Birokrasi Masih Jadi Penghambat

KOMPAS; 30 Maret 2017

JAKARTA, KOMPAS Birokrasi yang berbelit dan panjangnya rantai perizinan masih menjadi penghambat investasi sektor hulu minyak dan gas bumi di Indonesia. Hambatan tersebut berdampak investasi merosot ditandai dengan penerimaan negara yang turun dari Rp 320 triliun pada 2014 menjadi Rp 80 triliun pada 2016.

“Saat ini, waktu yang dibutuhkan investor sejak penemuan cadangan sampai berproduksi rata-rata butuh 8-10 tahun. Dalam sejumlah kasus ada yang sampai butuh 12 tahun,” kata Direktur Indonesian Petroleum Association (IPA) Board Ronald Gunawan dalam diskusi bertajuk “Membenahi Iklim Investasi Hulu Migas demi Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional,” Rabu (29/3), di Jakarta.

Banyaknya izin yang perlu diurus di pusat dan daerah menjadi salah satu tantangan terbesar dalam investasi hulu migas di Indonesia. Investor juga butuh kepastian hukum dan aturan. Revisi undang-undang tentang minyak dan gas bumi yang masih berlangsung juga menyebabkan pengusaha menahan diri untuk berinvestasi.

Narasumber lainnya, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I Gusti Nyoman Wiratmaja mengakui, memang masih banyak perizinan yang harus diurus pada instansi lain baik yang ada di pusat dan daerah. Perizinan di Kementerian ESDM sejauh ini sudah dipangkas yang semula sebanyak 104 izin menjadi 42 izin.

“Target kami adalah perizinan di ESDM hanya menjadi 6 izin saja. Saat ini sedang dalam proses,” ujar Wiratmaja.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menambahkan, dalam jangka pendek, pemerintah berupaya mengamankan penerimaan negara dari sektor migas yang merosot tajam dari Rp 320 triliun pada 2014 menjadi Rp 80 triliun pada 2016.

“Selain pemberian insentif untuk memulihkan investasi hulu migas, kami juga meminta SKK Migas cermat dalam perhitungan cost recovery  (biaya operasi yang dapat digantikan). Cara lainnya adalah dengan konsep gross split  (bagi hasil berdasar produksi bruto) yang saat ini baru diujicobakan,” ujar Suahasil.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menambahkan, kondisi politik dan bisnis sektor hulu migas saat ini berbeda dengan masa lalu. Keterlibatan publik atau daerah penghasil kini jauh lebih besar.

“Arah kebijakan pemerintah saat ini adalah efisiensi dan berkeadilan. Namun, parameternya belum tentu sama dengan investor. Ini yang perlu diselaraskan,” ujar Komaidi.

Sementara itu, Direktur Industri Logam Kementerian Perindustrian Doddy Rahadi mengatakan, pemanfaatan kandungan lokal dalam industri migas dan penunjangnya saat ini belum optimal. Salah satu contohnya adalah meningkatnya impor baja sehingga melemahkan industri baja dalam negeri.

Gambaran kondisi industri hulu migas di Indonesia adalah semakin berkurangnya minat kontraktor berinvestasi. Pada 2015, tercatat ada 312 perusahaan dan angkanya merosot menjadi 288 pada 2016. Sejumlah wilayah kerja migas nonkonvensional yang ditawarkan pada 2016 juga belum mendapatkan peminat.

Review Arah Kebijakan Industri Gas Nasional

Dalam beberapa waktu terakhir pemerintah menerbitkan beberapa regulasi terkait pengelolaan dan pengusahaan industri gas nasional. ReforMiner mencatat, selama kurun 2010 – 2017 pemerintah telah menerbitkan tujuh regulasi untuk industri gas. Dari jumlah tersebut, empat diantaranya diterbitkan pada 2016. Dari sejumlah regulasi yang telah diterbitkan tersebut, terlihat ada upaya sistematis pemerintah untuk memenuhi kebutuhan gas dalam negeri.

