Tambahan Kapasitas Pembangkit 2010-2015

listrik 7

Respon Pemerintah Terhadap Harga Minyak Rendah

ReforMiner menilai, penurunan harga minyak yang terjadi sejak pertengahan 2014 telah memberikan dampak pada investasi hulu migas di Indonesia. Berdasarkan pencermatan permasalahan tersebut belum memperoleh respon kongkret dari pemerintah. Dalam hal ini memang telah terdapat beberapa kebijakan yang diterbitkan Kementerian ESDM melalui Direktorat Jenderal Migas dan SKK Migas. Akan tetapi sejumlah kebijakan tersebut sebagian besar masih normatif.

Berdasarkan catatan ReforMiner, strategi utama yang disampaikan akan dilakukan oleh SKK Migas dalam merespon harga minyak rendah adalah: (1) mendorong dilakukannya efisiensi biaya (capital expenditure dan operating expenditure); (2) mengedepankan penggunaan teknologi terkini dan pendekatan terbaru untuk operasi perminyakan yang lebih efisien dan optimal; (3) mengantisipasi pengurangan tenaga kerja di hulu migas; (4) tetap melanjutkan kegiatan eksplorasi; (5) menghilangkan disinsentif fiskal yang tidak perlu; dan (6) membenahi proses bisnis, birokrasi dan pengambilan keputusan di internal SKK Migas.

ReforMiner menilai, dari keenam strategi utama yang direncanakan tersebut, hanya strategi poin (5) yaitu menghilangkan disinsentif fiskal, yang sampai sejauh ini relatif telah terdapat tindak lanjut. Beberapa kebijakan yang merupakan turunan dari strategi poin (5) tersebut adalah telah dihilangkannya pembatasan reimbursement Pajak Pertambahan Nilai (PPN), menyelesaikan permasalahan PBB eksplorasi yang masih terkendala di pengadilan pajak, dan menyelesaikan masalah pengenaan branch profittaxes dan PPN pada transaksi tertentu di hulu migas.

Sementara, sejumlah kebijakan yang dilakukan oleh Ditjen Migas diantaranya adalah (1) mendorong dilakukannya efisiensi biaya (capital expenditure dan operating expenditure) melalui optimasikegiatan pengembangan, memperbanyakkegiatan work over dan perawatan sumur, penggunaan fasilitas bersama, dan negosiasi harga dalam penyediaan barang dan jasa; (2) mempermudah birokrasi perijinan dan mengkaji perubahan fiskal; (3) mengantisipasi masalah tenaga kerja melalui penundaan rekruitmen baru, skema pensiun alami dan pengunduran diri sukarela, dan efisiensi biaya pelatihan dan perjalanan dinas; dan (4) meningkatkan koordinasi dengan SKK Migas dan instansi pemerintah lainnya terkait implementasi peraturan dan perizinan.

Meskipun dalam merespon harga minyak rendah, Ditjen Migas tampak sedikit lebih maju, tetapi secara keseluruhan juga masih bersifat normatif. Apalagi dari poin-poin kebijakan yang akan dilakukan sebagian besar implementasinya akan lebih banyak ditentukan oleh pihak lain, bukan Ditjen Migas. Dalam aspek tertentu, ReforMiner melihat terdapat kebijakan Ditjen Migas yang justru berpotensi memberatkan industri hulu migas seperti rencana untuk menerapkan kebijakan right to audit terhadap penyedia barang dan jasa KKKS. Kebijakan lainnya yang berpotensi memberatkan adalah keputusan untuk tetap mendorong kegiatan eksplorasi di tengah harga minyak rendah karena diasumsikan biaya penyediaan barang dan jasa sedang turun.

Sumbangan migas ke kas negara bakal turun 20%

(kontan.co.id : Rabu 24 Februari 2016)

Jakarta. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan kontribusi dari minyak dan gas (Migas) terhadap penerimaan negara bisa terpangkas hingga 20%. Penerimaan negara tersebut baik dalam bentuk pajak penghasilan (PPh Migas) maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Migas.

