Pemerintah berencana terus menambah pompa BBG

Koran Tempo, 25 Januari 2011

Deputi Direktur Reforminer Institute Khomaidi menilai, anjuran pemerintah menggunakan bahan bakar gas (BBG) sebagai alternatif pengganti bahan bakar minyak (BBM) bagi kendaraan masih sulit direalisasi. Hal ini terlihat dari minimnya pompa BBG yang baru tersedia di Jakarta, ditambah lagi pasokan gas yang belum jelas.

Hal ini menanggapi anjuran Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Evita Herawati Legowo kepada pengguna kendaraan roda empat untuk menggunakan BBG berupa liquified gas for vehicle (LGV). Khususnya untuk menyiasati kenaikan harga Pertamax saat pemba tasan BBM bersubsidi berlaku pada April mendatang.

LGV harganya lebih murah dari Premium, katanya.

LGV dengan nama dagang Vi-Gas ini harganya Rp 3.600 per liter setara Premium (lsp).

Saat ini baru ada 19 pom bensin yang menyediakan LGV di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Namun, untuk dapat menggunakan bahan bakar tersebut, pemilik kendaraan harus memiliki converter kit seharga Rp 10 juta terlebih dulu. Adapun kendaraan umum dianjurkan pakai bahan bakar gas jenis compressed natural gas (CNG).Lebih jauh, Khomaidi juga pesimistis kebutuhan gas tercukupi meskipun pemerintah sudah menjamin pasokan gas untuk transportasi melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 19 Tahun 2010. Di neraca gas nasional masih banyak yang defisit, katanya.

Kalau masyarakat menganggap converter kit masih terlalu mahal, ia menilai seharusnya pemerintah bisa membantu memberikan subsidi. Ini penting untuk mengatasi ketertinggalan penggunaan BBG untuk kendaraan dibanding negara lain.

Pengamat energi yang lain, Pri Agung Rakhmanto, meminta peralihan bahan bakar itu tak hanya dijadikan wacana. Sebab, tanpa program nasional yang jelas, terukur, dan ada cetak birunya, prog ram akan menjadi isu yang sambil lalu saja. Hal lain yang tak boleh ketinggalan adalah ketersediaan bengkelbengkel untuk perawatan mesin pengguna BBG.

Evita mengakui bahwa saat ini infrastruktur untuk menopang bahan bakar gas masih terdapat kekurangan.

Tapi rencananya akan kami perbanyak lagi. Media Manager PT Pertamina (Persero) Wianda Pusponegoro menyatakan LGV sudah tersedia sejak 2008. Di Jakarta terdapat delapan pom bensin yang menjual LGV, di antaranya di Jalan Abdul Muis dan Jalan Kuningan Raya. Stok LGV selama ini dalam kondisi yang cukup.

Pemerintah Harus Punya Program Khusus Pengembangan LGV

detikFinance.com, 24 Januari 2011

Jakarta – Pemerintah sebaiknya punya program khusus untuk mengembangkan Liquified Gas Vehicle (LGV) atau kendaraan yang berbahan bakar gas (BBG). Dengan demikian, masyarakat bisa punya alternatif di saat harga bahan bakar minyak (BBM) meninggi seperti sekarang ini.

“Ketersediaan infrasturukturnya sejauh ini masih terbatas, sangat-sangat terbatas. Belum lagi masyarakat harus beli converter kit-nya sendiri,” kata Pengamat perminyakan sekaligus Direktur ReforMiner Institute Indonesia, Pri Agung Rakhmanto ketika dihubungi detikFinance, Jakarta (24/1/2011).

Pri Agung mengatakan, hal tersebut akan sulit berjalan seperti program penggunaan BBG (Bahan Bakar Gas) yang pernah dugulirkan Pemerintah beberapa waktu lalu. Belum lagi jika sosialisasinya belum ada, masyarakat tidak akan tahu, dan ketika disuruh untuk membeli converter kit-nya sendiri, jelas mereka akan memilih untuk menolak.

