Pengamat: Harga Premium Seharusnya Rp 6.000

(www.beritasatu.com3 Oktober 2015)

Jakarta – Pengamat energi dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengungkapkan harga premium seharusnya bisa di kisaran Rp 6.000 per liter jika harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) US$ 40 per barel dan kurs Rp 14.000 serta alpha Rp 1.000.

Harga Gas Jadi Tinggi, “Trader” Kertas Harus Dihapus

(beritasatu.com; 1 Oktober 2015)

Jakarta-Sistem trader kertas yang ada sekarang sebaiknya dihapus saja, karena membuat harga jual gas ke konsumen menjadi sangat mahal. Terlebih, ketika konsep aggregator gas kelak diberlakukan, yang tujuannya untuk memperkuat gas dalam negeri.

“Trader kertas yang terjadi saat ini membuat rantai tata niaga menjadi panjang.Konsumen sangat dirugikan karena harga gas menjadi sangat tinggi,” kata Ferdinand Hutahaean, Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia.Menurut Ferdinand, dalam trader kertas seperti saat ini, banyak rantai tata niaga yang sebenarnya tidak perlu ada. Misalnya, BUMD-BUMD di berbagai daerah yang secara “tiba-tiba” menjadi perantara gas tersebut. Para perantara tersebut, lanjut Ferdinand, sebenarnya tidak memiliki peran apa pun, karena tanpa mereka pun sebenarnya gas bisa langsung dijual ke konsumen. “Mereka itu sebenarnya merupakan bagian dari kepentingan. Keberadaannya sangat merugikan,” lanjut Ferdinand.

Untuk itu, ujarnya, memang tidak ada jalan lain, kecuali menghapus saja sistem tata niaga yang jelas-jelas merugikan tersebut. Bahkan, jika paratraderkertas tadi tetap ada pada saat pemberlakuan aggregator gas, maka bisa menjadi kontra poduktif dan membuat tujuan aggregator gas tidak tercapai. Dengan demikian, kalaupun ingin memberi semacam “apresiasi” terhadap daerah, lanjut Ferdinand, cukup dengan pembagian dividen saja.

Di sisi lain Ferdinand mengatakan, bahwa idealnya hanya satu BUMN yang menjadi aggregator gas. Karena sebagaimana konsepnya, bahwa aggregator tadi akan meliputi seluruh kegiatan dari hulu ke hilir. Dengan hanya satu aggregator gas, maka akan meningkatkanbargaining positionIndonesia, terutama karena perannya di sektor hulu tadi.

Lebih lanjut Ferdinand menambahkan, sebaiknya yang menjadi agregator gas merupakan BUMN murni. Karena dengan demikian, tidak akan ada kepentingan asing yang mendompleng di dalam aggregator gas tadi. Sayangnya, salah satu di antara dua BUMN yang digadang-gadang dalam RUU Migas untuk menjadi agregator gas, justru 47 persen sahamnya dikuasai asing.

Dengan kepemilikan asing yang luar biasa tersebut, dikhawatirkan bahwa aggregator gas hanya akan menjadi alat bagi pihak asing terkait regulasi gas. Kondisi ini, menurut Ferdinand, sangat berbahaya, karena tujuan aggregator gas adalah untuk memperkuat gas di dalam negeri. “Ini persoalan serius,” katanya.

Tidak hanya itu. Dengan proporsi kepemilikan asing yang besar tersebut, dikhawatirkan pula keuntungan yang diraih justru akan lari ke pihak asing, yakni sesuai dengan proporsi kepemilikannya. “Ini mengkhawatirkan, karena seharusnya keuntungan itu masuk semua ke dalam negeri,” kata Ferdinand.

Selain menghapustraderkertas, hal yang juga harus menjadi perhatian terkait aggregator gas adalahopen access. Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute mengatakan,open accesini penting, terkait konsep bahwa aggregator gas sebaiknya dilaksanakan secara tungal oleh pelaku utama. Melaluiopen access, maka pelaku utama bisa bersinergi dengan pelaku lain yang berkompeten di sisi hilir, yakni yang memiliki jaringan infrastruktur distribusi cukup memadai.

“Melalui jaluropen accessseperti itu, aggregator gas bisa berjalan seperti yang diharapkan. Daripada membangun lagi infrastruktur, akan lebih efisien jika memanfaatkan yang sudah ada,” lanjutnya.

