Membenahi Pengelolaan Migas

Pri Agung Rakhmanto

Pendiri ReforMiner Institute ; Dosen FTKE Universitas Trisakti

KOMPAS,23 November 2012

Mahkamah Konstitusi Melalui Putusan Nomor 36/PUUX/2012 Membubarkan Badan Pelaksanan Badan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Pada 13 November 2012.

MK menilai keberadaan BP Migas inkonstitusional karena mengonstruksikan kondisi-kondisi yang tidak sesuai dengan amanat konstitusi UUD 1945, khususnya Pasal 33.

Pertama, MK menilai bahwa keberadaan BP Migas sebagai organ pemerintah dengan status badan hukum milik negara (BHMN) mendegradasi makna penguasaan negara atas migas. Penguasaan negara menjadi tidak langsung sehingga tidak dapat memaksimalkan hasil untuk kemakmuran rakyat. BP Migas hanya boleh mengawasi dan mengendalikan, tetapi tidak (dapat) mengelola migas langsung karena BP Migas bukan badan usaha milik negara (BUMN).

Kedua, MK menilai keberadaan BP Migas mengakibatkan negara kehilangan kewenangan mengelola atau menunjuk langsung BUMN untuk mengelola migas. Padahal, fungsi pengelolaan secara langsung dengan melakukan kegiatan usaha hulu migas secara langsun menurut MK, adalah bentuk penguasaan negara pada peringkat pertama dan paling utama untuk mencapai kemakmuran rakyat.

MK mengamanatkan agar pemerintah dapat segera menata ulang pengelolaan migas dengan berpijak pada penguasaan oleh negara yang berorientasi penuh pada upaya manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat.

Sebenarnya sudah sangat jelas apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menjalankan putusan dan amanat MK setelah masa transisi sekarang. Pemerintah harus membentuk struktur kelembagaan hulu migas baru yang mengonstruksikan bentuk penguasaan negara atas migas pada tingkat pertama, yang tidak menghalangi kewenangan negara menunjuk BUMN mengelola dan menjalankan kegiatan usaha hulu migas secara langsung.

Perusahaan Negara

Dapat dikatakan bahwa pilihan ke depan yang konstitusional  hanya dua. Pertama, pemerintah menunjuk BUMN di bidang (hulu) migas yang ada untuk melakukan itu. Kedua, pemerintah mendirikan perusahaan hulu migas negara (baru) untuk melakukan kegiatan usaha hulu migas secara langsung.

Dalam konteks ini, pola pikir kita harus berubah: bahwa sesungguhnya yang kita perlukan adalah sebuah perusahaan hulu migas untuk menjalankan kegiatan usaha migas secara langsung. Jika dalam melakukan kegiatan usaha itu perusahaan hulu migas negara yang ditunjuk tidak sepenuhnya mampu, maka dapat bekerja sama dengan pihak lain.

Dalam konteks kerja sama inilah kemudian fungsi pengawasan dan pengendalian yang selama ini dijalankan BP Migas dengan sistem kontrak kerja sama diperlukan. Jadi, tingkat pengawasan dan pengendalian sebenarnya hanya pada tingkat manajemen operasi kegiatan usaha, seperti perusahaan mengawasi rekanan atau kontraktornya (business to business/B to B). Maka, yang diperlukan badan usaha negara, bukan organ pemerintah.

Kita sebenarnya telah memiliki Pertamina sehingga tak harus mendirikan dari nol. Cikal bakal perusahaan hulu migas negara yang dimaksud juga telah ada, yaitu Pertamina Hulu Energi (PHE) dan Pertamina Eksplorasi Produksi (PEP).

Keduanya saat ini merupakan anak usaha PT Pertamina (Persero). Namun, kita tak ingin pengalaman pahit di mana pemusatan semua aktivitas migas, baik di hulu, tengah, dan hilir, ada pada Pertamina terulang kembali. Oleh karena itu, sebelum menetapkan keduanya sebagai representasi dari negara dalam pengelolaan migas, pemerintah perlu terlebih dahulu merestrukturisasi PT Pertamina (Persero).

