Harga Minyak dan Keuangan PLN

Komaidi Notonegoro

Direktur Eksekutif Reforminer Institute

Media Indonesia, 26 Juli 2018

PEMERINTAH memutuskan bahwa selama 2018-2019 tidak akan melakukan penyesuaian tarif atau harga jual listrik. Keputusan itu disampaikan sebagai upaya untuk menjaga daya beli masyarakat. Jika mencermati bahwa 2018-2019 merupakan tahun politik, keputusan itu pada dasarnya cukup logis dan dapat dipahami.

Dengan harga listrik, komoditas yang menguasai hajat hidup masyarakat luas tidak dinaikkan, stabilitas dan kondusivitas masyarakat akan relatif dapat lebih terjaga. Harga jual listrik yang stabil akan dapat mendorong terwujudnya kondisi perekonomian masyarakat yang lebih stabil. Hal itu semakin relevan jika melihat struktur perekonomian Indonesia saat ini lebih padat energi, terutama tenaga listrik.

Berdasarkan pencermatan, sampai saat ini PLN terpantau terus berupaya untuk dapat melaksanakan komitmen pemerintah untuk tidak menaikkan harga jual listrik. Sejumlah upaya terpantau telah dilakukan PLN agar dapat melaksanakan keputusan pemerintah. Salah satu di antaranya mengusulkan adanya harga khusus batu bara untuk pembangkit listrik.

Dalam perkembangannya, pemerintah kemudian menetapkan bahwa sampai dengan 2019 harga batu bara untuk pembangkit listrik maksimal US$70 per matrik ton. Kebijakan harga batu bara untuk pembangit tersebut diatur melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 1395K/30/MEM/2018 tentang Harga Jual Batu Bara untuk Kepentingan Umum. Kepmen tersebut merupakan aturan pelaksana PP No 8/2018 tentang Perubahan Kelima PP Nomor 1 Tahun 2014 tentang Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara, dan Permen ESDM No 19/2018 tentang Perubahan Kedua Permen ESDM No 7/2017 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam dan Batu Bara.

Keuangan PLN
Pada kondisi harga minyak yang cenderung meningkat seperti saat ini, sesungguhnya tidak mudah bagi PLN untuk dapat melaksanakan kebijakan pemerintah tersebut. Naiknya harga minyak mentah di pasar internasional akan berdampak terhadap meningkatnya harga energi primer pembangkit yang lain, seperti gas dan batu bara. Kenaikan harga energi primer pembangkit secara simultan tersebut berpotensi membebani keuangan PLN secara langsung.

Dari sisi penggunaan minyak, meski secara relatif telah mengalami penurunan, konsumsi BBM yang digunakan untuk pembangkit listrik tercatat masih cukup besar. Berdasarkan data yang ada, realisasi konsumsi BBM untuk pembangkit listrik pada 2015 dan 2016 masing-masing masih sebesar 5,48 juta KL dan 4,64 juta KL. Sementara pada 2017, konsumsinya menurun menjadi sekitar 3,85 juta KL.

Biaya pengadaan BBM untuk pembangkit yang dikeluarkan PLN untuk 2015 dan 2016 tersebut masing-masing sebesar Rp38,70 triliun dan Rp24,24 triliun. Pengadaan BBM PLN pada periode tersebut terdistribusi kepada tiga pemasok, yaitu Pertamina, AKR, dan KPM. Berdasarkan data yang ada, sebagian besar atau lebih dari 90% kebutuhan BBM untuk pembangkit PLN dipasok oleh Pertamina.

Berdasarkan data dan informasi yang dihimpun, kebutuhan BBM untuk pembangkit listrik pada 2018 direncanakan sebesar 3,65 juta KL. Kebutuhan BBM pembangkit tersebut terdistribusi atas 1,76 juta KL MFO dan 1,89 HSD.

Simulasi Reforminer menemukan, dengan tingkat konsumsi BBM tersebut, setiap kenaikan harga minyak sebesar US$1 per barel akan meningkatkan biaya pengadaan BBM untuk pembangkit listrik yang harus dikeluarkan oleh PLN sekitar Rp322 miliar. Temuan yang lain, setiap pelemahan nilai tukar rupiah sebesar Rp100 per US$ akan menambah biaya pengadaan BBM untuk pembangkit listrik sekitar Rp2,3 miliar.

Jika mengacu pada perkembangan yang ada, harga minyak dan nilai tukar rupiah pada saat tulisan ini dibuat telah terdeviasi dari asumsi APBN 2018. Harga minyak telah terdeviasi sekitar US$22 per barel, dari asumsi APBN 2018 sebesar US$48 per barel menjadi US$70 per barel. Sementara itu, nilai tukar rupiah terdepresiasi sekitar 1.120 per US$, dari asumsi APBN 2018 sebesar 13.400 per US$ menjadi 14.520 per US$.