“Sebenarnya penggunaan BBG lebih bagus, namun Pemerintah harus menjadikan ini problem tersendiri dan benar-benar dilaksanakan. Jangan dikaitkan untuk beralih dari konsumsi BBM. Tidak akan jalan jika seperti itu. Memang sekarang sudah ada yang menyediakan itu (LGV) di Jakarta, namun kalau sudah ada yang memakainya dan nanti mereka keluar ke Jabodetabek, mereka disuruh isi pakai apa,” jelasnya.

Ia menambahkan, jika pemerintah benar-benar serius menjalankan ini, pemerintah harus menyiapkan blue print untuk mempersiapkan infrastruktur secara nasional. Selain itu, perlu disiapkan juga anggaran khusus dari APBN untuk penyediaan hal tersebut.

“Ini tidak bisa dikaitkan semata jika ingin beralih dari pemakaian BBM. Begitu juga jika ingin beralih dari Pertamax. Tidak bisa seperti itu, harus ada program tersendiri,” tambahnya.

Seperti diketahui, Dirjen Migas Kementerian ESDM, Evita Herawati Legowo mengatakan menjelang rencana pembatasan BBM bersubsidi, masyarakat dapat memilih opsi alternatif untuk menggunakan LGV. Selain itu, mengingat terus meningkatnya harga Pertamax belakangan ini akibat naiknya harga minyak dunia, opsi alternatif tersebut bisa dijadikan pilihan.

Pemerintah harus Cermati Harga Minyak Dunia

Media Indonesia, 17 Januari 2010

JAKARTA–MICOM: Pemerintah diminta memperhatikan harga minyak mentah dunia yang pekan ini nyaris mencapai level US$100 per barel.

Menjelang program pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada akhir kuartal pertama 2011, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) beserta Komisi VII DPR RI diminta mengevaluasi regulasi tersebut.

Deputy Director Research Institute for Mining and Energy Economics (ReforMiner) Institute Komaidi mengemukakan apabila rata-rata harga ini bertahan hingga akhir tahun, tambahan subsidi energi yang dibutuhkan pemerintah mencapai Rp60,84 triliun.

Adapun tambahan penerimaan pemerintah di sektor minyak dan gas bumi hanya Rp48,82 triliun. Sehingga, terdapat tambahan defisit pemerintah sebesar Rp12,02 triliun.

“Kebijakan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang diterapkan di Jabodetabek awal April ini hanya menghemat Rp3,3 triliun dan tidak begitu berarti untuk menutup defisit tersebut,” ujar Komaidi via layanan pesan singkat

Pemerintah Diminta Ubah Asumsi Harga Minyak di APBN

Media Indonesia, 13 Januari 2011

JAKARTA – MICOM: Pemerintah diminta mengubah asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) pada APBN 2011. Hal ini dilakukan untuk menghindari pembengkakan subsidi setelah nilai minyak dunia pada Rabu (12/1) malam nyaris menyentuh US$100 per barel. Direktur ReforMiner Institute (sebuah lembaga yang mengkaji reformasi pertambangan dan energi) Pri Agung Rakhmanto mengemukakan harga minyak mentah jenis brent north sea turut memengaruhi ICP. Akibatnya, subsidi Pemerintah terhadap sektor energi bisa membengkak mengingat kenaikan US$1 per barel di atas asumsi ICP dalam APBN 2011 sebesar US$80 per barel membengkak sebesar Rp3,2 triliun. Jika harga minyak mentah mencapai US$100 per barel seperti prediksi banyak pengamat, subsidi energi dikhawatirkan melambung ke Rp64 triliun.

“Langkah Pemerintah sekarang tergantung pilihan politik. Bisa mengubah asumsi APBN 2011 atau bisa juga menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) secara terbatas,” imbuhnya. Meskipun begitu, Pri Agung mengakui pilihan politik Pemerintah turut mendominasi langkah kebijakan ke depan.

