Investasi Sektor Pertambangan dan Energi
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Koran Sindo:28-09-2015

Perlambatan pertumbuhan ekonomi global yang disertai dengan menurunnya harga energi berdampak terhadap menurunnya iklim investasi. Selama kurun 2015- 2016 pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan melambat.

Sejumlah negara emerging dan developing utama seperti China, India, Rusia, dan Brasil yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia, diproyeksikan mengalami perlambatan yang lebih dalam. Pertumbuhan perekonomian global diproyeksikan akan lebih banyak bertumpu pada negara OECD, khususnya Amerika Serikat.

Tanda-tanda perlambatan pertumbuhan ekonomi global sudah terefleksikan dalam harga komoditas energi yang cenderung menurun sejak kuartal ketiga 2014. Sampai dengan September 2015, harga minyak telah mengalami penurunan lebih dari 60%. Sementara harga gas telah menurun tidak kurang dari 52%. Pada kurun waktu yang sama, harga batu bara juga tercatat mengalami penurunan sekitar 45%.

Harga komoditas tambang nonenergi pada periode yang sama berada pada tren yang juga menurun. Kinerja sektor pengguna komoditas tambang (energi dan nonenergi), yang cenderung menurun berdampak tidak hanya pada harganya, tetapi juga pada prospek investasi sektor tambang dan energi.

Purchasing Manager Purchasing Managers Index (PMI) sektor manufaktur, nonmanufaktur, dan sektor jasa di sejumlah negara OECD, emerging , dan developing tercatat cenderung menurun. Hal tersebut berdampak terhadap permintaan komoditas hasil tambang dan energi yang juga menurun. Kecenderungan penurunan harga komoditas tambang dan energi berdampak terhadap peringkat investasi sektor tersebut menurun.

Sejumlah lembaga rating memberikan peringkat yang lebih rendah kepada sektor tambang dan energi dibandingkan sektor yang lainnya. Akibatnya, biaya investasi perusahaan tambang dan energi, terutama yang bersumber dari utang, menjadi lebih mahal. Dalam perkembangannya, kecenderungan penurunan investasi sektor tambang dan energi juga terjadi di Indonesia.

Sampai dengan kuartal kedua 2015, investasi langsung di sektor pertambangan dan energi Indonesia sejumlah negara dari kawasan Amerika dan Eropa tercatat mengalami penurunan yang cukup signifikan. Penurunan meliputi investasi yang dilakukan di sektor pertambangan minyak dan gas dan pertambangan mineral dan batu bara.

Mencermati perkembangan beberapa indikator yang ada, saya memproyeksikan prospek investasi sektor pertambangan dan energi Indonesia untuk kurun 2015-2016 belum akan kembali pada tren normal. Prospek investasi sektor energi dan pertambangan yang berbasis energi kemungkinan akan relatif lebih baik dibandingkan pertambangan nonenergi.

Sejumlah proyek pemerintah di sektor energi seperti proyek pembangkit listrik 35.000 MW, pengembangan jaringan gas untuk sektor transportasi dan rumah tangga, dan pembangunan kilang akan mendorong prospek investasi sektor energi dan tambang yang berbasis energi menjadi relatif lebih baik.

Akan tetapi, potensi tersebut akan sulit dikonversi jika sejumlah hambatan investasi yang selama ini dikeluhkan oleh investor tidak segera direspons atau diselesaikan oleh pemerintah. Dari identifikasi yang dilakukan, permasalahan utama yang dihadapi pelaku usaha sebagian besar adalah masalah nonteknis seperti masalah harmonisasi regulasi, perizinan, dan pembebasan lahan.

Sebagian besar domain penyelesaian masalah tersebut berada di tangan pemerintah dan pemerintah daerah, bukan pelaku usaha. Karena itu, jika pemerintah tidak akomodatif terhadap keluhan dan kebutuhan pelaku usaha, prospek investasi sektor tambang dan energi Indonesia kemungkinan akan semakin menurun.

Pada situasi perlambatan ekonomi global, sebagian besar negara diproyeksikan berlomba memberikan berbagai kemudahan untuk menarik investasi masuk ke negara mereka. Dalam hal ini, saya berpandangan itu pula yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.

Karena itu, peninjauan kembali terhadap sejumlah kebijakan yang selama dinilai menjadi disinsentif investasi sektor pertambangan dan energi seperti kewajiban penggunaan Letter of Credit (LC), kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE), dan pembatasan kuota ekspor perlu dilakukan oleh pemerintah.

 

Menteri Tumpuan Paket Kebijakan

(Kompas, 11 September 2015)

JAKARTA, Presiden Joko Widodo meminta Wakil Presiden Jusuf Kalla mengawasi pelaksanaan paket kebijakan ekonomi tahap pertama. Kalla akan menindaklanjuti permintaan itu dengan bertemu otoritas moneter dan meminta penjelasan para menteri mengenai langkah yang diambil.

Rizal Ramli: 35,000 MW Project Impossible

(Tempo.co; 8 September 2015)

TEMPO.CO, Jakarta – Coordinating Minister for Maritime and Resources, Rizal Ramli, said the government’s mega power project to have power plants with a total generating capacity of 35,000 MW is impossible to accomplish in five years. The minister said that over the next five years there would likely only be 16,000 MW of electricity generated.

“The rest of the power supply will only be generated in the next period,” he said in his office, yesterday.

Rizal even said that PT PLN (Persero) will suffer a huge loss from the project, as there is a capacity burden that the company will have to bear alone.

He said that if the 35,000 MW project is completed in five years, PLN will have a peak load of 74,000 and an excess capacity of 21,000 MW. According to regulations, LN would have to pay for the excess capacity to independent (private) power producers even if the excess electricity supply goes unused.

“The value would reach US$7.62 billion,” he said.

Rizal suggests the government to focus on four factors to speed up and optimize the project: expedite land acquisition, speed up transmission procurement, diversify alternative energy sources, and decentralize power plants.

Echoing a similar sentiment, ReforMiner Institute executive director Komaidi Notonegoro said the government should reflect on the 10,000-MW Fast Track program that had not materialized due to land acquisition problems.

“The provision of goods for power plant also takes a long time,” he said.

According to the Investment Coordinating Board (BKPM), investment realization in the electricity sector increased in the first semester of this year, with 226 projects entering construction phases with an investment of Rp18.4 trillion.

“That is the biggest realization of investment in the field of infrastructure,” BKPM chief Franky Sibarani said.