‘Gross Split’ Dianggap Bukan Solusi Polemik ‘Cost Recovery’

(Cnnindonesia,10 Desember 2016)

Jakarta,CNN IndonesiaA — Pemerhati sektor energi khawatir dengan rencana perubahan rezim kontrak bagi hasil produksi migas (Production Sharing Contract/PSC) dari sistem cost recovery menjadi gross split. Perubahan rezim kontrak itu dianggap sebagai jalan pintas bagi pemerintah untuk menghindari polemik biaya pemulihan produksi migas kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro menjelaskan, perubahan sistem PSC ini memang bisa mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam membayar cost recovery. Namun, bukan jaminan jika Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) migas akan terkerek dengan perubahan rezim tersebut.

Dengan tidak diterapkannya cost recovery, sistem PSC gross split ini berpotensi menghilangkan kewenangan pemerintah untuk mengaudit setiap KKKS. Sehingga, jumlah pasti produksi migas per KKKS bisa saja terdistorsi dan berat sebelah, serta berujung pada pelemahan PNBP migas.

“Kalau rezim PSC diubah, maka cadangan produksi migas menjadi taruhannya karena tidak ada audit yang bisa dilakukan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas). Kasarnya, kehadiran pemerintah di dalam kontrak migas sangat dipertanyakan,” jelas Komaidi dalam sebuah diskusi di Jakarta Pusat, Sabtu (10/12).

Kendati demikian, Komaidi menilai PSC gross split bisa menarik investor untuk melakukan eksplorasi mengingat sistemnya yang lebih mudah. Apalagi, skema ini rencananya hanya akan diterapkan bagi PSC baru dan perpanjangan saja.

Namun, Komaidi meminta pemerintah untuk mengkaji kembali untung rugi PSC tersebut. Alasannya, skema gross split bukanlah satu-satunya kebijakan yang mampu meningkatkan eksplorasi dan produksi migas. Terlebih, saat ini harga minyak dunia belum menunjukkan perbaikan.

“Kalau melihat data SKK Migas, sebanyak 35 persen hambatan dalam investasi hulu migas adalah aspek non teknis seperti perizinan, lahan, dan lain-lain. Mungkin pemerintah perlu membereskan ini dulu daripada mengubah sistem PSC. Sistem kontrak ini jangan dibuat seolah-olah untuk membereskan cost recovery saja,” jelas Komaidi.

Ketua Bidang Energi Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi, Tumpak Sitorus juga mengatakan hal serupa. Dengan memberlakukan PSC gross split, pemerintah hanya dianggap putus asa dalam mengatasi kebocoran cost recovery setiap tahunnya tanpa memikirkan aspek lain.

Salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan pemerintah, kata Tumpak, adalah potensi penurunan PNBP migas karena bagi hasil produksi (split) pemerintah bisa turun dari posisi saat ini 85 persen dari produksi netto.

“Kami mendukung segala kebijakan Presiden Jokowi, tapi kami juga tetap kritis. Memang penyelesaian cost recovery tidak pernah diselesaikan secara baik-baik. Tapi, ada baiknya pemerintah menimbang dulu skema PSC tersebut,” ujar Tumpak.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana mengganti sistem PSC dari basis cost recovery menjadi gross split. Gross split sendiri adalah skema bagi hasil produksi migas, di mana split antara pemerintah dan KKKS dilakukan tepat setelah produksi migas bruto dihasilkan.

Sistem ini berbeda dengan PSC cost recovery, di mana split antara pemerintah dan KKKS akan dilakukan setelah produksi bruto dikurangi produksi tertentu dari sebuah blok migas (First Tranche Petroleum/FTP) dan pemulihan biaya produksi migas yang dikeluarkan KKKS (cost recovery).

Belakangan,cost recovery menjadi perdebatan antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena jumlahnya jauh lebih besar dibanding PNBP migas. Ini terlihat dari realisasi cost recovery pada tahun 2015 yang tercatat US$13,9 miliar, atau lebih tinggi dibanding PNBP migas sebesar US$12,86 miliar.

