Gas Jambaran-Tiung Biru Berdampak Positif Untuk Ekonomi

www.tribunnews.com; Sabtu, 23 September 2017 15:12 WIB

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Eksekutif ReforMiner Institue Komaidi Notonegoro menilai, kesepakatan harga gas antara Pertamina dan PLN di Jambaran-Tiung Biru, sangat positif dan bernilai strategis tinggi. Banyak dampak ekonomi dihasilkan, mulai sektor tenaga kerja hingga industri.

Sangat strategis dan positif. Banyak mulitiplier effect sektor ekonomi yang bisa digerakkan, kata Komaidi, Sabtu (22/9/2017).

Menurut Komaidi, dampak ekonomi yang dihasilkan memang luar biasa. Termasuk di antaranya, bahwa pasokan gas dari Jambaran-Tiung Biru sangat vital untuk memenuhi kebutuhan gas di Indonesia, khususnya listrik dan industri di Jawa.

Listrik juga akan menggerakkan sektor-sektor lain. Di sektor pertanian, misalnya, akan memberi nilai tambah industri pupuk dan petrokimia, jelas Komaidi.

Komaidi pun yakin Hambaran-Tiung Biru bisa mempercepat utilisasi pipa gas Gresik-Semarang, sehingga proyek-proyek yang sempat tetunda dan keekonomiannya diragukan, semua akan kembali berjalan satu per satu.

Khusus sektor industri, Jambaran-Tiung Biru menjadi solusi pemenuhan kebutuhan pasokan gas. Benar bahwa saat ini LNG sedang melimpah, karena kilang minyak di beberapa negara, seperti Qatar, Australia, dan Papua Nugini sedang banyak. Tetapi Komaidi mengingatkan, bahwa industri tidak boleh berpikir terlalu mikro dan jangka pendek.

Gas yang sedang banyak ini hanya bertahan hingga 2018. Padahal, industri harus berpikir hingga 2025-2030. Artinya, industri pun membutuhkan pasokan gas dari Jambaran-Tiung Biru, papar Komaidi.

Kesepakatan Harga Pertamina-PLN pada Jambaran-Tiung Baru Positif

Komaidi Notonegoro

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

INVERTORDAILY: Jumat, 22 September 2017 | 9:54

JAKARTA– Kesepakatan Pertamina-PLN atas harga gas dari lapangan Jambaran-Tiung Biru sangat positif dan bernilai strategis tinggi, mengingat dampak ekonomi yang dihasilkan mulai sektor tenaga kerja hingga industri, kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro.

“Sangat strategis dan positif. Banyakmulitiplier effectsektor ekonomi yang bisa digerakkan,” kata Komaidi di Jakarta, Jumat.

Menurut Komaidi, pasokan gas dari Jambaran-Tiung Biru sangat vital untuk memenuhi kebutuhan gas di Indonesia, khususnya listrik dan industri di Jawa.

“Jangan lupa, industri di Jawa Timur akan terus bertumbuh. Belum lagi listrik yang interkoneksi, sehingga hasil pembangkit di Jatim bisa untuk Jawa Tengah dan Bali. Listrik juga akan menggerakkan sektor-sektor lain. Di sektor pertanian, misalnya, akan memberi nilai tambah industri pupuk dan petrokimia,” kata dia.

Komaidi juga meyakini, Jambaran-Tiung Biru bisa mempercepat utilisasi pipa gas Gresik-Semarang, sehingga pemanfaatan gas bisa diperluas. Dengan demikian, proyek-proyek yang sempat tertunda dan keekonomiannya diragukan, semua akan kembali berjalan satu per satu.

Khusus sektor industri, lapangan Jambaran-Tiung Biru menjadi solusi pemenuhan kebutuhan pasokan gas. Diakuinya, saat ini LNG sedang melimpah karena kilang minyak di beberapa negara, seperti Qatar, Australia, dan Papua Nugini sedang banyak. Tetapi Komaidi mengingatkan bahwa industri tidak boleh berpikir terlalu mikro dan jangka pendek.

