Pemerintah Diminta Hati-Hati Perpanjang Kontrak Inpex di Masela

DUNIA ENERGI; Selasa, 24 Oktober 2017 – 20:28

JAKARTA  Pemerintah telah memberikan jaminan perpanjangan kontrak pengelolaan Blok Masela selama 20 tahun kepada Inpex Corporation, setelah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan bertemu dengan petinggi perusahaan asal Jepang tersebut.

Tidak hanya perpanjangan kontrak, pemerintah juga menjanjikan kompensasi masa waktu eksplorasi selama tujuh tahun. Masa kompensasi diberikan dengan alasan ada waktu tambahan yang diperlukan Inpex sebagai akibat dari perubahan skema pembangunan fasilitas kilang gas alam cair (Liquified Natural Gas/LNG) dari laut (offshore) menjadi di darat atau onshore.

Susyanto, Sekretaris Direktorat Jendral Minyak dan Gas Kementerian ESDM, mengungkapkan keputusan penambahan kontrak selama tujuh tahun sebagai kompensasi masa eksplorasi karena adanya perubahan skema pembangunan merupakan deskresi menteri.

Deskresi menteri itu dasar hukumnya ada di pasal 39 Undang-Undang (UU) Migas, kata Susyanto di Jakarta, Selasa (24/10).

Jika ditelisik dalam pasal 39 UU Migas No 22 Tahun 2001 tertulis yakni Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 (Pembinaan terhadap kegiatan usaha minyak dan gas bumi dilakukan oleh pemerintah, meliputi penyelenggaraan urusan pemerintah di bidang kegiatan usaha minyak dan gas bumi, penetapan kebijakan mengenai kegiatan usaha migas berdasarkan cadangan dan potensi sumber daya migas, kemampuan produksi, kebutuhan BBM dan gas dalam negeri, penguasaan teknologi, aspek lingkungan dan pelestarian lingkungan hidup, kemampuan nasional dan kebijakan pembangunan.

Menurut Susyanto, meskipun tidak dijelaskan secara spesifik adanya deskresi menteri, dalam konteks Masela dibutuhkan peran pemerintah untuk memastikan keekonomian proyek.

Tidak kedengeran penjelasan, yang penting itu diluar kemampuan kontraktor (permasalahan keekonomian), kata dia.

Jonan sebelumnya mengaku jaminan perpanjangan kontrak kepada Inpex baru disampaikan secara lisan tanpa adanya hitam diatas putih. Formalitas perpanjangan kontrak tersebut baru akan dilakukan pada tahun depan.

Pri Agung Rakhmanto, Pengamat Migas dari Universitas Trisakti, menilai keputusan pemerintah untuk memberikan perpanjangan kontrak dengan tambahan tujuh tahun sebagai kompensasi bisa dimaklumi untuk menjamin keekonomian sebuah proyek yang telah berlangsung bertahun-tahun namun belum menghasilkan. Namun Ia mengingatkan akan risiko hukum yang harus ditanggung pemerintah.

Pemerintah khususnya, tentu berkepentingan memberikan kepastian bagi semua pihak. Namun, dalam konteks ini, jangan sampai ada peraturan yang dilanggar, karena hal itu nantinya bisa menimbulkan ketidakpastian baru, kalau misalkan nanti ada yang menggugat, kata Pri Agung kepada Dunia Energi, Selasa.

Kontrak Inpex di Blok Masela akan berakhir pada 2028 mendatang. Namun hingga saat ini pengembangan di blok gas tersebut masih belum bisa terealisasi karena adanya perubahan skema pengelolaan LNG. Serta beberapa masalah lain, seperti penentuan kapasitas produksi dan penetapan lokasi pembangunan kilang LNG nantinya.

Menurut Pri, pemerintah jangan gegabah memberikan kepastian perpanjangan kontrak, sehingga tidak melanggar PP 35 Tahun 2004 pasal 28 ayat 5 yang berbunyi permohonan perpanjangan kontrak kerja sama dapat disampaikan paling cepat 10 tahun dan paling lambat dua tahun sebelum kontrak kerja sama berakhir.

