Momen Tepat Kurangi Subsidi Solar

Masih ada ruang untuk itu (pencabutan subsidi untuk solar)

Kompas: Senin, 14 Maret 2016

JAKARTA, KOMPAS  Pencabutan subsidi bahan bakar minyak jenis solar sebesar Rp 1.000 per liter bisa menjadi alternatif pembiayaan di tengah rendahnya harga minyak dunia saat ini. Dalam APBN 2016, besaran subsidi solar ditetapkan Rp 16 triliun. Dengan kecenderungan harga minyak dunia kurang dari 40 dollar AS per barrel, saat ini dipandang sebagai momentum tepat mengurangi subsidi.

Pengamat energi dari Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, berpendapat, saat ini pemerintah sebaiknya mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM) pada solar sebesar Rp 1.000 per liter. Subsidi solar dapat dicabut tanpa menaikkan harga solar. Saat ini, solar bersubsidi dijual Rp 5.650 per liter.

“Dalam kurun tiga bulan pertama 2016, harga minyak di bawah 40 dollar AS per barrel. Padahal, pemberian subsidi solar sudah terjadi sejak harga minyak di kisaran 60 dollar AS per barrel sampai 70 dollar AS per barrel pada awal 2015,” kata Pri Agung, Minggu (13/3), di Jakarta.

Pri Agung menambahkan, rendahnya harga minyak dunia saat ini memberi peluang bagi pemerintah dan DPR mengambil kebijakan yang bermanfaat untuk perekonomian nasional, khususnya dalam APBN. Pencabutan pemberian subsidi solar Rp 16 triliun pada 2016 sangat berarti di tengah penerimaan negara yang tak tercapai.

“Lagi pula, harga BBM dievaluasi setiap tiga bulan sekali. Artinya, masih ada ruang untuk itu (pencabutan subsidi untuk solar),” ujar Pri Agung.

Anggota Kornisi VII DPR dari Partai Golkar, Satya Widya Yudha, mengatakan, pihaknya tak mempersoalkan pencabutan subsidi solar. Menurut dia, rakyat masih bisa membeli solar dengan harga murah kendati subsidi dicabut.

“Anggaran untuk subsidi solar bisa dialihkan untuk pembiayaan dana ketahanan energi atau sektor lain,” ujar Satya.

Menurut Satya:, jika subsidi solar dicabut, hal itu bukan berarti harga BBM diserahkan pada mekanisme pasar. Itu karena pemerintah masih campur tangan dengan mekanisme evaluasi harga BBM tiga bulan sekali. “Wacana ini bisa berkembang dalam pembahasan APBN Perubahan 2016. Pemerintah bisa mengusulkan (pencabutan subsidi solar),” ujarnya.

Dalam pertemuan dengan jajaran pengurus Kamar Dagang dan Industri Indonesia pekan lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, mengatakan, kajian harga BBM akan dimulai akhir bulan ini. Pemerintah memutuskan, evaluasi harga BBM dilakukan tiga bulan sekali.

Harga BBM terbaru, terutama jenis solar dan premium, ditetapkan 5 Januari 2016. Premium dijual Rp 7.050 per liter untuk wilayah luar Jawa dan Bali, sedangkan di Jawa dan Bali dijual Rp 7.150 per liter. Solar bersubsidi dijual Rp 5.650 per liter.

“Kajian harga BBM akan dilakukan akhir bulan ini, terakhir kali pada Januari lalu. Kami akan sesuaikan. Tetapi, kami tak ingin sering naik-turun (harga BBM) karena akan menyulitkan perencanaan,” kata Sudirman.

Harga minyak mentah yang masih rendah, di bawah 40 dollar AS per barrel, juga jadi salah satu alasan pemerintah mengajukan perubahan APBN 2016. Dalam APBN 2016, pemerintah menetapkan harga minyak Indonesia (ICP) 50 dollar AS per barrel. Pemerintah berencana menyesuaikan penetapan ICP tersebut dengan melihat perkembangan harga minyak dunia.

 

Prospek Harga Minyak
PRI AGUNG RAKHMANTO,

Dosen Ftke Universitas Trisakti; Pendiri Reforminer Institute

KOMPAS: 11 Maret 2016

Ada sementara pandangan yang mengatakan bahwa harga minyak tak bisa diprediksi dan oleh karena itu tak perlu bersusah payah melakukan kajian dan analisis mendalam terhadapnya. Banyak pula yang mengatakan biarkan saja karena harga minyak tak lebih dari sekadar siklus. Jika sekarang turun, tinggal ditunggu saja saat kenaikannya.