Selain itu, pemerintah menganggarkan cost recovery sebesar US$8,5 miliar pada tahun ini dan masuk di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Penyesuaian (APBNP) 2016. Angka ini kemudian meningkat US$10,4 miliar di tahun 2017 mendatang.

Kebijakan Pengelolaan Blok Migas Habis Masa Kontrak (Permen ESDM No.30 2016)

info-7

Pemerintah Upayakan Harga Gas Blok Masela di Bawah US$ 6

Katadata, 8 Desember 2016

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berusaha agar harga gas dari Blok Masela dijual di bawah US$ 6 per mmbtu. Sebab, sebagian gas dari blok tersebut rencananya akan diserap oleh industri dalam negeri untuk meningkatkan perekonomian.

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, pengembangan Lapangan Abadi di Blok Masela saat ini masih dalam pembahasan. “Harga gas di Masela kami tentukan nanti kalau bisa di bawah US$ 6 per mmbtu, kata dia di Jakarta, Kamis (8/12).

Selain itu, menurut Arcandra, penentuan harga gas bumi di suatu lapangan akan mengikuti harga minyak. Jadi ketika harga minyak naik, harga gas juga naik. Begitu juga sebaliknya. Sedangkan Kementerian ESDM akan mengevaluasi formula harga itu setiap tahun.

Arcandra juga telah menyetujui sebagian alokasi gas Blok Masela untuk industri dalam negeri. Ketiga industri ini merupakan usulan dari Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto. Berdasarkan informasi yang diperolehKatadata, Airlangga mengusulkan tiga perusahaan yakni Pupuk Indonesia dengan alokasi 240 mmbtu, Elsoro Multi Prima/Sojitz sebanyak 100 mmbtu, dan Kaltim Metanol Industri (KMI) sebesar 130 mmbtu.

Di sisi lain, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 40 Tahun 2016 tentang harga gas bumi untuk industri tertentu. Dalam aturan ini, pemerintah menurunkan harga gas untuk industri petrokimia, pupuk, dan baja di bawah US$ 6 per mmbtu.

Sementara itu, Inpex Corporation selaku operator Blok Masela belum mau menanggapi hal tersebut. Vice President Corporate Services Inpex Corporation Nico Muhyiddin tidak menjawab pertanyaanKatadatamelalui aplikasiWhatsAppterkait keekonomian blok tersebut jika harga gas untuk industri ditetapkan US$ 6 per mmbtu.

Dewan Penasehat Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto malah mempertanyakan pernyataan Arcandra. Penetapan harga gas Blok Masela terlalu dini, apalagi harga minyak bergerak fluktuatif.

“Kok bisa-bisanya bilang harga Masela mau bikin US$ 6 per mmbtu, orang masih lama dan belum tahu pasti skemanya apa dan penggunanya siapa,” kata dia kepadaKatadata, Kamis (8/12).

Proyeksi Penerimaan Negara Dari Sektor ESDM 2017

Screenshot 11

Realisasi Implementasi Penurunan Harga Gas
Kompas, 7 Desember 2016
Pri Agung Rakhmanto;
Dosen FTKE Universitas Trisakti; Pendiri Reforminer Institute

Penurunan harga gas domestik untuk industri nasional merupakan bagian dari Paket Kebijakan Ekonomi Jilid III yang telah diluncurkan sejak Oktober 2015, dengan fokus utama untuk meningkatkan daya saing industri nasional.

Sejak digulirkan, tercatat tak kurang sudah empat peraturan diterbitkan untuk mengimplementasikan kebijakan penurunan harga gas itu. Yakni: (1) Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 37 Tahun 2015 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan serta Harga Gas Bumi, (2) Peraturan Presiden (Perpres) No 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi, (3) Permen ESDM No 06 Tahun 2016 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan serta Harga Gas Bumi, dan (4) Permen ESDM No 16 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Harga dan Pengguna Gas Bumi Tertentu.

