Soal Pengelolaan Lapangan Sukowati, Pertamina Dinilai Berhak Menentukan

Kompas.com Senin 26 Februari 2018, 18:04 WIB

KOMPAS.com Pemerintah diminta menyerahkan masalah unitisasi lapangan Sukowati di Wilayah Kerja Tuban, Jawa Timur kepada PT Pertamina (Persero).

Apalagi lapangan yang saat ini dikelola Joint Operation Body Pertamina Hulu Energi-PetroChina East Java (JOB PPEJ) hak partisipasinya mayoritas dikuasai Pertamina melalui dua anak usahanya, yaitu PT Pertamina EP dan Pertamina Hulu Energi (PHE).

Hal ini disampaikan Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute dalam diskusi publik Menyelisik Kemampuan Pertamina Dalam Mengelola Blok Migas Habis Kontrak yang digelar Dunia Energi di Jakarta, Senin (26/2/2018)

Untuk lapangan Sukowati harusnya tidak ada problem karena Pertamina memliki hak yang besar karena menguasai 80 persen, ujar Komaidi melalui rilis, Senin.

Sebelumnya, Pertamina EP telah mengajukan untuk mengelola lapangan unitisasi Sukowati. Pertamina EP juga berkomitmen meningkatkan produksi lapangan Sukowati sebesar 1.500 barel per hari (bph) dari kapasitas produksi saat ini yang di bawah 10 ribu bph karena dikelola dan dioperatori JOB PPEJ.

Saat ini Blok Tuban dikelola JOB PPEJ. Di Blok Tuban, PHE menguasai 75 persen hak partisipasi, yaitu PHE East Tuban 50 persen dan 25 persen melalui PHE Tuban.

Sedangkan 25 persen sisanya dimiliki Petrochina International Java Ltd. JOB PPEJ juga mengelola unitisasi Lapangan Sukowati yang 80 persen dimiliki Pertamina EP dan 20 persen dikuasai JOB PPEJ.

Dari total produksi JOB PPEJ yang mencapai 9.000-10.000 bph, sebesar 80 persen berasal dari Lapangan Sukowati.

Kontrak PPEJ di Blok Tuban akan berakhir pada 28 Februari 2018. Blok Tuban dan tujuh blok migas habis kontrak (terminasi) lainnya diputuskan untuk diserahkan ke Pertamina.

Namun, pemerintah masih menunggu term on condition (TOC) dari Pertamina sebelum menandatangani kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) baru.

Menurut Komaidi, pengelolaan blok terminasi berdasarkan aturan menempatkan Pertamina maupun kontraktor eksisting sudah diberikan 10 tahun sebelum kontrak berakhir.

Aturannya sudah sangat jelas. Yang terbaru yang kemudian menjadi acuan adalah Permen ESDM No 15 Tahun 2015 yang kemudian direvisi. Revisi ini tidak membatalkan aturan sebelumnya, tapi memberikan jalan kepada pemerintah untuk masuk blok Mahakam,ungkap dia.

Komaidi menambahkan poin utama regulasi tersebut adalah mempertahankan tingkat produksi, memperbaiki tingkat investasi. Regulasi tersebut sangat berpihak kepada Pertamina.

Intinya dari regulasi yang ada sudah sangat jelas mengenai tahapan blok migas habis masa kontrak. Kalau sampai hari ini ada beberapa WK yang belum ada keputusan, domainnya ke aturan tersebut, kata dia.

Tantangan Pertamina

Wisnu Prabawa Taher, Kepala Divisi Humas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas), mengatakan Pertamina mampu mengelola blok-blok terminasi. Namun pengelolaan blok eksisting yang dikelola Pertamina memang sedang turun. Sejak 2013, laju penurunan cukup berat untuk dinaikkan.

SKK Migas selalu memberi atensi khusus ke Pertamina. Jadi dari SKK secara konkret mendukung Pertamina untuk mengelola blok migas, kata Wisnu.

Dia menambahkan, cost recoverry yang dikelola Pertamina masih di bawah rata-rata. Padahal, lapangan yang dikelola Pertamina berada di Sabang sampai Merauke.

Dengan ada tambahan delapan wilayah kerja (WK) akan jadi tantangan buat Pertamina. SKK Migas akan mengikuti keputusan pemerintah, tetap akan dukung Pertamina untuk meningkatkan performanya, tegas dia.

E Herman Khaeron, Wakil Ketua Komisi VII DPR, mengatakan pemerintah harus tegas bahwa Indonesia sudah mampu mengelola wilayah kerja migas terminasi dan jangan lagi ada keraguan.

Turunannya, tawarkan Pertamina lebih dulu sebagai institusi negara yang tentu memiliki prospek yang lebih baik. Kedua, perusahaan daerah, jangan dilupakan, kata dia.

Menurut Herman, pemerintah daerah mampu. Jika daerah saja sudah mampu, apalagi Pertamina. Ketegasan pemerintah agar perusahaan nasional mengelola WK migas terminasi dalam rangka mewujudkan kedaulatan energi nasional.

Urgensi akan penerimaan negara, kalau sudah 100 persen dikelola anak bangsa, minyak dan gas milik negara. Wilayah migas terminasi adalah lapangan yang sudah mature. Kita harus beri kepercayaan kepada Pertamina, kata Herman.

Harga premium dan solar diproyeksi tidak akan naik

KONTAN; Minggu, 25 Februari 2018 / 20:34 WIB

KONTAN.CO.ID – JAKARTA Harga minyak mentah masih dalam tren positif. Sejak awal tahun harga minyak terus menanjak naik.