Meskipun dalam ayat 6 pasal tersebut ada pengecualian pengajuan perpanjangan yang dipercepat. Jika kontraktor telah terikat dengan kesepakatan jual beli gas bumi. Namun hingga saat ini siapa pembeli gas Blok Masela belum pasti.

Itu baru bisa dilakukan kalau sudah ada perjanjian jual beli gas, misalnya dengan pembeli. Dalam kasus blok Masela ini, sepengetahuan saya belum ada perjanjian jual beli gasnya sama sekali, kata Pri Agung.

Daftar hengkang KKKS semakin panjang

Kontan.co.id; Selasa, 10 Oktober 2017 13:01 WIB

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Penjualan saham Chevron, ConocoPhilips dan Inpex di Blok South Natuna Sea Block B (SNSB) mesti menjadi peringatan bahwa industri migas Tanah Air sudah masuk lampu merah. Pasalnya, sebelum penjualan saham Blok B secara beruntun itu, ExxonMobil juga melepas keikutsertaannya di Blok East Natuna.

Direktur Utama Medco Energi, Hilmi Panigoro mengklaim aksi Chevron menjual saham SNSB tak mempengaruhi produksi. “Penjualan tidak akan mempengaruhi produksi karena kami operator,” ujarnya ke KONTAN, Minggu (8/10).

Hingga semester I-2017, produksi Blok SNSB mencapai 60.000 ekuivalen berel per hari (boepd). Saat ini Medco sedang melakukan pengeboran sumur ketiga dan keempat. “Kami sedang drilling well ketiga dan keempat. Wells satu dan dua sudah selesai dan sudah produksi. Drilling-nya system batch (parallel) untuk efisiensi,” ungkap Hilmi

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute menilai, keluarnya perusahaan migas asing dari blok-blok migas Indonesia karena beberapa faktor. Misalnya soal tidak adanya kepastian investasi di Indonesia dan masalah perizinan yang hingga kini belum juga terpecahkan. “Selama ini, industri migas termasuk Chevron mengeluhkan adanya sejumlah hambatan investasi yang salah satunya masalah perizinan,” ujar Komaidi kepada KONTAN pada Senin (9/10).

Menurut dia, masalah-masalah tersebut membuat iklim investasi Indonesia kurang menarik jika dibandingkan negara-negara lain. “Masalah utama iklim investasi. Kemudian mereka punya pilihan investasi yang lebih menarik, termasuk di negara mereka sendiri (Amerika Serikat) yaitu mengembangkan Shale Oil atau Gas,” jelasnya.

Terobosan Mewujudkan Kemandirian Energi Nasional

Koran Sindo: Kamis, 19 Oktober 2017 – 13:54 WIB

JAKARTA– Langkah kabinet Jokowi-JK menuju visi Kemandirian Energi Nasional dinilai sudah pada jalur yang tepat, kendati pelaksanaannya tidak semudah membalik telapak tangan.

Kebijakan energi pemerintahan Jokowi-JK yang berdampak besar, antara lain ketika mengubah pola subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan penetapan harganya. Selain itu, program BBM Satu Harga juga membantu menurunkan tekanan inflasi, terutama di wilayah yang jauh dari Jakarta. Di lain pihak, kebijakan BBM Satu Harga menimbulkan beban biaya bagi Pertamina. PT Pertamina (Persero) mencatatkan pendapatan sebesar USD20,5 miliar pada semester I/2017 atau meningkat 19% dibanding semester I/2016 yang tercatat USD17,2 miliar. Namun, peningkatan itu tidak sejalan dengan laba bersih perseroan yang anjlok 24% menjadi USD1,4 miliar.

Direktur Utama Pertamina Elia Masa Manik mengatakan, penurunan laba disebabkan fluktuasi harga minyak dunia yang cenderung meningkat sehingga berdampak pada harga keekonomian BBM. Rata-rata harga minyak mentah Indonesia pada semester I/2017 tercatat USD48,9 per barel, naik 35,4% dibanding periode yang sama tahun lalu. Pemerintah dinilai cukup konservatif dalam menetapkan asumsi harga minyak di APBNP 2017 dan APBN 2018. Asumsi lifting juga dirasa terlalu tinggi karena per September 2017 realisasinya 729.000 barel per hari.