Pandangan semacam itu sebenarnya wajar dan sah-sah saja. Namun, untuk tingkat pemerintahan suatu negara, saya berpendapat tidak selayaknya para pengambil kebijakan dan penyelenggara pemerintahannya hanya pasif saja dalam melihat fenomena pergerakan harga minyak yang ada. Kejelian dan ketepatan dalam membaca arah pergerakan harga minyak akan sangat membantu di dalam merumuskan kebijakan maupun dalam memutuskan langkah apa yang perlu dilakukan. Termasuk di dalam menyiapkan langkah antisipasi seandainya prediksi yang dilakukan tidak cukup tepat.

Dalam konteks pergerakan harga minyak tahun 2016, saya melihat pemerintah dan DPR sebenarnya memiliki peluang untuk dapat mengambil kebijakan yang lebih progresif dan dapat memberikan manfaat lebih bagi perekonomian. Mencermati perkembangan harga dan faktor yang memengaruhinya hingga kini, saya memprediksi rata-rata harga minyak sepanjang 2016 akan lebih berpeluang tetap berada pada kisaran rendah, di bawah 40 dollar AS per barrel.

Pasar minyak dunia pada 2016 masih akan tetap mengalami kelebihan pasokan, sekitar 1 juta barrel per hari (menurun dari 2 juta barrel per hari pada 2015). Akan mulai ada pengurangan produksi di negara non-OPEC, seperti AS, tetapi skalanya tidak signifikan, di bawah 1 juta barrel per hari. Sementara produsen utama yang lain, seperti OPEC dan Rusia, masih akan tetap mempertahankan tingkat produksinya saat ini. Iran berpotensi menambah produksi OPEC hingga 600.000 barrel per hari. Di sisi permintaan, pertumbuhan permintaan sepanjang 2016 kemungkinan akan menurun, dari kisaran 1,54 juta barrel menjadi 1,25 juta barrel per hari.

Persediaan minyak di seluruh dunia diperkirakan akan melambat pada semester II-2016. Namun, akumulasi persediaan masih tetap akan tinggi, di atas 5 miliar barrel, sebagai hasil akumulasi penimbunan persediaan yang dilakukan banyak negara sepanjang 2015. Jumlah ini sangat lebih dari cukup untuk berfungsi sebagai stabilisator  harga minyak dunia untuk jangka pendek. Dengan demikian, jika tak ada kejadian luar biasa yang dapat menimbulkan guncangan pasokan, seperti perang atau konflik geopolitik skala besar di negara-negara produsen, kecil kemungkinan harga akan melonjak signifikan pada 2016. Sentimen positif yang dapat memicu lonjakan permintaan dan harga, seperti halnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang tinggi pada 2008, juga kecil kemungkinannya untuk terjadi pada tahun ini.

Maka, pemerintah dan DPR sebenarnya saat ini memiliki peluang untuk menghemat APBN 2016 sekitar Rp 16 triliun dengan mencabut subsidi solar yang selama ini ditetapkan konstan Rp 1.000 per liter. Subsidi solar dicabut, tetapi harga tetap tidak berubah di kisaran Rp 5.000-Rp 6.000 per liter. Sementara, harga premium yang saat ini Rp 6.950 per liter dan sudah tidak lagi disubsidi dapat diturunkan lagi.

Beberapa kalangan, terutama yang lebih mendasarkan pandangannya bahwa harga minyak tak lebih sekadar siklus, memprediksi bahwa harga akan mulai membaik, di atas 50 dollar AS per barrel pada 2017 dan akan meningkat lagi sesudahnya. Saya melihatnya sedikit berbeda. Benar bahwa fenomena turun dan rendahnya harga minyak saat ini adalah bagian dari siklus, tetapi ini siklus yang lebih dipicu faktor (kelebihan) pasokan, dan bukan permintaan. Untuk pasar minyak, sisi pasokan lebih langsung berhubungan dengan faktor produksi hulu yang dalam penyesuaiannya memerlukan waktu.

Di sisi permintaan, jika pun ada penurunan permintaan karena tekanan ekonomi, waktu penyesuaiannya akan lebih singkat karena minyak bagaimanapun (masih) merupakan sumber energi primer utama yang dibutuhkan banyak negara di dunia. Dengan kata lain, untuk pasar minyak, siklus yang disebabkan oleh faktor pasokan biasanya cenderung akan bertahan lebih lama dibandingkan yang dipicu oleh faktor permintaan.

Setelah 2016

Lonjakan harga signifikan yang terjadi pada 2008, hingga mencapai 147 dollar AS per barrel, tidak bertahan lama dan turun hingga di bawah 40 dollar AS per barrel pada 2009, karena lebih dipicu oleh sentimen kenaikan permintaan akibat tingginya pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Kondisi itu berbeda dengan periode 2009 sampai pertengahan 2014, di mana harga cenderung bertahan tinggi untuk saat yang lebih lama karena hal itu lebih dipicu oleh faktor pasokan. Bahkan, faktor pasokan pun saat itu sebenarnya tak terlalu fundamental yaitu lebih didasari persepsi negatif bahwa akan terjadi kelangkaan pasokan akibat adanya konflik di beberapa negara Timur Tengah, seperti Mesir, Libya, dan Suriah.