Apabila kenaikan harga BBM dinilai tidak populis, ia menyarankan Pemerintah untuk mengubah asumsi ICP pada APBN 2011 sekitar Maret nanti ketika Pemerintah sudah memastikan kebijakan apa yang akan diambil agar hitungannya lebih baik. “Sekadar ancar-ancar, saran saya asumsi ICP diubah ke US$88-92 per barel karena harga rata-rata minyak mentah di 2011 akan berada pada kisaran tersebut,” cetusnya. Lebih lanjut, Pri Agung mengemukakan apabila asumsi seperti target lifting minyak di dalam APBN 2011 sebesar 970 ribu barel per hari serta volume konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang mencapai 38,5 juta kiloliter (KL) sesuai target, sebenarnya asumsi ICP sebesar US$85 per barel sudah cukup. Kendati demikian, Pri Agung yang memperkirakan keseluruhan asumsi terutama terkait target lifting minyak dan volume konsumsi BBM bersubsidi gagal tercapai, ditambah cadangan risiko fiskal di Indonesia sebesar Rp4,9 triliun, Pri Agung memperkirakan harga minyak tertinggi yang bisa ditahan APBN untuk tahun ini hanya bisa bertahan sampai rata-rata ICP di US$81-82 per barel.

Seperti dilansir Reuters, harga minyak mentah jenis Brent mendekati US$99 per barel pada Rabu (12/1). Persentase peningkatan sebesar 1% dari jumlah sebelumnya ini merupakan yang pertama kali sejak 27 bulan seiring maraknya penutupan produksi serta peningkatan permintaan global. Dua lapangan minyak Norwegia yang baru kembali aktif pada Rabu setelah lumpuh 20 jam akibat kebocoran gas turut mendongkrak harga minyak. Adapun Trans-Alaska Pipeline sepanjang 800 mil (1.300 kilometer) yang mengangkut 12% dari total produksi minyak mentah AS juga ditutup Sabtu pekan lalu karena mengalami kebocoran, meskipun penerbitan ulang pada tingkat rendah.

Sebagai catatan, minyak Brent merupakan patokan rata-rata penjualan di wilayah Eropa, Afrika, dan Timur Tengah. Kenaikan brent north sea untuk pengiriman Februari meningkat US$0,51 per barel dari US$97,61 per barel ke US$98.12 per barel pada Rabu (12/1) pukul 17:31 waktu setempat.

Pada perdagangan hari itu, brent north sea sempat menyentuh US$98.85 per barel atau level tertinggi sejak Oktober 2008. “Satu-satunya yang bisa menghentikan meroketnya harga saat ini adalah sentimen pasar,” ujar analis Commerzbank Carsten Fritsch kepada Reuters.

“Sepertinya tinggal tunggu waktu saja untuk harga minyak mencapai US$100 per barel apabila permintaan tetap tinggi dan makin banyak gangguan teknis pada pemasokan.” Seperti dikutip kantor berita Channelnews Asia, kontrak utama untuk New York, yakni minyak mentah jenis light sweet untuk pengiriman Februari ditutup pada US$91,86 per barel atau meningkat US$0,75 per barel dari pembukaan di US$91,11 per barel. Minyak jenis light sweet sendiri sempat menyentuh US$92,39 per barel pada perdagangan di hari tersebut. Di sisi lain, laporan Departemen Energi AS (DoE) bahwa adangan minyak mentah Amerika Serikat turun 2,2 juta barel pekan lalu turut mendorong kenaikan harga minyak. Penurunan tersebut lebih tajam daripada yang diperkirakan sehingga adanya penguatan permintaan. (*/OL-3)

Koordinasi PLN, ESDM, Kemenperin, dan DPR Dinilai Buruk

Media Indonesia,13 Januari 2011

JAKARTA–MICOM: Buruknya koordinasi antara PT PLN (Persero), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan DPR dituding menjadi alasan di balik kekisruhan tarif dasar listrik (TDL) untuk sektor industri.