Terkait produksi minyak bumi, pemerintah memperkirakan hingga akhir 2017 lifting minyak hanya mencapai 98% dari target. “Target kita 815.000 bph, sekarang rata-rata di bawah 800.000 bph. Sampai akhir tahun outlook-nya di bawah 815.000 bph,” sebut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan.

Meski lifting minyak tidak mencapai target, pencapaian lifting gas diyakini lebih baik, diperkirakan sampai akhir tahun mencapai 6.960 MMSCFD, lebih tinggi dari target APBPN 2017 sebesar 6.440 MMSCFD. Penerimaan negara dari sektor migas juga diperkirakan sesuai target. Hingga September 2017, kontribusi sektor migas terhadap penerimaan negara Rp92,43 triliun atau lebih besar 10,25% dibanding pada periode yang sama 2016. Poin positif juga harus diberikan dalam pencapaian pemerintah di sektor minerba, yaitu penggantian kontrak karya Freeport di Indonesia.

Pengamat energi UGM Fahmy Radhi mengatakan, perundingan dengan Freeport merupakan proses signifikan. Sejak awal pemerintah ingin mengubah dari kontrak karya. Meskipun Freeeport menolak, Menteri ESDM tidak gentar dalam berunding. “Akhirnya Freeport berubah menyetujui, meskipun dalam penetapan harga saham. Di bidang minerba ini cukup bagus,” ujarnya.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengapresiasi langkah pemerintah merevisi banyak regulasi. “Sudah banyak aturan baru dan revisi yang diterbitkan. Ini bukti respons cepat pemerintah membenahi sektor energi,” ucapnya.

Komaidi menilai, langkah pemerintah dalam tiga tahun sudah berada di jalur yang tepat, meskipun ada kekurangan dalam hal eksekusi. Proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW) juga menjadi sorotan. Sebelumnya, pemerintah berkomitmen merealisasikan penyediaan listrik 35.000 MW dalam jangka lima tahun (2014-2019). Namun, proyek ini diperkirakan molor dari target awal. Program ini sebelumnya dibuat dengan asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia 7% per tahun, tapi realisasinya hanya di kisaran 5%. Jadi, target 35.000 MW hingga 2019 juga harus disesuaikan.

Presiden Jokowi pun merestui penurunan target penyelesaian proyek 35.000 MW. Pembangunan infrastruktur listrik sudah seharusnya disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi, di samping menjaga kondisi keuangan PT PLN (Persero). Menurut Jokowi, kebutuhan listrik sampai 2019 akan meningkat, walaupun jika dihitung tidak sampai 35.000 MW.

Presiden ingin penyediaan listrik terus ditingkatkan untuk mencukupi kebutuhan listrik nasional. Sementara PLN tetap berkomitmen melaksanakan proyek 35.000 MW dan 46.000 kms transmisi. Hanya saja, PLN akan menyesuaikan penyelesaian proyek 35.000 MW dengan mengkaji beban biaya yang harus ditanggung.

Adapun kemajuan proyek 35.000 MW, yaitu 773 MW pembangkit telah beroperasi secara komersial, sebesar 15.266 MW tengah dalam tahap konstruksi, dan sebanyak 10.255 MW telah melakukan perjanjian jual beli listrik namun belum konstruksi. Di samping itu, 4.563 MW tengah dalam proses pengadaan dan 6.970 MW dalam tahap perencanaan.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, selain faktor pertumbuhan ekonomi, laju konsumsi listrik juga tidak terlalu tinggi karena pembangunan smelter dan kawasan industri tidak secepat yang dibayangkan, dan ada rasionalisasi konsumsi listrik oleh konsumen industri.