“Gas yang sedang banyak ini hanya bertahan hingga 2018. Padahal, industri harus berpikir hingga 2025-2030. Artinya, industri pun membutuhkan pasokan gas dari Jambaran-Tiung Biru,” kata dia.

Tidak kalah penting, adalah penyerapan tenaga kerja yang sangat luar biasa. Dengan pertumbuhan yang terus meningkat, industri juga semakin membutuhkan banyak tenaga kerja baik yang terkait langsung, maupun industri penunjang seperti pipa hingga makanan.

Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) diyakini pula bisa terimbas positif operasional lapangan Jambaran-Tiung Biru, kata Komaidi.

PLN dan Pertamina pada 8 Agustus 2017, menandatangani Perjanjian Jual Beli Gas lapangan Jambaran-Tiung Biru. PLN membeli gas bumi Jambaran-Tiung Baru dari Pertamina sebanyak 100 MMSCFD dengan harga US$ 7,6 /MMBTU.

Lapangan Jambaran-Tiung Biru merupakan unitisasi dua lapangan dari dua wilayah kerja berbeda. Lapangan Jambaran merupakan bagian dari Wilayah Kerja Blok Cepu dan Lapangan Tiung Biru yang menjadi bagian dari wilayah kerja kelolaan PT Pertamina EP.

PLN membeli gas Jambaran-Tiung Biru untuk pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Jawa-Bali 3 dengan kapasitas 500 Megawatt (MW). Sekaligus menjadi alternatif pasokan bagi PLTGU Tambak Lorok apabila pasokan gas dari lapangan Kepodang milik Petronas Carigali Sdn Bhd selesai lebih cepat.

Pemerintah Perlu Tingkatkan Kapasitas Infrastruktur Gas

www.republika.co.id; 17 September 2017, 17:51 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Salah satu alasan mengapa Indonesia membuka kerja sama dengan Singapura dalam tata kelola gas adalah masih kurangnya infrastuktur gas dalam negeri. Tiga infrastuktur gas mulai dari regasifikasi, tempat penyimpanan dan pipa penyaluran hanya ada di wilayah timur Indonesia.

Hal ini dinilai menjadi poin evaluasi terhadap pemerintah sehingga kedepan pemerintah harus bisa meningkatkan kapasitas infrastruktur gas. Pengamat Energi, Reforminer, Pri Agung Rakhmanto menilai pemerintah bisa melakukan penambahan infrastruktur gas di dalam negeri dengan menggandeng BUMN dan perusahaan energi domestik. Ia melihat, hal ini lebih penting ketimbang harus bekerjasama dengan Singapura yang hanya menjadi penyalur.

“Kalau tidak ada jaminan bahwa Singapura bisa memberi harga lebih murah,  kenapa harus bersama singapura kerja samanya. Kalau memang alasan untuk menekan harga, maka mestinya pemerintah juga perlu membenahi infrastuktur gas yang selama ini membuat harga gas yang diterima konsumen gas lebih murah,” ujar Pri Agung saat dihubungi Republika, Ahad (17/9).

Pri Agung mengatakan, Singapura sendiri tidak mempunyai produksi gas, mereka hanya memiliki fasilitas yang memadai sehingga bisa menyuplai kebutuhan gas di wilayah barat Indonesia. Bahkan LNG yang digunakan oleh Singapura juga kemungkinan berasal dari LNG dalam negeri Indonesia.

“Harga landed price masih 6 sampai 7 dolar per mmbtu, belum biaya regasifikasi. Maka kenapa kita tidak lebih baik yang membangun infrastruktur itu. Hal ini tentu akan memberikan efek perekonomian yang lebih besar dibandingkan jika yang melakukan pihak Singapura dan dibangun atau menggunakan infrastruktur milik mereka,” ujar Pri Agung.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Maritim, Luhut Binsar Pandjaitan sempat mengusulkan membuka kerja sama dengan Singapura untuk pembangunan infrastruktur gas dan distribusi gas yang lebih murah. Kebijakan ini diambil Luhut, sebab menurutnya, harga gas di Sumatra dan Kalimantan masih mahal dibandingkan di wilayah timur Indonesia.