Berdasarkan data Tim Harga Minyak Indonesia, harga rata-rata minyak mentah utama di pasar internasional pada Januari 2018 memang naik jika dibandingkan Desember 2017. Dated Brent naik sebesar US$ 4,99 per barel dari US$ 64,19 per barel menjadi US$ 69,18 per barel.

Brent (ICE) juga naik sebesar US$ 4,99 per barel dari US$ 64,09 per barel menjadi US$ 69,08 per barel. WTI (Nymex) naik sebesar US$ 5,72 per barel dari US$ 57,95 per barel menjadi US$ 63,67 per barel.

Rata-rata harga minyak naik hingga menembus level harga US$ 60 per barel. Tidak heran sejumlah badan usaha penyalur BBM di Indonesia menaikkan harga BBM seperti Pertamina untuk harga Pertamax Series.

Sementara harga premium dan solar masih tetap sama. Menteri ESDM Ignasius Jonan telah memutuskan harga solar dan premium akan tetap sama sampai 31 Maret 2018. Direktur Eksekutif ReforMiner Komaidi Notonegoro memproyeksi, pemerintah tidak akan mengubah harga premium dan solar hingga 2019.

“Untuk harga BBM subsidi dan penugasan domainnya berada di tangan pemerintah yang dalam beberapa kesempatan tidak akan disesuaikan sampai tahun 2019,” kata Komaidi kepada Kontan.co.id pada Minggu (25/2).

Menurut Komaidi pemerintah akan menjaga kondisi menjelang tahun 2019. Sehingga Pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM.”Saya kira wajar pemerintah menjaga kondisi menjelang tahun politik salah satunya tidak menaikkan harga BBM. Meskipun yang dapat kredit tentu incumbent,” imbuhnya.

Sementara itu Pertamina selaku badan usaha yang melaksanakan penugasan premium dan solar akan menanggung beban keuangan yang besar jika pemerintah tidak menaikan harga BBM. Biarpun begitu, Pertamina diyakini tetap akan menjalankan distribusi premium dan solar.

“Bagi pelaksana tugas sebenarnya sudah berat, harus ada solusi jika diputuskan tidak naik. Pertamina tentu akan iya dan siap jika diminta karena posisinya sebagai BUMN,” pungkas Komaidi.

Kelanjutan Pengelolaan Blok Tuban
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

Invetor Daily; Jumat, 23 Februari 2018 | 10:54

Blok Tuban tercatat sebagai salah satu di antara sejumlah blok migas yang akan berakhir kontrak kerja samanya. Berdasarkan data yang ada, blok yang dikelola oleh Joint Operating Body Pertamina Petrochina East Java (JOB PPEJ) akan berakhir pada 28 Februari 2018. Namun, sampai saat ini para pihak masih menunggu kejelasan mengenai masa depan pengelolaan blok tersebut.

Jika mengacu pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 15 Tahun 2015 (diubah dengan Permen ESDM No 30/2016) tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi yang Akan Berakhir Kontrak Kerja Samanya, terdapat tiga skenario pengelolaan blok migas habis masa kontrak. Tiga scenario itu adalah pengelolaan oleh PT Pertamina (Persero), perpanjangan Kontrak Kerja Sama oleh kontraktor, dan pengelolaan secara bersama antara PT Pertamina (Persero) dan kontraktor.

Regulasi tersebut menetapkan bahwa untuk dapat melakukan pengelolaan blok migas habis masa kontrak, Pertamina, KKKSexisting, atau KKKS peminat harus mendapat persetujuan atau ditetapkan oleh menteri ESDM. Pertamina diwajibkan mengajukan permohonan pengelolaan kepada menteri ESDM paling cepat 10 (sepuluh) tahun dan paling lambat 2 (dua) tahun sebelum kontrak kerja sama berakhir.

Dalam hal pengajuan permohonan, diberikan pengecualian terhadap kondisi tertentu. Jika kontraktorexistingmengajukan permohonan perpanjangan kontrak kerja sama dalam jangka waktu lebih dari 3 (tiga) tahun sebelum kontrak kerja sama berakhir, Pertamina harus mengajukan permohonan pengelolaan paling lambat 1 (satu) tahun setelah permohonan kontraktor.

Sementara itu, jika kontraktorexistingmengajukan permohonan perpanjangan kontrak kerja sama dalam jangka waktu kurang dari 3 (tiga) tahun sebelum kontrak kerja sama berakhir,Pertamina harus mengajukan permohonan pengelolaan paling lambat 6 (enam) bulan setelah permohonan kontraktor.

Profil Blok Tuban

Wilayah Kerja (WK) Blok Tuban terbagi menjadi dua bagian, Blok Tuban Timur yang meliputi wilayah Sidoarjo, Mojokerto, Gresik, dan Lamongan, serta Blok Tuban Barat yang meliputi wilayah Tuban dan Bojonegoro. Luas awal WK Blok Tuban yang pengelolaannya dilakukan sejak 29 Februari 1988 adalah sekitar 7.391 km2. Setelah dilakukan penyisihan wilayah, luas WK Blok Tuban saat ini diinformasikan tinggal menjadi sekitar 1.478 km2.

Pada puncak produksi (2012), Blok Tuban tercatat mampu memproduksikan minyak sekitar 48.000 barel per hari. Akan tetapi karena tidak adanya pengeboran sumur baru, produksi minyak Blok Tuban saat ini dilaporkan turun menjadi sekitar 9.800 – 10.100 barel per hari. Lapangan Mundi memproduksikan sekitar 1.100 – 1.200 barel per hari dan Lapangan Sukowati 8.700 – 8.900 barel per hari.