Bahan Bakar Nabati Dievaluasi;Pencampuran Biodiesel ke Solar Bermasalah

Kompas; 13 Oktober 2017

TARGET BAURAN ENERGI DALAM RUEN/RUED (APO)

JAKARTA, KOMPAS Pemerintah akhirnya mengevaluasi kebijakan pemanfaatan bahan bakar nabati di dalam negeri. Dari sejumlah laporan dan temuan, kebijakan pemanfaatan biodiesel dan bioetanol mengalami kendala di lapangan.

Dalam sidang anggota ke-23 Dewan Energi Nasional (DEN), Kamis (12/10), di Jakarta, salah satu topik yang dibahas adalah evaluasi pengembangan bahan bakar nabati. Salah satu kebijakan yang mengatur bahan bakar nabati adalah Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.

Anggota DEN, Achdiat Atmawinata, mengatakan, penerapan pencampuran biodiesel ke dalam solar menimbulkan masalah teknis untuk mesin-mesin pada alat berat, seperti kereta api serta mesin pada alat utama sistem persenjataan (alutsista). Masalah tersebut berupa timbulnya kerak pada ruang pembakaran.

Penggunaan biosolar (biodiesel bercampur solar) pada alat berat menimbulkan endapan yang berubah menjadi kerak di ruang pembakaran. Akibatnya, ongkos perawatan membengkak karena penggantian filter menjadi lebih sering, kata Achdiat.

New Doc 2017-10-13

Syamsir Abduh, anggota DEN, mengatakan, permasalahan di lapangan terkait pencampuran biodiesel ke dalam solar segera dikaji dan dievaluasi. Ada kemungkinan penerapan kebijakan pencampuran biodiesel ke dalam solar sebanyak 30 persen (B30) yang dimulai pada 2030 akan ditangguhkan jika masalah tersebut belum bisa dituntaskan.

Harga jual

Dalam Peraturan Menteri ESDM No 12/2015, kewajiban pencampuran biodiesel ke dalam solar dimulai April 2015 sebanyak 15 persen (B15). Selanjutnya, Januari 2016 sampai akhir 2019 adalah 20 persen (B20). Angka pencampuran naik menjadi 30 persen (B30) terhitung Januari 2020.

Sekretaris Jenderal DEN Saleh Abdurrahman mengatakan, kewajiban pencampuran bioetanol ke dalam bahan bakar selain solar akan menyebabkan harga jual membengkak. Pemerintah sudah memutuskan untuk mengkaji ulang kebijakan itu dengan melibatkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perhubungan.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, kebijakan bahan bakar nabati di Indonesia tersebut terbilang tepat. Namun, sering kali kebijakan tak disertai dengan kajian akademis dan riset pasar. Apabila sampai ditangguhkan, hal itu dapat menimbulkan ketidakpastian di masa depan pada industri pembuatan biodiesel yang sudah berjalan selama ini.

Hulu Migas dan Ekonomi Nasional

Pri Agung Rakhmanto;
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute dan
Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI)

Kompas; 7 Oktober 2017

Di saat harga minyak sedang rendah seperti sekarang ini, terasa ada nuansa dan pandangan bahwa posisi dan peran sektor hulu migas terhadap perekonomian Indonesia relatif tidak penting lagi.

Hal ini terutama didasarkan atas relatif kecilnya kontribusi hulu migas terhadap penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dalam beberapa tahun terakhir hanya berkisar 3-5 persen. Nuansa dan pandangan semacam itu dapat dimengerti, tetapi perlu diimbangi dengan melihat peran dan posisi hulu migas terhadap perekonomian nasional secara lebih menyeluruh.

Meskipun kontribusi hulu migas terhadap penerimaan negara secara langsung menurun, sektor ini tetap memiliki posisi dan peran penting terhadap hampir seluruh aspek perekonomian Indonesia. Beberapa hal berikut kiranya penting menjadi perhatian para pengambil kebijakan.

Pertama, sektor hulu migas masih tetap tercatat sebagai salah satu sektor dengan kemampuan (besaran) investasi terbesar di Indonesia. Sejak awal pelaksanaan pembangunan sampai saat ini, investasi hulu migas tercatat memiliki peran penting dalam dunia investasi di Indonesia. Pada 2014, saat total nilai investasi nasional (penanaman modal dalam negeri plus penanaman modal asing) di luar sektor hulu migas kurang lebih Rp 541,28 triliun, nilai investasi hulu migas Rp 275,4 triliun.