Pada Oktober 2016, Presiden Jokowi juga telah menginstruksikan kembali agar pada akhir 2016 harga gas domestik untuk industri dapat diturunkan hingga kisaran 5-6 dollar AS/MMBTU atau lebih rendah.

Hingga tulisan ini dibuat, penurunan harga sebagaimana diinstruksikan Presiden belum terealisasi. Ada beberapa penyebab mengapa implementasi kebijakan penurunan harga gas untuk industri tak dapat secara serta-merta direalisasikan meskipun beberapa peraturan yang mengaturnya telah diterbitkan.

Pertama, karena penurunan harga gas bumi baru dapat diterapkan setelah dilakukan penyesuaian harga gas yang sudah berlaku di industri, baik harga gas bumi yang dibeli secara langsung melalui kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) maupun dibeli melalui badan usaha pemegang izin usaha niaga gas bumi. Dalam hal ini, parameter yang menjadi kunci utama adalah parameter keekonomian yang harus disepakati bersama, baik oleh penjual maupun pembeli. Adalah tidak sederhana untuk mencapai kesepakatan harga baru berdasarkan parameter keekonomian yang sesuai kepentingan dari sisi penjual dan pembeli pada saat yang bersamaan di tengah kondisi perekonomian yang bergerak sangat dinamis seperti saat ini.

Kedua, karena langkah operasional untuk menerapkan kebijakan penurunan harga juga memerlukan prosedur birokrasi dan tata cara tertentu yang bukan hanya tidak sederhana, melainkan juga butuh waktu yang tidak sebentar. Berdasarkan peraturan terakhir Kementerian ESDM, yaitu Permen ESDM No 16/2016, terdapat beberapa ketentuan yang mengatur tentang prosedur untuk menerapkan kebijakan penurunan harga gas yang cukup birokratis.

Verifikasi dan penetapan harga

Dalam Pasal 4 Permen ESDM No 16/2016 disebutkan bahwa untuk mendapatkan harga gas bumi tertentu, pengguna gas bumi tertentu mengajukan permohonan penetapan harga gas bumi tertentu kepada menteri melalui dirjen. Yang dimaksud harga gas bumi tertentu dan pengguna gas bumi tertentu dalam hal ini adalah harga gas bumi untuk tujuh sektor industri pengguna gas tertentu yang menjadi target kebijakan penurunan harga gas tersebut.

Ketujuh industri adalah industri pupuk, petrokimia,A�oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. Menteri dan dirjen yang dimaksud adalah menteri ESDM dan dirjen migas. Jadi, berdasarkan ketentuan Pasal 4 Permen ESDM No 16 Tahun 2016 harus ada permohonan yang diajukan terlebih dulu dari industri pengguna gas untuk mendapatkan penetapan harga gas tertentu.

Selanjutnya, dalam Pasal 5 disebutkan bahwa dirjen melakukan verifikasi terhadap permohonan penetapan harga gas bumi tersebut. Verifikasi dilakukan terhadap harga beli gas di titik serah KKKS, jenis industri, dan sisa besaran penerimaan negara. Di dalam pelaksanaan verifikasi tersebut, dirjen membentukTim Penilai Permohonan Penetapan Harga Gas Bumi Tertentu.

Tim inilah yang akan melakukan verifikasi terhadap permohonan penetapan harga gas yang diajukan pengguna gas dengan memperhatikan perhitungan penerimaan negara yang dikeluarkan kepala SKK Migas.

Berdasarkan hasil verifikasi inilah, dirjen Migas atas nama menteri ESDM menerima atau menolak permohonan penetapan harga gas yang diajukan. Perlu digarisbawahi, berkaitan dengan perhitungan penerimaan negara (harga gas di hulu), dalam peraturan ini, yaitu pada Pasal 9 Ayat 2 diatur bahwa perhitungan penerimaan negara dilakukan dengan penetapan harga gas bumi paling rendah 6 dollar AS/MMBTU dengan pengurangan tak lebih dari 2 dollar AS/MMBTU.

