Skema Gross Split Jangan Dipaksakan!

(indoPetroNews,16 Januari 2017)

indoPetroNews- Gross Split sebenarnya menjadi salah satu upaya pemerintah untuk menyelesaikan persoalan hulu minyak dan gas bumi (migas). Kendati demikian, implementasinya harus dilaksanakan secara hati-hati . Mengapa?

Gross Split nantinya akan meniadakan cost recovery. Diakui atau pun tidak. Cost recovery adalah salah satu insentif bagi pelaku bisnis migas untuk bertahan di Tanah Air, kata Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro kepada IndoPetroNews.com Minggu (15/1/2017) di Jakarta. Karena kalau tidak ada cost recovery, resiko akan dicover 100 prosen oleh pelaku bisnis.

Lebih lanjut Komaidi menegaskan bahwa kondisi iklim investasi dalam negeri yang dinilai mempunyai banyak resiko. Bahkan banyak lembaga rating menilai daya saing investasinya pun rendah. Sistem perizinan pun begitu kompleks. Ditambah lagi nantinya tidak ada cost recovery, saya khawatir, ini (Gross Split) yang digadang-gadang solusi justru menjadi disinsentif tersendiri, paparnya.

Dia juga menuturkan nilai plus dari skema Gross Split adalah jauh lebih efisien. Karena tidak perlu persetujuan PoD, AFE dan lainnya yang selama ini dilakukan oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Bisa menjadi lebih cepat prosessnya, tegasnya. Dan inilah (birokrasinya lebih simpel dan tidak ada perdebatan dalam konteks cost recovery antara pemerintah, DPR dan pihak kontraktor), lanjut Komaidi yang dikejar pemerintah.

Namun demikian, Komaidi berharap pemerintah tidak hanya melihat satu aspek. Diakuinya birokrasi akan lebih efisien,cost recovery tidak akan menjadi perdebatan tetapi kalau hal ini (Gross Split) kemudian tidak menarik bagi investor, lalu apa yang dikejar. Endingnya kan seperti pasal 33 UUD 1945, yaitu harus sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, tegas Komaidi.

Sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, artinya, lanjut Komaidi, menarik secara iklim investasi. Supaya bisa diusahakan. Inilah sebenarnya yang menjadi kata kunci pemerintah. Jangan sampai Gross Split dipaksakan. Kita merekomendasikan Gross Split menjadi opsi . Sistem cost recovery tetap ada tetapi pihak kontraktor diberikan pilihan untuk bisa menggunakan sistem Gross Split, tegas Komaidi, sembari mengimbuhkan untuk melihat efektifitasnya.

 

Naiknya Harga Minyak Dunia Bakal Kerek Harga Premium dan Solar

(Kompas.com, 15 Januari 2017)

JAKARTA, KOMPAS.com – Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menyatakan, harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium dan Solar bakal mengalami kenaikan pada tahun 2017. Hal itu dilihat dari harga minyak dunia yang diperkirakan terus mengalami kenaikan.

Menurut Komaidi, harga kedua BBM diperkirakan naik pada bulan April 2017.

“Potensi (Premium dan Solar) naik itu kemungkinan ada,” ujar Komaidi dalam sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (15/1/2017).

Akan tetapi, pemerintah belum pasti untuk menaikan harga kedua BBM tersebut, walaupun harga minyak dunia terus mengerek ke atas. Sebab, kata dia, pemerintah masih ikut andil besar dalam penentuan harga kedua BBM tersebut.

Terlebih lagi, pemerintah juga harus memikirkan dampak ke depan jika menaikan harga kedua BBM tersebut. Apalagi, saat ini, pemerintah masih mensubsidi BBM jenis Solar.

“Kalau sifatnya khusus meski tidak subsidi, maka pemerintah akan memberi intervensi. Saya kira Pertamina tidak dirugikan jika masyarakat tidak diberi harga tinggi,” katanya.

Sementara itu, Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Fraksi Partai Nasdem, Kurtubi berpendapat bahwa pemerintah harus mensubsidi BBM Premium kembali. Hal itu dilihat kembali, dari naiknya harga minyak dunia yang kembali mengerek ke atas.