Secara umum, substansi utama yang diatur pada sejumlah regulasi tersebut difokuskan pada masalah alokasi dan harga. Ketentuan terkait alokasi diatur dalam beberapa regulasi diantaranya Permen ESDM No.3 Tahun 2010; Permen ESDM No.37/2015; Permen ESDM No.6/2016 dan Permen ESDM No. 11 /2017. Sementara, kebijakan harga gas diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.40/2016; Permen ESDM No.16/2016; dan Permen ESDM No.40/2016.

Berdasarkan review, ketentuan alokasi gas ditekankan pada pemenuhan kebutuhan untuk sektor tertentu yang diprioritaskan pemerintah. Beberapa sektor yang memperoleh prioritas diantaranya sektor transportasi, rumah tangga, dan pelanggan kecil; industri pupuk; industri berbahan baku gas bumi; dan penyediaan tenaga listrik. Pemberian prioritas salah satunya untuk memastikan program-program strategis pemerintah yang terkait dengan penggunaan gas seperti program 35.000 MW dapat berjalan sesuai dengan rencana dan jadwal yang ditetapkan.

ReforMiner menilai kebijakan harga gas yang ada saat ini merupakan upaya mendorong agar harga gas terjangkau oleh pengguna di dalam negeri. Hal itu tercermin dari ketentuan bahwa harga gas pada pengguna akhir di dalam negeri tidak diperbolehkan melebihi 6 USD/MMBTU. Melengkapi ketentuan tersebut, pemerintah juga menetapkan 7 jenis industri yang diberikan harga gas khusus. Rangkaian kebijakan harga gas tersebut juga merupakan bagian dari upaya meningkatkan daya saing industri nasional dan mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi.

Mencermati regulasi yang telah diterbitkan, ReforMiner memproyeksikan salah satu implikasi yang kemungkinan akan diterima industri hulu gas adalah akan terdapat penyesuaian alokasi dan harga gas yang diproduksikan. Penyesuain kemungkinan juga diberlakukan terhadap kontrak eksisting. Kontrak ekspor gas yang telah berakhir, kemungkinan tidak akan diperpanjang. Alokasi gas yang sebelumnya untuk ekspor kemungkinan akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Revisi Tak Akan Selesai Tahun Ini; Tata Kelola Energi Indonesia Bisa Makin Buruk

KOMPAS: 22 Maret 2017

JAKARTA, KOMPAS Penyelesaian revisi dua undang-undang sektor energi, yakni terkait minyak dan gas bumi serta pertambangan mineral dan batubara, sulit diharapkan bisa rampung tahun ini. Bahkan, sempat mengemuka usulan agar inisiatif revisi yang semula ada di tangan DPR diserahkan kepada pemerintah.

Kedua undang-undang terkait energi itu adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi serta Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Kecil kemungkinannya untuk dapat diselesaikan tahun ini. Sebab, hingga saat ini draf revisi kedua undang-undang tersebut belum juga dibawa ke sidang paripurna, kata pengajar pada Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, Selasa (21/3), di Jakarta.

Menurut Pri Agung, jika draf revisi kedua undang-undang itu belum juga diparipurnakan di DPR, berarti belum ada draf resmi revisi kedua undang-undang itu sehingga pembahasan dengan pemerintah belum bisa dimulai. Ia menilai, DPR tampak seperti kurang bersungguh-sungguh merampungkan revisi kedua undang-undang itu. Revisi UU No 22/2001 serta UU No 4/2009 seperti tak menjadi prioritas.

Ia menambahkan, apabila tidak ada kejelasan penyelesaian revisi kedua undang-undang tersebut, kondisi dan tata kelola energi di Indonesia diperkirakan bakal kian terpuruk. Hal-hal yang sifatnya mendasar menjadi sulit diperbaiki. Ia mencontohkan soal perpajakan di sektor minyak dan gas bumi serta soal kepastian izin usaha di pertambangan.

Sejumlah persoalan mendasar itu, penyelesaiannya harus di tingkat undang-undang, bukan dengan menerbitkan peraturan-peraturan pelaksanaan di bawah undang-undang. Akibatnya, masalah itu tetap tidak terselesaikan, ujar Pri Agung.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Partai Golkar Satya Widya Yudha mengakui, agak sulit bagi DPR untuk menuntaskan revisi kedua undang-undang tersebut. Pasalnya, tahun-tahun terakhir ini-yang disebut sebagai tahun politik seiring dengan penyelenggaraan sejumlah pemilihan kepala daerah-cukup menyita energi anggota DPR.