Luhut menjelaskan, pilihan distribusi LNG dari dua perusahaan Singapura tersebut karena lokasinya yang lebih dekat dengan terminal regasifikasi. Alhasil, harga LNG yang didistribusi diprediksi dapat menjadi lebih murah.

Selama ini, LNG yang dimiliki Indonesia sebagian besar berasal dari wilayah bagian Timur. Jika didistribusikan ke lokasi regasifikasi maka harganya dapat melonjak. “Kalau kita mau terang-terangan juga sebagian besar gas kita kan datang dari Indonesia Timur. Sehingga mahal kalau mau ditarik sampai ke Nias,” ujar Luhut pekan lalu.

Pertimbangkan Impor LNG; Optimalkan Gas dari Dalam Negeri

Kompas: 12 September 2017 (APO/INA)

JAKARTA, KOMPAS  PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) tengah menjajaki rencana pembangunan infrastruktur gas alam cair di Natuna dan Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, dengan perusahaan asal Singapura. Sementara rencana impor gas alam cair perlu matang dipertimbangkan.

Direktur PLN Amir Rosidin membenarkan pihaknya sudah menandatangani pokok-pokok perjanjian dengan Pavilion Gas Pte Ltd dan Keppel Offshore & Marine Limited di Singapura beberapa waktu lalu. Salah satu isi perjanjian tersebut adalah studi bersama untuk kesiapan pembangunan infrastruktur gas alam cair (LNG) di wilayah Natuna dan Tanjung Pinang.

Masih sebatas studi bersama yang berlaku sampai enam bulan ke depan. Pilihannya, apakah membangun terminal LNG atau terminal regasifikasi terapung belum diputuskan, kata Amir, Senin (11/9), di Jakarta.

Amir menambahkan, dalam perjanjian itu sama sekali tidak disinggung rencana jual beli LNG dengan perusahaan asal Singapura tersebut. Namun, menurut Amir, tidak tertutup kemungkinan untuk itu. Apabila harga LNG yang ditawarkan perusahaan itu lebih murah daripada harga LNG dalam negeri, PLN siap membeli.

Jadi, perjanjian tersebut bukan jual beli LNG. Hanya studi persiapan infrastruktur mini LNG untuk mendapat solusi yang paling efisien. Apabila dari hasil studi diperoleh biaya yang lebih tinggi, studi berakhir tanpa tindak lanjut, ucap Amir.

Dalam laman Pavilion, perusahaan tersebut bergerak di bidang infrastruktur LNG, distribusi, dan jual beli gas. Adapun Keppel lebih banyak bergerak di bidang jasa desain, konstruksi, dan pemeliharaan fasilitas kilang LNG di lepas pantai.

Dalam keterangan resmi Pavilion Energy, kerja sama ini terkait dengan pengadaan dan distribusi LNG ke wilayah Indonesia bagian barat, terutama daerah pedalaman dan pulau-pulau terpencil. LNG akan diangkut ke terminal LNG terapung ataupun terminal LNG di darat menggunakan kapal kecil. Pasokan LNG tersebut cocok untuk pembangkit-pembangkit listrik PLN dengan kapasitas 25 megawatt sampai 100 megawatt.

Pasokan melimpah

Wakil Ketua Komite Industri Hulu dan Petrokimia pada Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Achmad Widjaja mengaku heran dengan kerja sama tersebut. Menurut dia, pasokan LNG di dalam negeri terbilang melimpah sehingga PLN tak perlu impor. Apalagi, impor LNG dari Singapura yang tidak punya sumber daya gas.

Padahal, gas dari Tangguh masih belum ada kepastian pembelinya. Jika dengan alasan lebih murah impor, sumber daya LNG, kan, milik negara. Seharusnya bukan sebuah masalah bagi negara untuk menurunkan harga, ucap Achmad.