PHE dan PEP sebaiknya dikeluarkan tidak lagi menjadi anak usaha dari PT Pertamina (Persero) dan menjadi dua perusahaan hulu migas negara yang secara langsung dan khusus (lex specialis) berada di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Keduanya dapat menjadi manifestasi amanat putusan MK tentang penguasaan dan pengelolaan migas yang konstitusional. PEP dapat berfungsi sebagai perusahaan hulu migas negara yang mengelola blok-blok migas secara mandiri.

Sementara PHE menjadi perusahaan hulu migas negara yang khusus mengelola blok-blok migas yang dikerjasamakan dengan pihak lain melalui kontrak kerja sama, semacam BP Migas baru tetapi berbentuk badan usaha.

Sumber daya (manusia) yang sangat berharga pada institusi eks BP Migas dapat menjadi tulang punggung kedua perusahaan hulu migas negara tersebut.

 

Putusan MK Tidak Otomatis Mengembalikan Fungsi BP Migas ke Pertamina

KOMPAS.com, 22 November 2012

JAKARTA – Putusan Mahkamah Konstitusi yang membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi dan mengalihkan fungsinya kepada pemerintah tidak secara otomatis mengembalikan fungsi badan pelaksana itu kepada PT Pertamina (Persero). Jika kemudian dikembalikan ke perseroan itu,

Revisi UU Migas Harus Beri Solusi

Investor Daily  20 November 2012

Jakarta, Revisi UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas yang sedang diproses DPR harus sesuai konstitusi, serta memberi solusi komprehensif dan bisa mengantisipasi persoalan migas dimasa mendatang. Pasal-pasal yang baru tidak boleh tercemar transaksi kepentingan pihak tertentu atau politik dagang sapia

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) harus mengikuti konstitusi, yakni migas dikuasai langsung oleh negara untuk memakmurkan rakyat. RUU Migas yang sedang dibahas di DPR jangan berbasis kepentingan pihak-pihak tertentu, sehingga nantinya kembali melanggar konstitusi. Kalau tidak sesuai UUD 1945, akan ada lagi yang menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan MK bisa membatalkan pasal-pasal UU Migas yang baru, kata dia kepada Investor Daily di Jakarta, senin (19/11)

Pasal-pasal dalam UU Migas Tersebut banyak yang tidak sesuai konstitusi, sehingga dibatalkan MK. Dia pernah mengaku mengingatkan DPR tentang pasal-pasal UU Migas yang rawan digugat.

Lihat sejak UU No. 22 Tahun 2001 itu diberlakukan, tidak ada cadangan migas baru yang besar yang ditemukan di Tanah Air, imbuh dia.

Ia Menambahkan, selain tidak mudah digugat, UU Migas yang baru harus bisa bertahan lama. Sikap hati-hati diperlukan dalam pembahasan RUU Migas, namun Revisi UU tetap harus bisa cepat diselesaikan. Hal ini dimungkinkan jika DPR bebas dari kepentingan kelompok.

DPR dan Pemerintah jangan mempertaruhkan masa depan negara dan bangsa, dengan mengedepankan kelompok dalam pembahasan RUU Migas. Putusan MK itu sudah jelas, pandangannya sudah final tentang pasal-pasal yang dibatalkan. Jadi, kalau tidak ada tarik menarik kepentingan di antara anggota DPR, mestinya pembahasan RUU Migas cepat selesaia, ucap dia.

Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR Mohamad Sohibul Iman Mengatakan, sebelum membatalkan pasal mengenai Badan Pelaksana yang mendasari pembentukan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), MK telah membatalkan pasal-pasal lain dalam UU Migas.

Pasal-pasal yang telah dianulir sebelumnya adalah ketentuan Domestic Market Obligation (DMO) serta penentuan harga eceran BBM melalui mekanisme pasar, papar dia.

Menurut Sohibul Iman, menyusul pembubaran BP Migas, fungsi pengelola kegiatan hulu migas harus segera diserahkan secara permanen kepada badan hukum sekaligus badan usaha. Lembaga tersebut harus berbeda dari BP Migas yang dibubarkan MK, yang hanya merupakan badan hukum.