Demikian disampaikan Direktur ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto kepada Media Indonesia di Jakarta, Kamis (13/1).

“Pencabutan capping (pemberlakuan batas atas-RED) akan menambah penerimaan PLN,” tutur Pri Agung via layanan pesan singkat.

Lebih lanjut, Pri Agung menilai, dengan adanya alokasi subsidi yang hingga saat ini masih senilai Rp40,7 triliun di dalam APBN 2011, fungsi pencabutan capping sebetulnya bukan untuk mengurangi subsidi, melainkan untuk mereduksi beban keuangan PLN di dalam penyediaan listrik.

Untuk itu, apabila koordinasi di antara PLN, Kementerian ESDM, Kemenperin dan DPR baik, semestinya tidak perlu ada kekisruhan kenaikan TDL untuk sektor industri.

“PLN juga butuh kejelasan dari Pemerintah dan DPR tentang keputusan naik atau tidaknya TDL tahun ini dengan kecukupan anggaran subsidi yang diperlukan,” tandas Pri Agung.Seperti diketahui sebelumnya, PLN melakukan penghapusan capping untuk TDL sektor industri pada 1 Januari 2011. Direktur Bisnis dan Manajemen Risiko PLN Murtaqi Syamsuddin menuturkan penerapan TDL secara penuh itu telah sesuai dengan APBN 2011. Pemerintah dan DPR menuding kebijakan yang menyebabkan TDL sektor industri itu naik sebesar 20-30% dilakukan secara terpihak.

Darwin mengaku telah menegur PLN dan mengklaim belum pernah menyetujui perubahan pemberlakuan batas bagi sektor industri per 1 Januari.

“Menteri ESDM belum menyetujui itu (pencabutan capping). Saya sudah menegur PLN (Senin, 10/1) kemarin,” ujar Darwin di gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Selasa (11/1)

Indonesia Sulit Naikkan Produksi Minyak

Media Indonesia, 10 Januari 2011

JAKARTA–MICOM: Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai, peningkatan produksi minyak bergantung pada temuan cadangan berskala besar.

“Kalau tidak ada temuan cadangan besar, maka produksi minyak bakal di sekitar angka saat ini yakni 950.000-960.000 barel per hari,” katanya di Jakarta, Senin (10/1).

Bahkan, ia menyangsikan, target produksi minyak yang ditetapkan APBN 2011 sebanyak 970.000 barel bakal tercapai. “Butuh upaya keras,” tambahnya.

Menurut dia, produksi minyak baru akan mengalami kenaikan cukup signifikan setelah Blok Cepu mulai berproduksi.

Blok yang terletak di perbatasan Jatim dan Jateng tersebut ditargetkan mulai berproduksi secara penuh setelah 2013 dengan tingkat produksi sekitar 165.000 barel per hari.

“Namun, setelah produksinya naik, akan kembali turun, kalau tidak ditemukan lagi big fish atau cadangan besar,” ujarnya.

Karenanya, Pri Agung meminta, pemerintah berupaya keras agar menemukan lapangan dengan cadangan besar dalam lima tahun ke depan.

Dengan demikian, lanjutnya, setelah Blok Cepu berproduksi, Indonesia memiliki harapan meningkatkan produksi lagi.

“Selain pembenahan industri migas, kita mesti mengawal agar pemerintah fokus meningkatkan produksi dengan menemukan cadangan besar dalam lima tahun ke depan,” katanya.

Menurut dia, peningkatan produksi menjadi penting, selain menjamin pasokan, juga mengamankan penerimaan negara. “Hal-hal yang mengganggu iklim investasi migas, mesti dihilangkan,” ujar Pri Agung.

Dirut PT Medco E&P Indonesia Budi Basuki mengatakan, perlu perubahan pola pikir dari sebelumnya hanya melihat komoditas minyak bumi, menjadi energi keseluruhan seperti gas dan batu bara.

“Mesti dilihat sisi penerimaannya. Apakah berasal dari minyak atau gas, asalkan penerimaan tercapai,” katanya.