Fokus anggota DPR terpecah antara penyelesaian revisi dan persiapan menghadapi pemilihan kepala daerah. Mengenai revisi UU No 4/2009, menurut Satya, sampai saat ini masih terjadi perbedaan pendapat di Komisi VII, apakah inisiatif revisi akan dilanjutkan DPR atau diserahkan kepada pemerintah.

Satya mengatakan, sebagian anggota Komisi VII menginginkan agar inisiatif revisi diserahkan kepada pemerintah. Tujuannya agar Komisi VII bisa fokus pada revisi UU No 22/2001.

Memang sempat mengemuka usulan tersebut (menyerahkan inisiatif revisi kepada pemerintah). Akan tetapi, belum sampai pada keputusan final apakah akan diserahkan kepada pemerintah atau tetap di DPR. Pembahasannya masih di tingkat komisi, tutur Satya.

Belum berdiskusi

Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Teguh Pamudji mengatakan, pihaknya belum pernah berdiskusi dengan DPR soal penyerahan inisiatif revisi UU No 4/2009 dari DPR kepada pemerintah. Namun, menurut dia, pemerintah tak mempersoalkan apabila inisiatif revisi diserahkan kepada pemerintah.

Soal apakah pemerintah menyiapkan draf revisi atau belum, saya kira itu hal teknis saja. Tak masalah. Hanya saja, secara resmi memang belum ada pembicaraan mengenai hal itu, ujar Teguh.

Peneliti senior pada The Habibie Center, Zamroni Salim, mengatakan, UU No 22/2001 perlu direvisi karena kondisi sektor hulu migas sudah jauh berbeda. Revisi undang-undang tersebut harus mengakomodasi migas nonkonvensional yang pemanfaatannya terus berkembang, seperti shale oil/gas.

Di sektor migas, Indonesia dihadapkan pada tantangan cadangan minyak yang tersisa sekitar 3 miliar barrel. Hal itu membuat Indonesia menjadi nett importer minyak.

Selain itu, dalam kurun 2-3 tahun mendatang, Indonesia diperkirakan bakal mengimpor gas alam cair (LNG). Sementara nyaris tak ada penemuan cadangan migas yang baru dengan jumlah signifikan.

Harga Bahan Bakar Minyak Masih Bisa Ditahan

KOMPAS; 11 Maret 2017

JAKARTA, KOMPAS Pemerintah masih bisa tak menaikkan harga bahan bakar minyak walaupun ada tren kenaikan harga minyak dunia. Jika harga bahan bakar minyak naik, inflasi diperkirakan bisa mencapai 5 persen pada tahun ini.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, kendati ada kecenderungan harga minyak dunia naik, besarannya tak terlalu signifikan. Apalagi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dalam beberapa waktu terakhir relatif stabil. Dengan asumsi tersebut, potensi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) cukup kecil.

Bila memang harus dinaikkan karena harga minyak dunia sedang naik, kenaikan itu sebaiknya bisa didistribusikan waktunya atau tidak dilakukan dalam waktu dekat, kata Komaidi, Jumat (10/3), di Jakarta.

Mengacu pada laman Bloomberg pada Jumat sore, harga minyak jenis Brent dipatok 52,32 dollar AS per barrel dan WTI 49,48 dollar AS per barrel. Harga tersebut tidak jauh berbeda pada periode sama tahun lalu saat pemerintah menurunkan harga BBM pada 1 April 2016.

Saat itu harga premium turun dari Rp 6.950 menjadi Rp 6.450 per liter dan harga solar turun dari Rp 5.650 menjadi Rp 5.150 per liter.

Memicu inflasi

Sementara itu, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Timur Difi Ahmad Johansyah mengatakan, apabila pemerintah menaikkan harga BBM dalam waktu 1-2 bulan ke depan, inflasi bisa naik. Apalagi, kenaikan biaya perpanjangan STNK dan kenaikan tarif listrik menjadi penyumbang inflasi terbesar pada Januari 2017.

Sebaiknya (harga BBM) jangan dinaikkan karena sudah ada dua komponen yang naik bulan lalu, yakni STNK dan tarif listrik. Terlebih lagi harga cabai rawit yang menempati urutan ketiga penyumbang inflasi masih tinggi dan membebani masyarakat, ujar Difi.