Jika merupakan badan usaha, lembaga tersebut mampu menjalankan delegasi dari Negara sebagai entitas bisnis migas, termasuk melakukan kerja sama bisnis dengan menerapkan mekanisme business to business. Lembaga pengganti juga harus memiliki fungsi lebih luas seperti Petronas di Malaysia, yakni menjalankan fungsi entitas bisnis dan menjaga ketahanan migas nasional. Indonesia memiliki lembaga serupa, yakni Pertamina, ucap dia.

Perusahaan migas pelat merah tersebut dinilai memiliki kelebihan dibanding BP Migas, yakni berstatus badan hukum sekaligus badan usaha. Namun, corporate culture Pertamina perlu diubah menjadi baik.

Fungsi-fungsi seperti BP Migas bisa diserahkan ke Pertamina, tapi perlu overhaul (turun mesin) lebih dulu. Pertamina sebagai BUMN juga harus imun dari penyimpangan dan intervensi dari pemerintah maupun politikusa tandas Sohibul.

Ia menegaskan, satuan kerja sementara (SKS) pengelola kegiatan hulu migas yang dibentuk pemerintah harus benar-benar ditempatkan sebagai lembaga sementara. Artinya , Pemerintah harus segera membentuk lembaga baru yang permanen.

Kita harus belajar dari kasus BP Migas yang dibubarkan, yang hanya berbentuk badan hukum sehingga tidak memiliki alat-alat produksi, kilang, dan lain-lain. jika suatu hari pemegang kontrak migas menghentikan produksi, apakah badan hukum semacam ini bisa menjaga ketahanan energi nasional? Jelas tidak bisa, karena dia bukan badan usaha yang bisa berproduksi, tutur Sohibul.

Status BP Migas selama ini, lanjut dia, bertolak belakang dengan kewenangannya sebagai pengelola industri migas nasional. BP Migas sulit menjalankan fungsi sebagai penjamin ketahanan energi nasional.

Enam Bulan

Sohibul Iman mengatakan, pembatalan banyak pasal dalam UU Migas oleh MK menyebabkan kekosongan norma hukum. Kekosongan tersebut harus segera diisi dengan norma hukum baru, lewat Revisi UU.

Ia menjelaskan, Revisi UU Migas merupakan inisiatif DPR yang sudah digagas sejak tahun 2009. Namun, hingga kini pembahasan di DPR masih maju mundur, karena nilai politisnya tinggi sekali.

Revisi UU Migas juga sudah masuk Prolegnas dan prioritas 2012-2013. sekarang posisinya masih di DPR, belum diserahkan ke Pemerintah, karena kami belum satu suara. setelah draf diterima pemerintah, tindakan selanjutnya adalah penentuan Daftar Isian Masalah (DIM), ujar dia kepada Investor Daily di Jakarta kemarin.

Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi demokrat Sutan Batoegana mengatakan, pembahasan RUU Migas tetap menjadi prioritas DPR dan hingga kini masih berjalan. DPR akan membahas bersama-sama stakeholder yang lain mengenai lembaga yang menggantikan peran BP Migas.

Mengenai pandangan fraksi-fraksi di DPR terkait Revisi UU Migas, sutan mengaku saat ini belum bisa mengatakannya. semua pihak tentunya harus menghormati putusan MK yang membubarkan BP Migas. Soal RUU, semoga dalam enam bulan kedepan pembahasannya sudah selesai. Yang penting, dalam pembahasan nanti kami tidak melanggar UUD 1945 Pasal 33. Sementara MK untuk membenahi yang ada harus kami hormati, ujar dia.

Ia menilai langkah Pemerintah mengambil alih tugas BP Migas sudah tepat, sehingga tidak ada kekosongan hukum. Fungsi BP Migas tersebut kini dialihkan ke unit kerja di bawah Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM).

Namun, Kami juga akan melihat dulu kinerja unit kerja di bawah Kementerian ESDM ini, tandasnya.

Ia menuturkan, dulu dibentuk BP Migas karena di Pertamina ada kongkolingkong. Hal ini tidak boleh terjadi lagi.