Dengan kata lain, ketentuan ini belum sejalan dengan keinginan ataupun instruksi Presiden Jokowi yang menginginkan harga gas di pengguna akhir (industri/hilir) di kisaran 5-6 dollar AS/MMBTU atau lebih rendah.

Ketiga, di samping prosedur dan birokrasi pelaksanaan di tingkat operasionalnya yang tak sederhana, di tingkatan yang lebih tinggi kebijakan ini juga melibatkan dan memerlukan koordinasi lintas sektoral/kementerian lembaga pemerintah dan para pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda.

Setidaknya ada lima kementerian/lembaga pemerintah dan empat pemangku kepentingan lain dari kalangan pelaku bisnis yang berkepentingan dan akan terlibat langsung dalam penerapan kebijakan ini: (1) Kementerian ESDM cq sekjen, (2) Ditjen Migas Kementerian ESDM, (3) SKK Migas, (4) Kementerian Perindustrian, (5) Kementerian Keuangan, (6) KKKS, (7) industri penyedia transmisi dan distribusi gas, (8) pemegang izin niaga gas, (9) industri akhir pengguna gas.

Jadi, realisasi dari implementasi kebijakan penurunan harga tampaknya masih memerlukan waktu lagi. Kementerian ESDM masih perlu kembali merevisi ataupun memperbarui peraturan yang ada. Para pihak yang terlibat dan berkepentingan pun masih perlu waktu lagi untuk mencapai kesepakatan yang dapat mempertemukan dan menjembatani kepentingan semua pihak.

Komitmen Pengembangan Panas Bumi RI
Bisnisindonesia, 5 Desember 2016
Komaidi Notonegoro: Direktur Eksekutif ReforMiner Institute

Pada pembukaan The 4th Indonesia EBTKE ConEx dan The 3rd Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition (IIGCE) 19 Agustus 2015, Presiden Jokowi menyampaikan pemerintah akan memberikan perhatian khusus pada pengembangan industri panas bumi. Dengan mengetahui potensi panas bumi Indonesia yang sangat besara��29.000 MW atau sekitar 40% cadangan dunia, saat itu presiden mewacanakan akan membentuk BUMN khusus untuk mengurusi pengembangan panas bumi.

Pernyataan presiden itu memberikan ekspektasi positif bagi industri panas bumi Indonesia yang selama ini perkembangannya relatif stagnan. Pada 2009, kapasitas terpasang listrik panas bumi Indonesia 1.189 MW. Sampai dengan pertengahan 2016 kapasitas terpasang listrik panas bumi RI sebesar 1.493,5 MW atau hanya bertambah 43,5 MW setiap tahunnya.

Target dan indikator yang ditetapkan pemerintahan Jokowi-JK terkait dengan pengembangan panas bumi, berpotensi memberikan harapan lebih baik bagi pelaku industri. Kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi (PLTP) pada 2025 ditargetkan mencapai 7.200 MW atau bertambah sekitar 635 MW setiap tahun. Komitmen Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca sampai 41% pada 2020 juga berpotensi memberikan dampak positif bagi industri panas bumi.

Realisasi pengembangan panas bumi RI relatif tertinggal dibandingkan sejumlah negara seperti Filipina, Amerika Serikat, New Zealand, dan Jepang. Saat ini kapasitas terpasang PLTP di Filipina mencapai 74% dari total potensi panas bumi negara tersebut. Kapasitas terpasang PLTP AS sekitar 56% dari total potensi. Kapasitas terpasang PLTP New Zealand dan Jepang sekitar 27% dari potensi panas buminya. Adapun kapasitas terpasang PLTP Indonesia baru 4%a��5 % dari total potensi.

Filipina merupakan salah satu negara yang cukup progresif dalam pengembangan panas bumi. Pada 2015, kapasitas terpasang PLTP Filipina dilaporkan sekitar 12% dari total kapaitas listrik negara itu. Porsi produksi listrik Filipina yang dihasilkan dari PLTP sekitar 16% dari total produksi listrik negara tersebut.