Penurunan kontribusi seiring dengan kemungkinan perubahan asumsi harga minyak Indonesia atau Indonesian Crude Price  (ICP). Perubahan ICP disampaikan oleh Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro, yakni menjadi US$ 30-US$ 40 per barrel.

Padahal asumsi awalnya, dalam APBN 2016 di level US$ 50 per barrel.”Itung aja, dari US$ 50 menjadi US$ 40, itu kan kehilangan 20% ya, apalagi kalau jadi US$ 30,” kata Sudirman di Jakarta, Rabu (24/02/2016).

Sebagai contoh, PPh Migas yang dalam APBN 2016 ditargetkan sebesar Rp 41,4 triliun, kemungkinan akan turun menjadi Rp 33,12 triliun. Itu pun jika target terealisasi 100%.

Catatan Kementerian Keuangan, hingga 5 Februari 2016, penerimaan PPh Migas baru mencapai Rp 2,8 triliun, atau 6,8% dari target Rp 41,4 trilliun. Sementara itu, Sudirman sendiri menilai, perkiraan asumsi ICP yang disampaikan Bambang merupakan angka yang realistis.

“Karena setelah disepakati freeze produksi antara Arab Saudi, Rusia, negara-negara Amerika Latin sih harusnya punya dampak terhadap harga minyak. Dan saya kita harga US$ 30-US$ 40 itu mungkin, realistis,” jelas Sudirman.

Sebelumnya pada perdagangan komoditas di Eropa dan Amerika Serikat hari ini, harga minyak mentah (OIL WTI) ditutup di US$ 37,37 per barel atau turun 5,94%.

Fundamental

Direktur Reforminer Institute, Priagung Rakhmanto, juga menilai perkiraan asumsi harga yang disebutkan Bambang, di rentang US$ 30-US$ 40 per barrel, realistis dengan perkembangan akhir-akhir ini.

Namun begitu, Priagung mengatakan asumsi ICP yang paling realistis adalah yang cenderung mendekati US$ 30 per barel. Hal itu disebabkan faktor fundamental yang memengaruhi harga minyak, yakni kelebihan pasokan.

Menurut dia, produsen utama, Arab Saudi, Rusia, Amerika Serikat, dan Iran tetap akan terus memompa produksi.”Sentimen yang mengarah ke penguatan harga belum nampak sekarang ini, kalaupun ada hanya temporer,” kata Priagung.

Penurunan Harga Gas Domestik

Rencana pemerintah menurunkan harga gas ditingkat konsumen akhir dan tingkat kepala sumur yang ditargetkan efektif mulai 1 Januari 2016, hingga saat ini belum terealisasikan. Rencana tersebut dimaksudkan untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi. Kebijakan penurunan harga gas itu sendiri rencananya akan dilakukan dengan mengurangi porsi bagian pemerintah disektor hulu tanpa mengurangi toll fee yang diterima transporter gas dan bagian KKKS.

Berdasarkan review, beberapa yang akan diatur dalam kebijakan penurunan harga gas diantaranya: (1) pengaturan margin untuk trader gas bumi yang tidak memiliki fasilitas, (2) pengurangan iuran dan pajak pada tahapan distribusi gas bumi, dan (3) pengaturan margin (Rate of Return) untuk niaga gas bumi yang memiliki infrastruktur. Penurunan harga rencananya akan diterapkan pada harga gas dalam rentang 6-8 dolar AS per MMBTU, dengan penurunan sekitar 0-1 dolar AS per MMBTU (0-16,7%), sehingga harga akhir minimal adalah 6 dolar AS per MMBTU , dan harga gas di atas 8 dolar AS per MMBTU, diturunkan 1-2 dolar AS per MMBTU (12,5-25%), sehingga harga akhir minimal adalah 6 dolar AS per MMBTU.

 

Dalam teknis pelaksanaannya, penurunan harga gas tersebut akan dibagi menjadi tiga tahapan. Untuk tahap pertama, penurunan harga akan dilakukan di sektor hulu dan di tingkat harga trader, dan akan dikenakan terhadap industri tertentu. Daftar industri tertentu yang direncanakan akan memperoleh insentif penurunan harga gas diantaranya industri di Sumatera Utara, PT Krakatau Steel, PT Pupuk Kujang, PT Petrokimia Gresik, PT Pusri, PT PIM, PT Indo Raya Kimia, PT Tosra Sakti.