Terkait kelanjutan pengelolaan, PT Pertamina Hulu Energi (PHE) sebagai operator JOB PPEJ menyampaikan bahwa mereka tidak akan lagi mengelola dan menjadi operator Lapangan Sukowati di Blok Tuban. PHE menyebut telah menyampaikan surat resmi kepada SKK Migas dan Kementerian ESDM mengenai pengembalian dan pemindahanoperatorshipLapangan Sukowati kepada Pertamina EP. PHE menyampaikan akan fokus pada lapangan lain di Blok Tuban, yaitu Mundi, Sumber, dan Lengowangi.

Untuk efisiensi PHE berencana mengintegrasikan pengelolaan Blok Tuban dengan Blok Randugunting yang berlokasi di sekitar Jepara, Rembang Jawa Tengah. Petrochina sebagai bagian dari JOB PPEJ juga menginformasikan telah menyampaikan proposal untuk kelanjutan pengelolaan Blok Tuban. Dalam proposal yang mereka sampaikan, Lapangan Sukowati dimasukkan dalam lapangan yang dikembangkan bersama Blok Tuban. Namun, Petrochina menyebut tetap siap jika Lapangan Sukowati tidak lagi menjadi bagian Blok Tuban. Petrochina menilai tanpa Lapangan Sukowati, Blok Tuban masih memiliki potensi yang baik.

Kelanjutan Pengelolaan

Mencermati arah kebijakan energi pemerintah, kondisiexisting, sejarah pengelolaan, dan ketentuan regulasi, peluang Pertamina (PHE dan Pertamina EP) untuk melanjutkan pengelolaan Blok Tuban seharusnya sangat besar. Penyerahan pengelolaan kepada Pertamina, BUMN yang notabene merupakan representasi atau tangan kanan negara, sangat relevan dengan upaya pemerintah mewujudkan kemandirian energi.

Dibandingkan BUMN negara lain seperti Petrochina, Pamex, dan Petronas, penguasaan cadangan migas Pertamina saat ini tercatat sebagai yang terendah. Porsi produksi minyak dan gas domestik Pertamina juga tercatat sebagai yang terendah dibandingkan dengan BUMN Negara lain seperti Brasil, Algeria, Norwegia, dan Malaysia. Porsi produksi migas dari BUMN di negara-negara tersebut berkisar 47 – 80% terhadap total produksi migas di Negara yang bersangkutan. Sementara itu, produksi migas Pertamina tercatat hanya sekitar 20% dari total produksi migas nasional.

Karena itu, sebagai bagian dari upaya mewujudkan kemandirian energi, tidak keliru jika kemudian pemerintah memberikan hak pengelolaan blok migas habis masa kontrak kepada Pertamina karena kebijakan serupa juga dilakukan oleh sejumlah negara kepada BUMN migas mereka. Apalagi regulasi yang ada (Permen ESD M No 15/2015) dalam hal ini juga memberikanprevilagekepada Pertamina.

Dari aspek mekanismeright to match,Pertamina sebagai mayoritaspemegangsharedalam JOBPPEJ juga memiliki hak untukdiutamakan sepanjang Pertaminamenyampaikan minat dan kesediaannyauntuk melanjutkan pengelolaanBlok Tuban. Dalam hal ini,sikap Pertamina baik melalui PHEmaupun Pertamina EP sudah sangatjelas bahwa mereka berminat danbersedia melanjutkan pengelolaanBlok Tuban.

Usulan PHE mengenai pembagian pengelolaan Blok Tuban yang memberikan hak pengelolaan Lapangan Sukowati kepada Pertamina EP, pada dasarnya sangat logis ditinjau dari berbagai aspek. Dari kepemilikanshare, saat ini Pertamina EP memegang 80%interestLapangan Sukowati. Sementara itu, JOB PPEJ memegang 20%sharedengan distribusi 75% PHE dan 25% Petrochina. Dengan demikian, Petrochina pada dasarnya hanya memilikisharesebesar 5% di Lapangan Sukowati.

Penyerahan pengelolaan Lapangan Sukowati yang merupakan bagian dari wilayah kerja Pertamina EP Asset 4 juga cukup beralasan. Lapangan Sukowati yang berlokasi di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, dekat dengan wilayah kerja yang saat ini dikelola Pertamina EP, yaitu Blok Cepu yang berlokasi di Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Untuk kepentingan efisiensi, pengelolan lapangan-lapangan tersebut dapat diintegrasikan oleh Pertamina EP Aset 4.

Mencermati kondisi yang ada tersebut, seharusnya tidak terdapat permasalahan berarti mengenai kelanjutan pengelolaan Blok Tuban. Pengelola lama (Pertamina) telah menyatakan komitmennya untuk melanjutkan pengelolaan. Dari aspek regulasi juga jelas dan tidak ada sesuatu yang dilanggar oleh pemerintah jika kemudian memberikan hak pengelolaan Blok Tuban kepada Pertamina. Dari aspek strategis lain, penyerahan pengelolaan Blok Tuban kepada Pertamina juga relevan dengan upaya mewujudkan kemandirian energi, memudahkan kontrol pemerintah, dan upaya meningkatkan kapasitas BUMN.