Menurut dia, potensi batu bara muda seperti di Sumatra Selatan juga merupakan sumber daya yang mesti dikembangkan dengan maksimal. (Ant/OL-9)

HARGA BBM – Pemerintah Janji Tak Naikkan

Media Indonesia,10 Januari 2011

JAKARTA–MICOM: Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai, peningkatan produksi minyak bergantung pada temuan cadangan berskala besar.

“Kalau tidak ada temuan cadangan besar, maka produksi minyak bakal di sekitar angka saat ini yakni 950.000-960.000 barel per hari,” katanya di Jakarta, Senin (10/1).

Bahkan, ia menyangsikan, target produksi minyak yang ditetapkan APBN 2011 sebanyak 970.000 barel bakal tercapai. “Butuh upaya keras,” tambahnya.

Menurut dia, produksi minyak baru akan mengalami kenaikan cukup signifikan setelah Blok Cepu mulai berproduksi.

Blok yang terletak di perbatasan Jatim dan Jateng tersebut ditargetkan mulai berproduksi secara penuh setelah 2013 dengan tingkat produksi sekitar 165.000 barel per hari.

“Namun, setelah produksinya naik, akan kembali turun, kalau tidak ditemukan lagi big fish atau cadangan besar,” ujarnya.Karenanya, Pri Agung meminta, pemerintah berupaya keras agar menemukan lapangan dengan cadangan besar dalam lima tahun ke depan.

Dengan demikian, lanjutnya, setelah Blok Cepu berproduksi, Indonesia memiliki harapan meningkatkan produksi lagi.

“Selain pembenahan industri migas, kita mesti mengawal agar pemerintah fokus meningkatkan produksi dengan menemukan cadangan besar dalam lima tahun ke depan,” katanya.

Menurut dia, peningkatan produksi menjadi penting, selain menjamin pasokan, juga mengamankan penerimaan negara. “Hal-hal yang mengganggu iklim investasi migas, mesti dihilangkan,” ujar Pri Agung.

Dirut PT Medco E&P Indonesia Budi Basuki mengatakan, perlu perubahan pola pikir dari sebelumnya hanya melihat komoditas minyak bumi, menjadi energi keseluruhan seperti gas dan batu bara.

“Mesti dilihat sisi penerimaannya. Apakah berasal dari minyak atau gas, asalkan penerimaan tercapai,” katanya.

Menurut dia, potensi batu bara muda seperti di Sumatra Selatan juga merupakan sumber daya yang mesti dikembangkan dengan maksimal. (Ant/OL-9)

Kompas,5 Januari 2011 Jakarta, Kompas – Pemerintah tak akan menaikkan harga bahan bakar minyak tahun 2011 meski harga minyak mentah melonjak ke level 100 dollar AS per barrel.

Kenaikan harga BBM secara menyeluruh, menurut Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, hanya akan mempersulit kondisi masyarakat miskin.

Kebijakan terkait BBM bukan hanya mempertimbangkan kesehatan anggaran, tetapi juga keadilan. Saya tak akan menaikkan harga BBM karena hanya menekan rakyat miskin, ujar Hatta di Jakarta, Selasa (4/1).

Namun, menurut Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto, APBN 2011 maksimal hanya bisa bertahan di rata-rata harga jual minyak mentah Indonesia (ICP) 85 dollar AS per barrel atau pada harga minyak dunia 88-90 dollar AS per barrel.

Itu dengan asumsi target produksi minyak siap jual (lifting) 970.000 barrel minyak per hari terpenuhi, subsidi listrik tidak membengkak, dan pembatasan BBM bersubsidi menghemat keuangan negara Rp 3,3 triliun.

Pri Agung menjelaskan, setiap kenaikan harga minyak satu dollar AS per barrel di atas asumsi akan menambah defisit anggaran Rp 550 miliar. Jika ICP 90 dollar AS per barrel, defisit bertambah 10 kali Rp 550 miliar. Kemungkinan ICP sampai kuartal I-2011 di kisaran 90-95 dollar AS per barrel, ujarnya.

