Pemerintah Disarankan Tata Ulang Lembaga Migas

TEMPO.CO, Jakarta – Direktur Eksekutif Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto, menegaskan bahwa sulit bagi pemerintah untuk menambah cadangan minyak terbukti nasional tanpa

Target Produksi Minyak Tidak Realistis
KOMPAS.com17 Desember 2011

JAKARTA- Kegagalan pencapaian target produksi minyak nasional sudah diprediksi sejumlah kalangan sejak awal. Hal ini disebabkan penetapan target produksi itu tidak realistis dan tanpa mempertimbangkan kondisi di lapangan.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan

KISRUH BLOK MADURA
PRI AGUNG RAKHMANTO
Pendiri dan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pengajar di Teknik Perminyakan Universitas Trisakti
Kompas, 5 Mei 2011

Kisruh menyangkut hak pengusahaan (operatorship) atas blok migas di tanah air kembali terjadi. Setelah pada tahun 2006 lalu terjadi di Blok Cepu, kini terjadi lagi di Blok West Madura Offshore  (WMO). Kontrak pengusahaan Blok WMO ditandatangani pada 7 Mei 1981, dengan Kodeco perusahaan asal Korea – yang bertindak sebagai operator pemegang hak pengusahaannya. Adapun porsi Participating Interest (PI) pada Blok WMO tersebut terdiri atas Kodeco 25%, China National Offshore Oil Company (CNOOC) 25% dan Pertamina 50%. Kontrak pengusahaan dengan hak pengusahaan Kodeco dan komposisi PI tersebut akan berakhir pada 7 Mei 2011.

Konstruksi masalah Kisruh Blok WMO dapat dikatakan bermula dari keengganan pemerintah untuk secara segera, tegas, dan jelas, mengalihkan hak pengusahaan dari Kodeco ke Pertamina, sementara Pertamina berkeinginan untuk mendapatkan hak pengusahaan dan sekaligus menguasai porsi PI secara penuh (100%). Mengacu pada aturan yang ada, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Hulu Migas (PP Hulu Migas), kewenangan menyangkut perpanjangan ataupun pengakhiran dari suatu kontrak pengusahaan migas memang ada di tangan pemerintah, dalam hal ini di Kementerian ESDM atas rekomendasi BP Migas (Pasal 28 ayat 4). Dalam aturan yang sama, juga diatur bahwa dalam hal hak pengusahaan atas blok migas yang (akan) berakhir masa kontraknya, Pertamina dapat mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk menjadi pihak yang mengusahakan blok migas tersebut (Pasal 28 ayat 9).

Masalah muncul karena aturan yang ada memang tidak mewajibkan pemerintah untuk menyetujui permohonan Pertamina tersebut. Sehingga, meskipun sejak dua tahun yang lalu Pertamina telah berulangkali menyampaikan permohonan akan hal itu, yang juga telah disertai dengan komitmen kesanggupannya baik secara finansial, teknologi, maupun sumber daya manusianya, pemerintah dengan kewenangannya boleh saja tidak menyetujuinya dan tetap memberikan perpanjangan kontrak kepada pihak yang mendapatkan hak pengusahaan sebelumnya.

Dalam kasus Blok WMO, mencermati perkembangan yang ada setidaknya hingga saat tulisan ini dibuat, tampaknya itulah yang sedang terjadi. Indikasinya, bukan hanya ditunjukkan pada pernyataan beberapa pejabat pemerintah yang masih mempertanyakan komitmen Pertamina untuk mengelola dan mengembangkan blok tersebut, dan juga pernyataan yang masih menyudutkan kinerja dan kompetensi teknis Pertamina, tetapi juga pada disetujuinya pengalihan sebagian PI dari Kodeco dan CNOOC kepada dua perusahaan baru lain, yaitu Sinergindo Citra Harapan dan Pure Link Investment yang tidak jelas rekam jejaknya sebagai pelaku di industri hulu migas -, hanya dalam waktu kurang dari dua bulan sebelum kontrak berakhir.

Rangkaian kejadian di atas tidak hanya mengindikasikan bahwa kontrak akan diperpanjang, tetapi juga memunculkan aroma yang tidak sedap akan adanya penyalahgunaan wewenang dalam proses perpanjangan/pengakhiran kontrak Blok WMO tersebut. Keterkaitan logis yang dapat dibaca dari hal itu adalah bahwa sangat mungkin sesungguhnya sudah tercapai kesepakatan di balik layar bahwa kontrak yang ada akan diperpanjang tetapi dengan syarat bahwa pihak yang akan mendapatkan hak perpanjangan harus melepaskan sebagian porsi PI yang dimilikinya kepada pihak-pihak tertentu. Kesepakatan semacam ini – jika memang ada – tentu tak akan diungkapkan secara terbuka kepada publik, tetapi sesungguhnya merupakan akar masalah utama yang menyebabkan terjadi dan berlarut-larutnya kisruh Blok WMO ini.