Rasio di antara keduanya kurang lebih 2:1. Pada 2015, saat total nilai investasi nasional Rp 574,69 triliun, investasi hulu migas kurang lebih Rp 206,55 triliun, atau perbandingan keduanya mendekati 3:1. Sementara pada 2016, nilai keduanya kurang lebih Rp 607,25 triliun dan Rp 151,2 triliun, yang berarti 4:1 dalam rasionya. Dalam lima tahun terakhir, porsi investasi industri hulu migas rata-rata mencapai 30,50 persen dari total realisasi investasi di Indonesia. Realisasi investasi kumulatif di sektor hulu migas selama lima tahun terakhir tercatat Rp 990,79 triliun.

Kontribusi ke ekonomi

Kedua, industri hulu migas memiliki keterkaitan sektoral yang sangat luas dengan sektor-sektor ekonomi pendukung dan penggunanya. Industri hulu migas terkait dengan 75 sektor pendukung dan 45 sektor penggunanya. Sektor pendukung hulu migas tersebut menguasai sekitar 55,99 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia dan menyerap sekitar 61,53 persen tenaga kerja Indonesia. Sementara sektor penggunanya menguasai sekitar 27,27 persen PDB dan menyerap sekitar 19,34 persen tenaga kerja.

Simulasi ReforMiner Institute menemukan, potensi nilai tambah ekonomi yang tercipta dari investasi di hulu migas cukup besar. Transaksi industri hulu migas dengan sektor pendukungnya senilai Rp 1 triliun akan menciptakan nilai tambah ekonomi sekitar Rp 3,72 triliun. Kegiatan transaksi sebesar itu berkorelasi dengan penyerapan sekitar 13.600 tenaga kerja.

Ketiga, meskipun porsi penerimaannya turun, penerimaan dari sektor hulu migas (pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak/PNBP) tetap memiliki peran penting terhadap penerimaan negara. Data rasio pajak industri hulu migas dalam lima tahun terakhir rata-rata 19,42 persen, masih lebih tinggi dari rata-rata rasio pajak Indonesia pada periode yang sama yaitu 11,23 persen. Ini mengindikasikan sektor hulu migas tetap berkontribusi penting dalam mengangkat (rasio) penerimaan perpajakan nasional secara keseluruhan.

Dalam hal PNBP dibandingkan dengan PNBP sumber daya alam (SDA) lain, sektor hulu migas juga tetap masih berperan penting. Ketika harga minyak tinggi, porsi PNBP hulu migas mencapai sekitar 90 persen dari total PNBP SDA yang lain di APBN. Sementara pada kondisi harga minyak rendah, porsi PNBP hulu migas masih tetap signifikan, yaitu sekitar 68 persen dari total PNBP SDA.

Keempat, tingkat produksi migas di sektor hulu akan turut memengaruhi stabilitas nilai tukar rupiah. Sebagaimana diketahui, salah satu kebutuhan devisa impor Indonesia yang terbesar adalah untuk impor minyak mentah, BBM, dan LPG. Data yang ada menunjukkan, seiring dengan terus menurunnya produksi minyak, dalam lima tahun terakhir neraca perdagangan migas Indonesia selalu defisit.

Defisit berpotensi terus meningkat karena jika tidak diperhatikan secara sungguh-sungguh, produksi migas nasional akan terus menurun. Dengan asumsi harga minyak 70 dollar AS per barrel, kebutuhan devisa untuk impor minyak mentah dan BBM pada 2025 dapat mencapai 60 miliar dollar AS-95 miliar dollar AS setiap tahun.

Peningkatan kegiatan usaha hulu migas untuk meningkatkan cadangan dan produksi migas adalah hal yang harus dilakukan pemerintah untuk menekan kebutuhan devisa untuk impor minyak mentah, BBM, dan LPG. Kondisi ini akan memberikan dampak terhadap nilai tukar rupiah yang lebih sehat.