Pengembangan panas bumi Filipina yang progresif merupakan implementasi dari komitmen pemerintah. Dalam upaya mengembangkan panas bumi, Pemerintah Filipina memberikan sejumlah insentif yang diantaranya: (1) memberikanA�tax holidayA�selama tujuh tahun pertama dalam pengembangan panas bumi dan membebaskan pajak kredit karbon; (2) menetapkan tarif PPN dalam pengembangan panas bumi sebesar 0%; (3) membebaskan pajak impor yang terkait pengembangan panas bumi selama 10 tahun pertama; (4) memberikan 100% kredit pajak atas penggunaan barang dan jasa domestik dalam pengembangan panas bumi; (5) menatapkanA�corporate tax rateA�10% setelah masa 7 tahunA�tax holidayA�selesai; dan (6) hanya mengenakan 1,5% pajak atas peralatan dan mesin yang digunakan untuk pengembangan panas bumi.

Dalam pengembangan panas bumi, antara komitmen dan kepentingan bisnis pelaku usaha sering tidak sejalan. Karena itu dalam contoh kasus di atas, Pemerintah Filipina melakukan berbagai intervensi agar pengembangan panas bumi di negara mereka dapat berjalan dan tetap memenuhi nilai keekonomian.

Untuk beberapa aspek, komitmen Indonesia dalam pengembangan panas bumi relatif belum disertai langkah konkret seperti Filipina. Masalah pengembangan panas bumi RI dari tahun ke tahun relatif sama, sulit mencapai kesepakatan harga jual uap dan tenaga listrik panas bumi itu sendiri. Pemerintah kemudian mengeluarkan sejumlah regulasi a�� salah satunya Permen ESDM No. 17/2014 a�� tentang harga patokan listrik panas bumi dan penugasan kepada PLN untuk membeli listrik dari panas bumi.

BerdasarkanA�review, penetapan harga patokan dan penugasan itu sering tidak sejalan dengan kepentingan bisnis PLN sebagai penerima tugas. Dalam beberapa kasus harga patokan yang ditetapkan pemerintah dinilai ketinggian oleh PLN. Kebijakan harga ini kemudian dalam beberapa kasus menjadi dasar PLN tidak bersedia membeli uap dan/atau listrik yang diproduksikan oleh pengembang panas bumi. Dengan harga yang kemahalan, pembelian listrik panas bumi dinilai tidak sejalan dengan upaya PLN menurunkan BPP tenaga listrik.

Dari sudut pandang bisnis, sikap PLN yang lebih memilih memproduksikan dan/atau membeli listrik yang lebih murah dibanding listrik panas bumi adalah logis dan dapat dimengerti. Akan tetapi, mengingat perannya sebagai pembeli tunggal (monopsoni), keputusan PLN untuk membeli atau tidak akan menentukan nasib industri panas bumi RI. Jika PLN tidak bersedia membeli, secara otomatis industri panas bumi Indonesia akan berhenti beroperasi.

PERLU INTERVENSI

Pengembangan panas bumi di sejumlah negara umumnya diintervensi oleh pemerintah negara yang bersangkutan. Hal ini karena jika diserahkan pada mekanisme pasar industri energi baru dan terbarukan, termasuk industri panas bumi akan sulit bersaing dengan energi fosil yang sudah lebih mapan. Kondisi pengembangan panas bumi Indonesia pada dasarnya relatif sama, akan sulit berkembang jika tidak diintervensi pemerintah.

Pengembangan panas bumi Indonesia tidak cukup dengan cara-cara yang dilakukan selama ini, hanya menetapkan harga patokan dan kemudian menugaskan PLN untuk membeli uap dan/atau listrik melalui mekanisme bisnis. Sebagai contoh, Permen ESDM No. 17/2014 yang menetapkan harga patokan listrik panas bumi tertinggi untuk wilayah I, II, dan III pada 2016 masing-masing 12,2 sen US$/kWh (Rp1.647/kWh), 17,6 sen US$/kWh (Rp2.376/kWh), dan 25,8 sen US$/kWh (Rp3.483/kWh), akan sulit direalisasikan pada kondisi saat ini. Harga listrik panas bumi itu akan kalah bersaing dengan harga listrik batu bara dan gas yang saat ini masing-masing di bawah Rp700/kWh dan Rp1.000/kWh.