Siklus harga rendah lama, dengan fluktuasi di dalamnya, terjadi pada periode 1986-2000, awalnya dipicu oleh bertambahnya pasokan dari Arab Saudi yang berusaha mendapatkan pangsa pasarnya kembali pada 1986, ditambah dengan bertambahnya pasokan dari Iran dan Irak pasca perang 1988. Harga semakin rendah karena permintaan minyak dunia menurun seiring terjadinya krisis ekonomi di sejumlah negara, termasuk Indonesia, pada 1997-1998. Namun, penurunan harga lebih rendah yang terjadi pada 1998-2000 ini, karena lebih dipicu oleh faktor (turunnya) permintaan, juga lebih cepat kembali. Harga mulai membaik dan terus meningkat sejak 2001.

Yang terjadi saat ini, siklus harga rendah disebabkan faktor (berlebihnya) pasokan yang jauh lebih fundamental. Revolusi teknologi perminyakan yaitu perekahan batuan (fracking)shale yang telah berhasil melipatgandakan produksi minyak mentah AS dari  hanya  5 juta barrel per hari pada 2005 menjadi di atas 9 juta barrel per hari saat ini tidak hanya akan mengubah kondisi pasokan pasar minyak dunia untuk saat ini, tetapi juga 10-20 tahun mendatang. Konstelasi pasar minyak global, terutama dari sisi pasokan, akan berubah.

Cadangan shale oil di AS yang secara teknis dapat diproduksikan (technically recoverable) disebut mencapai 400 miliar barrel. Angka ini hampir dua kali lipat cadangan minyak terbukti Arab Saudi yang saat ini 260 miliar barrel. Padahal, potensi shale oil dalam skala besar tak hanya terdapat di AS, tetapi juga Rusia, Tiongkok, Jordania, Brasil, Maroko, Australia, dan Kanada (Indonesia juga, tetapi sifatnya masih indikatif). Produksi shale oil di AS terbukti dapat bertahan, tidak hanya pada tingkat harga 60 dollar AS per barrel, tetapi juga di bawah 40 dollar AS per barrel seperti saat ini.

AS per barrel, tetapi melihat perkembangan faktor-faktor yang memengaruhinya saat ini, saya memperkirakan harga pun belum akan membaik secara signifikan setelah 2016. Hingga 2019 pun kecenderungan harga sedikit membaik, tetapi masih tetap berada di kisaran rendah di bawah 60 dollar AS per barrel, secara fundamental lebih berpeluang terjadi. Tak ada salahnya bagi pemerintah dan DPR untuk mengantisipasi dan mengambil langkah kebijakan yang lebih sesuai.

Distribusi Rasio Elektrifikasi Tahun 2015

listrik 5

Pasokan Berkurang, Harga Minyak Dunia Menuju US$ 40

KATADATA; Senin, 7 Maret 2016 | 18:43 WIB

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro melihat, kenaikan harga minyak yang terjadi saatini bersifat sementara. “Penguatan itu hanya harian, jangka pendek.”

KATADATA – Setelah sempat terpuruk dalam pada medio Februari lalu, harga minyak dunia terus merangkak naik pada awal bulan ini hingga mendekati level US$ 40 per barel. Menggeliatnya harga minyak tersebut didukung oleh dua faktor.

Pada Senin ini (7/3), harga kontrak berjangka minyak mentah Brent mencapai US$ 39,2 per barel atau naik hampir satu persen dari akhir pekan lalu. Harga ini lebih tinggi sekitar 33 persen dibandingkan pertengahan Februari lalu, ketika harga minyak berada di posisi terendah sejak 2003 silam. Sementara itu, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$ 36,4 per barel, atau naik 44 sen dolar Amerika Serikat (AS) dari Jumat pekan lalu.

Kenaikan harga minyak belakangan ini terkait dengan berkurangnya pasokan minyak di pasar. Analis ANZ Bank melihat para produsen minyak serpih di AS menghentikan produksi untuk mengamankan investasinya. Selama 11 pekan berturut-turut, mereka telah mamangkas jumlah kilang minyak yang dioperasikan lantaran anjloknya harga minyak.

Contohnya, perusahaan jasa pengeboran minyak, Baker Hughes, menarik delapan rig minyak pada 4 Maret lalu. Jadi, jumlah rig yang tersisa sebanyak 392 unit. Para produsen memilih fokus pada sumur yang belum selesai digarap, di tengah melemahnya harga minyak,” kata ANZ Bank, seperti dikutip dari Reuters.