Selain itu, lanjut Achmad, apabila persoalannya adalah infrastruktur, ada terminal regasifikasi Arun di Aceh yang bisa dimanfaatkan. Cara itu lebih efisien ketimbang membangun infrastruktur baru di Natuna dan Tanjung Pinang.

Pengajar pada Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, impor LNG memang tak menyalahi aturan. Pasalnya, pilihan impor tersebut juga berlandaskan aturan. Namun, alasan harga LNG impor lebih murah ketimbang harga LNG di dalam negeri sebaiknya dipertimbangkan masak-masak.

Singapura, kan, tidak memiliki sumber daya gas. Jangan sampai gas tersebut berasal dari Indonesia yang dijual lagi ke kita. Ini akan terasa aneh di akal, kata Pri Agung.

Mengenai harga LNG, imbuh Pri Agung, pemerintah sebenarnya bisa menurunkan harganya dengan cara mengurangi bagian penerimaan negara di hulu. Pemerintah juga bisa menurunkan ongkos pengangkutan gas melalui pipa.

PLN membangun infrastruktur LNG untuk pembangkit listrik di Natuna dan Tanjung Pinang dengan pertimbangan untuk memperkuat pasokan listrik di kedua wilayah tersebut.

Saat ini, pasokan listrik di Natuna menggunakan tenaga diesel, sedangkan listrik di Tanjung Pinang dipasok dari Batam lewat kabel bawah laut. Apalagi, Natuna termasuk wilayah yang akan dikembangkan pada masa mendatang.

Diperkirakan kebutuhan gas untuk pembangkit listrik di Natuna dan Tanjung Pinang adalah 40 juta british thermal unit per hari. Sejauh ini, porsi tenaga gas dalam bauran energi pembangkit PLN mencapai 25 persen atau setara 1.100 miliar british thermal unit per hari.

Gross Split Baru Belum Bikin Iklim Investasi Hulu Migas Menarik

www.bisnis.com; September 10, 2017 16:25 WIB

Bisnis.com, JAKARTA Upaya pemerintah memperluas penambahan bagi hasil kontraktor melalui Peraturan Menteri No.52/2017 belum berpengaruh secara signifikan untuk menaikkan iklim investasi hulu migas.

Dalam kaitannya dengan daya tarik dari segi fiskal, Lead Extractives Specialist World Bank Bryan C Land belum bisa menyebut apakah perubahan tersebut cukup menaikkan daya tarik Indonesia sebagai tujuan penanaman modal. Bila dibandingkan dengan skema sebelumnya, katanya, pemerintah telah melakukan perbaikan. Namun, dia menuturkan perubahan itu belum bisa menegaskan apakah posisi Indonesia lebih layak menjadi tujuan investasi atau belum. Alasannya, ujar Bryan, upaya yang sama sedang dilakukan negara lainnya.

Dari 12 lapangan yang menjadi acuan, penerapan gross split baru memberikan tambahan angka pengembalian investasi (internal rate of return/IRR). Dengan rentang penambahan IRR terendah sebesar 2,1% hingga yang tertinggi yakni 15,7%, rata-rata penambahan IRR melalui skema gross split baru lebih besar 6,5% dari gross split lama.

Dengan demikian, rerata IRR yang didapatkan pada gross split baru sebesar 28,8% atau lebih tinggi dari rerata IRR pada PSC cost recovery yakni 24,8%. Berdasarkan data Wood Mackenzie, IRR di Indonesia tidak lebih tinggi dari negara lain seperti Australia dengan 30,4%, Papua Nugini 38,2%, Irlandia 40,3% dan Inggris 41,5%.

“Negara-negara lain dengan iklim investasi yang sama tengah berupaya membuat ketentuan-ketentuan yang lebih menarik. Jadi kami harus melihat. Tapi kami memiliki kemampuan untuk membuat perbandingan itu dan bila kementerian tertarik untuk mendapatkan saran dari kami, kami mau membagikannya,” katanya.

Seperti diketahui, pemerintah menambah bobot split dan variabel baru yang bisa meningkatkan keekonomian melalui Permen 52/2017. Selain itu, tambahan split pun didapatkan di fase-fase awal pengembangan ketika kontraktor belum bisa menikmati hasil produksi. Kemudian, ruang tambahan split dari diskresi menteri pun tak lagi dibatasi sebesar 5%.