Dulu ketika tugas-tugas yang dilakukan BP Migas di serahkan ke Pertamina, BUMN itu hampir bangkrut, ujar dia.

Sementara itu, merespons pembubaran BP Migas oleh MK, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden No 95 Tahun 2012 dan dua keputusan Menteri, yakni Kepmen ESDM No 3135 dan No 3136 Tahun 2012. sesuai aturan tersebut, Pemerintah membentuk Satuan Kerja Sementara Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (SKSPMigas), sebagai pengganti BP Migas.

Beda Format

Mengenai pengelolan kekayaan migas nasional, Pri Agung menyarankan sebaiknya ditugaskan kepada BUMN, namun dengan format yang berbeda dengan saat Pertamina mendapat penugasan sebelum lahirnya UU Nomor 22 Tahun 2001. Kalau dulu, penugasan langsung dari presiden.

Sebaiknya, BUMN migas itu berada di bawah menteri. Fungsi legalitasnya berada di Kementerian dan pengendali juga ada di Kementerian, kata dia.

Dia menjelaskan, hirarkinya adalah kuasa pertambangan diserahkan ke BUMN, selanjutnya BUMN tersebut bisa bekerja sama dengan pihak asing maupun swasta nasional BUMN itu bisa melakukan kontrak dengan asing maupun swasta lokal lewat mekanisme business to business.

Saya tidak menginginkan kondisi seperti Pertamina dimasa lalu terulang, ujar dia.

Jika wewenang itu diserahkan ke Pertamina, Pri Agung mengusulkan, dua anak usahanya yakni Pertamina Hulu Energi (PHE) dan Pertamina EP (PEP) dikeluarkan dulu dari perseroan. Keduanya jadi perusahaan hulu migas yang berada di bawah kementerian.

PEP diberi tugas mengelola sendiri lapangan milik mereka. Sedangkan PHE bisa melakukan kontrak bagi hasil (PSC) dengan pihak asing, atau melaksanakan tugas dan fungsi eks BP Migas. Sedangkan Pertamina diberi tugas menangani bisnis yang menjadi cost center, seperti distribusi bahan bakar minyak (BBM), papar dia.

Petronas, lanjut dia, sebenarnya seperti Pertamina dijaman dulu, tapi aturannya dibuat lebih baik. Sedangkan yang saya usulkan itu merupakan model yang diadopsi di Norwegia, kata dia.

Pertamina Diminta Fokus

Sementara itu, menurut menteri BUMN Dahlan Iskan. PT Pertamina sebaiknya tidaK mengambil alih tugas BP Migas. Pertamina diminta lebih fokus untuk menjadi perusahaan minyak kelas regional pada 2014.

Banyak ide dari masyarakat agar fungsi BP Migas kembali ke Pertamina. Saya minta teman-teman Pertamina untuk tidak pernah punya pikiran untuk mengambil alih tugas itu. Lain halnya jika Pemerintah memberikan wewenang itu ke Pertamina, itu terserah,tandas Dahlan di Jakarta, kemarin

Dahlan menuturkan, awalnya fungsi yang dijalankan oleh BP Migas selama ini berada di tangan Pertamina. Namun, Ketika itu, Pertamina Justru lengah dan tidak memperhatikan produksi yang seharusnya menjadi tugas utama BUMN ini.

Pertamina dulu manja, sehingga begitu dicabut fungsinya dan dialihkan ke BP Migas, BUMN ini jadi perusahaan lemah untuk sementara waktu, kata dia.

 

Kontrak Tambang
Pri Agung Rakhmanto
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Kontan Edisi 13 – 19 Februari 2012

PR Pascapembubaran BP Migas
Komaidi Noto Negoro
Wakil Direktur ReforMiner Institute
Analisis : Investor Daily Senin , 19 November 2012

Pada 13 November 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) menyampaikan putusan atas judicial review terhadap UU Migas No22 Tahun 2001 Tentang Minyak danGas Bumi yang diajukan oleh sekitar 42 pemohon. Keputusan Tersebut tertuang Dalam Keputusan MK No 36/PUU-X/2012.