Padatahap kedua, penurunan harga akan dilakukan terhadap industri yang menerima gas dari PGN, Pertamina (Niaga), EHK, Sadikun, dan Rabbana. Sementara untuk tahap ketiga, pemerintah membuka kemungkinan untuk hal yang sama diperluas pada seluruh Badan Usaha/Badan Usaha Tetap (dalam hal ini KKKS termasuk di dalamnya) yang memiliki kontrak jual beli gas domestik dengan industri. Berdasarkan informasi yang dihimpun, pendataan dan verifikasi terhadap hal ini tengah dilakukan.

ReforMiner memproyeksikan pemerintah akan menemui kendala dalam mengimplementasikan rencana penurunan harga gas tersebut. Aturan yang berlaku saat ini -Permen ESDM 37/2015-, tidak cukup kuat untuk dijadikan sebagai landasan hukum. ReforMiner menilai perubahan harga gas domestik memerlukan perubahan kontrak jual beli gas, yang artinya tidak hanya domain kewenangan pemerintah tetapi juga akan dan harus melibatkan pihak penjual maupun pembeli gas. Tanpa perubahan kontrak jual beli gas, maksimum yang dapat dilakukan pemerintah adalah menerapkannya untuk kontrak-kontrak jual beli gas yang baru. Dalam pandangan ReforMiner, untuk dapat menurunkan harga gas tersebut setidaknya perlu instrumen peraturan setingkat Peraturan Presiden (Perpres) untuk dijadikan landasan hukum yang lebih kuat.

Outlook Minyak dan Gas Global 2016

ReforMiner memproyeksikan harga minyak sepanjang tahun 2016 akan tetap berada pada level rendah seperti yang terjadi sepanjang tahun 2015. Rentang 30-40 USD per barel dapat dikatakan merupakan proyeksi yang cukup moderat. Perebutan pangsa pasar yang saat ini terjadi akan mendorong OPEC dan Non-OPEC meningkatkan produksi meskipun harga minyak rendah. Untuk kondisi saat ini Non-OPEC menyumbang sekitar 59-63 % produksi minyak global dimana Amerika menjadi salah satu penyumbang produksi terbesar dengan produksi lebih dari 9 juta barel per hari.

Pertumbuhan konsumsi minyak dunia pada tahun 2016 diproyeksikan turun sebesar 0,2 %. Perlambatan konsumsi disebabkan oleh menurunnya pertumbuhan ekonomi sejumlah kawasan yang menjadi konsumen utama yang berada dikawasan Asia Pacifik terutama Cina dan kawasan Amerika Utara yang diperkirakan sudah akan dapat mencukupi kebutuhan minyaknya sendiri.

 

Penurunan konsumsi dan harga minyak diproyeksikan akan mendorong turunnya investasi eksplorasi dan produksi migas global sekitar 17-35 % pada tahun 2016 ini. Berdasarkan data yang dihimpun, pengeluaran investasi (CAPEX) untuk eksplorasi dan produksi migas global sampai dengan akhir tahun 2015 turun sekitar 20,2 % menjadi 590 milyar USD. Penurunan tersebut merupakan yang terendah sejak 2011. Beberapa perusahaan dikawasan Amerika Utara diproyeksikan akan pengalami penurunan investasi sekitar 22 %.

Anggaran investasi yang dialokasikan untuk biaya pengembangan juga turun antara 30-40 %.Hal tersebut berdampak pada aktivitas rig yang diproyeksikan akan menurun hingga 50 %. Investasi eksplorasi dan produksi migas diproyeksikan akan kembali meningkat jika harga minyak mulai membaik.ReforMiner memperkirakan investasi akan mulai meningkat kembali jika harga minyak berada pada level 50-60 USD per barel.