Pengamat Energi dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengatakan untuk bisa memperbaiki iklim investasi, pemerintah perlu menyelesaikan masalah kemudahan berusaha (ease of doing business). Sebagai contoh, dia menyebut perizinan, birokrasi, konsistensi peraturan dan menghormati kontrak yang berjalan (sanctity of contract). Menurutnya, perubahan ini masih terlalu kecil dampaknya karena hanya menggunakan kondisi sebelumnya yakni Permen 8/2017 sebagai pembanding.

“Untuk sampai ke tahap menarik dan mendatangkan investasi lagi, menurut saya, masih perlu pembuktian dan penyelesaian hal-hal atau masalah lain yang menjadi kunci ease of doing business,” katanya.

Presiden Indonesian Petroleum Association (IPA) Christina Verchere mengatakan perubahan yang dilakukan pemerintah diharapkan membawa angin segar terhadap investasi di sektor hulu minyak dan gas bumi. Kendati demikian, kerja pemerintah belum usai karena split akhir yang didapatkan kontraktor belum termasuk pajak.

Menurutnya, faktor pajak yang belum pasti bisa menggoyah upaya pemerintah untuk memperbaiki keekonomian pengembangan lapangan melalui penambahan split.

“Kami meminta agar mekanisme perpajakan diperjelas dan meminta pemerintah agar tak menambah ruang ketidakpastian lainnya yang bisa bertentangan dengan kinerja positif yang telah dilakukan pada gross split,” katanya.

Gross Split Jamin Return Lebih Tinggi

Jawa Pos; 11 September 2017

JAKARTA Kementerian Energi dan Sumber Daya Mine ral ( ESDM) telah merevisi peraturan menteri tentang bagi hasil migas. Pemerintah memberikan delapan insentif kepada kontraktor migas agar investasi di hulu migas lebih atraktif.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai, revisi aturan tentang gross split tersebut memberikan sentimen positif bagi iklim investasi migas. Perbedaan terletak pada sisi perputaran uang yang diperoleh kontraktor.

Meski demikian, peraturan baru itu memberikan jaminan tingkat pengembalian biaya investasi ( internal rate of return/ IRR) yang lebih baik sehingga masih menarik investor untuk melakukan eksplorasi lapangan migas baru.

Memang (balik modal dengan metode gross split) tidak secepat cost recovery. Tapi, kalau di peraturan baru dikatakan bahwa IRR akan positif, saya kira kontraktor sudah dapat jaminan akan untung, imbuh Komaidi.

Pemerintah dan kontraktor, tegas dia, memang harus diuntungkan dalam investasi migas. Dari sisi pemerintah, penerimaan negara bertambah, sedangkan kontraktor tetap mendapat keuntungan dari investasi di sektor hulu migas agar tetap mau mengeksplorasi ladang minyak baru.

Kalau hanya melihat sisi eksploitasi yang menjadi sumber penerimaan pajak dan tidak memikirkan kepentingan investor, penerimaan pajak dari migas akan tetap seret, jelas Komaidi.

Pemerintah memang telah melakukan kalibrasi terhadap 12 lapangan migas untuk memberikan IRR yang lebih tinggi. Tingkat IRR terendah ditetapkan 2,1 persen hingga yang tertinggi 15,7 persen. Penambahan IRR dilakukan melalui skema gross split yang lebih besar 6,5 persen dari gross split lama.

Dengan begitu, rata-rata IRR yang didapatkan pada gross split baru sebesar 28,8 persen. IRR tersebut lebih tinggi dibandingkan rata-rata IRR saat menggunakan sistem cost recovery yang hanya 24,8 persen.

Presiden Indonesian Petroleum Association (IPA) Christina Verchere mengapresiasi revisi aturan tersebut. Menurut dia, investasi migas terkait erat dengan iklim usaha, kepastian hukum, dan persoalan fiskal yang kompetitif.

