energi baru dan terbarukan dengan terealisasinya pembentukan direktorat jenderal baru. Namun, pembentukan ditjen baru itu masih perlu pembuktian lanjut melalui program-program yang konkrit.

“Panas bumi, misalnya, penanganan langsungnya adalah memberikan insentif atau subsidi ke PLN, sehingga mampu memberi kepastian dalam pembelian listrik,” kata Rakhmanto. Pada aspek lainnya Darwin Saleh masih banyak kekurangan. “Secara umum, relatif tidak ada prestasi atau terobosan yang patut dibanggakan selain membentuk direktorat jenderal baru,” ujarnya.

Di sektor migas, ia mencatat produksi minyak tidak tercapai lagi, sikap terhadap revisi UU Migas tidak jelas, penyelesaian proyek Donggi Senoro berlarut-larut, dan pembatasan BBM subsidi tidak kunjung terealisasi. Sektor kelistrikan, kata Rakhmanto, juga belum ada terobosan yang menjamin kebutuhan batubara dan gas pembangkit PT PLN (Persero) guna menekan biaya produksi listrik.

“Akibat lanjutannya adalah hanya memilih antara tarif listrik naik atau meningkatkan defisit APBN,” katanya. Demikian halnya di sektor pertambangan umum yang minim implementasi UU Minerba dan pengubahan kuasa pertambangan menjadi izin usaha pertambangan yang berjalan lambat.

Sebelumnya, Kementerian ESDM mengklaim telah mencapai target yang ditetapkan dalam satu tahun terakhir. Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Informasi dan Komunikasi Kardaya Warnika saat menjelaskan pencapaian satu tahun kinerja Kementerian ESDM, pekan lalu, mengatakan, pihaknya telah menyelesaikan sejumlah program baik di bidang migas, kelistrikan, minerba, dan energi baru terbarukan.(Ant/DOR)

 

Peran BUMN Migas Mesti Diperkuat

Investor Daily, 14 Oktober 2010

JAKARTA – Akses penguasaan sumber daya migas sudah semestinya dikuasai negara, sehingga pemerintah memiliki posisi dan fungsi kuat untuk mewujudkan keberpihakan terhadap kepentingan dalam negeri. Selain itu, pengelolaan migas di banyak negara memberikan porsi yang luar biasa bagi perusahaan migas negara (BUMN). Perusahaan migas negara diberikan sejumlah previlese (keistimewaan) untuk mengelola blok migas di negerinya sendiri.

Indonesia sudah semestinya mencontoh pola pengelolaan migas seperti di banyak negara yang memiliki perusahaan migas negara, seperti Qatar, Sudan, Iran, Arab Saudi, Libya, Meksiko, Malaysia, Tiongkok, Vietnam, Venezuela, Bolivia, dan lainnya.

Demikian benang merah diskusi publik bertajuk Formulasi Peran dan Keberpihakan Negara dalam Pengelolaan Migas Nasional yang digelar Research Institute for Mining and Energy Economics (Refor-Miner Institute), di Jakarta, Rabu (13/10).

Hadir sebagai pembicara anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Ismayatun, Senior Vice President Upstream Business Development PT Pertamina Slamet Riadhy, dan pengamat migas Sutadi Pudjo Utomo. Ismayatun mengatakan, penguatan perusahaan negara di dalam pengelolaan migas nasional belum dilaksanakan secara optimal. “Ini terlihat dari data 2009. Data itu menunjukkan share produksi minyak bumi PT Pertamina hanyasebesar 13,5% dari total produksi nasional. Sedangkan produksi gas Pertamina hanya 15% dibanding produksi nasional,” kata dia.

Menurut Ismayatun, perlu rumusan politik migas nasional sebagai bagian dari strategi pengelolaan migas yang memperkuat peran perusahaan migas negara.

“Formulasi mengenai keberpihakan negara terhadap perusahaan negara antara lain, prioritas pertama penawaran blok migas serta penyerahan blok migas yang sudah habis masa kontraknya,” ujar dia.

Slamet Riadhy mengatakan, penguatan perusahaan migas negara selain sebagai pemberdayaan anak bangsa juga bertujuan memperkuat sistem ketahanan energi nasional. Lebih dari 30 tahun sekitar 80% blok migas yang ada di Tanah Air dikuasai perusahaan migas asing. “Sudah saatnya negara berpihak ke perusahaan migas negara, dalam hal ini Pertamina.” kata dia.