Berdasarkan putusannyaTersebut, Seluruh Hal yang Terkait dengan Badan Pelaksana Baik Dalam Pasal Maupun dalam Penjelasan UU No 22 Tahun 2001 Tentang Migas,Bertentangan Dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan Hukum meningkat.Karena itu,MK Mengamanatkan Agar fungsi dan tugas Badan Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas)dilaksanakan Oleh Pemerintah cq Kementerian Terkaitsampai diundangka UU baru yang mengatur hal tersebut.

Berdasarkan Pertimbangan hokum dalam putusanya,MK menilai keberadaan BP Migas tidak sejalan dengan aspek penguasaan negara sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Keberadaan BP Migas sebagai organ pemerintah dengan status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dinilai mereduksi makna penguasaan negara atas migas. Itu karena BP Migas mengkonstruksikan bentuk penguasaan negara yang tidak langsung atas migas sehingga tidak dapat memaksimalkan hasil untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan bentuk BHMN, BP Migas hanya sebatas melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan atas pengelolaan migas, namun tidak dapat melakukan pengelolaan secara langsung karena BP Migas bukan merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Keberadaan BP Migas juga dinilai oleh MK telah mengakibatkan negara kehilangan kewenangannya untuk mengelola atau menunjuk secara langsung BUMN untuk mengelola migas. Sementara, menurut MK, pengelolaan migas secara langsung  dengan melakukan kegiatan usaha hulu migas secara langsung, adalah bentuk penguasaan negara pada peringkat pertama dan paling utama untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. MK juga secara tegas dan jelas menilai bahwa pengelolaan secara langsung oleh negara atau BUMN adalah yang dikehendaki oleh Pasal 33 UUD 1945.

Formulasi Kelembagaan

Berdasarkan Putusan MK tersebut, sangat jelas bahwa MK mengamanatkan agar pemerintah segera menata ulang pengelolaan migas dengan berpijak pada penguasaan oleh negara yang berorientasi penuh pada upaya manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat. Oleh sebab itu, penguasaan tersebut perlu dilakukan dengan organisasi yang efisien dan di bawah kendali langsung Pemerintah. Dengan demikian sudah sangat jelas apa yang kemudian harus dilakukan pemerintah untuk menjalankan secara utuh putusan dan amanat MK, baik dalam masa transisi maupun untuk ke depannya.

Pemerintahharus membentuk struktur kelembagaan yang baru yang mengkonstruksikan bentuk penguasaan negara atas migas pada tingkat pertama. Dengan demikian,Tak ada halangan bagi Negaramenunjuk secara langsung BUMN guna mengelola dan menjalankan kegiatan hulu migas secara langsung. Negara memiliki kewenangan untuk itu.

Sebelum adanya Putusan MK atas judicial review UU Migas, ReforMiner Institute telah menyampaikan kepada para pemangku kepentingan (stake-holders) sektor migas bahwa pengelolaan hulu migas akanjauh lebih optimal jika dilakukan oleh BUMN. Analisis dan argumentasi atas itu telah dituangkan dalam ReforMiner Policy Analysis edisi September 2010, November 2010, Juni 2011, dan November 2011, yang juga telah disampaikan kepada stakeholderssektor migas, Partai Politik, Media, Universitas, Organisasi Kemasyarakatan, dan Masyarakat Umum.

Analisis Reforminer Institute menemukan sektor hulu migas akan jauh lebih optimal dilakukan oleh BUMN dibandingkan dengan jika dikelola oleh BHMN. Itu karena, usaha hulu migas memang akan lebih tepat dan optimal jika dilakukan dengan pendekatan administrasi usaha, bukan administrasi negara. Berikut

Kita pun bisa berkaca pada perusahaan-perusahaan migas keles dunia berdasarkan jumplah cadangan,yang dimiliki,peringkat sepuluh besar dikelola/dimiliki BUMN., Energy Intelligence Research, The Energy Intelligence Top 100: Ranking the Worlds Oil Companies, 2009, menyebutkan 4 (empat) diantara 5 (lima) besar perusahaan minyak dunia berdasarkan ranking komparatif dikelola dan dimiliki adalah BUMN.masing-masing Negara.Berdasarkan perbandingan atas beberapa aspek tersebut, semestinya pelaku usaha-Kontraktor kontrah\k kerjasama(KKKS)- akan lebih sesuai dan nyaman jika pengelolaan sektor hulu migas di bawah koordinasi BUMN. Terbukti, industri hulu migas, khsusnya industri minyak nasional mencapai 2 (dua) kali puncak produksi ketika pengelolaannya di bawah koordinasi BUMN. Jika kemudian saat itu BUMN yang ditugaskan kinerjanya (produksinya sendiri) dinilai belum optimal, paling tidak telah berhasil menjadi fasilitator yang baik.