Deviasi asumsi tersebut memberikan konsekuensi terhadap meningkatnya biaya atau anggaran yang diperlukan PLN untuk pengadaan BBM. Hasil simulasi Reforminer menemukan tambahan biaya pengadaan BBM yang harus dikeluarkan PLN selama 2018 akibat kenaikan harga minyak yang mencapai US$22 per barel ialah sekitar Rp7,08 triliun. Sementara itu, tambahan biaya pengadaan BBM akibat pelemahan rupiah adalah sekitar Rp25,76 miliar. Dengan demikian, tambahan biaya pengadaan BBM untuk pembangkit yang harus dikeluarkan PLN akibat kenaikan harga minyak dan pelemahan nilai tukar rupiah ialah sekitar Rp7,11 triliun.

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan, cukup jelas bahwa kecenderungan kenaikan harga minyak yang sedang terjadi saat ini berpotensi membebani keuangan PLN. Jika konsumsi BBM untuk pembangkit sesuai dengan rencana saja, beban PLN paling tidak berpotensi bertambah lebih dari Rp7 triliun, apalagi jika konsumsi BBM untuk pembangkit melebihi yang direncanakan. Beban keuangan PLN akan semakin besar jika memperhitungkan kenaikan harga energi primer pembangkit yang lain yang merupakan dampak dari naiknya harga minyak.

Dengan mencermati kondisi yang ada tersebut, pemerintah dan PLN perlu lebih berhati-hati dalam merespons kecenderungan kenaikan harga minyak. Keputusan pemerintah yang tidak menaikan tarif listrik memang sangat positif jika ditinjau dari aspek daya beli dan stabilitas ekonomi. Namun demikian, pemerintah juga perlu melihat lebih menyeluruh termasuk melihat bagaimana risiko kebijakan tersebut bagi keuangan PLN.

Ada Masalah Fundamental di Industri Migas Nasional

DUNIA ENERGI; Kamis, 26 Juli 2018 – 12:41

JAKARTA – Lelang Wilayah Kerja (WK) minyak dan gas reguler tahap I 2018 yang tidak menghasilkan satu pemenang pun menunjukkan ada masalah fundamental di industri migas. Tidak adanya satu perusahaan pun yang mengembalikan dokumen lelang WK migas hanya mengkonfirmasi kembali bahwa iklim investasi hulu migas di Indonesia belum kondusif.

Pri Agung Rakhmanto, Ketua I Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI), mengatakan tidak spesifik karena gross split, namun skema kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) baru tersebut menambah faktor ketidakpastian bagi iklim investasi hulu migas.

“Ketika harga minyak sudah pulih pun sejak awal 2017 lalu, iklim investasi hulu migas kita masih tetap belum menarik dan kompetitif dibanding di negara-negara lain. Investor cenderung masih wait and see, meskipun pemerintah sudah merevisi gross split yang ada,” kata Pri Agung kepada Dunia Energi, Kamis (26/7).

Menurut Pri, untuk dapat menarik investasi dibutuhkan kepastian hukum sebagai wujud penghormatan terhadap kontrak yang berlaku, kepastian fiskal dan hitungan keekonomian. Serta kemudahan birokrasi dan perizinan di tingkat operasional dan proses bisnisnya. “Satu hal fudamental yang mempengaruhi ketiganya dan harus segera dibereskan adalah UU Migas. Butuh segera UU migas baru untuk memberikan kepastian dan kemudahan berusaha,” tegas Pri.

Pemerintah, lanjut dia,  jangan terlalu sering mengutak-atik instrumen fiskal dan keekonomian, seperti halnyagross split. Hal itu akan menambah ketidakpastian baru yang akan membuat investor wait and see.

Menurut Pri, kondisi data migas yang minim bukanlah barang baru, melainkan sudah terjadi lama. Menyalahkan kondisi data yang tidak maksimal tidak tepat. Untuk itu, pemerintah harus sudah menyadari hal ini dan memperbaiki data yang ada sebelum WK migas ditawarkan.

“Masalah kualitas data memang ada, tapi itu juga sudah sejak lama. Itu kan domain pemerintah sendiri yang bisa meng-upgrade,” kata Pri Agung.

