Catatan Tentang Revisi PP 79/2010

Dalam beberapa waktu terakhir isu revisi PP 79 tahun 2010 atau PP Cost Recovery kembali muncul kepermukaan.  Berdasarkan pantauan, ketentuan yang menjadi fokus revisi diantaranya: (1) pasal 38 huruf b yang mengatur tentang delapan hal yang apabila belum diatur secara tegas dalam kontrak kerja sama sebelum PP ini diundangkan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam PP ini dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan. Kedelapan hal-hal tersebut diantaranya meliputi: besarnya bagian penerimaan Negara, persyaratan biaya operasi yang dapat dikembalikan dan biaya operasi yang tidak dapat dikembalikan; (2) pasal 30 yang mengatur kewenangan Ditjen Pajak untuk menentukan biaya pada tahapan eksplorasi; dan (3) sebagian dari pasal 12, terutama yang mengatur pembatasan biaya-biaya yang dapat dikurangkan dalam perhitungan pajak.

Terhadap revisi PP 79/2010 ini ReforMiner menilai ada beberapa catatan yang perlu menjadi perhatian yang diantaranya: (1) Jika dilihat lebih dalam, PP 79/2010 sebenarnya bukan merupakan peraturan pelaksana dari Undang-undang Migas 22/2001, tetapi merupakan peraturan pelaksana dari Pasal 31 D Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan. Oleh sebab itu, kewenangan untuk melakukan revisi terhadap PP 79/2010 tidak berada pada Kementerian ESDM, tetapi ada pada Kementerian Keuangan; dan (2) berkaitan dengan poin pertama, Kementerian Perekonomian terpantau telah membentuk tim kerja ad hoc lintas kementerian, yang khususnya melibatkan Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), untuk menyusun desain dasar untuk kebijakan pengeloaan hulu migas, yang dijadwalkan akan diselesaikan akhir tahun 2016 ini.

Dalam hubungannya dengan revisi PP 79/2010, ReforMiner melihat terdapat satu aspek fundamental yang kemungkinan akan menjadi faktor yang dapat memunculkan pandangan jika revisi tersebut tidak akan menyelesaikan persoalan, penyebabnya adalah ‘cacat’ di dalam Undang-Undang Migas 22/2001 di dalam pengaturan masalah perpajakan. Pasal 31 UU tersebut menetapkan bahwa di dalam masalah perpajakan, pengusahaan kegiatan hulu migas tetap tunduk dan mengikuti ketentuan perundangan perpajakan yang berlaku (asas lex specialis tidak berlaku).

Bagi institusi Kementerian Keuangan, PP 79/2010 adalah instrumen peraturan pemerintah untuk melaksanakan kebijakan perpajakan di hulu migas yang sudah tidak lagi memberlakukan asas lex specialis itu. Sehingga, tanpa adanya revisi terhadap UU Migas 22/2001, sulit untuk mengharapkan Kementerian Keuangan dan kementerian lainnya yang berada dalam lingkup perekonomian untuk mengubah pandangan, sikap, dan kebijakannya tentang perpajakan hulu migas, dan khususnya terhadap PP 79/2010, tersebut.