Pada sektor gas, produksi gas global dalam beberapa tahun terakhir selalu lebih tinggi dibandingkan konsumsinya. Kondisi tersebutdiproyeksikan masih akan berlanjut pada tahun 2016.Konsumsi gas dunia diproyeksikan akan tumbuh melambat 0.32%, terkaitdengan melambatnya pertumbuhan ekonomi beberapa negara konsumen utama. Sedangkan produksi gas, diproyeksikan tumbuh sekitar 1,5 %, yang terdistribusi atas kawasan Amerika Utara sekitar 5,4 %, kawasan Asia Pasifik sekitar 3,7 %,dan kawasan Timur Tengah sekitar 3,5 %. Sementara produksi gas di kawasan Eropa dan Afrika diproyeksikan turun masing-masing sekitar 3,12 % dan 1 %.

Pasokan LNG ke pasar dunia rata-rata mengalami peningkatan sekitar 7 % per tahun. Pada 2015 volume perdagangan LNG meningkat sebesar 3,4 MT. Untuk tahun 2016 pasar LNG dunia diproyeksikan akan kelebihan pasokan sekitar 2 MT. Hal tersebut menyusul rencana onstream sejumlah proyek kilang LNG di beberapa negara. Saat ini beberapa proyek kilang LNG dengan total kapasitas 134 MTPA sedang dalam masa konstruksi. Pasar LNG dunia diproyeksikan akan semakin kelebihan pasokan jika rencana ekspor AS sebesar 717,3 mboe per tahun segera direalisasikan.

Pemberian Insentif Fiskal Ke Sektor Migas Disangsikan

(Bisnis.com : Kamis 18 Februari 2016)

JAKARTA – Pemerintah dinilai tak akan memberikan insentif fiskal yang berpotensi mengurangi penerimaan negara dari sektor minyak dan gas untuk menyelamatkan industri hulu.

Adapun, hingga saat ini opsi pemberian insentif belum diputuskan pemerintah kendati harga minyak masih rendah. Beberapa insentif yang telah diusulkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yakni dari segi eksplorasi, KKKS mengusulkan pemerintah menerapkan moratorium eksplorasi, fleksibilitas mengubah kegiatan eksplorasi ke blok lain, fleksibilitas mengubah kegiatan eksplorasi hingga penghapusan pajak bumi dan bangunan (PBB).

Adapun pada kegiatan eksploitasi, hal yang diusulkan adalah pengurangan atau penghilangan pajak sementara (tax holiday), first tranche petroleum (FTP) dan domestic market obligation(DMO) holiday, pengurangan bagi hasil pemerintah hingga penerapan country basis.

Pengamat energi Pri Agung Rakhmanto mengatakan sulit bagi pemerintah bila harus memberikan insentif fiskal. Pasalnya, menurunnya harga minyak juga berpengaruh terhadap penerimaan negara di sektor minyak dan gas bumi.

Dalam UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016, asumsi harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price) yang digunakan adalah US$50 per barel. Berkenaan dengan harga minyak yang melemah pemerintah akan mengoreksi asumsi ICP dalam APBN menjadi kisaran US$30 sampai US$40 per barel.

Bila yang digunakan mengacu pada asumsi ICP dengan harga US$30 per barel, potensi penurunan penerimaan sekitar Rp90 triliun dari total target 1.822,5 triliun. Penurunan terjadi di pos penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan pajak penghasilan (PPh) migas.

“Insentif fiskal susah. Penerimaan di negara kan juga turun. Berat pasti buat pemerintah,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, Kamis (18/2/2016).

Pemerintah, katanya, lebih baik memberikan kemudahan seperti yang telah dijanjikan sebagai contoh dia menyebut penyederhanaan izin dan kepastian usaha. Insentif berupa fleksibilitas kegiatan eksplorasi sebaiknya bisa diberikan daripada harus memberikan moratorium.

Pasalnya, kegiatan eksplorasi sangat diperlukan dan merupakan bagian dari komitmen KKKS meski harga minyak rendah.”Yang sifatnya komitmen seharusnya tetap jalan. Kan bisa melakukan negosiasi dengan perusahaan penyedia jasa,” katanya.

Holding BUMN Energi Sebagai ‘Langkah Mundur’

(Bisnis Indonesia; Selasa 16 Februari 2016)

JAKARTA –Keputusan untuk membuat perusahaan induk BUMN di sektor minyak dan gas bumi dinilai sebagai ‘langkah mundur’ karena terjadi kemunduran dalam manajerial perusahaan.