Dengan tren harga minyak dunia yang terus naik, lanjutnya, sulit mempertahankan harga BBM bersubsidi seperti sekarang, kecuali pemerintah mengubah asumsi APBN atau menjadi keputusan politis.Hal itu misalnya ICP diubah jadi 90 dollar AS per barrel. Karena itu, pemerintah secara politis berkomitmen minimal ICP sampai angka itu tak ada kenaikan harga BBM bersubsidi. Namun, pemerintah tak perlu terburu-buru menaikkan angka asumsi.

Sebab, titik kritisnya Maret. Saat itu ada pertemuan negara anggota OPEC. Jika OPEC tidak menambah kuota produksi minyak mentah, harga minyak dunia akan lebih tinggi. Saat bersamaan, Pemerintah Indonesia akan menerapkan pembatasan BBM bersubsidi, ujarnya. (OIN/EVY)

Penguatan Harga Minyak dan Pilihan Kebijakan
Pri Agung Rakhmanto
Pendiri dan Direktur Eksekutif Reforminer Institute
Kompas, 3 Januari 2011

Perlahan tapi pasti pergerakan harga minyak dunia terus menguat dalam tiga bulan terakhir. Di pengujung tahun 2010 yang baru saja terlewati dalam hitungan hari, harga minyak mentah di beberapa bursa komoditas dunia ditutup di kisaran 91,38-94,30 dollar AS per barrel.

Ini adalah level tertinggi sejak Oktober 2008 atau 26 bulan lalu. Tren penguatan ini oleh banyak kalangan dalam dan luar negeri diperkirakan akan terus berlanjut hingga menembus batas psikologis 100 dollar AS per barrel, setidaknya hingga kuartal pertama tahun 2011.

Ada beberapa informasi dan fakta utama yang merupakan sinyal dan menjadikan ekspektasi para pelaku di pasar minyak dunia bergerak ke arah tersebut. Pertama, secara fundamental, meskipun melambat, ekonomi dunia yang utamanya tetap akan ditopang pertumbuhan ekonomi China, India, dan emerging countries lainnya, tetap akan tumbuh di kisaran 3,1 persen. (Preview of the United Nations Economic Report for 2011)

Kedua, belum akan berakhirnya musim dingin yang ekstrem, terutama di negara konsumen minyak terbesar dunia seperti AS dan Eropa Barat, akan memicu kecenderungan naiknya permintaan minyak, baik on paper maupun secara fisik untuk stok.

Ketiga, fakta bahwa OPEC pada tahun 2011 akan dipimpin Iran hingga saat ini memutuskan tak akan menambah kuota produksinya sebesar 24,85 juta barrel per hari.

Keempat, fakta bahwa sebagian besar anggota OPEC saat ini juga menyatakan bahwa ekonomi dunia akan mampu bertahan dan mengatasi harga minyak 100 dollar AS per barrel .

Kelima, faktor ketidakpastian menyangkut ketegangan geopolitik, terutama hubungan Teheran-Washington, yang sewaktu-waktu dapat bereskalasi atau bertambah buruk.Bagi APBN, tren penguatan harga minyak ini tidak sekadar perlu diwaspadai, tetapi lebih dari itu, memerlukan langkah antisipasi yang sistematis, terukur, dan konkret. Ini tak lain karena pada tingkat harga di atas asumsi APBN 80 dollar AS per barrel kenaikan harga minyak akan secara neto berdampak negatif terhadap APBN.

Simulasi Reforminer Institute menghitung bahwa setiap 1 dollar AS per barrel kenaikan harga minyak di atas asumsi APBN 80 dollar AS per barrel ceteris paribus, akan memperbesar defisit APBN sekurang-kurangnya Rp 550 miliar.