Penurunan tingkat keuntungan dari bisnis migas membuat investor semakin selektif menanamkan modalnya. Hanya proyek migas dengan imbal hasil kompetitif yang akan dikerjakan.

Dengan perubahan aturan tentang bagi hasil tersebut, Christina meyakini daya saing industri migas di Indonesia semakin meningkat. Apresiasi juga diberikan untuk kenaikan insentif kepada kontraktor, penambahan progressive split (dalam harga gas), serta kenaikan progressive split pada tahap awal produksi.

Christina juga mengapresiasi adanya insentif untuk pengembangan lapangan di luar rencana pengembangan ( plan of development) awal. Kami juga senang opsi tipe kontrak untuk PSC perpanjangan masih dipertahankan, imbuhnya.

Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong menilai, skema baru gross split lebih menarik dibandingkan sebelumnya. Namun, kontraktor masih melakukan kalkulasi ulang jika dibandingkan dengan cost recovery. Setiap lapangan kan beda. Ada yang lebih bagus, ada yang lebih rendah, ada yang besar, jelasnya.

Pemerintah Diminta Hapus Tender Pengadaan BBM PSO

PETROMINER; 6 September 2017

Jakarta, Petrominer Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara, mendesak Pemerintah untuk menghentikan kebijakan tender pengadaan bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Alasannya, kebijakan tender pengadaan BBM PSO itu sudah tidak relevan lagi diterapkan.

Seperti diketahui, BPH Migas tengah melakukan proses tender pengadaan BBM PSO untuk tahun 2018. Namun, BBM sebagai kebutuhan dasar yang menyangkut hajat hidup orang banyak tidak layak apabila swasta yang melakukan pengadaannya. Sebab, swasta selalu berorientasi pada keuntungan.

Harga BBM PSO itu ditetapkan Pemerintah, namun menjadi tidak relevan jika proses pengadaan dan penetapan harganya dilakukan melalui proses tender, kata Marwan dalam diskusi Menyoal Kebijakan Tender Pengadaan BBM PSO, Rabu (6/9).

Hal senada juga disampaikan oleh Pengamat Energi dari Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro. Dia mengatakan dasar hukum pelaksanaan tender BBM PSO sudah selayaknya direvisi. Apalagi, kebijakan tender ini diduga sudah ada muatan kepentingan dari pihak-pihak tertentu.

Pemerintah harus melihat secara keseluruhan jangan hanya mengacu pada regulasi saja, kalau emang regulasi ini salah direvisi, kata Komaidi.

Dalam kesempatan itu, Marwan mengakui penetapan tender itu memang memiliki dasar hukumnya yaitu UU Migas no 22/2001, PP No 36/2004 dan Peraturan BPH Migas No 09/P/BPH Migas/XII/2005. Namun menurutnya dasar hukum ini sudah selayaknya direvisi secara tegas agar tidak lagi membebani PT Pertamina (Persero) sebagai BUMN yang memiliki kompetensi dalam memproduksi hingga menyalurkan BBM PSO.

Dia menilai kebijakan ini tidak lepas dari upaya pemerintah yang saat ini berkuasa untuk mendapatkan pencitraan yang baik. Pemerintah seolah-olah ingin diakui telah melakukan intervensi pada penetapan harga BBM PSO. Namun disisi lain faktanya, Pertamina sebagai distributor dan penyedia BBM PSO harus nombok akibat harga yang ditetapkan Pemerintah dianggap membebani BUMN ini.

Problem ada dit tangan Pemerintah yang sikapnya abu-abu, ini tidak lepas dari pencitraan yang tidak mau buruk tapi BUMN jadi korban. BUMN yang manapun itu termasuk Pertamina bukan milik pemerintah yang berkuasa, itu semua milik rakyat, kita ingatkan pemerintah harus menyadari bahwa ini perusahaan negara yang harus dilindungi, ucap Marwan.

Idealnya dalam pengadaan BBM PSO yang harusnya dilakukan oleh Pemerintah adalah pengadaan LPG 3 Kg. Tanpa melibatkan swasta dalam pengadaannya, terbukti penyaluran gas melon ini berjalan cukup baik dan tidak merugikan Pertamina.