Berdasar hal-hal di atas, meski sudah terjadi pergeseran perannya dalam menopang penerimaan APBN, cara penanganan dan pengelolaan sektor hulu migas pada dasarnya masih tetap harus sejalan dengan amanat konstitusi UUD 1945. Peran dan posisi sektor hulu migas tak hanya penting bagi perekonomian nasional, tetapi juga strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak.

Peran sektor hulu migas sebagai jangkar dan lokomotif pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan menarik 75 sektor ekonomi pendukung dan mendorong 45 sektor ekonomi penggunanya jelas tak dapat diabaikan dan ditinggalkan begitu saja. Di tengah pertumbuhan dan perkembangan sektor-sektor lain, sektor ini tetap perlu dapat perhatian khusus dan penanganan yang serius dari pemerintah.

Migas Sebagai Penggerak Ekonomi

Pri Agung Rakhmanto;
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute dan
Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI)
Bisnis Indonesia: Kamis 05 Oktober 2017

Zaman telah dan terus berubah. Jika di awal masa pembangunan, khususnya pada periode 1973-1983, lebih dari 60% porsi penerimaan negara rata – rata bersumber dari penerimaan migas, saat ini kurang lebih 85% penerimaan negara bersumber dari pajak.

US$48 per barel, total penerimaan migas, yang terdiri dari Penerimaan Negara Bukan PaJak (PBP) dan Penerimaan Pajak Migas dalam RAPBN 2018 diperkirakan hanya akan mencapai Rp113,1 triliun. Ini kurang lebih setara dengan 6 dari total penerimaan negara yang ditargetkan mencapai Rp1 .878,4 triliun.

Ada beberapa hal yang dapat kita baca dari beberapa angka di atas. Pertama, migas saat ini bukan lagi sumber penerimaan negara yang utama. ltu sangat jelas. Kedua, sektor-sektor ekonomi lain di luar migas telah tumbuh dan berkembang sedemikian rupa sehingga memberikan kontribusi ekonomi, dalam bentuk pajak salah satunya yang kemudian menggantikan peran sektor migas sebagai penerimaan negara yang utama. lni juga relatif cukup jelas.

Ketiga, yang barangkali tidak cukup jelas terbaca adalah bahwa sektor migas, baik melalui penerimaan negara yang disumbangkannya selama ini, dan khususnya di awal masa pembangunan. Maupun melalui keberadaannya dengan segala multiplier effect yang ditimbulkannya, telah “berjasa” menjadi penggerak mula perekonomian nasional serara keseluruhan hingga dapat tumbuh dan berkembang menjadi seperti sekarang ini.

Sektor hulu migas misalnya, memiliki keterkaitan sektoral yang sangat luas dengan sektor-sektor ekonomi pendukung dan penggunaanya. Industri hulu migas terkait dengan 75 sektor pendukung dan 45 sektor pengguna. Sektor pendukung hulu migas tersebut menguasai sekitar 55.99 PDB Indonesia dan menyerap sekitar 61,53% tenaga kerja Indonesia.

Sementara sektor penggunanya menguasai sekitar 27,27 PDB dan memcrap sek1tar 19,34% tenaga kerja. Simulasi ReforMiner menemukan bahwa potensi nilai tambah ekonomi yang tercipta dari investasi hulu migas cukup besar. Transaksi industri hulu migas dengan sektor pendukungnya senilai Rp1 triliun akan menciptakan nilai tambah ekonomi sekitar Rp3,72 triliun. Kegiatan transaksi tersebut juga akan menyerap tenaga kerja sekitar 13.600 tenaga kerja.

Oleh karenanya. di saat fungsi sektor migas sebagai smber penerimaan negara sudah tergantikan oleh sektor- sektor yang lain, hal itu memang tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Dan manjadi sangat beralasan ketika Presiden Jokowidodo, sepanjang yang saya cermati, tidak pernah rasanya menekankan agar pengelolaan sektor migas ini difokuskan untuk meningkatkan penerimaan negara.

lnstruksi kebijakan BBM satu harga, misalnya. dapat dianikan agar migas dapat lebih menjadi penggerak perekunomian dengan harga yang lebih terjangkau di wilayah – wilayah yang selama ini perekonomiannya berkembang lebih lambat.

lnstruksi penurunan harga gas domestik juga berarti agar harga migas di dalam negeri lebih diarahkan untuk menggerakkan sektor – sektor industri penggunanya agar dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi perekonomian secara keseluruhan.