Pemerintah Jamin Kelengkapan Data Wilayah Kerja

Kompas; Selasa, 20 Februari 2018

JAKARTA, KOMPAS  Pemerintah menjamin kelengkapan data wilayah kerja minyak dan gas bumi yang ditawarkan ke kontraktor. Ada 26 wilayah kerja yang ditawarkan dan diharapkan dapat menambah cadangan minyak dan gas bumi dalam negeri.

Ditekankan, kualitas kontraktor memengaruhi keberhasilan tujuan penambahan cadangan tersebut.

Capture

Dalam pengumuman penawaran wilayah kerja minyak dan gas bumi (migas), Senin (19/2), di Jakarta, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan, ke-26 wilayah kerja itu menggunakan skema bagi hasil berdasarkan produksi bruto ( gross split).

Setidaknya ada 50 persen wilayah kerja yang laku. Silakan datanya dicermati dan jika ada yang kurang silakan hubungi kami, kata Arcandra.

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Ego Syahrial menambahkan, pemerintah sudah melengkapi data yang dibutuhkan kontraktor untuk pengembangan wilayah kerja migas. Ia mencontohkan, blok-blok hasil terminasi yang kembali ditawarkan diperkaya dengan data wilayah di sekeliling blok tersebut.

Misalnya, Blok A ditawarkan ke kontraktor. Jika sebelumnya data yang ada hanya khusus mengenai Blok A, kini kami juga memberikan data di sekitar Blok A yang berpotensi untuk dikembangkan oleh kontraktor. Harapannya agar kontraktor berminat mengambil tawaran tersebut dengan pengayaan data wilayah migas, ujar Ego.

Bambang Istadi dari PT Energi Mega Persada Tbk yang turut hadir dalam pengumuman tersebut mengatakan, sulit disebut apakah tawaran pemerintah itu menarik atau tidak. Penawaran wilayah kerja migas oleh Pemerintah Indonesia harus bersaing dengan negara lain.

DiMeksiko, misalnya, 10 blok di perairan dalam yang ditawarkan, laku delapan. Begitu pula di India yang ada 46 blok ditawarkan, diikuti 113 perusahaan. Ini menunjukkan tingkat ketertarikan yang tinggi lantaran ada kemudahan proses bisnis di negara-negara tersebut. Dalam hal ini Indonesia harus bersaing, kata Bambang.

Kelengkapan data

Bambang menambahkan, kelengkapan data dalam sebuah wilayah kerja migas yang ditawarkan sangat memengaruhi minat investor. Meskipun wilayah tersebut terletak di perairan dalam, tetapi investor tetap akan tertarik seandainya datanya lengkap dan menunjukkan potensi cadangan dalam jumlah besar.

Berikutnya dari sisi fiskal, apakah menarik? Ada tidak hambatan-hambatan birokrasi di ne- gara tersebut? Hal-hal semacam ini yang membuat sebuah negara menarik atau tidak untuk investasi hulu migas, ujar Bambang.

Ketua I Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) Pri Agung Rakhmanto mengatakan, sebuah blok migas yang diminati investor sampai dinyatakan ada pemenang tender, belum bisa menandakan apa pun. Menurut dia, hal itu tidak berarti iklim investasi hulu migas di sebuah negara dikatakan menarik atau membaik.

Sepanjang tahun 2002-2014 selalu saja ada peminat dan pemenang

dalam jumlah yang tak sedikit. Hanya tidak mencerminkan adanya peningkatan cadangan dan produksi, kata Pri Agung.

Menurut Pri Agung, yang terpenting bukan soal jumlah peminat, tetapi kualitas investor yang berminat terhadap sebuah wilayah kerja migas. Hanya perusahaan-perusahaan migas yang bonafide yang sungguh-sungguh merealisasikan komitmen investasinya untuk kegiatan eksplorasi dan produksi.

Kondisi hulu migas di Indonesia bermasalah dalam hal penambahan cadangan. Sepanjang 2017, rasio pengembalian cadangan migas sebesar 55,33 persen. Artinya, dari 1 barrel minyak yang dikuras, hanya berhasil ditemukan cadangan baru sekitar 0,55 barrel. Sementara rasio yang ideal adalah 100 persen atau lebih dari itu.

Selain itu, produksi siap jual ( lifting) minyak 2017 tidak mencapai target yang ditetapkan APBN. Realisasinya, sebanyak 803.800 barrel per hari atau kurang dari target sebanyak 815.000 barrel per hari. Sementara lifting gas bumi sebanyak 1,14 juta barrel setara minyak per hari atau lebih rendah daripada target yang sebanyak 1,15 juta barrel per hari.

Asumsi Harga Tak Realistis

Kompas; Senin 19 Februari 2018

Harga minyak mentah dunia lebih dari 60 dollar AS per barrel atau melampaui asumsi makro APBN 2018 yang sebesar 48 dollar AS per barrel. Pemerintah disarankan melakukan antisipasi.

JAKARTA, KOMPAS Patokan harga minyak Indonesia dalam asumsi makro APBN 2018 sebesar 48 dollar AS per barrel dinilai sudah tak realistis. Sebab, sampai dengan Minggu (18/2) siang, harga minyak mentah dunia sudah melampaui asumsi itu.

Harga minyak mentah jenis WTI mencapai 61,68 dollar AS per barrel, sedangkan jenis Brent 64,84 dollar AS per barrel. Oleh karena itu, pemerintah disarankan menyiapkan sejumlah antisipasi untuk menyikapi kenaikan harga minyak dunia.

Pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, pemerintah perlu merevisi asumsi makro harga minyak Indonesia (ICP) tersebut. Revisi ICP akan berdampak pada penyesuaian nilai subsidi energi. Di samping itu, harga minyak dunia juga berpengaruh terhadap penetapan harga bahan bakar minyak (BBM) oleh pemerintah.