Kondisi seretnya pasokan minyak tersebut turut mempengaruhi sentimen para investor kontrak berjangka terhadap harga minyak di masa depan. Para pedagang minyak juga berhenti bertaruh bahwa harga minyak akan terus melorot. Alhasil, harga minyak perlahan-lahan mampu merangkak naik. Pasar kredit yang ketat akan mempersulit produsen gas shale di Amerika Serikat untuk membiayai kembali utang di masa depan. Kita juga akan melihat penurunan secara bertahap untuk produksi minyak Amerika Serikat pada 2016-2017, kata ANZ.

Faktor lain pendukung kenaikan harga minyak adalah mulai tumbuhnya optimisme terhadap perbaikan ekonomi dunia. Para pelaku pasar pun menjadi lebih percaya diri menghadapi pasokan yang berkurang sementara permintaan minyak mulai meningkat. Setidaknya ada empat negara, termasuk Rusia, Arab Saudi dan Iran, yang berkomitmen tidak akan mendongkrak produksinya agar tetap stagnan seperti periode Januari lalu. Menteri perminyakan Nigeria menyebut, para pejabat dari negara-negara produsen utama minyak dunia akan mengadakan pertemuan di Moskow, Rusia, pada 20 Maret nanti,  untuk membahas kesepakatan tersebut.

Di sisi lain, prospek permintaan minyak dunia menemui titik cerah. Februari lalu, jumlah pekerja AS di sektor nonpertanian meningkat sebesar 242 ribu orang. Dua bulan sebelumnya, jumlah tersebut meningkat 300 ribu orang. Kenaikan angka pekerja ini bisa menambah permintaan terhadap minyak karena peningkatan pengguna kendaraan yang bepergian ke tempat kerja.

Sementara itu, Perdana Menteri Cina Li Keqiang menetapkan target pertumbuhan Cina minimal 6,5 persen dalam lima tahun mendatang. Target tersebut menumbuhkan optimisme bahwa tren perlambatan ekonomi Cina bakal terhenti sehingga tidak mengganggu perekonomian global. Impor minyak Cina akan tetap kuat, karena produksi minyak mentah domestik turun dan permintaan minyak luar negeri dari kilang independen meningkat, kata Gao Jian, analis energi dari SCI International di Shandong, Cina, seperti dikutipWall Street Journal.

Namun, kenaikan harga minyak lebih lanjut masih menjadi tanda tanya. Pelaku pasar sedang menunggu data perdagangan Cina periode Februari 2016, yang akan dirilis Selasa besok (8/3). Sedangkan laporan mingguan persediaan dan produksi minyak mentah Amerika Serikat akan dikeluarkan Rabu nanti (9/3). Data ekonomi yang dirilis di Cina pada pekan ini, akan menentukan keberlanjutan pulihnya harga minyak, kata analis ANZ.

BMI Research, anak lembaga pemeringkat Fitch Group, memprediksi empat hingga enam pekan mendatang akan menentukan nasib harga minyak. Membengkaknya persediaan minyak mentah dan melemahnya permintaan musiman masih berpotensi menggerus harga minyak dunia.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro melihat, kenaikan harga minyak yang terjadi saat ini bersifat sementara. “Penguatan itu hanya harian, jangka pendek,” ujarnya kepada Katadata, Senin (7/3). Ia memprediksi harga minyak bisa kembali di bawah US$ 40 per barel dalam beberapa hari ke depan. Pasalnya, para pelaku pasar memang menginginkan kenaikan harga. “Kenaikan harga yang bersifat sementara ini biasanya diciptakan para pelaku pasar atau spekulan. Biasa, seperti di pasar saham.”

Padahal, secara fundamental, tidak ada alasan yang cukup kuat untuk kenaikan harga karena pasokan minyak masih berlebih. Ia menuturkan, jika ada keinginan memperkuat dan mempertahankan harga minyak, maka produksi harus dijaga. Namun, tentu saja negara-negara penghasil minyak seperti Arab, Iran, Amerika Serikat dan Brazil tidak mau menahan produksi. Apabila negara-negara tersebut menahan produksi, penerimaan negaranya akan berkurang. Selama langkah tersebut tidak dilakukan, harga minyak akan terus rendah sepanjang tahun ini.

Menurut Komaidi, ini saat yang tepat bagi pemerintah mengimpor minyak. Apalagi,  Presiden Joko Widodo sudah menginstruksikan pemanfaatan momentum rendahnya harga minyak untuk membentuk cadangan minyak nasional. Yang menjadi masalah, Indonesia tidak memiliki tempat penyimpanan yang memadai. Pembelian bisa dilakukan jika Indonesia memiliki storage di luar negeri.