“Jadi dengan keadaan sekarang ini, komisi VII tetap berpendapat bahwa untuk BBM bersubsidi memang harus ada tetap subsidinya, mengingat harga minyak dunia naik. Sehingga kami berpendapat bahwa BBM bersubsidi itu memang tidak perlu ikut naik harga minyak dunia,” tandasnya.

Sekadar informasi, harga minyak dunia pada akhir tahun 2016 kembali menyentuh angka 50 dollar AS per barel. Saat ini, harga minyak dunia dipatok sebesar 55,45 dollar AS per barel.

Ini yang Pro dan Kontra soal Kenaikan Harga BBM

(TEMPO.CO, 15 Januari 2017)

Jakarta – Direktur Eksekutif ReforMiner, Komaidi Notonegoro, menilai harga minyak dunia tahun ini akan lebih tinggi dibandingkan 2016. Pada awal 2015, harga minyak turun ke level US$ 44 per barel. Penurunan harga minyak terendah terjadi pada Februari 2016, mencapai US$ 26,2 per barel. Saat ini, harga minyak kembali naik sekitar US$ 50-55 per barel. Dengan pulihnya ekonomi beberapa konsumen minyak utama, permintaan terhadap minyak akan meningkat. Hal itu akan membuat harga juga ikut naik.

“Harga, mungkin antara US$ 55-60 per barel,” katanya dalam Diskusi Energi Kita di Kantor Dewan Pers, Jakarta Pusat, Ahad, 15 Januari 2017.

Dengan kenaikan harga minyak dunia tersebut, kata Komaidi, pemerintah memiliki dua pilihan, yakni menaikkan harga bahan bakar minyak atau membiarkan neraca keuangan PT Pertamina (Persero) tergerus.

Anggota Komisi Energi DPR, Kurtubi, menegaskan harga BBM yang boleh naik hanyalah non subsidi, bukan BBM bersubsidi. Menurut dia, dengan naiknya harga minyak dunia, biaya produksi BBM akan naik.

“Komisi VII berpendapat bahwa harga BBM bersubdisi tidak perlu naik. Kalau mau menaikkan harga BBM bersubsidi, harus ngomong dulu ke DPR. Posisi anggota dewan, negara harus tetap hadir dalam hal BBM bersubsidi,” tuturnya.

Dengan anjloknya harga minyak dunia beberapa tahun lalu, Kurtubi menilai, Pertamina sudah mendapatkan keuntungan dari penjualan BBM. “Bahkan, BBM bersubsidi sudah menghasilkan keuntungan. Itu yang menyebabkan keuntungan Pertamina belakangan ini. Karena itu, pemerintah bisa menaikkan harga BBM non subsidi.”

Di tempat yang sama, Ketua Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas), Eri Purnomohadi, mengatakan industri memerlukan harga BBM yang terjangkau. Solar yang merupakan jenis BBM yang masih disubsidi, masih sangat dibutuhkan oleh angkutan logistik bahan-bahan kebutuhan pokok.

Karena itu, menurut Eri, harga bahan pokok akan naik ketika harga solar juga naik. “Memang dilematis. Berani tidak pemerintah (menaikkan harga) di saat ekonomi slow down? Pemerintah butuh menaikkan karena anggaran pendapatan belanja negara kurang. Tapi, harga BBM ini juga berkorelasi dengan popularitas presiden,” ujar Eri menambahkan.

PP 72 Terbit, PGN Dibawah Kontrol Pertamina

(Dunia-energi.com, 11 Januari 2017)

JAKARTA Pembentukan induk usaha (holding) badan usaha milik negara di sektor minyak dan gas dengan menggabungkan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGAS) ke dalam PT Pertamina (Persero) segera terwujud seiring telah ditandatanganinya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 oleh Presiden Joko Widodo.

Komaidi Notonegoro, pengamat energi dari Reforminer Institute, mengatakan meskipun belum cukup tegas, PP 72 dapat menjadi rujukan pelaksanaan holding BUMN.

Tentu tidak sederhana karena harus ada komunukasi dan urusan korporasi yang harus diselesaikan, ujar Komaidi kepada Dunia Energi, Rabu (11/1).