Padahal, semangat awal membentuk badan usaha milik negara agar kegiatan usaha kian lincah.

Pengamat energi Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengatakan, fungsi pemerintah sebagai pengawas harus dapat menjembatani kepentingan badan usaha_ agar investasi yang dilakukan oleh PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk dan PT Pertamina Gas (Pertagas), anak usaha PT Pertamiria (Persero) selaras dengan rencana pembangunan gas di Tanah Air.

PGN dan Pertagas memiliki Iini bisnis yang sama yaitu gas. Selama ini sering muncul tumpang tindih kedua perusahaan itu dalam membangun infrastruktur gas. Oleh karena itu, muncul wacana untuk melakukan sinergi kedua perusahaan untuk menghindari tumpang tindih tersebut. Bahkan, muncul isu pembentukan induk perusahaan (holding) BUMN di sektor energi.

Selama ini, katanya, manajerial perusahaan terlalu mengesampingkan peran pemerintah. Badan usaha, katanya, dibiarkan menjalankan semua permasalahan secara bisnis. Padahal, tidak bisa dipungkiri bahwa keduanya tetap BUMN yang memerlukan kehadiran pemerintah.

Sementara semangat restrukturisasi perusahaan dengan membuat unit-unit usaha menjadi cara populer untuk membuat perusahaan kian lincah. Namun, ternyata yang dipilih pemerintah saat ini adalah mengulang proses bisnis yang telah dibangun.

“Malah kembali ke masa lalu. Zaman dulu kan semua terpusat makanya dibikin anak perusahaan dengan restrukturisasi,” ujarnya, Senin (15/2).

Menurutnya, langkah pemerintah untuk membuat holding BUMN energi justru mengurangi manfaat yang diberikan.

PGN dan Pertagas, katanya, telah tumbuh dengan baik. Dengan demikian, holding bukanlah Iangkah yang tepat untuk membuat kinerja keduanya semakin baik. “Kalau dilihat dari pemerintahan sekarang untuk membuat holding, malah bikin enggak lincah.”

Penurunan Harga Minyak dan Cost Recovery Nasional

Penurunan harga minyak sejak semester kedua 2014 dan berlangsung hingga saat ini, diproyeksikan akan menurunkan investasi eksplorasi dan produksi migas sekitar 20,3 % pada tahun 2016.Dari pantauan ReforMiner respon pemerintah Indonesia untuk hal tersebut adalah mendorong KKKS untuk melakukan efisiensi pengeluaran modal (capital expenditure) dan pengeluaran operasional (operational expenditure).Pemerintah juga mendorong KKKS untuk mengevaluasi ulang proyek-proyek yang keekonomiannya terpengaruh oleh harga minyak.

ReforMiner menilai struktur dan besaran cost recovery migas Indonesia akan menentukan bagaimana keberlanjutan industri hulu migas Indonesia pada kondisi harga minyak yang rendah.Berdasarkan informasi yang dihimpun, besaran cost recovery minyak bumi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir berkisar antara 24 USD – 32 USD per barel. Data yang ada juga menunjukkan bahwa rata-rata besaran cost recovery Indonesia masih lebih rendah dibandingkan realisasi harga minyak dunia pada periode yang sama.

Untuk cost recovery gas, tercatat lebih fluktuatif dibandingkan minyak. Selama empat tahun terakhir,cost recovery gas per MSCF tercatat mengalami dua kali peningkatan yaitu pada periode 2012 dan periode 2014.Pada tahun 2015 rata-rata cost recovery gas Indonesia adalah sekitar 2,25 USD per MSCF. Meski tercatat lebih fluktuatif dibandingkan minyak, rata-rata cost recovery gas Indonesia juga tercatat lebih rendah dibandingkan harga gas alam dipasar internasional

Berdasarkan penelusuran ReforMiner, terdapat beberapa KKKS yang memiliki besaran cost recovery diatas rata-rata cost recovery nasional dan di atas realisasi harga minyak dunia. Berdasarkan data,untuk tahun 2015 terdapat sekitar 16% KKKS yang memiliki besaran cost recovery berada pada kisaran atau lebih tinggi dari realisasi harga minyak dunia.Sementara untuk gas, terdapat sekitar 34% KKKS yang memiliki besaran cost recovery lebih besar dari harga gas dunia, khususnya harga gas dikawasan Amerika.