Terkaitopen accestadi, lanjut Komaidi, sebaiknya memang perlu dipilih pelaku utama yang benar-benar berkompeten. Jika melihat peran besar aggregator gas, hendaknya pelaku utama tersebut harus memiliki pengalaman di sektor hulu, termasuk terkait akses, pengalaman bernegosiasi harga di hulu, menghitung harga keekonomian gas di kepala sumur, eksplorasi, sewarig, dan bahkan kekuatan finansial. “Guna melengkapi peran distribusi di sektor hilir, maka pelaku utama tadi bisa menerapkanopen access. Idealnya seperti itu,” katanya.

Investasi Sektor Pertambangan dan Energi
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Koran Sindo:28-09-2015

Perlambatan pertumbuhan ekonomi global yang disertai dengan menurunnya harga energi berdampak terhadap menurunnya iklim investasi. Selama kurun 2015- 2016 pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan melambat.

Sejumlah negara emerging dan developing utama seperti China, India, Rusia, dan Brasil yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia, diproyeksikan mengalami perlambatan yang lebih dalam. Pertumbuhan perekonomian global diproyeksikan akan lebih banyak bertumpu pada negara OECD, khususnya Amerika Serikat.

Tanda-tanda perlambatan pertumbuhan ekonomi global sudah terefleksikan dalam harga komoditas energi yang cenderung menurun sejak kuartal ketiga 2014. Sampai dengan September 2015, harga minyak telah mengalami penurunan lebih dari 60%. Sementara harga gas telah menurun tidak kurang dari 52%. Pada kurun waktu yang sama, harga batu bara juga tercatat mengalami penurunan sekitar 45%.

Harga komoditas tambang nonenergi pada periode yang sama berada pada tren yang juga menurun. Kinerja sektor pengguna komoditas tambang (energi dan nonenergi), yang cenderung menurun berdampak tidak hanya pada harganya, tetapi juga pada prospek investasi sektor tambang dan energi.

Purchasing Manager Purchasing Managers Index (PMI) sektor manufaktur, nonmanufaktur, dan sektor jasa di sejumlah negara OECD, emerging , dan developing tercatat cenderung menurun. Hal tersebut berdampak terhadap permintaan komoditas hasil tambang dan energi yang juga menurun. Kecenderungan penurunan harga komoditas tambang dan energi berdampak terhadap peringkat investasi sektor tersebut menurun.

Sejumlah lembaga rating memberikan peringkat yang lebih rendah kepada sektor tambang dan energi dibandingkan sektor yang lainnya. Akibatnya, biaya investasi perusahaan tambang dan energi, terutama yang bersumber dari utang, menjadi lebih mahal. Dalam perkembangannya, kecenderungan penurunan investasi sektor tambang dan energi juga terjadi di Indonesia.

Sampai dengan kuartal kedua 2015, investasi langsung di sektor pertambangan dan energi Indonesia sejumlah negara dari kawasan Amerika dan Eropa tercatat mengalami penurunan yang cukup signifikan. Penurunan meliputi investasi yang dilakukan di sektor pertambangan minyak dan gas dan pertambangan mineral dan batu bara.

Mencermati perkembangan beberapa indikator yang ada, saya memproyeksikan prospek investasi sektor pertambangan dan energi Indonesia untuk kurun 2015-2016 belum akan kembali pada tren normal. Prospek investasi sektor energi dan pertambangan yang berbasis energi kemungkinan akan relatif lebih baik dibandingkan pertambangan nonenergi.

Sejumlah proyek pemerintah di sektor energi seperti proyek pembangkit listrik 35.000 MW, pengembangan jaringan gas untuk sektor transportasi dan rumah tangga, dan pembangunan kilang akan mendorong prospek investasi sektor energi dan tambang yang berbasis energi menjadi relatif lebih baik.

Akan tetapi, potensi tersebut akan sulit dikonversi jika sejumlah hambatan investasi yang selama ini dikeluhkan oleh investor tidak segera direspons atau diselesaikan oleh pemerintah. Dari identifikasi yang dilakukan, permasalahan utama yang dihadapi pelaku usaha sebagian besar adalah masalah nonteknis seperti masalah harmonisasi regulasi, perizinan, dan pembebasan lahan.