Pengajar pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih, mengatakan, inflasi berpotensi naik menjadi 5 persen apabila harga BBM dinaikkan. Padahal, angka inflasi nasional pada Februari 2017 tercatat sebesar 3,83 persen.

Asumsinya, apabila harga minyak dunia menyentuh 60 dollar AS per barrel, inflasi bisa mencapai 5,32 persen hingga 5,53 persen, ujar Lana.

Harga BBM Tidak Dinaikkan; Sisa Laba Penjualan BBM 2016 Sebesar Rp 1,8 Triliun

KOMPAS: 18 Maret 2017

JAKARTA, KOMPAS Pemerintah memutuskan tidak akan mengubah harga premium dan solar bersubsidi pada 1 April 2017. Harga premium tetap Rp 6.450 per liter dan solar bersubsidi Rp 5.150 per liter. Evaluasi harga premium dan solar bersubsidi dilakukan setiap tiga bulan.

Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, sisa laba penjualan bahan bakar minyak (BBM) tahun lalu yang sebesar Rp 1,8 triliun menjadi alasan pemerintah untuk tidak menaikkan harga premium dan solar bersubsidi. Namun, perkembangan harga minyak dunia akan terus dipantau. Dengan demikian, harga premium dan solar bersubsidi tidak berubah sampai 30 Juni 2017.

Masih aman karena ada sisa laba tahun lalu. Tak perlu dinaikkan, ujar Jonan, Jumat (17/3), di Jakarta, saat ditanya tentang perlu tidaknya harga premium dan solar dinaikkan.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM I Gusti Nyoman Wiratmaja mengatakan, tahun lalu defisit penjualan premium mencapai Rp 967 miliar. Hal itu disebabkan harga premium yang dijual ke masyarakat di bawah harga keekonomian. Sementara penjualan solar bersubsidi menyisakan laba Rp 2,849 triliun.

Jadi, apabila diakumulasikan, masih ada sisa laba penjualan BBM sekitar Rp 1,8 triliun, kata Wiratmaja.

Berdasarkan perhitungan pemerintah mengacu pada rata-rata harga minyak dunia saat ini, penjualan premium periode Januari sampai Maret 2017 berpotensi defisit Rp 601 miliar. Adapun penjualan solar bersubsidi pada periode yang sama berpotensi defisit Rp 3,455 triliun. Acuan harga minyak dunia yang digunakan pemerintah berada di kisaran 50-60 dollar Amerika Serikat per barrel.

Yang patut diwaspadai adalah apabila selisih harga solar bersubsidi dengan solar nonsubsidi makin lebar, hal itu bisa memperbesar potensi penyelundupan solar, yaitu solar bersubsidi dijual untuk kebutuhan industri yang seharusnya memakai solar nonsubsidi, tutur Wiratmaja.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, kendati ada kecenderungan harga minyak dunia naik, besarannya tak terlalu signifikan. Apalagi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dalam beberapa waktu terakhir relatif stabil. Dengan asumsi tersebut, potensi kenaikan harga BBM cukup kecil.

Jika memang harus dinaikkan karena harga minyak dunia sedang naik, kenaikan itu sebaiknya bisa didistribusikan waktunya atau tidak dilakukan dalam waktu dekat, kata Komaidi.

Komaidi menjelaskan, yang dimaksud mendistribusikan waktu kenaikan adalah pemerintah tidak menaikkan harga BBM dalam waktu dekat. Pasalnya, masyarakat atau konsumen sudah didera kenaikan tarif listrik dan harga cabai. Apabila harga BBM dinaikkan dalam waktu dekat, beban masyarakat semakin berat.

Mengacu pada laman Bloomberg Jumat sore, harga minyak jenis Brent dipatok 51,73 dollar AS per barrel dan WTI 48,81 dollar AS per barrel. Harga tersebut tidak jauh berbeda pada periode yang sama tahun lalu, ketika pemerintah menurunkan harga premium dan solar per 1 April 2016. Saat itu, harga premium turun dari Rp 6.950 menjadi Rp 6.450 per liter, sedangkan harga solar turun dari Rp 5.650 menjadi Rp 5.150 per liter.