Di satu sisi, penerimaan negara dari minyak dan gas akan bertambah sekitar Rp 2,55 triliun, tetapi di sisi lain pengeluaran negara dari subsidi energi (BBM, LPG, dan listrik) juga akan bertambah sekurang-kurangnya Rp 3,1 triliun.

Dikatakan sekurang-kurangnya tidak lain karena potensi tambahan defisit yang muncul di dalam realisasinya dapat jauh lebih besar daripada itu. Hal ini disebabkan beberapa hal.

Pertama, tendensi tidak tercapainya kembali (untuk kesekian kalinya) target lifting minyak 970.000 barrel per hari.

Tahun 2010, realisasi lifting minyak hanya 954.000 barrel per hari, di bawah target 965.000 barrel per hari.

Kedua, kecenderungan membengkaknya subsidi listrik di atas perkiraan karena terus berlanjutnya keterlambatan penyelesaian program percepatan pembangunan pembangkit listrik batu bara 10.000 MW tahap 1.

Dari target penyelesaian 1.150 MW pada tahun 2010, yang berhasil dicapai hanya 600 MW, atau sekitar 52 persennya saja, sehingga porsi pemakaian BBM dalam penyediaan listrik tahun 2011 tetap akan tinggi.

Ketiga, potensi tidak efektifnya pembatasan konsumsi BBM subsidi yang rencananya akan diterapkan akhir Maret 2011.

Berbanding terbalik

Khusus tentang keefektifan terkait rencana pembatasan konsumsi BBM subsidi ini, dalam keterkaitannya dengan penguatan harga minyak dunia, hubungannya dapat dikatakan berbanding terbalik.

Semakin tinggi harga minyak dunia, semakin mahal harga BBM nonsubsidi di dalam negeri, semakin besar disparitas harga antara BBM nonsubsidi dan BBM subsidi, semakin tidak efektif kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi.

Dengan tingkat harga minyak saat ini saja, harga BBM nonsubsidi sudah Rp 7.450 per liter, atau berarti sudah terdapat selisih harga dengan BBM subsidi mendekati Rp 3.000. Pada tingkat harga minyak dunia 100 dollar AS per barrel, harga BBM nonsubsidi akan mencapai Rp 8.900 per liter, atau hampir dua kali lipat harga BBM subsidi.

Dengan disparitas harga sebesar itu, hampir dipastikan tidak ada satu instrumen atau mekanisme apa pun yang akan efektif mencegah perdagangan gelap, penimbunan, penyelundupan, penyalahgunaan, ataupun distorsi lainnya jika rencana pembatasan BBM tersebut benar-benar diimplementasikan.

Dengan demikian, tak ada jaminan konsumsi premium subsidi akan berkurang sesuai target. Dengan segala potensi keruwetan dan distorsi yang pasti akan timbul, potensi penghematan anggaran senilai lebih kurang Rp 3,3 triliun (yang dapat diperoleh dari pembatasan BBM subsidi di Jabodetabek) menjadi sangat diragukan.

Rencana pembatasan BBM subsidi bukan hanya tidak akan banyak menolong APBN, tapi juga tak compatible dengan penguatan harga minyak yang tengah dan terus akan berlangsung tersebut. Dengan demikian, tak perlu membelenggukan diri sendiri hanya pada opsi pembatasan BBM subsidi tersebut. Opsi lain yang lebih rasional dan lebih adaptif serta lebih sustain terhadap pergerakan harga minyak dengan segala kemungkinannya layak untuk lebih dikedepankan.

Dalam jangka pendek (tahun 2011), di tengah salah kelola sektor migas dan energi nasional yang berimbas terhadap terus menurunnya produksi minyak nasional dan amat sangat lambannya pengembangan energi alternatif, memang tak banyak opsi yang tersedia. Meski pahit dan tentu juga tidak sepenuhnya fair bagi masyarakat, menaikkan harga BBM dalam besaran yang relatif terjangkau, katakanlah Rp 200-Rp 300 per liter, kiranya tetap akan lebih baik ketimbang memaksakan menerapkan pembatasan BBM subsidi.