Asumsi 48 dollar AS per barrel itu sudah tak realistis lagi. Pemerintah perlu merevisi kembali. Selain itu, penyesuaian harga BBM setiap tiga bulan sebaiknya dijalankan lagi, bukan dikunci tak berubah sejak pertengahan 2016. Padahal, harga minyak banyak perubahan, kata Pri Agung saat dihubungi di Jakarta.

Asumsi

Menurut catatan Kompas, sejak 1 April 2016, harga BBM yang ditetapkan pemerintah, yaitu premium Rp 6.450 per liter dan solar bersubsidi Rp 5.150 per liter, tidak berubah sampai sekarang. Sepanjang 2016, rata-rata ICP 40,81 dollar AS per barrel, yang naik menjadi 50,81 dollar AS per barrel pada 2017. Hingga akhir Maret 2018, pemerintah menjamin harga premium dan solar bersubsidi tak berubah.

Disesuaikan

Pada Januari 2018, pemerintah mengumumkan ICP 65,59 dollar AS per barrel atau naik dari Desember 2017 yang sebesar 60,90 dollar AS per barrel. Kenaikan harga itu dipengaruhi sejumlah faktor, seperti kebijakan pemangkasan produksi minyak negara-negara pengekspor minyak (OPEC), peningkatan permintaan dari sejumlah negara di tengah pasokan yang dikurangi, serta faktor geopolitik di kawasan Timur Tengah.

Pri Agung menambahkan, seandainya harus ada penyesuaian harga jual BBM dengan harga minyak dunia, angkanya sebaiknya tidak terlalu tinggi. Selain itu, pemerintah harus mampu menjelaskan dengan baik kepada publik alasan menaikkan harga BBM. Yang tidak kalah penting, berkomunikasi secara politik dengan DPR.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Partai Golkar, Satya Widya Yudha, sepakat bahwa ICP yang dipatok dalam APBN 2018 sudah tidak relevan dengan perkembangan harga saat ini. Menurut dia, pemerintah sebaiknya mengajukan revisi ICP dalam asumsi makro. Soal selisih harga jual BBM dengan harga keekonomian akibat harga minyak dunia yang terus naik, katanya, akan menjadi tanggung jawab Pertamina.

Pertamina harus mampu melakukan efisiensi untuk menanggung selisih harga akibat harga BBM yang belum direvisi ini, ujar Satya.

Menurut dia, kesepakatan DPR dengan pemerintah untuk mengkaji ulang hargaBBMsetiap tiga bulan memberi kesempatan harga naik atau turun. Selain itu, memberi pendidikan kepada publik bahwa harga bahan bakar bersifat dinamis, tergantung pergerakan harga minyak dunia. Namun, pemerintah tidak menyerahkan harga BBM pada mekanisme pasar.

Saat mengumumkan bahwa tidak ada perubahan harga premium dan solar bersubsidi selama periode Januari-Maret 2018, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan menyebutkan, salah satu pertimbangan pemerintah adalah daya beli masyarakat. Harga BBM kembali akan dikaji untuk periode April-Juni 2018.

Dalam sejumlah kesempatan, Direktur Pemasaran Pertamina MIskandar mengatakan, kenaikan harga minyak dunia kian memperlebar selisih harga keekonomian BBM dengan harga jual kepada masyarakat.

Pemerintah Diminta Segera Putuskan Status Lapangan Sukowati

VIVA; Senin, 19 Februari 2018 | 22:13 WIB

VIVA Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diminta segera putuskan status unitisasi lapangan Sukowati yang saat ini dikelola Joint Operation Body  (JOB) Pertamina Hulu Energi – PetroChina East Java (PPEJ) pasca berakhirnya kontrak pengelolaan Blok Tuban pada 28 Februari 2018.

Hal itu penting dilakukan terlebih PT Pertamina (Persero) yang telah ditunjuk sebagai pengelola Blok Tuban pasca berakhirnya kontrak telah menyatakan untuk menyerahkan pengelolaan Lapangan Sukowati ke anak perusahaannya yaitu PT Pertamina EP.

Pelepasan Sukowati sebaiknya segera diputuskan oleh pemerintah supaya ada kepastian hukum di Indonesia berkaitan dengan industri migas, ujar Imam Prihadono, Pengamat Hukum Migas dari Universitas Airlangga Surabaya, dalam keterangan tertulisnya, Senin 19 Februari 2018.

Menurut Imam, belum diputuskannya unitisasi dalam blok tersebut justru dapat menimbulkan kontroversi adanya kepentingan tertentu yang bermain di balik penentuan pengelolaan Lapangan Sukowati.

Perlu diketahui, saat ini JOB PPEJ mengelola Blok Tuban berikut unitisasi Sukowati yang 80 persen hak partisipasinya dimiliki Pertamina EP dan 20 persen oleh JOB PPEJ. Di Blok Tuban, PHE dan Petrochina berbagi porsi hak partisipasi masing-masing 50 persen.

Dari total produksi PPEJ yang mencapai 9.000-10.000 barel per hari, sebesar 80 persen berasal dari Lapangan Sukowati. Namun seiring berakhirnya kontrak Blok Tuban, skema kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC)-nya pun berubah menjadi gross split. Sementara untuk Lapangan Sukowati tetap menggunakan skema cost recovery.