Tren harga naik

Sementara itu, dalam catatan Tim Harga Minyak Indonesia Kementerian ESDM, harga minyak Indonesia (ICP) pada Februari 2017 naik 0,62 dollar AS per barrel dibandingkan dengan Januari 2017. Maka, dibandingkan dengan triwulan IV-2016, tren ICP meningkat terutama jika dikaitkan dengan kebijakan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) memangkas produksi minyak anggotanya.

Kenaikan ICP tersebut seiring dengan kenaikan harga minyak dunia yang juga dijadikan patokan, di mana pada periode yang sama Brent naik dari 55,45 dollar AS per barrel menjadi 56 dollar AS per barrel dan WTI naik dari 52,61 dollar AS per barrel menjadi 53,46 dollar AS per barrel. Harga patokan OPEC juga naik dari 52,4 dollar AS per barrel menjadi 53,37 dollar AS per barrel.

Sementara itu, Pertamina menaikkan harga BBM jenis pertamax, pertalite, dan dexlite masing-masing Rp 300 per liter sejak Januari 2017. Hal itu sebagai dampak kenaikan harga minyak dunia akhir-akhir ini.

DISINSENTIF PENGEMBANGAN LISTRIK EBT
Pri Agung Rakhmanto
Dosen di FTKE Universitas Trisakti
Pendiri Reforminer Institute

Masa Depan Hulu Migas: Peran BUK dan Holding BUMN

Pri Agung Rakhmanto
Dosen di FTKE Universitas Trisakti
Pendiri Reforminer Institute
KATADATA: Selasa 14/3/2017, 15.47 WIB

Arah pengelolaan hulu migas relatif telah lebih jelas, namun menjadi belum terang jika dikaitkan dengan rencana pembentukan induk usaha (holding) BUMN migas.

Meski proses revisi Undang-Undang Migas No. 22/2001 masih jauh dari final dan menyisakan banyak ketidakpastian, arah dan kecenderungan menyangkut pola pengusahaan dan bentuk kelembagaan hulu migas nasional ke depan, tampaknya mulai mengerucut. Berdasarkan informasi terkini yang dihimpun penulis, kelembagaan hulu migas ke depan kemungkinan akan diarahkan pada pembentukan suatu badan yang disebut Badan Usaha Khusus (BUK) Migas.

Secara struktur kelembagaan, BUK Migas didesain berada langsung di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Struktur organisasi BUK Migas kemungkinan akan terdiri atas DewanPengawas dan Dewan Direksi.

Pemilihan Dewan Pengawas dan Dewan Direksi BUK Migas dilakukan oleh tim yang dibentuk Presiden dan harus melalui persetujuan DPR. Dalam pengusahaan hulu migas, BUK Migas diarahkan menjadi badan usaha yang dimiliki oleh negara yang ditunjuk pemerintah melaksanakan kuasa pertambangan di bidang hulu migas.

Pengusahaan hulu migas akan dilakukan BUK Migas, baik melalui mekanisme kerja sama dengan KKKS atau melalui pengusahaan dan pengoperasian sendiri. Hal ini akan dijalankan oleh dua unit di dalam BUK Migas, yaitu Unit Hulu Kerja sama dan Unit Hulu Operasional Mandiri.

Dengan desain kelembagaan yang baru ini, maka KKKS hulu migas nantinya tidak lagi berkontrak dengan SKK Migas seperti halnya saat ini, tetapi akan bekerja sama dengan Unit Hulu Kerja Sama BUK Migas. Unit ini bertugas melakukan kerja sama dengan KKKS dan menjadi pengawas manajemen dan operasional dari KKKS.

Pengendalian manajemen operasi yang dilakukan meliputi persetujuan rencana kerja dan anggaran, rencana pengembangan lapangan, serta pengawasan terhadap realisasi dari rencana tersebut. Artinya, dalam desain kelembagaan hulu migas yang baru nantinya fungsi dan tugas SKK Migas di dalam pelaksanaan dan pengawasan pelaksanaan kontrak kerja sama akan dijalankan Unit Hulu Kerja Sama BUK Migas ini.