Sebagian besar domain penyelesaian masalah tersebut berada di tangan pemerintah dan pemerintah daerah, bukan pelaku usaha. Karena itu, jika pemerintah tidak akomodatif terhadap keluhan dan kebutuhan pelaku usaha, prospek investasi sektor tambang dan energi Indonesia kemungkinan akan semakin menurun.

Pada situasi perlambatan ekonomi global, sebagian besar negara diproyeksikan berlomba memberikan berbagai kemudahan untuk menarik investasi masuk ke negara mereka. Dalam hal ini, saya berpandangan itu pula yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.

Karena itu, peninjauan kembali terhadap sejumlah kebijakan yang selama dinilai menjadi disinsentif investasi sektor pertambangan dan energi seperti kewajiban penggunaan Letter of Credit (LC), kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE), dan pembatasan kuota ekspor perlu dilakukan oleh pemerintah.

 

Menteri Tumpuan Paket Kebijakan

(Kompas, 11 September 2015)

JAKARTA, Presiden Joko Widodo meminta Wakil Presiden Jusuf Kalla mengawasi pelaksanaan paket kebijakan ekonomi tahap pertama. Kalla akan menindaklanjuti permintaan itu dengan bertemu otoritas moneter dan meminta penjelasan para menteri mengenai langkah yang diambil.

Rizal Ramli: 35,000 MW Project Impossible

(Tempo.co; 8 September 2015)

TEMPO.CO, Jakarta – Coordinating Minister for Maritime and Resources, Rizal Ramli, said the government’s mega power project to have power plants with a total generating capacity of 35,000 MW is impossible to accomplish in five years. The minister said that over the next five years there would likely only be 16,000 MW of electricity generated.

“The rest of the power supply will only be generated in the next period,” he said in his office, yesterday.

Rizal even said that PT PLN (Persero) will suffer a huge loss from the project, as there is a capacity burden that the company will have to bear alone.

He said that if the 35,000 MW project is completed in five years, PLN will have a peak load of 74,000 and an excess capacity of 21,000 MW. According to regulations, LN would have to pay for the excess capacity to independent (private) power producers even if the excess electricity supply goes unused.

“The value would reach US$7.62 billion,” he said.

Rizal suggests the government to focus on four factors to speed up and optimize the project: expedite land acquisition, speed up transmission procurement, diversify alternative energy sources, and decentralize power plants.

Echoing a similar sentiment, ReforMiner Institute executive director Komaidi Notonegoro said the government should reflect on the 10,000-MW Fast Track program that had not materialized due to land acquisition problems.

“The provision of goods for power plant also takes a long time,” he said.

According to the Investment Coordinating Board (BKPM), investment realization in the electricity sector increased in the first semester of this year, with 226 projects entering construction phases with an investment of Rp18.4 trillion.

“That is the biggest realization of investment in the field of infrastructure,” BKPM chief Franky Sibarani said.

Bersiap jika Harga Minyak Rendah
Pri Agung Rakhmanto;
Dosen FTKE Universitas Trisakti,Pendiri ReforMiner InstituteA
Kompas;Senin 31 Agustus 2015

Sebagaimana diperkirakan banyak analis, pergerakan harga minyak sepanjang 2015 belum akan beranjak dari tingkat harga rendah, di bawah 60 dollar AS/barrel.

Sejak Juli, harga terus turun dan akhir Agustus harga minyak West Texas Intermediate (WTI) menyentuh 38 dollar AS/barrel. Sebagaimana tulisan “Membaca Tren Harga Minyak” yang pernah dimuat di harian ini (27/l/2015), saya masih melihat dua faktor utama penyebab rendah dan makin turunnya harga minyak belakangan ini. Pertama, faktor fundamental, yaitu pasokan yang terus berlebih di tengah adanya kekhawatiran penurunan permintaan. Kedua, faktor spekulasi, yang berkorelasi dengan tren terus menguatnya mata uang dollar AS terhadap mata uang negara lain.

Selama 2-3 tahun terakhir, pertumbuhan pasokan minyak dunia rata-rata 2 juta barrel per hari (bph), melebihi rata-rata pertumbuhan permintaan 1,2 juta bph. Ditambah spare capacity OPEC 4 juta-5 juta bph, secara fundamental keseimbangan pasar minyak dunia memang mengalami kelebihan pasokan.