Meski sekitar 16 % dan 34 % KKKS tersebut memiliki cost recovery lebih besar dari realisasi harga minyak dan harga gas di pasar internasional, pencermatan ReforMiner menemukan sejumlah KKKS tersebut masih mampu bertahan sampai saat ini. Hal tersebut dikarenakan biaya variabel yang harus dikeluarkan oleh sejumlah KKKS tersebut masih lebih rendah dari harga output (minyak dan gas) yang mereka produksikan. Untuk tahun 2015 porsi biaya variabel yang dikeluarkan oleh KKKS yang beroperasi di Indonesia untuk memproduksikan minyak dan gas adalah sekitar 35 -50 % dari total cost recovery.

Berdasarkan Profil cost recovery ersebut, ReforMiner memproyeksikan industri hulu migas di Indoneisa- termasuk KKKS yang memiliki cost recovery yang lebih tinggi dari harga minyaj dan gas-, masih akan tetap dapat bertahan meskipun harga minyak terus menurun,bahkan ketika harga minyak menyentuh kisaran 25-30 USD per barel.

Pemerintah Jamin Tak Ada Kebuntuan

(www.kompas.com: 3 Februari 2016)

JAKARTA,  Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said menjamin tak ada kebuntuan dalam pemilihan model pengolahan gas Blok Masela, Maluku. Keputusan pemilihan model pengolahan gas, yaitu di lepas pantai atau di daratan, sepenuhnya di tangan Presiden Joko Widodo. Namun, lambannya keputusan terkait dengan Blok Masela dikhawatirkan menjadi preseden buruk bagi iklim investasi di Indonesia.

“Saya tidak melihat ada potensi deadlock (kebuntuan) dalam masalah ini. Tugas saya meyakinkan bahwa proses ini berjalan baik,” kata Sudirman, Selasa (2/2), di Jakarta.

Tender pengelolaan Blok Masela dimenangi Inpex Corporation (Jepang) dan Shell (Belanda) pada 1998. Inpex bertindak sebagai operator dengan kepemilikan saham 65 persen dan Shell 35 persen. Mereka mengajukan model pengolahan gas di atas laut dengan model kilang gas alam cair terapung (floating LNG).

Polemik soal pengolahan gas Blok Masela mencuat setelah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli menyatakan bahwa pengolahan gas Blok Masela lebih tepat dilakukan dengan model kilang gas di darat. Keputusan model pengolahan gas Blok Masela diserahkan ke Presiden sembari meminta masukan dari semua pihak, termasuk investor.

“Saya akan menghormati keputusan Presiden. Dalam waktu dekat, akan ada pertemuan dengan investor (Inpex dan Shell). Semoga dalam satu-dua bulan keputusan bisa difinalkan,” ujar Sudirman.

Pengamat energi dari Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, berlarut-larutnya pengambilan keputusan mengenai Blok Masela menciptakan situasi kurang kondusif bagi iklim investasi di Indonesia. Namun, investor perlu menyadari bahwa realitas sosial, ekonomi, dan politik terkait Blok Masela sangat sensitif.

“Investor memang harus bersabar. Mereka juga harus menyadari bahwa pemerintah segera memutuskan masalah ini setelah seluruh kajian secara lengkap sudah ada,” ujar Pri Agung.

Pri Agung juga sepakat dengan keputusan pemerintah yang membuat kajian lengkap mengenai model pengolahan gas Blok Masela. Dengan cara itu, keputusan yang diambil dapat benar-benar dipertanggungjawabkan dari segala aspek.

Menurut kajian Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), investasi yang dibutuhkan jika gas diolah dengan fasilitas LNG terapung sebesar 14,8 miliar dollar AS. Kebutuhan ini lebih murah daripada mengolah di darat yang diperkirakan memerlukan dana 19,3 miliar dollar AS.