Menurut Imam, pemisahan atau gross split dimungkinkan, namun perlu disepakati bersama dengan mitra. Jika tidak, hal ini bisa memicu sengketa di kemudian hari. Solusi lainnya dari split, dijadikan satu namun pengelolaan tetap oleh Pertamina, ujarnya.

Imam mengatakan, belum diputuskan unitisasi Lapangan Sukowati di Blok Tuban bisa jadi karena keinginan pemerintah tetap mengikutsertakan Petrochina dalam pengelolaan Blok Tuban. Padahal, selang beberapa tahun terakhir Petrochina justru tidak melakukan investasi signifikan sehingga produksi Blok Tuban dan khususnya Sukowati terus turun. Bahkan, setahun terakhir operator Blok Tuban tidak melakukan kegiatan apapun.

Pemerintah sebelumnya menunjuk PPEJ untuk mengelola Blok Tuban, termasuk Lapangan Sukowati hingga penandatanganan kontrak PSC yang baru dilakukan. Blok Tuban merupakan satu dari delapan blok yang habis kontrak (terminasi) yang akan dikelola Pertamina.

Tujuh blok lainnya adalah Blok North Sumatera Offshore (NSO), North Sumatera B (NSB), Tengah, Ogan Komering, Sanga Sanga, Southeast Sumatera, East Kalimantan dan Blok Attaka.

Tampaknya memang diperlukan transparansi yang lebih baik dalam proses penunjukan ini agar tidak menjadi preseden yang berlanjut terus di masa depan, ujarnya.

Beri Keistimewaan

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, mengatakan berdasarkan regulasi posisi Pertamina untuk mendapat pengelolaan di Lapangan Sukowati dan Blok Tuban secara keseluruhan sangat kuat. Permen ESDM Nomor 15 Tahun 2015 cukup jelas dan memberikan keistimewaan (privilese) kepada Pertamina.

Dari aspek mekanisme right to match, Pertamina juga berhak mendapatkan prioritas karena memegang share yang paling besar, kata dia.

Menurut Komaidi, Petrochina hanya memegang hak partisipasi 25 persen dari 20 persen hak partisipasi JOB PPEJ di Lapangan Sukowati karena 75 persen lain dimiliki PHE. Sisa 80 persen hak partisipasi Sukowati dimiliki Pertamina EP melalui Pertamina EP Asset 4.

Satya Widya Yudha, Wakil Ketua Komisi Energi DPR, menegaskan setelah dimenangkan Pertamina dan Pertamina melakukan sharedown, 100 persen hak Pertamina dalam mengelola blok terminasi. Pokoknya Pertamina pemegang first right refusal, tegas Satya

Pengamat Prediksi Investasi Migas di RI Sepi, Ini Alasannya

www.viva.co.id; Jumat, 9 Februari 2018 | 16:03 WIB

VIVA Wilayah Kerja migas yang dilelang oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) awal tahun ini hanya laku sebanyak lima WK dan seluruhnya menggunakan skema Gross Split. Padahal, total WK baru yang ditawarkan kepada investor mencapai 15 WK, baik konvensional maupun non konvensional.

Pengamat energi dari Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, menilai investasi migas di Tanah Air tidak lagi menjadi incaran dari investor migas. Berbagai permasalahan dari sisi regulasi maupun fiskal telah menjadi momok investasi migas di RI.

“Tempat investasi hulu migas kan tidak hanya di Indonesia. Kalau di luar negeri banyak yang lebih menarik, baik dari sisi potensi geologi maupun aspek-aspek lainnya seperti fiskal dan regulasi, ya investor pasti akan lebih memilih untuk menanamkan investasinya di luar,” kata Pri Agung kepada VIVA, Jumat 9 Februari 2018.

Dia pun menuturkan, jumlah investasi yang digelontorkan kontraktor di lima WK yang baru tersebut pun tidak begitu besar. Bahkan, ia memprediksi investasi di lima WK itu hanya sedikit bisa sampai kepada fase pengeboran (drilling).

“Dalam lelang WK terakhir itu, skala investasinya sangat kecil, hanya sekitar US$23,5 juta dari lima perusahaan. Itu juga pasti tidak sampai melakukan pengeboran. Paling hanya (sampai) studi dan survei seismik,” kata dia.

Ditambahkan Pri Agung, pencabutan 11 izin di sektor migas yang tak perlu oleh Kementerian ESDM pun tak akan berpengaruh kepada kemudahan investasi. Sebab, peraturan yang dicabut adalah peraturan lama yang memang sudah tidak relevan.

“Sebagian merupakan peraturan yang dulunya sekadar diterbitkan tapi tanpa implementasi jelas, dan sebagian adalah peraturan yang sifatnya sangat teknis,” kata dia.

Selain itu, upaya Kementerian ESDM tersebut dinilai hanya lebih pada langkah merapikan administrasi di lingkungan sektor ESDM, yang tidak berkorelasi dengan memudahkan investasi, apalagi meningkatkan investasi.

“Yang dikehendaki Presiden Jokowi saya kira lebih konkret daripada sekadar itu. Misalnya menyederhanakan perizinan operasional di hulu migas yang 371 izin itu. Atau menyelesaikan revisi UU migas itu sendiri, yang merupakan akar masalahnya,” ujarnya.