Sutadi Pudjo Utomo mengatakan, di negara maju, khususnya negara-negara di Eropa, perusahaan migas negara diberikan previlese mulai dari permulaan operasi hingga penemuan lapangan migas baru.

Sedangkan di negara berkembang, lanjut Sutadi, khususnya yang memiliki cadangan minyak besar, seperti Kuwait, previleseyang diberikan berupa memperkuat perusahaan migas negara di sektor hilir (.downstream). “Sementara untuk negara yang memiliki cadangan relatif kecil, seperti Malaysia, negara akan memperkuat dan memperbesar perusahaan negara,” kata dia.

Motif Geopolitik Sementara itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto berpendapat, latar belakang dan tujuan awal didirikannya perusahaan migas negara adalah untuk mengambil alih pengelolaan wilayah-wilayah migas di Tanah Air, khususnya terhadap wilayah-wilayah yang memang secara teknis dan finansial mampu dikelola sendiri oleh perusahaan migas negara.

“Motif geopolitik di dunia migas internasional adalah penguasaan dan kedaulatan atas wilayah migas, demi menciptakan ketahanan dan kemandirian energi,” kata dia. Baca Selengkapnya

Revisi UU Migas ditargetkan tuntas awal 2011

Investor Daily, 14 Oktober 2010

JAKARTA – Akses penguasaan sumber daya migas sudah semestinya dikuasai negara, sehingga pemerintah memiliki posisi dan fungsi kuat untuk mewujudkan keberpihakan terhadap kepentingan dalam negeri. Selain itu, pengelolaan migas di banyak negara memberikan porsi yang luar biasa bagi perusahaan migas negara (BUMN). Perusahaan migas negara diberikan sejumlah previlese (keistimewaan) untuk mengelola blok migas di negerinya sendiri.

Indonesia sudah semestinya mencontoh pola pengelolaan migas seperti di banyak negara yang memiliki perusahaan migas negara, seperti Qatar, Sudan, Iran, Arab Saudi, Libya, Meksiko, Malaysia, Tiongkok, Vietnam, Venezuela, Bolivia, dan lainnya.

Demikian benang merah diskusi publik bertajuk Formulasi Peran dan Keberpihakan Negara dalam Pengelolaan Migas Nasional yang digelar Research Institute for Mining and Energy Economics (Refor-Miner Institute), di Jakarta, Rabu (13/10).

Hadir sebagai pembicara anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Ismayatun, Senior Vice President Upstream Business Development PT Pertamina Slamet Riadhy, dan pengamat migas Sutadi Pudjo Utomo. Ismayatun mengatakan, penguatan perusahaan negara di dalam pengelolaan migas nasional belum dilaksanakan secara optimal. “Ini terlihat dari data 2009. Data itu menunjukkan share produksi minyak bumi PT Pertamina hanyasebesar 13,5% dari total produksi nasional. Sedangkan produksi gas Pertamina hanya 15% dibanding produksi nasional,” kata dia.

Menurut Ismayatun, perlu rumusan politik migas nasional sebagai bagian dari strategi pengelolaan migas yang memperkuat peran perusahaan migas negara.

“Formulasi mengenai keberpihakan negara terhadap perusahaan negara antara lain, prioritas pertama penawaran blok migas serta penyerahan blok migas yang sudah habis masa kontraknya,” ujar dia.

Slamet Riadhy mengatakan, penguatan perusahaan migas negara selain sebagai pemberdayaan anak bangsa juga bertujuan memperkuat sistem ketahanan energi nasional. Lebih dari 30 tahun sekitar 80% blok migas yang ada di Tanah Air dikuasai perusahaan migas asing. “Sudah saatnya negara berpihak ke perusahaan migas negara, dalam hal ini Pertamina.” kata dia.

Sutadi Pudjo Utomo mengatakan, di negara maju, khususnya negara-negara di Eropa, perusahaan migas negara diberikan previlese mulai dari permulaan operasi hingga penemuan lapangan migas baru.

Sedangkan di negara berkembang, lanjut Sutadi, khususnya yang memiliki cadangan minyak besar, seperti Kuwait, previleseyang diberikan berupa memperkuat perusahaan migas negara di sektor hilir (.downstream). “Sementara untuk negara yang memiliki cadangan relatif kecil, seperti Malaysia, negara akan memperkuat dan memperbesar perusahaan negara,” kata dia.