Ini memang kebijakan yang benar dan relevan sesuai dengan amanat UU. Kan status BBM PSO sama dengan LPG 3 KG maka sepantasnya dalam proses pengadaaannya jua sama tanpa tender, papar Marwan.

Ada revisi, gross split dinilai tetap tak menarik

KONTAN: Minggu, 03 September 2017A� 22:35 WIB

KONTAN.CO.ID –  Tengoklah angka realisasi investasi hulu migas hingga semester I 2017 yang dikeluarkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Hingga akhir Juni 2017, investasi hulu migas hanya mencapai US$ 4,8 miliar. Sementara target investasi migas yang ditetapkan pemerinrah tahun ini sebesar US$ 22,2 miliar.

Revisi aturan gross split yang tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 52 Tahun 2017 pun dianggap tidak akan mampu meningkatkan investasi hulu migas Indonesia yang tengah dalam kondisi kritis.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute mengatakan revisi gross split saat ini memang relatif lebih baik daripada aturan mengenai gross split yang tertuang dalam Permen nomor 8 tahun 2017.

Dalam revisi aturan gross split, pemerintah memang mencoba untuk lebih fleksibel dalam menyesuaikan variabel untuk tambahan bagi hasil (split).

Namun jika dibandingkan dengan skema cost recovery, revisi gross split masih kurang menarik. “Kalau dibanding cost recovery, dari sisi cash flow tetap tidak kompetitif. Yang satu negara yang membiayai, kalau ini sepenuhnya dibiayai kontraktor.Kecepatan cash flow belum bisa bersaing,”kata Komaidi ke KONTAN pada Minggu (3/9).

Menurut Komaidi, kontraktor kontrak kerja sama sampai saat ini masih mempertimbangkan cash flow. Sehingga skema yang paling tepat digunakan tetaplah cost recovery.

Apalagi resiko dalam skema cost recovery relatif sedikit dibanding skema gross split. Terutama dengan banyaknya masalah investasi di Indonesia yang tak kunjung selesai seperti maslaah kepastian hukum, perizinan yang kompleks, hingga masalah lahan.

Pengorbanan pemerintah untuk mengurangi bagiannya dalam bagi hasil pun dianggap tidak berhasil menarik investor ke hulu migas Indonesia. “Pemerintah berkorban, bagiannya sudah berkurang banyak, tapi belum membuat kontraktor tertarik,”imbuh Komaidi.

Untuk itu Komaidi menyarankan agar pemerintah tidak memaksakan investor untuk menggunakan gross split. Pemerintah sebaiknya membuat investor untuk memilih skema yang tepat untuk mengelola blok-blok migas di Indonesia.

“Silahkan jalan dua-duanya, karena sebanyak apapun intensif variabel diubah, sepanjang cash flow masih jadi perhatian utama K3S, maka gross split tidak menarik. Tapi untuk pengelolaan wilayah kerja yang sudah tidak perhatikan cash flow, maka gross split lebih menarik karena lebih simple,”jelasnya.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Pengamat Migas dari Universitas Gajah Mada Fahmy Radhi yang mengatakan revisi gross split yang hanya menaikkan presentase untuk kontraktor tidak akan mampu menarik kontraktor mengikuti lelang SK Migas tahun ini.

“Bagi kontraktor yang sudah nyaman dengan PSC, membutuhkan waktu memperhitungkan keuntungan dalam menggunakan gross split. Mestinya, pemerintah memberikan opsi bagi kontraktor untuk memilih PSC atau gross split selama lima tahun. Setelah 5 tahun, Pemerintah baru mewajibkan penggunaan gross split,”kata Fahmy.

Sementara itu, Indonesia Petroleum Association (IPA) masih belum mau berkomentar terkait revisi gross split tersebut. “Tunggu besok jawaban kami ya, sedang dipelajari,”ungkap Direktur Eksekutif IPA, Marjolijn Wajong.