Mengubah Mind Set

Dengan adanya amanat MK dan beberapa contoh tersebut, maka mind set kita yang harus berubah. Dari yang sebelumnya bahwa yang diperlukan adalah sebuah badan pengawas, pengendali dan/atau pengatur, menjadi bahwa yang kita perlukan sesungguhnya adalah perusahaan hulu migas yang menjalankan kegiatan usaha migas itu sendiri secara langsung. Jika di dalam melakukan kegiatan usaha itu BUMN yang ditunjuk tidak sepenuhnya mampu, maka dapat bekerjasama dengan pihak lain. Dalam konteks inilah kemudian fungsi pengawasan dan pengendalian- yang selama ini dijalankan BP Migas dalam sistem Kontrak Kerja Sama diperlukan.

Pengawasan dan pengendalian tersebut sebenarnya hanyalah pada tingkat manajemen operasi kegiatan usaha, hanya seperti sebuah perusahaan mengawasi rekanan atau kontraktornya (B to B) dan model tersebut pada dasarnya berlaku umum di semua sektor usaha. Karena itu, argumentasi bahwa jika BUMN menjalankan fungsi pengawasan dan pengendalian tersebut dinilai merangkap fungsi sebagai regulator,ini adalah mind set yang keliru dan relatif tidak berdasar. Mengingat, kendali dan peran regulator dalam hal ini tetap melekat dan berada peda Kementerian Teknis (Kementerian ESDM).

 

BP MIGAS DIBUBARKAN: Pemerintah harus segera merespon putusan MK

Bisnis.com –13 November 2012

JAKARTA, Pemerintah harus segera merespon putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan fungsi dan tugas Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi kini dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM, sampai diundangkannya UU yang baru yang mengatur hal tersebut.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto berpendapat keputusan MK sudah benar, tidak hanya secara filosofis tetapi juga secara konseptual.

Pemerintah harus segera bergerak cepat merespon keputusan MK ini. Jika tidak, akan ada ketidakpastian yang sangat membahayakan kondisi migas nasional, ujarnya ketika dihubungi Bisnis, hari ini (13/11).

Pri Agung mengatakan UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas menyatakan kegiatan usaha hulu migas, sehingga kewenangan itu memang seharusnya dijalankan oleh sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sementara, BP Migas dengan status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) adalah lembaga pemerintah dan bukan badan usaha.

Dengan putusan MK ini maka Kuasa Pertambangan (KP) harus dipegang oleh Kementerian ESDM, dan sebenarnya menurut Pri Agung hal ini tidak berubah.

Tetapi, kewenangan pengendalian dan pengawasan kontrak kerja sama migas harusnya dijalankan oleh Badan Usaha, dalam hal ini adalah Pertamina. Dan secara lebih khusus lagi dalam hal ini yang cocok adalah Pertamina Hulu Energi [PHE], jelasnya.

Menurut Pri Agung, Ditjen Migas juga tidak tepat jika harus mengambilalih fungsi dan kewenangan BP Migas karena fungsi yang dijalankan adalah manajemen operasi dari suatu kegiatan usaha.

Sebagai solusi transisi dari dibubarkannya BP Migas ini, Pri Agung mengusulkan agar seluruh sumberdaya yang ada di BP Migas, baik personil, data, adminstrasi, dan lain-lain, dapat digabungkan terlebih dahulu dengan PHE.

Nantinya dengan UU yang baru, perlu dilakukan juga redefinisi peran, posisi, dan juga restrukturisasi Pertamina, tambahnya.