Harga minyak yang rendah seperti saat ini merupakan ujian bagi komitmen pengembangan energi baru dan terbarukan, termasuk ujian bagi komitmen pemerintah Indonesia dalam mengembangkan panas bumi. Kuat atau lemahnya komitemen pemerintah salah satunya akan tercermin pada respon pemerintah dalam menyikapi polemik jual-beli uap dan/atau tenaga listrik panas bumi antara pengembang dan PLN. Karena pertimbangan bisnis, pada beberapa kasus PLN tidak dapat menyerap atau membeli seluruh uap/dan atau tenaga listrik yang diproduksikan pengembang panas bumi.

Pada kondisi inilah, pemerintah perlu mengambil peran seperti yang dilakukan Filipina. Pemerintah perlu konsisten dengan komitmen dan target pengembangan panas bumi yang telah ditetapkan. Perlu diingat, kemungkinan akan sangat sulit target kapasitas terpasang PLTP pada 2025 sebesar 7.200 MW dapat tercapai jika produksi uap dan/atau listrik dari pengembang panas bumi yang ada saat ini saja tidak terserap/terbeli oleh PLN.

Menata Kelembagaan Hulu Migas Nasional
Beritasatu.com, 5 Desember 2016
Komaidi Notonegoro,A�Direktur Eksekutif ReforMiner Institute

Proses revisi UU Migas No. 22/2001 yang diamanatkan oleh Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket BBM sejak 2008 a�� sekitar 8 tahun lalu–, sampai dengan akhir tahun 2016 ini belum terdapat tanda-tanda segera diselesaikan.

Berdasarkan pencermatan, salah satu faktor penyebab proses ini berjalan sangat lambat adalah tidak kunjung ada kesepakatan bentuk kelembagaan hulu migas dalam UU Migas yang baru.

Terkait proses revisi, Pansus BBM mengamanatkan inisiatif revisi UU Migas dilakukan oleh DPR. Karena itu, pintu masuk dan kunci dari proses revisi UU Migas sebagian besar akan berada pada legislatif. Tahapan dan lamanya waktu proses revisi akan ditentukan oleh seberapa cepat fraksi-fraksi di DPR mengambil keputusan dan menyepakati poin-poin yang akan dituangkan dalam proses revisi.

Berdasarkan pantauan, DPR telah menghasilkan naskah akademik dan draf revisi UU Migas yang beberapa kali disempurnakan. Masing-masing fraksi juga telah memberikan masukan dan pandangan mereka terhadap poin-poin yang perlu dituangkan dalam revisi UU Migas. Berdasarkan review terhadap naskah akademik, draf revisi, dan poinpoin masukan dari masing-masing fraksi tersebut, permasalahan utama dalam proses revisi tetap sama, yaitu pada penentuan aspek kelembagaan hulu migas.

Masalah Kelembagaan

Masalah kelembagaan menjadi penyebab revisi UU Migas berjalan lambat di antaranya karena penentuan bentuk dan kedudukan Pertamina dan BP Migas (SKK Migas) dalam UU Migas baru. Terkait ini, sejumlah konsep telah dibahas yang di antaranya konsep dua kaki, konsep tiga kaki, serta sejumlah konsep lain yang diusulkan untuk diterapkan dalam kelembagaan hulu migas.

Diskusi lain terkait ini adalah mengenai opsi bentuk dan kedudukan SKK Migas dalam revisi UU Migas yang baru. Berbagai opsi muncul dalam sejumlah draf revisi yang di antaranya tetap mempertahankan bentuk SKK Migas seperti saat ini dengan sejumlah modifikasi, menjadi BUMN Khusus, atau kembali menjadi bagian (dilebur) ke Pertamina.