Adapun mengenai bentuk kontrak pengusahaan hulu migas itu sendiri, kemungkinan tidak akan banyak berubah. Kontrak yang akan digunakan mungkin masih berbentuk Kontrak Bagi Hasil Produksi atau bentuk kontrak lain yang lebih menguntungkan negara. Jangka waktu kontrak dilaksanakan paling lama 30 tahun.

Ada beberapa prinsip dasar yang ditekankan untuk tetap menjadi elemen utama kontrak kerja sama hulu migas itu.

Pertama, kepemilikan sumber daya alam sampai pada titik penyerahan tetap di tangan negara yang dikelola oleh pemerintah dan dikuasakan pengusahaannya pada BUK Migas.Kedua, pengendalian manajemen operasi kegiatan usaha hulu tetap berada pada BUK Migas.

Ketiga, modal dan risiko ditanggung oleh KKKS sesuai dengan perjanjian kerja sama. Kontrak Gross Split yang belum lama diberlakukan pemerintah masih masuk dalam kerangka kontrak kerja sama ini.

Pilihan tetap menggunakan kontrak dengan sistem cost recovery, kemungkinan masih tetap akan dibuka, dengan ketentuan KKKS akan mendapatkan pengembalian biaya operasi sesuai dengan kontrak kerja sama setelah Wilayah Kerja (WK) menghasilkan produksi komersial. Jika WK yang diusahakan tidak menghasilkan produksi komersial, seluruh biaya operasi yang telah dikeluarkan, sepenuhnya menjadi risiko dan beban KKKS.

Dalam penetapan WK, kemungkinan akan berubah drastis. Penetapan WK migas kemungkinan akan berubah dari yang sebelumnya ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjadi ditetapkan oleh Presiden. Peran Menteri ESDM nantinya sebatas memberikan usulan kepada Presiden setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah yang bersangkutan.

Satu hal lain yang juga berbeda dalam hal kontrak kemungkinan adalah setiap kontrak kerja sama yang sudah ditandatangani wajib diberitahukan secara tertulis kepada DPR yang membidangi sektor ESDM (Komisi VII DPR). Pemberitahuan tersebut disampaikan paling lambat 30 hari kerja sejak kontrak kerja sama ditandatangani.

Holding BUMN Migas

Meski dalam pengelolaan hulu migas, arah dan kecenderungannya relatif telah lebih jelas, dalam keterkaitannya dengan rencana pembentukan induk usaha (holding) BUMN migas tampaknya belum terang.

Dari informasi yang dihimpun penulis, kesan yang tertangkap yakni antara arah kencederungan pengelolaan hulu migas dan pembentukan holding BUMN migas merupakan dua hal yang berjalan sendiri-sendiri dan belum terhubungkan apalagi terintegrasikana satu sama lain.

Dalam hal perangkat aturan yang memayunginya, pengelolaan hulu migas kemungkinan akan didasarkan pada revisi UU Migas 22/2001 yang masih berproses di DPR. Sedangkan aturan terkait implementasi pembentukan holding migas, hingga saat ini cenderung hanya didasarkan PeraturanPemerintah (PP) No. 72 Tahun 2016 tentang perubahan atas PP No. 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas (PT).
Jika persepsi yang selama ini berkembang mengarah pada BUK Migas itu nantinya tak lain adalah salah satu perwujudan dari holding BUMN Migas itu sendiri, maka hal itu tidak tepat. Atau, jika memang akhirnya harus menjadi seperti itu, maka jelas diperlukan langkah-langkah sinkronisasi peraturan perundangannya yang fundamental secara signifikan mulai dari tingkat UU, PP, hingga peraturan pelaksana lain di bawahnya.

Rencana penerapan holding BUMN Migas, mestinya tidak berjalan sendiri dan sekadar hanya langkah merealisasikan akuisisi atau pengambilalihan saham PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) oleh Pertamina atau satu BUMN terhadap BUMN lainnya sebagaimana yang diarah pada PP No.72/2016 itu. Pembentukan holding BUMN migas mestinya juga mengantisipasi kemungkinan arah pengelolaan migas ke depan seperti akan diatur dalam UU Migas baru nantinya.