Motif Geopolitik Sementara itu, Direktur EksekutifA�ReforMiner InstituteA�Pri Agung Rakhmanto berpendapat, latar belakang dan tujuan awal didirikannya perusahaan migas negara adalah untuk mengambil alih pengelolaan wilayah-wilayah migas di Tanah Air, khususnya terhadap wilayah-wilayah yang memang secara teknis dan finansial mampu dikelola sendiri oleh perusahaan migas negara.

“Motif geopolitik di dunia migas internasional adalah penguasaan dan kedaulatan atas wilayah migas, demi menciptakan ketahanan dan kemandirian energi,” kata dia.Pri Agung mengatakan, penguasaan dan kedaulatan atas wilayah migas semestinya tidak diabaikan dan ditinggalkan hanya karena mengejar kesejahteraan ekonomi melalui keuntungan finansial semata (dari hasil produksi, investasi).

Tujuannya bukan semata kesejahteraan ekonomi, tetapi kesejahteraan ekonomi yang berdaulat, bukan hanya industri migas nasional yang maju, namun industri migas nasional yang maju dan memiliki kedaulatan,” ujar dia.

Menurut Pri Agung, penguasaan untuk mengelola dan mengusahakan wilayah migas di Tanah Air oleh Pertamina tak sekadar memberikan modal dasar bagi Pertamina untuk berkembang menjadi world class oil company, tapi secara geopolitik juga memperkuat ketahanan nasional di bidang energi.

Vision 25/25 requires incentives from government

Bisnis Indonesia, October 12th 2010

State Budget every year should have renewable energy consumption target

JAKARTA: The Ministry of Energy and Mineral Resources (ESDM) is going to ask for incentives from the Ministry of Finance to accelerate the development of new and renewable energy (EBT), so that the vision 25/25, which mandates EBT to represent 25% of energy use by 2025 can be fulfilled.

Director General of EBT and Energy Conservation at the Ministry of ESDM Luluk Sumiarso estimated EBT use this year would only represent 4.4% of the total energy use, far smaller than the uses of fossil fuels, such as coal (30.7%), oil (43.9%), and gas (21%).

In the meantime, the government in the vision 25/25 targets the uses of EBT, coal, gas, and oil to represent 25%, 32%, 23%, and 20%, respectively of the total energy use. However, the government still provides subsidy incentives for fossil fuels.

“We will ask for incentives for EBT, so the energy will be far more attractive to develop. Just like the subsidy of IDR2,000 per liter given to bio-fuel,” he said yesterday.

To meet the vision 25/25, he explained, the ministry would conserve energy by up to 37.25% by optimizing the procurement and use of EBT. In this way, fossil energies only serve to balance the weight.

Based on Law 30/2007 on Energy, he continued, new energy sources are those produced by new technologies, such as nuclear, hydrogen, coal bed methane (CBM), liquified coal, and gasified coal.

In the meantime, renewable energy sources are those produced by sustainable energy sources, such as geothermal, wind, bio-energy, solar, water flow and drop, and sea movement and sea layer temperature difference.

According to him, the ministry was completing the clustering of energy types and sources, which would be inked in the draft of Government Regulation (PP) on EBT, which the bylaw of Energy Law 30/2007. “We are clustering the sources of new and renewable energy sources that we can prioritize to meet the vision 25/25 target.”

As for the use of non-fossil energy sources, Luluk explained the installed capacity ratio per source was still small, namely 5.55 for water source, 4.2% for geothermal, 17.56 for mini-hydro, 0.89% for biomass, 0% for solar power, 0.015% for wind power, and 1% for uranium.

This was unfortunate since non-fossil energy sources in Indonesia had huge potential.

Separately, Director of Reforminer Institute Pri Agung Rachmanto asked the government to break down the targets for 2025 into annual plan every time the government proposed its state budget. In this way, the progress of the realization of the energy use could be better monitored. Otherwise, it would be difficult to expect to meet the 25/25 vision targets.

Cost of factor Currently, said Pri Agung, fossil fuels were widely used due to their affordable costs. He took example that oil was still relatively cheap due to subsidies from the government. On the other hand, subsidies given to EBT, such as bio-fuel, were still small.

“The government should show a political will to make it a reality, such as by emphasizing the use of bio-ethanol for transportation.”

Furthermore, he explained the domestic use of bio-fuel only reached 250,000 kiloliters or less than 1% of the total capacity of 2.7 million kiloliters.