KEMUDAHAN INVESTASI

Hal yang selalu ditekankan oleh Presiden Joko Widodo adalah hagaimana agar pengelolaan dan kebijakan di semua sektor, termasuk migas, memberi kemudahan bagi investasi dan mempercepat eksekusi pelaksanaannya.

Dengan kata lain paradigma pengelolaan migas sekarang memang (seharusnya) sudah berubah Migas bukan lagi ditekankan sebagai sumber penerimaan negara, tetapi migas lebih sebagai penggerak perekonomian.

Maka. penerjemahan visi dan instruksi Presiden Joko Widodo ke dalam kebijakan-kebijakan di sektor migas ini juga harus sejalan. Penurunan harga gas domestik, misalnya, mestinya dapat segera dijalankan dengan cara mengurangi porsi bagian negara dalam kontrak bagi hasil.

Penerimaan negara dari gas akan sedikit berkurang pada awalnya, tetapi perekonomian dalam skala yang Jebih luas akan bergerak sehingga secara tidak langsung nantinya hal itu akan terkompensasi.

Dalam hat pengelolaan dan pengusahaan wilayah kerja migas, pendekatan yang dipakai mestinya adalah prinsip ekonomi (perdagangan) sederhana. Lebih baik negara tidak mengambil untung terlalu banyak dari hanya dari satu-dua wilayah kerja tertentu yang tergarap, tetapi akan lebih menguntungkan secara ekonomi ke depanya jika jumlah wilayah kerja yang “laku terjual” dan tergarap lebih banyak.

Arah kebijakan di hulu migas saat ini, yang cenderung menekankan efisiensi tetapi dalam arti yang sempit, yaitu menekan cost (baca: investasi), menurut saya, perlu dikoreksi karena cenderung masih lebih menekankan pada migas sebagai sumber penerimaan negara, dan bukan migas sebagai penggerak ekonomi.

Penanganan pada proyek – proyek strategis migas seperti pengembangan lapangan gas Masela. lapangan gas laut dalam Indonesia Deepwater Development (IDD), lapangan gas Jambaran-Tiung Biru. atupun proyek-proyek kilang BBM dan LNG di hilir, sebaiknya juga jangan secara sempit menggunakan pendekatan efisiensi hanya dalam bentuk bagaimana menekan biaya dan mengendalikan rate of return proyek.

Di dalam ekonomi (bisnis). apalagi seperti di sektor migas dimana negara tidak melakukan investasi sendiri, ada yang namanya momentum, yang jika terlewatkan justru malah bisa menyebabkan proyek tersebut dapat tidak berjalan.

Pengembangan lapangan gas East Natuna, yang sudah ditemukan sejak sebelum 1990, hingga kini menjadi tidak jelas nasibnya karena kehilangan momentum tersebut. Jangan sampai hal yang sama terjadi untuk lapangan gas Masela atau lapangan migas yang lain. Jika proyek tersebut tidak berjalan, tidak akan ada juga efisiensi yang dimaksudkan.

Maka, para penyelenggara negara dan pemerintahan yang memegang otoritas di sektor migas, sebaiknya lebih cerdas dan tidak sempit di dalam menerjemahkan instruksi Presiden Joko Widodo.

Pasalnya, di balik instruksi itu sesungguhnya ada visi dan paradigma (baru) yang sangat jelas di dalam bagaimana semestinya kita mengelola sektor migas saat ini dan ke depan, yaitu migas sebagai penggerak ekonomi.