Kementerian BUMN dan Kementerian ESDM perlu duduk bersama untuk membicarakan dan mensinkronkan hal itu, agar di kemudian hari tidak lagi muncul tumpang tindih dan kontradiksi peraturan perundangan yang dapat berujung pada tidak efektifnya pelaksanaan tugas dan fungsi kelembagaan yang diaturnya. Pada akhirnya dapat memicu ketidakpastian iklim usaha dan investasi yang semakin luas.

Peran Operator Lama Dibutuhkan; Pertamina Butuh Data soal Blok Mahakam

KOMPAS: Senin 13 Maret 2017

JAKARTA, KOMPAS Peran Total Exploration & Production Indonesia dan Inpex Corporation tetap diperlukan dalam pengelolaan Blok Mahakam di Kalimantan Timur oleh PT Pertamina (Persero) mulai 1 Januari 2018. Peran operator lama penting dalam hal tingkat produksi tak merosot drastis saat diambil alih operator baru.

Pemerintah telah memutuskan bahwa kontrak Blok Mahakam yang berakhir 31 Desember 2017, diserahkan secara penuh kepada Pertamina. “Transfer data dan informasi dari operator lama kepada operator baru diperlukan, juga agar tahu detail aspek teknis lainnya,” ujar pengajar pada Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, Minggu (12/3), di Jakarta.

Menurut Pri Agung, selama masa transisi pengelolaan blok migas, operator baru pasti membutuhkan banyak informasi dari operator lama untuk menjaga produksi minyak dan gas bumi tidak menurun drastis. Sebab, lanjut dia, produksi migas di sebuah lapangan menurun drastis, angka produksinya tak selalu bisa dikembalikan ke level semula.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, dalam siaran pers hasil kunjungan kerja ke Blok Mahakam akhir pekan lalu, mengatakan, pemerintah berkeinginan agar produksi migas Blok Mahakam tetap terjaga kendati ada alih kelola dari Total dan Inpex kepada Pertamina. Menurut dia, pemerintah akan menerbitkan aturan terkait upaya agar produksi migas tidak merosot.

“Memang banyak sumur di Blok Mahakam yang usianya sudah 40 tahun. Walaupun tua, kami ingin kapasitas produksinya tetap terjaga. Begitu pula selama masa transisi tidak boleh ada gangguan,” kata Jonan.

Tahun lalu, produksi gas Blok Mahakam sebanyak 1.747 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), serta minyak dan kondensat sebanyak 69.186 barrel per hari. Tahun ini, produksi diperkirakan menurun menjadi 1.400 MMSCFD untuk gas dan 50.000 barrel per hari untuk minyak dan kondensat. Salah satu faktor utama penurunan produksi adalah usia sumur yang menua.

Pembagian saham

Mengenai keterlibatan operator lama di Blok Mahakam setelah diambil alih Pertamina, menurut Jonan, Total dipersilakan membicarakan hal tersebut dengan Pertamina dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Menurut dia, Pertamina bisa melepas sahamnya paling tinggi 39 persen untuk Total dan 10 persen untuk pemerintah daerah.

“Pertamina harus mayoritas. Apakah Total masih akan terlibat lagi atau tidak, silakan berbicara dengan Pertamina dan SKK Migas. Soal pekerja, saya kira tidak akan ada penggantian (saat diambil alih Pertamina),” ujarnya.

Sebelumnya, Pertamina menawarkan saham kepada Total sebanyak 30 persen untuk tetap terlibat mengelola Blok Mahakam mulai 2018. Namun, Total belum memberi respons atas tawaran tersebut. Total mengaku masih menganalisis dan mengikuti perkembangan yang terus terjadi.

Selama masa transisi ini, Pertamina merencanakan pengeboran di Blok Mahakam sebanyak 19 sumur dengan dana 180 juta dollar AS atau sekitar Rp 2,3 triliun. Ke-19 sumur tersebut diharapkan bisa berproduksi pada 2018 atau saat Pertamina mengambil alih secara penuh Blok Mahakam. Bila sumur-sumur itu sudah berproduksi, angka produksi migas Blok Mahakam diharapkan pulih seperti biasa.

Penyelesaian Persoalan Freeport
Pri Agung Rakhmanto
Dosen di FTKE Universitas Trisakti
Pendiri Reforminer Institute