Terkait masalah kelembagaan hulu migas ini, para stakeholder harus kembali pada tujuan mendasar pengelolaan hulu migas yang diamanatkan Konstitusi UUD 1945. Bahwa pengelolaan sumber daya alam a��termasuk migasa��harus memenuhi dua aspek utama, yaitu dikuasai oleh negara dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Keputusan MK yang membubarkan BP Migas melalui Putusan No. 36/PUUX/2012, salah satunya karena keberadaan BP Migas dinilai tidak dapat mengakomodasi atau bahkan menghambat tercapainya dua tujuan utama pengelolaan hulu migas tersebut. Pertama, penguasaan negara tidak dapat dilakukan secara penuh karena pemerintah (melalui Menteri) juga memberikan kuasa pertambangan kepada pihak lain a��Pasal 12 ayat (3) UU No. 22/2001–, selain kepada tangan negara (BUMN). Kedua, tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya (keuntungan maksimal) dalam pengusahaan hulu migas sulit dicapai dengan model kelembagaan hulu migas yang diatur dalam UU No. 22/2001.

Penyederhanaan Kelambagaan

Terbitnya UU No. 22/2001 a��menggantikan UU No. 44/Prp/1960 dan UU No. 8/1971–, tidak hanya mengubah pola bisnis hulu migas yang semula B to B menjadi G to B, tetapi menjadi jauh lebih kompleks yaitu G to G to B. Dalam hal ini Menteri ESDM (G) memberikan kuasa usaha pertambangan pada KKKS, Ditjen Migas (G) yang menyiapkan dan melakukan proses lelang WK Migas, sedangkan BP Migas (G) yang ditugaskan menandatangani kontrak dengan KKKS (B).

Model kelembagaan hulu migas yang kompleks a��melibatkan banyakA�stakeholder— menyebabkan tujuan pencapaian sebesar-besarnya pengusahaan hulu migas sulit dicapai.

Rantai birokrasi dalam pengambilan keputusan dan penyelesaian permasalahan dalam pengelolaan dan pengusahaan hulu migas menjadi lebih panjang karena melibatkan banyak pihak. Akibatnya, dalam banyak kasus KKKS kehilangan momentum, baik dalam menentukan keputusan investasi maupun untuk hal lain karena pemangku kepentingan di sektor ini terlambat dalam memberikan keputusan/ persetujuan.

Mencermati kondisi yang ada tersebut, penyederhanaan kelembagaan hulu migas menjadi suatu keharusan jika para stakeholder mengharapkan adanya perbaikan di sektor hulu migas. Secara alami, KKKS hulu migas sebagai sebuah institusi bisnis akan lebih cocok dan dapat melakukan akselerasi kinerja lebih cepat jika segala sesuatunya dapat disederhanakan. Penyederhanaan ini juga akan meningkatkan iklim investasi hulu migas nasional yang dalam beberapa tahun terakhir permasalahannya tetap sama, kompleksitas perizinan.

Salah satu instrumen penyederhaan kelembagaan hulu migas yang telah teruji adalah bentuk kelembagaan yang diatur dalam UU No. 44/ Prp/1960 dan UU No. 8/1971, yaitu memberikan kuasa pertambangan kepada BUMN (Pertamina). Dalam hal ini BUMN ditugaskan untuk menyelenggarakan kegiatan usaha hulu migas yang juga diberikan kebebasan untuk dapat bekerja sama dengan KKKS yang lain, termasuk KKKS dari luar negeri.

Data menunjukkan tingkat cadangan dan kemampuan produksi migas Indonesia tertinggi terjadi pada model kelembagaan model ini. Dalam banyak hal model kelembagaan ini menguntungkan bagi para pihak, tidak hanya negara, BUMN, tetapi juga KKKS non BUMN.