Menurut Komaidi, harus ada kesepakatan antara kedua pihak atau lebih yang akan digabung dalam holding karena menyangkut sinergi teknis, aset, SDM, dan finansial.

PP 72 Tahun 2016 tentang perubahan atas PP 43 Tahun 2005 telah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2016 yang berisi penatausahaan modal negara pada BUMN dan perseroan terbatas. Pada pasal 2A ayat 1 disebutkan penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN kepada BUMN lainnya dilakukan oleh pemerintah pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Pada ayat 2 disebutkan saham negara pada BUMN yang dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN lain, maka BUMN tersebut menjadi anak usaha BUMN dengan ketentuan negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa dalam anggaran dasar.

Inas Nasrullah Zubir, Anggota Komisi VI DPR, mengatakan dalam UU Nomor 19 Tahun 2003 pasal 63 memang diatur BUMN dapat digabung atau dapat mengambil alih BUMN lainnya.

Dalam hal penggabungan PGN ke Pertamina berbentuk penyertaan modal negara ke Pertamina. Artinya pemegang saham di PGN bukan lagi negara, melainkan Pertamina, ungkap dia.

Menurut Inas, karena adanya perubahan status PGN, maka pemerintah harusnya berkonsultasi dengan DPR dan PP tersebut serta merta merubah status PGN.

Namun dalam Ayat 1 pasal 2A PP 72/2016 menyebutkan, setiap perpindahan aset negara di sebuah BUMN ke BUMN lain atau perusahaan swasta bisa dilakukan tanpa harus melewati pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) alias tanpa perlu persetujuan DPR. Disebutkan pula, perlakuan perusahaan swasta sama seperti BUMN. Sehingga bisa memperoleh penugasan dari pemerintah untuk proyek-proyek strategis yang dibiayai APBN.

Rencana pembentukan holding memang dinantikan dan diharapkan dapat memperlincah gerak korporasi dari BUMN sehingga tidak terjebak dengan keterhambatan yang kerap ada dalam lingkup birokrasi suatu negara. Selain itu, holding juga diharapkan bisa menyinergikan semua operasi Pertamina dan PGN dalam satu kendali perencanaan dan kegiatan operasional sehingga akan lebih efektif dan efisien (RI/RA)

Rencana Penerapan Model Gross Split Sliding Scale

info-5

Sumber: Berbagai sumber,diolah.

Harga Minyak Acuan Merangkak Naik

(Koran-Sindo, 6 Januari 2017)

JAKARTA Tim Harga Minyak Indonesia mencatat harga minyak Indonesia (Indonesia crude price/ICP) untuk perdagangan Desember 2016 naik menjadi USD51,09 per barel, dibandingkan November 2016 sebesar USD43,25 per barel.

Kenaikan harga mengikuti peningkatan harga minyak dunia yang disebabkan kesepakatan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) mengurangi produksi minyak 1,2 juta barel per hari mulai Januari 2017. Lonjakan harga minyak Indonesia sejalan dengan perkembangan harga rata-rata minyak mentah utama di pasar internasional, tulis tim Harga Minyak Indonesia dalam keterangan resminya di Jakarta kemarin.

Dalam publikasi tersebut juga disebutkan, harga minyak jenis SLC atau Minas juga meningkat. Jika periode November 2016 harganya USD44,52 per barel, pada periode Desember 2016 harganya naik menjadi USD52,62 per barel. Sementara harga minyak jenis Brent (ICE) periode Desember naik dari USD47, 08 per barel pada November menjadi USD54,92 per barel.

Sedangkan harga minyak WTI (Nymex) untuk periode yang sama naik dari USD45,76 per barel menjadi USD52,17 per barel. Adapun harga OPEC naik menjadi USD51,28 per barel. Pakar energi dari Universitas Tri Sakti Pri Agung Rakhmanto berpendapat, kenaikan harga minyak tersebut merupakan momentum tepat untuk meningkatkan cadangan dan produksi migas nasional.