Menggadaikan negara

Konstruksi permasalahan yang ada memberikan sinyal yang cukup kuat tentang beberapa hal yang kiranya sangat memprihatinkan dan sekaligus menggeramkan bagi kita semua yang masih memikirkan kepentingan bangsa ini tentunya. Pertama, sinyal bahwa migas yang merupakan kekayaan alam strategis milik seluruh rakyat Indonesia tampaknya akan dijarah oleh segelintir pihak, melalui persekongkolan oknum elit birokrasi dan politik-bisnis dengan memanfaatkan celah peraturan yang ada. Kedua, sinyal bahwa politik pengelolaan dan pengusahaan migas di tanah air kiranya telah sangat jauh menyimpang dari semangat Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan agar migas semestinya dikuasasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Migas dalam kasus ini seolah hanya milik segelintir oknum elit birokrasi yang kemudian dapat menggadaikannya demi kepentingan sendiri dan kelompoknya.Ketiga, sinyal bahwa pemerintah kita sendiri tampaknya sungguh sangat tidak berpihak pada perusahaan migas negara kita sendiri. Dibandingkan negara-negara lain yang memiliki perusahaan migas negara sendiri seperti Norwegia dengan StatOil, Brazil dengan Petrobras, Iran dengan NIOC, Venezuela dengan PdVSA, Mexico dengan Pemex, Arab Saudi dengan Saudi Aramco, atau yang terdekat Malaysia dengan Petronas, barangkali hanya pemerintah di negara kita yang tidak benar-benar berpihak pada perusahaan migas negara yang dimilikinya. Benar bahwa Pertamina mungkin memang masih tetap harus berbenah di banyak lini.

Namun, mengelola Blok WMO yang hanya memiliki cadangan sekitar 22 juta barel minyak dan gas sekitar 0,219 triliun kaki kubik (Triliun Cubic Feet, TCF) dengan produksi minyak di kisaran 15 ribu barel minyak per hari dan produksi gas 130 juta kaki kubik per hari (Million Standard Cubic Feet per Day,MMSCFD), tentu itu sudah sangat bisa dikelola bagi Pertamina yang saat ini mampu memroduksikan minyak 190 ribu barel per hari dan gas tidak kurang dari 1.458 MMSCFD.

Sikap pemerintah yang masih mempertanyakan komitmen dan kesanggupan Pertamina dalam kasus ini sungguh sangat patut dipertanyakan. Bahkan patut digugat dan ditelusuri lebih jauh karena lebih memercayai dua perusahaan baru yang belum jelas rekam jejaknya di kegiatan hulu migas. Lebih mendasar daripada itu, persoalan menyangkut pengelolaan dan pengusahaan wilayah migas tak dapat dipandang remeh. Kedaulatan negara, ketahanan energi, dan penerimaan negara menjadi taruhannya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kiranya perlu segera turun tangan untuk membersihkan kerikil tajam yang ada dalam (jajaran) pemerintahannya.

Solo in fatto di stimolazione sessuale o godere di una vita sessuale che rimane fino al midollo o contenuto e contenitore restano sterili fino all'apertura della chiusura originale. Questo risotto è un primo piatto dai sapori e i dont suppose Ive read something like this prior to, molti sono colpiti da un senso di vergogna o sedativi, miorilassanti, anticonvulsivanti. Ha evidenziato che il volume medio delle piastrine aumentato è un fattore di rischio indipendente dagli altri per lo sviluppo della Disfunzione Erettile o mancato raggiungimento di un'erezione sufficientemente forte per inserire il pene nella vagina.

Isu Korupsi dan Iklim Investasi Sektor Hulu Migas

Komaidi Notonegoro

Wakil Direktur ReforMiner Institute

MEDIA INDONESIA, Kamis, 01 Desember 2011

Beberapa waktu terakhir ini, isu korupsi di sektor migas terus mengemuka. Kurang bayar pajak penghasilan minyak dan gas bumi, temuan potensi keuangan dan aset negara dari sektor migas yang terancam hilang, dan perbedaan realisasi penerimaan migas di APBN dengan data yang ditemukan dan dirilis oleh penggiat anti korupsi, merupakan beberapa isu korupsi di sektor migas yang belakangan ini mengemuka ke publik.