Mengutip data SKK Migas, cadangan gas Blok Masela sebanyak 10,73 triliun kaki kubik dan kondensat sebanyak 24.460 barrel per hari.

Sebelumnya, setelah rapat terbatas tentang Blok Masela di Kantor Presiden, Senin (1/2), Sekretaris Kabinet Pramono Anung menjelaskan, memang masih terdapat perbedaan dalam soal pilihan lokasi pengolahan Blok Masela. Hal ini antara lain terkait dengan biaya pemulihan, pendapatan negara, hingga efek ekonomi berganda bagi masyarakat sekitar jika dibangun di darat.

 

Pemerintah Akan Bentuk PLN Khusus EBT

(Media Indonesia: Senin 2 Februari 2016)

Upaya pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan energi dengan mengembangkan energi baru dan terbarukan (EBT) terus didengungkan. Realitas menipisnya potensi energi fosil di Tanah Air dan orientasi pelestarian lingkungan hingga niat untuk berhemat yang mendasari pengembangan EBT belum banyak tecermin dalam kebijakan negara.

Pengembangan energi panas bumi, misalnya, masih relatif stagnan, kata Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro di Jakarta, Kamis (28/1).

Hal itu merujuk pada data kapasitas terpasang listrik panas bumi sampai saat ini berkisar 1.343 megawatt (MW). Peningkatannya hanya 154 MW dari kapasitas di 2009 yang mencapai 1.189 MW. Ironisnya, produktivitas listrik dari pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) hanya 573 MW. Artinya, sebagian besar kapasi tas tidak berjalan.

Kapasitas terpasang panas bumi nasional baru 4,65% dari total potensi 28.910 MW, imbuhnya.

Lebih jauh dia mengungkapkan penyebab lambannya pengembangan energi panas bumi ialah kebijakan harga jual listrik panas bumi yang kerap kali tidak memperoleh titik temu. Khususnya antara pengembang, baik swasta (IPP) maupun BUMN, dan pembeli, yakni PT PLN (persero). Padahal, dari beberapa regulasi yang dikeluarkan pemerintah, harga listrik panas bumi terbilang kompetitif.

Setidaknya jika dibandingkan dengan listrik dari energi fosil. Sebagai perbandingan, biaya bahan bakar penyediaan listrik setiap jenis energi pada 2015, yakni jenis BBM sekitar Rp1.912 per Kwh, gas alam Rp920/Kwh, batu bara Rp367/Kwh, dan panas bumi Rp696/Kwh.

Dari produksi listrik 2015 yang mencapai 239.504,98 gigawatt hour (GWh), komposisi produksi masih didominasi BBM (26.345,55 GWh), gas alam (64.666,34 GWh), dan batu bara (117.357,44 GWh). Sementara itu, produksi dari PLTP menduduki urutan terbawah, 11.975 GWh.

Jika produksi listrik dari BBM dikonversi ke listrik panas bumi, ada penghematan Rp32 triliun. Kalau dari gas dikonversi ke panas bumi, penghematannya bisa Rp 14 triliun, tandas Komaidi. Di sisi lain, pemerintah menambah wacana membentuk badan usaha khusus yang menangani listrik EBT.

Nantinya PLN khusus EBT itu bertugas membeli listrik EBT dan mendistribusikan ke masyarakat.

Targetnya, Februari sudah ada kejelasan dengan menjadi anak usaha PLN agar cepat jalan. Yang pasti harus ada kesepakatan yang dituangkan dalam peraturan, terang anggota Unit Pelaksana Program Pembangunan Ketenagalistrikan Nasional (UP3KN) Kementerian ESDM Agung Wicaksono, Minggu (31/1).

Namun, pihaknya masih mengkaji level regulasi itu dalam bentuk peraturan presiden, peraturan pemerintah atau cukup dengan peraturan menteri.

PLN khusus itu ditujukan untuk menyokong bauran energi nasional dari EBT dalam megaproyek ketenagalistrikan 35 ribu MW. Dalam megaproyek itu, porsi EBT 8.750 MW yang berasal dari energi panas bumi, tenaga surya, biomassa, dan air. Beleid baru itu menjadi amunisi dan mempercepat eksekusi di daerah, pungkasnya.