Harga Minyak dan Kebijakan BBM 2018
Pri Agung Rakhmanto;
Dosen FTKE Universitas Trisakti,A Pendiri ReforMiner Institute dan
Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan IndonesiaA (IATMI)

Kompas; 6, Februari 2018

Harga minyak pada awal 2016 sempat di bawah 30 dollar AS/barrel. Pemerintah pada saat itu, dengan kebijakan evaluasi harga BBM setiap tiga bulan yang dimilikinya, kemudian secara konsisten merespons dengan menurunkan harga BBM rata-rata Rp 500/liter. Harga bensin premium ditetapkan Rp 6.450 dari sebelumnya Rp 6.950 dan harga solar ditetapkan Rp 5.150 dari sebelumnya Rp 5.650 per liter.

Pada titik ini dapat dikatakan kita relatif telah terbebas dari masalah kronis subsidi BBM, yang hampir dua dekade membelenggu sektor energi dan perekonomian nasional. Premium tak lagi disubsidi dan subsidi solar terkendali karena ditetapkan konstan Rp 1.000/liter.

Harga minyak di paruh kedua 2016 kemudian naik di kisaran 50 dollar AS/barrel. Rata-rata harga minyak pada 2016 menjadi 43 dollar AS/barrel. Pemerintah tak melakukan perubahan terhadap harga BBM meskipun sebenarnya telah memiliki garis kebijakan untuk dapat melakukan penyesuaian harga BBM setiap tiga bulan sekali. Langkah ini, menurut pendapat saya, masih dapat dimengerti dan ditoleransi secara ekonomi karena secara rata-rata harga minyak pada 2016 tercatat sekitar 5 dollar AS/barrel lebih rendah dibandingkan dengan harga 2015.

Pada 2017, harga minyak kembali naik. Harga rata-rata sudah mencapai 54 dollar AS/barrel, naik sekitar 25 persen dibandingkan dengan 2016. Harga jual minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP), dengan sendirinya juga ikut naik. Rata-rata ICP tahun 2017 sekitar 51,2 dollar AS/barrel, naik 27 persen dibandingkan dengan rata-rata ICP tahun 2016 yang hanya di kisaran 40,3 dollar AS/barrel.

Pemerintah, dengan argumen untuk menjaga daya beli masyarakat, kembali tak menaikkan harga BBM sepanjang 2017. Langkah ini, menurut pendapat saya, dari sudut pandang (ilmu) ekonomi dan kebijakan energi, sudah tak tepat karena kembali membawa sektor energi kita ke dalam kubangan masalah subsidi BBM dan segala politisasinya, yang berdasarkan pengalaman sangat tak mudah diselesaikan. Langkah ini hanya dapat dipahami dari sudut pandang dan pertimbangan politik praktis-populis berorientasi jangka pendek.

Saya tak tahu persis mengapa pilihan kebijakan ini yang diambil pemerintah. Mungkin Presiden Joko Widodo tak mendapatkan informasi, pemaparan, dan gambaran yang utuh tentang hal ini dari para pembantunya. Mungkin juga karena hal dan pertimbangan lain yang sebagai masyarakat biasa saya tak mampu menjangkaunya. Namun, yang jelas, prestasi luar biasa yang telah dicapai Presiden di dalam membebaskan kita semua dari belenggu masalah subsidi BBM, hanya dalam dua tahun di awal periode pemerintahannya, kemudian jadi mentah kembali.

Harga 2018

Pada awal 2018, harga minyak kembali menunjukkan tren kenaikan. Harga minyak dunia saat ini telah mencapai 70 dollar AS/barrel lebih. Karena pertumbuhan konsumsi, kisaran harga ini kemungkinan akan bertahan di paruh pertama 2018. Di paruh kedua, kenaikan harga berpotensi akan tertahan karena kemungkinan terjadinya koreksi akibat adanya penambahan pasokan. Rata-rata harga minyak dunia di sepanjang 2018 diperkirakan berada di 60 dollar AS/barrel atau lebih sedikit. Yang jelas, kemungkinan besar akan lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata harga 2017.

Sementara, APBN 2018 masih menggunakan asumsi ICP 48 dollar AS/barrel. Asumsi ini sudah tak lagi realistis dan perlu dikoreksi, paling tidak menjadi 55 dollar AS/barrel. Ini langkah pertama yang menurut saya perlu dilakukan pemerintah dalam merespons dan mengantisipasi pergerakan (kenaikan) harga minyak mentah dunia.

Langkah kedua, idealnya adalah dengan kembali menerapkan kebijakan penyesuaian harga BBM setiap tiga bulan atau periodik secara konsisten. Langkah ini tak hanya akan mengembalikan kebijakan (harga) energi nasional ke jalur yang benar, tetapi sekaligus dapat merupakan salah satu perwujudan nyata dari gerakan revolusi mental masyarakat kita dalam memandang dan memperlakukan sumber daya dan komoditas energi. Kita mestinya harus lebih bangga tidak disubsidi ketimbang terusmenerus bergantung dan mengandalkan subsidi. Subsidi yang diterapkan seharusnya bukan terhadap harga energi, melainkan subsidi langsung kepada pihak yang benar-benar memerlukan.

Namun, jika hal itu karena pertimbangan politik tak dapat dilakukan, yang diperlukan adalah ketegasan dan kejelasan kebijakan pemerintah, serta tertib di dalam administrasi pelaksanaannya. Sejak pertengahan 2016, selisih harga keekonomian BBM dengan harga yang ditetapkan pemerintah paling tidak bergerak dalam kisaran Rp 500/liter hingga Rp 1.500/liter. Tanpa ada penyesuaian harga BBM, selisih harga ini tentu akan menjadi beban, dalam hal ini Pertamina atau pemerintah (APBN).