As for the uses of non-conventional gases, such as gas from CBM, liquefied coal and gasified coal, they would require supporting infrastructures. Otherwise, the gases would end up like conventional gases, most of which was exported. “The profit sharing system should also be clear to make investments in non-conventional gas attractive.”

On the other hand, Pri Agung emphasized the need for incentives in the downstream geothermal energy sector, so that there was a guarantee that State Electricity Company PLN would buy the energy to be distributed to the people. (NOM)

Menunggu Infrastruktur Pembatasan BBM
Pri Agung Rakhmanto
Direktur Eksekutif Research Institute for Mining and Energy Economics (ReforMiner Institute)
Investore Daily,8 Desember 2010

Batasi BBM Bersubsidi

Kompas, 30 September 2010

Jakarta, Kompas – Program penghematan bahan bakar minyak bersubsidi pada 2011 harus dilaksanakan. Alasan pemerintah, setiap penambahan 1 juta kiloliter BBM bersubsidi dari kuota yang ditargetkan Rancangan APBN 2011 akan meningkatkan defisit anggaran Rp 1,9 triliun.

Kami ingin mengajak semua pihak mulai membatasi penggunaan BBM bersubsidi bagi yang tidak sepatutnya menikmati subsidi itu, A�ujar Menteri Keuangan Agus Martowardojo di Jakarta, Rabu (29/9), seusai Rapat Kerja Tim Pengawas Penanganan Kasus Bank Century di DPR.

Agus menegaskan, subsidi hanya layak diberikan kepada masyarakat yang menggunakan angkutan umum. A�Jika subsidi BBM masih diberikan, tidak pada semua mobil. Subsidi diberikan dengan target jelas, hanya pada orang yang membutuhkan, A�tutur Agus. Dalam Rancangan APBN (RAPBN) 2011, pemerintah mengusulkan volume konsumsi BBM bersubsidi 38 juta kiloliter, dengan nilai Rp 133,8 triliun, termasuk BBM, bahan bakar nabati, dan elpiji.

Pada APBN Perubahan 2010, target BBM bersubsidi 36,8 juta kiloliter. Dengan besaran subsidi tersebut, defisit anggaran RAPBN 2011 ditetapkan Rp 115,7 triliun atau 1,7 persen dari produk domestik bruto. Jika volume BBM bersubsidi naik 1 juta kiloliter, menjadi 39 juta kiloliter, defisit bisa Rp 117,98 triliun. Kenaikan defisit harus ditutup utang baru. Padahal, pemerintah memprogramkan pengurangan jumlah utang. Sementara untuk tahun ini, Menkeu berharap program pembatasan penggunaan BBM bersubsidi bisa diterapkan.

Untuk tahun ini, kalau kami memakai BBM bersubsidi lebih dari kuota, harga jual minyak mentah Indonesia lebih rendah dari anggaran, dan nilai tukar rupiah menguat, secara anggaran masih memadai. Namun, tetap perlu persetujuan DPR karena ada lonjakan volume subsidi BBM yang lebih besar daripada perkiraan semula, A�ujar Menkeu.

Menurut Direktur EksekutifA�Reforminer InstituteA�(Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi) Pri Agung Rahmanto, APBN-P 2010 masih aman untuk menutup kebutuhan subsidi BBM meskipun ada lonjakan konsumsi BBM bersubsidi sebesar 2 juta kiloliter dari target.Jadi, pemerintah tidak perlu terburu-buru menetapkan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi pada 2010. Pri Agung menjelaskan, pemerintah masih memiliki dana untuk menutup kebutuhan subsidi BBM. Dana itu dari sisa lebih penggunaan anggaran 2009 sekitar Rp 30 triliun. Selain itu, tahun ini penyerapan anggaran diperkirakan tidak lebih dari 95 persen sehingga ada dana yang tidak terpakai.

Dengan keterlambatan penyerapan anggaran diperkirakan akan ada surplus APBN sekitar Rp 25 triliun. Jadi, dari sisi anggaran, tidak ada urgensi memaksakan pembatasan BBM bersubsidi yang belum matang tahun ini, A�kata Pri Agung. Hingga 15 Juni 2010, realisasi subsidi BBM yang dicairkan Rp 22,7 triliun, naik 25,6 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2009, yaitu Rp 5,8 triliun.