Pemerintah sebelumnya menuding keterbatasan data dan waktu untuk evaluasi menjadi penyebab tidak adanya perusahaan yang mengembalikan dokumen lelang, meski tujuh perusahaan sempat mengambil dokumen.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM, mengakui kondisi data migas Indonesia minim lantaran keterbatasan dana yang dianggarkan untuk melalukan berbagai survei guna melengkapi data. “Anggaran terbatas kan terbatas kalau di Kementerian ESDM,” kilah Arcandra.(RI)

Manfaat Ekonomi Bergabungnya PGN bagi Pertamina
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

Polemik Penurunan Kepemilikan Aset Hulu Pertamina

CNN Indonesia; Jumat, 20 Juli 2018 19:27 WIB

Jakarta, CNN Indonesia – Pekan ini, publik dikejutkan oleh beredarnya Surat persetujuan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno atas permohonan izin prinsip aksi korporasi untuk mempertahankan kondisi kesehatan keuangan PT Pertamina (Persero).

Dalam surat itu terungkap, Rini secara prinsip menyetujui sejumlah aksi korporasi di antaranya, penurunan kepemilikan (share down) aset-aset hulu selektif, hingga pemisahan usaha (spin-off) unit bisnis pengolahan unit pengilangan atau refinery unit (RU) IV Cilacap dan unit bisnis RU V Balikpapan.

Dijelaskan lebih rinci, share down dilakukan terhadap aset-aset hulu selektif, termasuk namun tidak terbatas pada hak partisipasi (participating interest), saham kepemilikan, dan bentuk lain.

Tujuannya, untuk tetap menjaga pengendalian aset-aset strategis dan mencari mitra kredibel. Nantinya, Pertamina berupaya memperoleh nilai strategis lain, seperti akses ke aset hulu di negara lain.

Pengamat Energi Pri Agung Rakhmanto menambahkan langkah share-down bukan berarti tak mengandung risiko. Jika tak hati-hati, perseroan akan kehilangan potensi penerimaan karena harus berbagi dengan mitra bisnis.

Menurut dia, proses share-down menghabiskan waktu, baik untuk mendapatkan pembeli dengan harga yang bagus maupun untuk proses eksekusinya.

Untuk itu, menurut Pri, pemerintah seharusnya menanggung seluruh beban subsidi BBM yang semestinya menjadi poin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), bukan hanya tanggung jawab perseroan.

Share-down itu bisa tidak ditempuh kalau pemerintah konsisten menanggung beban subsisi yang memang harus ditanggungnya di APBN,” ujar Pri kepada CNNIndonesia.com, Jumat (20/7).

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan share-down aset maupun hak partisipasi dalam suatu proyek minyak dan gas (migas), merupakan aksi korporasi yang lazim dilakukan.

Di dalam sektor hulu migas, hak partisipasi adalah pembagian hak dan kewajiban antara Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dengan mitranya. Sebagai imbal hasil, sang mitra nantinya akan mendapatkan bagian produksi dari proyek hulu migas yang dikerjakan.

“Dalam praktiknya, hampir KKKS tidak melakukan (operasionalnya) 100 persen sendiri,” ujar Komaidi.

Dengan menggandeng mitra dalam investasi maupun pengelolaan suatu aset, perusahaan dapat memperkecil risiko yang ditanggung perusahaan atas investasi atau penguasahaan aset tertentu.

Selain itu, perusahaan bisa mengalokasikan dananya untuk berinvestasi di unit bisnis lain.

Menurut Komaidi, rencana aksi korporasi Pertamina ini bisa dimaklumi. Pasalnya, sejak beberapa waktu terakhir laba perseroan kian tergerus akibat kerugian di bisnis hilir.

Berdasarkan laporan keuangan perseroan, tahun lalu laba bersih perseroan merosot 19,3 persen dari US$3,16 miliar pada 2016 menjadi US$3,16 miliar. Padahal, penjualan dan pendapatan usaha pada tahun yang sama masih tumbuh sebesar 17,7 peren menjadi US$36,49 miliar.

Penurunan laba salah satunya akibat perseroan harus menanggung sebagian beban subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk masyarakat, terutama untuk BBM penugasan jenis Premium yang harganya dipatok Rp6.450 per liter atau di bawah harga keekonomian yang berkisar Rp8 ribu-an per liter.

Tercatat, beban pokok penjualan perseroan dan beban langsung lainnya melonjak 26,08 persen dari US$30,29 miliar menjadi US$38,19 miliar. Hal itu dipicu oleh kenaikan beban impor produk minyak lainnya dari US$3,68 miliar menjadi US$7,5 miliar. Impor minyak solar juga meningkat dari US$449,22 juta menjadi US$853,53 juta.

Sementara itu, perseroan memiliki sejumlah rencana investasi baik di sektor hulu dan hilir.

Di awal tahun ini, Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko Pertamina, Gigih Prakoso mengungkapkan perseroan berencana mengucurkan investasi hingga US$5,6 miliar atau melonjak sekitar 54,8 persen dari realisasi investasi tahun lalu yang sebesar US$3,61 miliar.