Membebankan anggaran subsidi kepada Pertamina adalah tidak tepat karena Pertamina badan usaha yang perlu beroperasi layaknya pelaku usaha lain. Maka, jika pemerintah memutuskan tetap tak menaikkan harga BBM, yang harus dilakukan adalah secara tegas dan resmi menambah alokasi anggaran subsidi BBM tersebut di APBN. Jadi, tidak dengan membebankannya ke (keuangan) Pertamina, seperti yang berjalan paling tidak lebih kurang 1-1,5 tahun terakhir.

Beban yang tak proporsional pada Pertamina dapat mengganggu kinerjanya dalam melaksanakan tugas pendistribusian BBM dan elpiji ke seluruh wilayah Tanah Air. Kelangkaan BBM dan elpiji, yang misalnya disebabkan masalah arus kas Pertamina yang terbebani, tentu harus dicegah dan tidak boleh terjadi.

Maka, dalam hal ini, Kementerian ESDM semestinya dapat menjadi inisiator sekaligus representasi sektor penting dari pemerintah untuk segera menempatkan kembali kebijakan (harga) energi di jalur yang benar dan mengambil langkahlangkah konkret yang diperlukan. Lebih dari sekadar memberikan harapan dan citra positif, jelas ada hal fundamental yang benar-benar harus dilakukan pemerintah, khususnya Kementerian ESDM, dalam merespons pergerakan harga minyak pada 2018.

Pencabutan 11 Aturan Sektor Migas Tak Pengaruhi Minat Investasi

KATADATA;  Senin, 5 Februari 2018, 19.55 WIB

Menurut pelaku, 11 aturan yang dihapus bukan faktor utama penentu iklim investasi. Bahkan langkah Kementerian ESDM dinilai hanya merapikan administrasi.

Pelaku sektor minyak dan gas bumi (migas) menyoroti pencabutan 11 aturan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) . Mereka menilai pencabutan aturan itu tak akan berdampak terhadap peningkatan investasi di sektor migas.

Joint Venture and PGPA Manager Ephindo Energy Private Ltd Moshe Rizal Husin mengapresiasi upaya pemerintah dengan menghapus beberapa peraturan. Namun peraturan yang dihapus itu bukan faktor utama dalam investasi.”Yang saya lihat tidak signifikan, bukan faktor utama yang menentukan sebuah perusahaan berinvestasi,” kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (5/2).

Menurut Moshe, kunci utama untuk meningkatkan investasi di sektor migas ada di kebijakan fiskal. Pemerintah seharusnya menerapkan kebijakan fiskal yang meningkatkan keekonomian lapangan migas. Ini penting bagi investor karena keekonomian lapangan menjadi hal utama dalam menentukan portofolio.

Pendiri Refominer Institute Pri Agung Rakhmanto juga menilai pencabutan aturan tersebut tidak berpengaruh terhadap kemudahan investasi di sektor migas. Alasannya aturan yang dicabut itu sebagian merupakan peraturan lama yang memang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini.

Sebagian lagi menurutnya merupakan peraturan yang dulunya sekedar diterbitkan oleh Kementerian ESDM tanpa implementasi yang jelas. “Ini hanya lebih pada langkah merapikan administrasi di lingkungan sektor ESDM saja, yang tidak berkorelasi dengan memudahkan investasi, apalagi meningkatkan investasi,” kata Pri.

Menurut Pri, penyederhanaan izin yang dikehendaki Presiden Jokowi di sektor ESDM lebih konkret daripada yang sudah dilakukan saat ini. Salah satunya mengenai perizinan operasional di hulu migas, yang mencapai 371.

Selain itu, Pri  mengatakan akar masalah dari penyederhanaan perizinan di sektor migas juga bisa diselesaikan dengan cara menyelesaikan Revisi Undang-Undang Migas (RUU Migas). Namun, hingga kini RUU Migas tak kunjung selesai.

Adapun, 11 aturan yang dicabut Kementerian ESDM di sektor migas, yakni:

  1. Permentamben No. 02/1975 tentang Keselamatan Kerja pada Pipa Penyalur serta Fasilitas Kelengkapan untuk Pengangkutan

Minyak dan Gas Bumi di Luar Wilayah Kerja Pertambangan Minyak dan Gas Bumi;

  1. Keputusan MESDM No. 1454 K/30/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang Minyak dan Gas Bumi;
  2. Peraturan MESDM No. 0008/2005 tentang Insentif Pengembangan Lapangan Minyak Bumi Marginal;
  3. Peraturan MESDM No. 0044/2005 tentang Penyelenggaraan Penyediaan dan Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu;
  4. Peraturan MESDM No. 26/2006 tentang Bahan Bakar Minyak untuk Pemberdayaan Industri Pelayaran ;
  5. Peraturan MESDM No. 02/2008 tentang Pelaksanaan Kewajiban Pemenuhan Kebutuhan Minyak dan Gas Bumi dalam Negeri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama;
  6. Peraturan MESDM No. 22/2008 tentang Jenis-Jenis Biaya Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang Tidak Dapat Dikembalikan kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama;
  7. Peraturan MESDM No. 06/2010 tentang Pedoman Kebijakan Peningkatan Produksi Minyak dan Gas Bumi ;
  8. Peraturan MESDM No 31/2013 Tentang Tenaga Kerja Asing
  9. Peraturan MESDM No. 22/2016 tentang Pelaksanaan Pembangunan Kilang Minyak Skala Kecil di dalam Negeri;
  10. Peraturan MESDM No. 51/2017 tentang Pembinaan dan Tata Kelola Barang Milik Negara pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.