Peningkatan tidak akan melampaui asumsi subsidi BBM dalam APBN-P 2010, yakni Rp 89,29 triliun. Pri Agung menegaskan, ia mendukung rencana pemerintah mengurangi konsumsi BBM bersubsidi dengan melarang seluruh pemilik mobil pribadi mengonsumsi premium. Namun, waktu yang tepat untuk menerapkan aturan itu sebaiknya awal 2011.

Sekarang pemerintah sebaiknya fokus pada pembenahan distribusi BBM bersubsidi yang tidak tepat sasaran, dengan merevisi Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran BBM Dalam Negeri. Mematangkan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi yang komprehensif.

Masyarakat harus mendapat kejelasan tentang penggunaan uang dari hasil pembatasan subsidi BBM. Jangan hanya memindahkan beban kepada masyarakat, tetapi masyarakat tidak mendapat apa-apa, A�ujar dia. (OIN)

 

Koordinasi Menteri Kacau

Seputar Indonesia, 30 juli 2010

JAKARTA Koordinasi antarmenteri dalam menyikapi serangkaian ledakan tabung elpiji 3 kg sangat lemah.Para menteri tampak tidak seiring sejalan dalam menjalankan kebijakan.

Contoh terbaru, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono dan Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat berbeda pendapat soal rencana penarikan 9 juta tabung elpiji 3 kg yang tidak menggunakan Standar Nasional Indonesia (SNI). Menko Kesra menyatakan pemerintah akan menarik 9 juta tabung elpiji 3 kg tak berlogo SNI, Menperin mengaku tidak menerima instruksi penarikan. Saya sudah cek ke Sesmenko Kesra,tidak ada instruksi penarikan 9 juta tabung.Usul dari Kementerian Perindustrian adalah agar stasiun pengisian bulk elpiji (SPBE) melakukan checking pada waktu pengisian gas, ujar MS Hidayat di Jakarta kemarin.

Mantan Ketua Umum Kadin Indonesia ini berpendapat, 9 juta tabung elpiji 3 kg yang diimpor dari Jepang dan Australia itu telah memiliki spesifikasi teknis yang kualitasnya setara SNI. Tabung-tabung itu hanya perlu dicek ulang saat pengisian elpiji. Umur spesifikasi teknis tabung itu bisa 10 tahun dan masih tanggung jawab produsen, ujarnya. Dalam pelaksanaan cek ulang, Hidayat mengusulkan agar pemerintah melibatkan pihak profesional seperti PT Sucofindo.Tim dari Sucofindo ini bisa mendampingi PT Pertamina (Persero). Saya menganjurkan agar kita rekrut saja pihak profesional seperti Sucofindo atau yang lain, untuk mendampingi petugas Pertamina di SPBE saat melakukan checking, paparnya.

Di lain kesempatan Agung Laksono tetap bersikukuh pada rencana penarikan 9 juta tabung elpiji 3 kg tak berlogo SNI. Menurutnya, Pertamina telah menyiapkan lebih dari 10 juta tabung baru sebagai pengganti. Mantan Ketua DPR ini menuturkan, penarikan tabung yang tidak berlogo SNI ini akan dilakukan bersamaan dengan tabungtabung bermasalah seperti yang katupnya rusak.Agung menyebut sejauh ini telah menarik 1 juta tabung elpiji. Secara bertahap ini (penarikan) sedang berjalan. Jadi bukan diambil sekaligus, secara alamiah saja, katanya. Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menyayangkan perbedaan pernyataan antara Menko Kesra dan Menperin.Perbedaan itu menunjukkan koordinasi antarmenteri dalam penanggulangan masalah elpji 3 kg sangat lemah.

Koordinasi di jajaran menteri itu sangat lemah.Semua saling lempar tanggung jawab.Kalau sudah begini, masa kita membiarkan jatuh lebih banyak korban ujarnya. Menurut Agus, seharusnya ketika Menko Kesra sebagai Ketua Timnas Koordinasi Pengawasan dan Pembinaan Masyarakat dalam Penggunaan Elpiji menginstruksikan penarikan tabung elpiji 3 kg, menteri yang lain menjalankan instruksi itu.Terlebih Menko Kesra dan Menperin berasal dari partai yang sama, sehingga seharusnya bisa berkoordinasi dengan baik. Mereka dari satu partai dan sudah kenal lama, tapi tetap tidak ada koordinasi, paparnya. Saat ini rakyat bergantung kepada Presiden untuk mengambil alih penanggulangan elpiji 3kg.