Upaya menggenjot produksi menurutnya harus segera diambil pemerintah menyikapi melonjaknya harga minyak dunia. Pemerintah harus bisa mengambil momentum kenaikan harga, utamanya terkait kebijakan di sektor hulu migas di dalam negeri. Dengan harga seperti sekarang ini, bagaimana pemerintah membuat perencanaan untuk meningkatkan cadangan migas dan produksi, tutur Pri Agung di Jakarta kemarin.

Menurut Pri Agung, kenaikan harga minyak di atas USD50 per barel berdampak positif bagi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), terutama mereka yang mampu menerapkan efisiensi di tengah situasi harga minyak yang rendah. Lonjakan harga minyak akan menjadi insentif bagi perusahaan yang mampu menerapkan efisiensi.

Dia memprediksi secara rata-rata kemungkinan harga minyak tahun ini kurang dari USD60 per barel. Rata-rata harga minyak itu dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya selain faktor kebijakan pemangkasan produksi OPEC, serta kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Faktor politik mempunyai pengaruh kuat terhadap harga minyak. Ketegangan politik akibat kebijakan Trump di Timur Tengah, Rusia, dan China akan berdampak terhadap harga, katanya. Sementara itu, anggota Komisi VII DPR dari Partai Golkar Satya Widya Yudha mengatakan, kenaikan harga minyak penting dalam membentuk komponen bagi hasil migas antara negara dan KKKS secara fleksibel.

Saat harga minyak rendah, kata dia, bagian kontraktor perlu ditambah, sedangkan saat harga minyak tinggi bagian negara perlu diperbesar. Skema bagi hasil yang fleksibel dihubungkan dengan harga minyak akan menjadi insentif bagi investor, ucapnya

Outlook Tata Kelola Industri Gas Nasional

info-4

Sumber: Berbagai sumber,diolah.

Alokasi Gas Untuk Sektor Kelistrikan

info-4

Sumber: Berbagai sumber,diolah.

Rencana Jangka Panjang Diperlukan untuk Tingkatkan Produksi Migas Nasional

(Dunia-Energi.com,3 Januari 2017)

JAKARTA Pemerintah diminta untuk melakukan pembaharuan strategi dalam upaya pencapaian peningkatan kapasitas produksi minyak dan gas (migas). Sejak penurunan produksi migas beberapa tahun lalu, perencanaan dan kebijakan terkait industri migas yang ada hanya untuk meningkatkan kembali produksi jangka pendek.

Pri Agung Rakhmanto, pengamat energi dari Universitas Trisakti, menyatakan pemerintah sebaiknya menyiapkan langkah atau kebijakan yang tidak hanya fokus pada pencapaian produksi siap jual (lifting), karena itu jangka pendek dan hanya masalah teknis dan operasional.

Pemerintah bisa menetapkan perencanaan atau target hulu migas makro jangka menengah panjang yang lebih progresif dan akan bisa lebih bermanfaat di masa mendatang.

Misalnya bagaimana mencapai produksi 900 ribu barel per hari (bph) dalam lima tahun ke depan dan satu juta bph dalam 10 tahun ke depan dengan level cadangan yang meningkat. Katakanlah 50 persen dari level saat ini. Maka kemudian akan dapat kita petakan dengan jelas kebijakan dan langkah apa yang perlu diambil dan sebaiknya tidak dilakukan, kata Pri Agung kepada Dunia Energi, Selasa (3/1).

Dia mengatakan upaya yang dilakukan pemerintah melalui Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) secara teknis sejauh ini telah menjalankan fungsinya.

Secara teknis SKK Migas berkontribusi dalam hal bagaimana merencanakan target itu lebih cermat dengan mengkalkulasi faktor-faktor yang krusial dan mengawal rencana itu di dalam operasionalisasinya oleh KKKS dapat berjalan dengan baik, ungkap Pri Agung.

Pada 2016 produksi migas Indonesia tercatat melampaui target yang direncanakan. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan realisasi produksi migas diperkirakan mencapai 114% dari target 2016.

Sepanjang 2016, rata-rata produksi minyak bumi sebesar 831 ribu BOPD (barrels of oil per day) dan produksi gas bumi mencapai 1.418 MBOEPD (thousand barrels of oil equivalents per day). Total target produksi migas pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016 sebesar 1.970 MBOEPD.