Terhadap aspek perpajakan, misalnya, KKKS Non Pertamina pada saat itu tidak menjadi subjek pajak langsung atas jenis pajak tidak langsung seperti PBB, PPN, dan pajak dan retribusi daerah. Pajakpajak tersebut ditanggung atau dibebaskan oleh Pertamina (BUMN).

Sementara setelah berlakunya UU No. 22/2001 yang dilengkapi PP No. 79/2010, pajak-pajak tersebut menjadi tanggungan KKKS secara langsung. Untuk perizinan, izin-izin yang diperlukan dalam kegiatan hulu migas saat itu sebagian besar dilakukan oleh Pertamina. Sedangkan sejak berlakunya UU No. 22/2001 hal tersebut harus dilakukan sendiri oleh KKKS. Dengan melihat berbagai kelebihannya tersebut, mengembalikan model kelembagaan hulu migas pada model UU No. 44/Prp/1960 dan UU No. 8/1971 merupakan pilihan yang paling optimal untuk kondisi saat ini.

Untuk kepentingan yang lebih luas, sesungguhnya tidak ada kepentingan stakeholder yang akan dikorbankan jika hal ini dilakukan. Negara akan lebih diuntungkan karena pengelolaan dan pengawasan hulu migas berpotensi lebih efektif dan efisien. KKKS hulu migas berpotensi diuntungkan karena aspek perpajakan dan perizinan dapat menjadi lebih sederhana. Bagi SKK Migas, seharusnya juga tidak menjadi masalah jika harus menjadi bagian Pertamina, mengingat SKK Migas sebelumnya adalah Badan Pembinaan Pengusahaan Kontraktor Asing (BPPKA) yang merupakan bagian dari Pertamina saat itu.

Kondisi Saat Ini Mengharuskan Indonesia Bekukan Keanggotaan OPEC

(Republika, 1 Desember 2016)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat Energi dari Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan keputusan pemerintah Indonesia membekukan sementara kenggotaan dari Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) sudah tepat. Dinilai tepat karena menurut Agung kondisi dalam negeri tidak memungkinkan menurunkan produksi minyak sesuai ketentuan sidang OPEC.

“Mungkin keputusan yang tepat, maksudnya tepat sesuai kondisi sekarang, karena tidak sejalan dengan kepentingan kita,” kata Agung kepada Republika, Kamis (1/12).

Dalam sidang OPEC ke-171 di Wina, Austria, pada Rabu (30/11), disepakati adanya pemotongan produksi minyak mentah sebesar 1,2 juta barel per hari dari semua anggota. Untuk Indonesia diminta menurunkan produksi 5 persen dari produksinya yakni, sekitar 37 ribu barel per hari. Per Oktober tahun ini, realisasi produksi minyak Indonesia mencapai 834.203 barel per hari.

Menteri ESDM, Ignasius Jonan yang hadir dalam sidang tersebut mengatakan Indonesia hanya bisa menurunkan produksi maksimal 5.000 barel per hari. Pasalnya penerimaan negara dari sektor tersebut masih tinggi dan sesuai RAPBN 2017 disepakati produksi minyak turun 5.000 barel per hari dibandingkan jumlah produksi 2016.

Oleh karenanya, pemerintah memutuskan tidak mengikuti ketentuan yang ditetapkan OPEC dan memilih sementara membekukan status keanggotannya. Meski mendukung, Agung melihat ada celah yang perlu dikritik.

“Memang agak disayangkan seperti tidak terencana, masuk terus keluar lagi belum sampai setahun,” tuturnya.

Ia menampik status Indonesia hanya sebagai observer atau peninjau. Menurut Agung sejak masuk lagi pada awal 2016 lalu, status kita di OPEC sudah kenggotaaan penuh (full membership).

Indonesia bergabung dengan OPEC pada 1962. Seiring produksi minyak yang menurun, pemerintah sempat membekukan keanggotaanya pada 2009.

Indonesia kembali dengan OPEC pada 1 Januari 2016. Pembekuan kali ini merupakan pembekuan kedua Indonesia di kumpulan negara-negara pengekspor minyak