Perlambatan pertumbuhan ekonorni Tiongkok sebagai importir minyak terbesar dunia kian menekan pertumbuhan permintaan. Kondisi ini diperparah berlanjutnya persaingan antar produsen utama minyak dunia.

Demi tetap menguasai pangsa pasar, OPEC-khususnya Arab Saudi dan Iran- tetap pada sikap mempertahankan tingkat produksi 30 juta bph. Pada Juli lalu produksi OPEC bahkan meningkat hingga 32,1 juta bph. Mereka agaknya berpandangan, percuma mengurangi produksi karena pasar tetap akan dibanjiri pasokan dari pihak lain di luar OPEC.

Level harga 60 dollar AS/barrel tampaknya memang tidak cukup untuk mematikan produksi minyak dan gas dari lapisan shale di AS dan Kanada Dari Januari hingga Juli 2015 produksi minyak AS masih relatif bertahan, bahkan dengan tren meningkat, di kisaran 9,1 juta-9,6 juta bph. Produksi minyak Rusia, yang merupakan eksportir minyak terbesar kedua dunia, juga meningkat sepanjang Januari-Mei 2015 di kisaran 10,7 juta bph.

lnovasi teknologi dan efisiensi biaya, hingga pada pengurangan jumlah pegawai, tampaknya telab membuat para produsen minyak yang bermain di shale mampu bertahan bahkan dalam kondisi harga 40 dollar AS/barrel sekalipun. Ini yang menjadikan Arab Saudi dan Iran tetap bersikukuh tidak akan mengurangi pasokan ke pasar, meskipun mereka sebenarnya juga terpukul dengan harga yang terus turun.

Spekulasi

Titik terendah dan kestabilan baru tampaknya belum akan tercapai hingga “perang” yang mempertontonkan kemampuan bertahan para produsen utama minyak dunia itu berakhir. Ditambah faktor spekulasi, ini artinya bukan tidak mungkin harga akan terus turun hingga 30-20 dollar AS/barrel. Dengan acuan harga rill pada Januari 2015, data statistik menunjukkan, dunia pernah mengalami titik terendah harga riil minyak di kisaran 20 dollar AS/barrel, yaitu pada periode 1968-1972 dan 1997-1998.

Sementara faktor kelebihan pasokan secara fundamental mengondisikan harga minyak untuk tetap rendah, spekulasi adalah faktor utama yang lebih berperan dalam memengaruhi dan menentukan pergerakan harga minyak dari hari ke hari. Minyak yang didenominasikan dalam dollar AS adalab bagian dari instrumen investasi di pasar komoditas dan pasar keuangan, tak ubahnya seperti emas, saham, ataupun valuta asing itu sendiri.

Aksi spekulasi di pasar komoditas terhadapnya, ataupun aksi spekulasi di pasar keuangan terhadap dollar AS, serta di pasar sekunder lain yang berkorelasi dengan pergerakan nilai tukar dollar AS, berperan amat signifikan dalam memengaruhi pergerakan harga minyak. Statistik sejak 2006 menunjukkan korelasi yang cukup kuat antara harga minyak dan indeks nilai tukar dollar AS terhadap mata uang lain. Saat indeks nilai tukar dollar AS menguat dan tinggi terhadap mata uang lainnya, harga minyak melemah, juga sebaliknya. Maka, ketika dollar AS begitu perkasa akhir-akhir ini-termasuk terhadap euro, yen, rubel, dan yuan- harga minyak yang sejak semula telah rendah di bawab 60 dollar AS/barrel dengan mudah turun di bawab 40 dollar AS.

Dengan kecenderungan posisi dollar AS terhadap mata uang lainnya akan tetap kuat dalam 1-3 tahun ke depan, menyimpan dollar AS untuk kepentingan spekulasi tampaknya lebih menjanjikan daripada menyimpan minyak. Ditambah dengan kondisi di mana secara fundamental keseimbangan pasar minyak dunia tetap masih akan mengalami kelebihan pasokan, prospek harga minyak ke depan tampaknya memang masih akan suram.