Untuk lifting migas sendiri mencapai 2.000 MBOEPD atau lebih tinggi dari target 2016 yang sebesar 1.970 MBOEPD. Dengan perincian lifting minyak bumi sebesar 820,3 ribu BOPD dan gas bumi 1.181,5 MBOEPD atau 102% dari target. Dalam APBNP 2016 ditargetkan 820 ribu BOPD untuk minyak dan 1.150 MBOEPD untuk gas.

Menurut Pri Agung, pencapaian produksi dan lifting migas pada 2016 mencerminkan perencanaan dan eksekusi yang cukup baik dari pemerintah. Meskipun pada sisi lain ada juga kemungkinan bahwa target yang ditetapkan terlalu konservatif atau rendah.

Tetapi lepas dari itu pencapaian ini harus diapresiasi karena hal ini tetap saja menggambarkan adanya perbaikan yang dilakukan pemerintah baik dari sisi perencanaan maupun di dalam bagaimana merealisasikan perencanaan itu, ungkap dia.

Pri Agung mengatakan untuk bisa menjaga performa dari para kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dalam produksi migas, pemerintah diminta melakukan evaluasi terhadap berbagai kebijakan, terutama di sektor hulu. Karena dalam beberapa tahun terakhir kebijakan yang ada belum berefek positif bagi iklim investasi.

Menurut dia, salah satu kebijakan yang krusial bisa dilihat dalam pengaturan yang belum bisa menerapkan kembali prinsip assume and discharge melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010, revisi Undang-Undang Migas, kewajiban kontraktor untuk menalangi hak partisipasi 10 persen untuk daerah dan kewajiban dana ASR hingga rencana perubahan skema kontrak migas.

Itu semua kan sebenarnya kontradiktif dengan keinginan untuk mendorong peningkatan cadangan dan produksi, tandas Pri Agung.(RI)

Tarif Listrik Turun, Daya Beli Masyarakat Naik

(Viva.co.id,3 Januari 2017)

VIVA.co.id Pada Januari 2017 ini tarif tenaga listrik untuk 12 golongan yang tidak mendapatkan subsidi mengalami penurunan rata-rata Rp6/kWh. Pengamat Energi Komaidi Notonegoro mengatakan penurunan tarif akan memberikan dampak positif, meski penurunannya tidaklah besar.

“Kalau dilihat dampak secara keseluruhan sekecil apa pun tentu positif. Sekecil apa pun kalau penurunan pasti memberikan dampak positif untuk daya beli,” ucap Komaidi kepada VIVA.co.id pada Selasa, 3 Januari 2016.

Menurut dia, tarif tenaga listrik (TTL) yang turun tersebut ke depannya dapat dialokasikan ke daya beli produk lain, seperti pangan, sandang, atau lainnya. Namun, memang pengaruhnya tidak terlalu signifikan dibandingkan penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).

“Kalau listrik ini lebih terisolasi dampaknya, dibanding BBM karena dampak pengikutnya tidak terlalu besar. Dampaknya kan langsung ya sama konsumen yang pakai. Jadi, yang kena efeknya ya pengguna listriknya,” ucapnya.

Adanya penurunan TTL bersamaan dengan penurunan harga gas industri, program BBM satu harga, kemudian pembangunan infrastruktur yang digencarkan, ia melihat hal ini menjadi upaya sinergitas untuk merealisasikan tekad Presiden Joko Widodo meningkatkan daya saing dalam negeri di tengah persaingan global.

“Ini sebenarnya ending atau muaranya akan meningkatkan daya saing barang dan jasa nasional. Saya kira bagus secara bertahap,” ungkapnya.

Sekadar informasi, TTL turun rata-rata Rp6/kWh dengan rincian Tegangan Rendah (TR) menjadi Rp 1.467,28/kWh, tarif listrik di Tegangan Menengah (TM) menjadi Rp1.114,74/kWh, tarif listrik di Tegangan Tinggi (TT) menjadi Rp 996,74/kWh, dan tarif listrik di Layanan Khusus menjadi Rp 1.644,52/kWh.