Risiko Defisit Diatasi; Harga Premium dan Solar Subsidi Tidak Berubah

Kompas; Selasa 3 Oktober 2017

JAKARTA, KOMPAS  PT Pertamina (Persero) akan menanggung risiko tidak berubahnya harga bahan bakar minyak jenis premium dan solar bersubsidi sampai akhir tahun ini. Dari catatan pemerintah, penjualan premium diperkirakan menim bulkan defisit Rp 6,5 triliun dan pada solar bersubsidi Rp 18 triliun sepanjang tahun ini.

Akhir pekan lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengumumkan harga premium tetap Rp 6.450 per liter dan solar bersubsidi Rp 5.150 per liter. Dengan keputusan tersebut, praktis tidak ada perubahan harga untuk jenis premium dan solar bersubsidi sepanjang tahun ini. Di satu sisi, harga minyak mentah dunia terus naik di atas 50 dollar AS per barrel.

Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Partai Golkar Satya Widya Yudha mengatakan, tidak ada jalan keluar lain atas keputusan pemerintah tidak mengubah harga bahan bakar jenis premium dan solar bersubsidi di tengah kenaikan harga minyak dunia. Mau tidak mau, Pertamina akan menanggung selisih lonjakan harga minyak mentah dengan harga jual bahan bakar minyak (BBM).

Penambahan subsidi juga tampaknya tidak memungkinkan karena ruang fiskal kita sangat terbatas, kata Satya, Senin (2/10), di Jakarta.

DPR sebetulnya sudah memberikan persetujuan kepada pemerintah untuk mengkaji harga BBM setiap tiga bulan, yaitu untuk jenis premium, solar bersubsidi, dan minyak tanah. Pertimbangan kajian harga tersebut, selain pergerakan harga minyak dunia, adalah kondisi sosial ekonomi dan daya beli masyarakat.

Pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, sepanjang harga BBM tak berubah dan besaran subsidi sudah ditentukan, Pertamina akan menanggung selisih harga jual dengan harga keekonomian.

Tidak hanya Pertamina yang akan kena getahnya, tetapi tata kelola energi nasional, khususnya dalam hal kebijakan harga BBM, akan mentah kembali, ujar Pri Agung.

Kebijakan pemerintah mengenai harga BBM yang dievaluasi setiap tiga bulan, ujar Pri Agung, sudah tepat. Meski demikian, persoalan subsidi BBM bisa menjadi lebih baik karena harga jual ke masyarakat mempertimbangkan pergerakan harga minyak dunia.

Fungsi penugasan

Sementara itu, Vice President Corporate Communication Pertamina Adiatma Sardjito mengatakan, Pertamina tidak akan membicarakan untung dan rugi dalam penjualan BBM, khususnya BBM jenis penugasan (premium) dan BBM jenis tertentu (solar bersubsidi).

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, Pertamina mendapat penugasan untuk menyediakan kedua jenis bahan bakar tersebut.

Pertamina memang sebuah badan usaha yang harus mendapat untung, tetapi kami juga mendapat tugas dalam pelayanan publik. Pertamina akan tetap mematuhi patokan harga bahan bakar yang sudah ditetapkan pemerintah, kata Adiatma.

kompas

Pertamina, kata Adiatma, akan terus menerapkan efisiensi di segala lini. Cara ini ditempuh sebagai jalan keluar apabila timbul defisit yang harus ditanggung Pertamina.

Sebelumnya, dalam paparan kinerja Pertamina triwulan I-2017, Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman mengatakan, terdapat selisih harga dalam penjualan BBM oleh Pertamina. Jenis BBM itu adalah premium dan solar bersubsidi yang harga jualnya ditetapkan pemerintah.

Saat ini, harga premium adalah Rp 6.450 per liter, sedangkan solar bersubsidi dijual Rp 5.150 per liter.

Jadi, kalau melihat selisih harga formula (harga keekonomian) dengan apa yang ditetapkan pemerintah, premium sekitar Rp 400 per liter di bawah harga formula, sedangkan solar Rp 1.150 per liter di bawah formula, ujar Arief (Kompas, 26/5).

Dalam APBN Perubahan 2017, pemerintah menetapkan harga minyak Indonesia sebesar 45 dollar AS per barrel. Sampai September 2017, harga jual minyak mentah Indonesia mencapai 48,36 dollar AS per barrel.