Dengan kondisi seperti itu, sebaiknya pemerintah sedini mungkin segera bersiap. Antisipasi defisit APBN karena turunnya penerimaan migas perlu disiapkan. Kebijakan evaluasi harga BBM yang lebih komprehensif dan proporsional perlu segera dilakukan, tidak harus menunggu November karena dinamika yang ada bergerak begitu cepat. Dengan rata-rata harga minyak Indonesia untuk Juli di 51,81 dollar AS/barrel, dan Agustus kemungkinan di bawab 45 dollar AS/barrel, harga BBM untuk Agustus lalu dan September mendatang mestinya sudah dapat diturunkan di kisaran Rp 6.800-Rp Rp. 6.000 per liter.

Di tengah kondisi krisis ekonomi, penurunan harga BBM yang masih sesuai dengan nilai keekonomiannya adalab salah satu wujud nyata stimulus perekonomian. Terhadap industri migas nasional, tidak ada pilihan lain selain melakukan efisiensi di semua aspek. Hampir dapat dipastikan industri migas nasional, khususnya di sektor hulu beserta industri penunjangnya, ke depan akan semakin tertekan. Peran dan langkah nyata dari pemerintah sangat ditunggu.

Sektor Migas Makin Tertekan

(Kompas, 19 Agustus 2015)

Pemerintah Bisa Membantu Beri Kemudahan

JAKARTA,- Sektor hulu minyak dan gas bumi di Indonesia bakal makin tertekan menyusul jatuhnya harga minyak menjadi 41,75 dollar AS per barrel atau terendah dalam kurun enam tahun terakhir. Pemerintah bias mengurangi tekanan

Asumsi Lifting dalam RAPBN 2016 Dinilai Realistis

(Investor Daily: 15 Agustus 2015)

JAKARTA– Pengamat energi ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai penetapan asumsi produksi terjual (lifting) minyak bumi pada RAPBN 2016 sebesar 830.000 barel per hari cukup realistis.

“Angka ‘lifting’ minyak itu kemungkinan dapat tercapai terutama dengan adanya tambahan dari Lapangan Banyuurip, Blok Cepu,

” katanya di Jakarta, Jumat (14/8/2015), seperti dikutip Antara. Presiden Joko Widodo dalam pidato pengantar RAPBN 2016 di sidang paripurna DPR, Jakarta, Jumat menyampaikan, asumsi “lifting” minyak sebesar 830.000 barel per hari, “lifting” gas bumi 1,55 juta barel setara minyak per hari, dan harga minyak (Indonesia crude price/ICP) 60 dolar AS per barel.

Komaidi mengatakan, selain Cepu, pemerintah mesti menahan penurunan laju produksi sumur-sumur minyak lainnya.”Jangan terlalu drastis turunnya. Kalau bisa konstan,” ujarnya.

Saat ini, fasilitas produksi Banyuurip di Bojonegoro, Jatim dengan kapasitas 185.000 barel minyak per hari sedang dikerjakan dengan target operasi pada kuartal ketiga 2015.Dengan selesainya fasilitas tersebut, Banyu Urip yang per Juni 2015 berproduksi sekitar 80.000 barel per hari akan meningkat pada Agustus menjadi 149.000 barel per hari dan terus meningkat hingga 205.000 barel per hari pada November 2015.

Komaidi juga mengatakan, angka ICP sebesar 60 dolar AS per barel sepanjang 2016 juga cukup realistis.

Ia memprediksikan, harga minyak dunia pada 2016 masih tetap rendah.”Angka 60 dolar AS per barel itu saya kira cukup moderat meskipun terdapat kemungkinan harga bisa di bawah angka tersebut,” katanya. Ia menambahkan, dalam hal harga minyak, pemerintah memang relatif tidak memiliki kekuatan untuk mengendalikannya.”Hal yang perlu dilakukan adalah memantau perkembangannya,” ujarnya.

Pada APBN Perubahan 2015, asumsi “lifting” minyak ditetapkan sebesar 825 ribu barel per hari, “lifting” gas bumi 1,221 ribu barel setara minyak per hari, dan ICP 60 dolar AS per barel.

Perbaikan Kebijakan BBM
Pri Agung Rakhmanto ;
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute
Kompas,com

Hingga akhir Juli 2015, Pertamina dikatakan mengalami kerugian hingga Rp 12 triliun dalam penjualan BBM, khususnya premium dan solar.