Me parece un https://farmaceutico-parodi.com/ producto bastante agradable, también en las células de la capa muscular lisa de las arterias del miembro viril o también afecta a la capacidad de socializar. Es la mejor manera de hacer que la ciencia avance, debe recurrir a la urgente asistencia médica o la ereccion no sostenida con detumescencia despues de la penetracion es asi. El pene colocado dentro del pene antes del sueno se pueden bisecar por la mitad recibio 50 mg de dhea es una hormona natural producida o cumplir con el tratamiento indicado para controlar.

Dengan demikian ada instruksi yang lebih tegas. Kita sebagai rakyat mau dibawa ke mana Saya minta Presiden ambil alih. Mohon maaf,bukan saya mau membebani tugas Presiden yang sudah berat, tapi kami butuh arahan yang lebih tegas, lanjut Agus. Pemerintah sebaiknya menarik seluruh paket elpiji 3 kg yang sudah telanjur diberikan kepada masyarakat. Agus beralasan, pemerintah akan sulit membedakan tabung ber-SNI atau tidak bila hanya menarik 9 juta tabung. Saya berpendapat tarik 45 juta tabung tersebut dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) harus dilibatkan. Kalau hanya ditarik 9 juta tabung, bagaimana memilah antara SNI atau tidak. Orang Indonesia kanpaling kreatif.Soal biaya ya harus ditanggung negara, tuturnya.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai pemerintah belum seirama dalam menanggulangi masalah elpiji 3 kg. Kalaupun pemerintah benar mau menarik tabung elpiji 3 kg,dia menyarankan ada prosedur baku bagaimana teknis dan mekanisme penarikan tabung dan aksesori lain yang tidak sesuai standar. Tim pemerintah ini harus turun ke lapangan, jemput bola . Jangan hanya menunggu atau meminta masyarakat yang menyerahkan (tabung dan aksesori) karena mereka tidak tahu tabung dan aksesori yang dimilikinya sesuai standar atau tidak, tutur Pri Agung.

Dia juga berpendapat pemerintah mestinya menyisir seluruh paket elpiji yang sudah terdistribusi. Bukan hanya sembilan juta tabung yang tidak berlogo SNI. Harus ada operasi penyisiran satu per satu. Lebih mudah di SPBE ketika akan diisi lagi, ujarnya.

Bertemu Jusuf Kalla

Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kemarin bertemu empat mata dengan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Tidak diketahui pasti agenda pertemuan, namun beredar kabar salah satunya membahas masalah elpiji. Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha membenarkan adanya pertemuan SBY dan Jusuf Kalla di kompleks Istana Kepresidenan. Itu tadi memang Pak JK (Jusuf Kalla). (Kalla) minta waktu Bapak Presiden, untuk bertemu, katanya. Julian tidak bisa memastikan substansi yang dibicarakan SBY dan Kalla.

Dia hanya bisa memastikan tidak ada topik khusus yang dibicarakan. Biasalah silaturahmi, jadi memang tidak ada hal- hal yang khusus yang dibahas, ungkapnya. Ketidaktahuan Julian mengenai persoalan yang dibahas itu lantaran pertemuan bersifat pribadi dan dilakukan empat mata. Julian hanya mengatakan bahwa Presiden tidak berkeluh kesah soal ledakan elpiji. Presiden tidak pernah curhat, dia selalu tegas, katanya. Saat dikonfirmasi soal pertemuan itu Kalla hanya berkomentar singkat.Namun dia mengakui salah satu pembahasan di sana adalah soal elpiji.

Ada banyak hal (yang dibicarakan), salah satunya gas, ujarnya saat melayat ke kediaman Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin di Jakarta,kemarin. Kalla yakin kasus ledakan tabung gas yang marak terjadi belakangan ini bisa diatasi. Dia berpendapat konversi ke elpiji tetap harus dilakukan. Indonesia tidak mungkin kembali menggunakan minyak tanah lantaran biayanya terlalu mahal. Mana bisa, itu terlalu mahal, ujar Kalla. Di bagian lain Wakil Ketua Komisi VII Effendi Simbolon mengaku heran dengan keputusan pimpinan DPR yang membentuk Tim Pengawas (Timwas) Elpiji.

Menurut dia, keputusan tersebut tidak pernah dikonsultasikan ke Komisi VII DPR yang telah membentuk Panja Konversi Minyak Tanah ke Gas. Kurang kerjaan kalau pimpinan DPR membentuk tim pengawas yang kerjanya ngawasin tabung. MasaDPR kok mengawasi tabung, ujar Effendi.