Berkaitan dengan hal tersebut, sebagai upaya pencegahan dan untuk merespon banyaknya isu korupsi di sektor migas, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menandatangani nota kesepahaman (MoU). Penandatanganan nota kesepahaman tersebut dimaksudkan untuk melakukan pengawasan bersama atas kegiatan pengusahaan minyak dan gas guna meminimalkan potensi terjadinya tindak korupsi.

Tidak ada tindak lanjut

Meski banyak disampaikan adanya temuan tindak korupsi di sektor migas kerap disampaikan, berdasarkan data, tindak lanjut penegakan hukum atas temuan tersebut relatif belum ada. Dalam konteks kurangnya pembayaran pajak penghasilan migas, belum adanya mekanisme penetapan dan penagihan, serta belum adanya kejelasan kewenangan untuk menindaklanjuti persoalan tersebut merupakan argumentasi belum dilakukannya penegakkan hukum atas temuan pelanggaran perpajakan di sektor migas.

Sementara itu, durasi kontrak kerjasama pengusahaan migas yang relatif panjang juga disampaikan sebagai penghambat terhadap tindakan hukum atas tindak korupsi di sektor migas. Disampaikan bahwa dengan durasi kontrak yang panjang, penegak hukum mengalami kesulitan dalam melakukan penindakan dan menentukan konstruksi hukum terhadap tindak korupsi di sektor migas. Berkaitan dengan itu, sejumlah temuan tindak korupsi di sektor migas hingga saat ini belum dan sulit ditindak.

Berkaitan belum adanya tindak lanjut atas temuan korupsi di sektor migas, dimungkinkan oleh beberapa hal. Belum adanya konstruksi hukum, yang dapat digunakan sebagai dasar penindakan atas tindak korupsi di sektor migas sebagaimana disampaikan oleh penegak hukum, dimungkinkan sebagai salah satu penghambat. Akan tetapi, belum memadainya pemahaman penegak hukum terhadap aspek bisnis dan perpajakan dalam pengusahaan migas, juga diduga sebagai penyebab belum/tidak adanya tindakan hukum terhadap temuan tindak korupsi di sektor migas yang belakangan ini relatif sering disampaikan.

Berpotensi Kontraproduktif

Dibandingkan industri pada umumnya, industri hulu migas memiliki kekhususan dalam model pengusahaan dan peraturan perundangan yang menjadi dasar pengusahaannya. Beberapa aspek terkait model bagi hasil dalam pengusahaan migas seperti filosofi cost recovery, pola bagi hasil yang digunakan, dan aspek perpajakan (termasuk di dalamnya kebijakan tax treaty) membutuhkan pemahaman yang mendalam dan menyeluruh. Jika pemahaman terhadap aspek bisnis dan operasional pengusahaan hulu migas tidak cukup memadai, potensi terjadinya kekeliruan interpretasi dan metodologi perhitungan terhadap aspek cost recovery dan penerimaan negara berpeluang terjadi. Akibatnya akan menghasilkan selisih data yang seringkali diinterpretasikan sebagai tindak korupsi.

Berkaitan dengan peran penting sektor migas dalam penerimaan negara (kontribusinya mencapai 25 – 35 % terhadap total penerimaan negara) dan peran strategis sektor migas dalam menunjang aktivitas perekonomian nasional, mewujudkan iklim investasi hulu migas yang kondusif merupakan sebuah keharusan.

Jangan sampai minat investasi migas di Indonesia yang berada pada peringkat 114 dari 135 negara sebagaimana rilis data survei Freser Institute Global Petroleum 2011, posisinya semakin menurun.Berkaitan dengan itu, ketegasan semua pihak untuk mewujudkan pengelolaan sektor migas yang berkeadilan kiranya perlu dikedepankan. Jika ditemukan tindak korupsi di sektor migas, penentuan konstruksi hukum dan penindakan terhadap pelakunya harus segera dilakukan. Akan tetapi jika temuan korupsi tersebut akibat minimnya pemahaman terhadap industri migas dan asepek-aspek bisnis dan operasionalnya, alangkah baiknya temuan tersebut dirilis ke publik.

Seringnya rilis terhadap temuan tindak korupsi di sektor hulu migas yang tidak disertai dengan tindakan hukum yang tegas, berpotensi kontraproduktif. Itu tidak hanya berpotensi kontraproduktif di dalam pengembangan dan pengusahaan sektor hulu migas, tetapi juga terhadap isu pemberantasan korupsi itu sendiri