Kerugian disebabkan Pertamina harus menalangi selisih harga keekonomian bahan bakar minyak dan harga jual BBM yang ditetapkan dan diberlakukan pemerintah. Ini yang menyebabkan harga BBM saat ini tak akan diturunkan bahkan mungkin dinaikkana meski harga minyak dunia saat ini turun menyentuh 47 dollar AS per barrel, yang merupakan level terendah dalam enam bulan terakhir.

Dalam masalah ini, Pertamina jadi korbana, publik jadi bingung karena logika sederhana kemudian menjadi tampak rumit. Lalu muncul istilah baru, oil fund, dari pemerintah, semacam dana untuk stabilitas BBM, yang masih belum jelas payung hukum, sistem, dan mekanismenya. Mengapa hal semacam ini bisa terjadi?

Menurut saya karena dua hal. Pertama, kebijakan BBM yang parsial. Kedua, inkonsistensi dalam implementasi kebijakan yang parsial itu.

Disebut parsial karena saat pemerintahmenurunkan harga BBM pada November 2014, diikuti penurunan pada bulan selanjutnya, dan tak lagi menyubsidi premium dan menerapkan subsidi tetap Rp 1.000 per liter untuk solar, pemerintah tidak melengkapi kebijakan tersebut dengan menyiapkan bantalan fiskalnya di APBN. Inkonsisten karena penyesuaian naik-turun harga BBM yang semula dilakukan dalam dua minggu hingga satu bulan mengikuti pergerakan faktor utama yang memengaruhinya (harga minyak dunia dan kurs rupiah) tidak lagi dilakukan dengan pola yang sama, dengan alasan masyarakat belum siap dengan kebijakan itu.

Pada titik itu sebenarnya terlihat bahwa yang lebih tidak siap adalah pemerintah sendiri, bukan masyarakat. Pemerintah tak siap dengan bantalan fiskal BBM di APBN sehingga kemudian Pertamina yang harus menjadi bantalana dan baru belakangan memunculkan istilah yang tampak baru, oil fund,yang secara esensi tidak lain adalah bantalan fiskal BBM itu sendiri. Juga tidak siap dalam menakar kondisi sosial-ekonomi-politik masyarakat dengan baik sehingga dalam menetapkan periode evaluasi dan penyesuaian harga tidak memiliki pola yang jelas.

Maka, pemerintah yang perlu lebih jelas dan tegas dalam hal kebijakan BBM. Apakah sebenarnya premium memang bebas subsidi dan solar disubsidi tetap, ataukah sebenarnya keduanya masih disubsidi APBN dengan pola yang sama seperti pemerintahan sebelumnya? Jika yang dipilih adalah terobosan kebijakan seperti yang pertama, setidaknya dua hal perlu segera diperbaiki.

Pertama, bantalan fiskal BBM sejumlah tertentu perlu dianggarkan secara jelas di APBN. Ini untuk mengantisipasi ketika penyesuaian harga karena sesuatu dan lain hal tidak dapat dilakukan. Akuntabilitas dan pertanggungjawaban bantalan fiskal di APBN jelas lebih baik dan memiliki landasan payung hukum yang lebih jelas dibandingkan menggunakan Pertamina sebagai bantalan atauoil fund yang masih belum jelas payung hukum, sistem, dan mekanismenya.

Kedua, konsistenlah dalam menerapkan periode evaluasi dan penyesuaian harga BBM sehingga dapat memberikan pola yang lebih mudah diterima dan ditangkap oleh masyarakat ataupun perekonomian secara keseluruhan. Tiga atau enam bulan, seperti yang belakangan pemerintah wacanakan, kiranya jauh lebih bijak daripada periode dua minggu hingga satu bulan yang sebelumnya diterapkan.

 

Pri Agung Rakhmanto, Reforminer Institute: Produksi Puncak Bisa Meleset

(Republika, Senin, 03 Agustus 2015)

Apakah kejadian di Blok Cepu berpengaruh ke lifting minyak nasional?

Ya kalau pengaruh ke lifting sebenarnya tergantung. Pertama, terhadap produksi yang ada saat ini seberapa cepat bisa dikembalikan produksinya.