Dalam perjalanannya, pekan ini, Gigih menyatakan bahwa perseroan memangkas proyeksi investasi 2018 sebesar 20 persen menjadi US$4,5 miliar untuk menyesuaikan dengan pergeseran pelaksanaan proyek hilir dan mengantisipasi perkembangan kondisi makro mulai dari kenaikan harga minyak dan pelemahan nilai tukar.

Sebesar US$3 miliar dari total investasi dialokasikan untuk proyek di sektor hulu seperti pengembangan sejumlah proyek blok migas terminasi, termasuk Blok Mahakam. Hal itu sejalan dengan visi perusahaan yang ingin membangun infrastruktur sektor hulu.

“Mereka (Pertamina) mungkin akan mendapatkan tambahan dari pengelolaan blok terminasi misalnya Rp50 triliun tetapi di awal kan mereka harus keluar uang dulu di awal Rp30 triliun,” ujarnya.

Jika melihat besarnya kebutuhan dana tersebut, penghematan dari pembentukan holding migas yang diklaim Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dapat mencapai US$900 juta atau Rp12,6 triliun dalam lima tahun ke depan (asumsi kurs Rp14 ribu per dolar Amerika Serikat), dinilai Komaidi masih relatif kecil.

“Angka Rp12 triliun bagi dunia migas kecil. Sebagai gambaran, untuk mengoperasikan blok Mahakam saja konon perseroan membutuhkan US$2 miliar per tahun. Itu baru operasional belum untuk pengembangan,” ujarnya.

Pertamina, lanjut Komaidi, bisa saja tidak menggandeng mitra untuk mengelola asetnya yang tahun lalu totalnya mencapai US$51,21 miliar. Namun, risikonya, keuangan perseroan untuk ekspansi menjadi terbatas.

Terkait seberapa besar efek share-down nantinya akan menyelamatkan keuangan perseroan, Komaidi belum bisa memprediksi. Pasalnya, hal itu tergantung dari seberapa besar share-down yang dilakukan.

Selanjutnya, izin prinsip yang diberikan Rini Soemarno juga dinilai Komaidi wajar mengingat perseroan harus mendapatkan persetujuan pemegang saham untuk melakukan aksi korporasi.

Secara terpisah, Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman mengungkapkan share-down aset merupakan bagian strategi jangka panjang kemitraan yang telah lama didiskusikan.

“Kemitraan itu lumrah di berbagai sektor energi yang memang padat modal dan risikonya tinggi sehingga kami juga tetap bisa investasi untuk infrastruktur yang kritis untuk negara,” ujar Arief kepada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.

Namun, Arief meyakinkan bahwa dalam setiap kemitraan ke depan perseroan tetap memegang kendali.

“Prosesnya (kemitraan), pasti masih lama,” ujar Arief

Permasalahan Regulasi Sektor Hulu Minyak dan Gas Indonesia

Selama bertahun-tahun, aspek regulasi di sektor hulu migas Indonesia selalu berkaitan dan berkutat dengan 3 masalah utama berikut (1) Ketidakpastian hukum (aturan), (2) Ketidakpastian fiskal (ekonomi), dan (3) Proses administrasi / birokrasi / izin yang rumit. Permasalahan (1) dan (2) menjadi sangat berpengaruh pada kondisi tidak dihormatinya Kontrak Kerja Sama yang berlaku (dishonored of contract sanctity), yang secara mendasar merupakan syarat utama bagi iklim investasi yang kondusif. Penerbitan peraturan baru, deregulasi dan debirokrasi yang baru-baru ini dilakukan oleh Pemerintah cukup positif, namun masih tidak dapat secara efektif menangani 3 masalah utama tersebut. Upaya-upaya tersebut belum secara konkret menangani masalah dan beberapa bahkan menambah komplikasi permasalahan.

Salah satu contohnya adalah Peraturan Menteri ESDM (Permen ESDM) No. 15 Tahun 2018 tentang Kegiatan Pasca Operasi pada Kegiatan Hulu Migas. Pasal 20 dan 21 Permen ESDM 15/2018 menyebutkan bahwa Kontrak Kerja Sama yang lama harus mengadopsi aturan ini, yang artinya menuntut adanya perubahan isi kontrak. Pasal 11 menyebutkan adanya kewajiban bagi KKKS untuk mengalokasikan dan menyetorkan dana, yang artinya memiliki implikasi terhadap arus kas dan hitungan keekonomian suatu investasi migas. Sementara Pasal 6 yang menyebutkan bahwa di dalam pelaksanaannya aturan ini tidak hanya akan melibatkan KKKS dan SKK Migas, tetapi juga Ditjen Migas dan pihak/instansi lain terkait, akan memiliki konsekuensi terhadap aspek administrasi dan birokrasi serta perizinannya.

Contoh lainnya adalah Permen ESDM No. 47/2017 (revisi atas Permen ESDM 26/2017 tentang Mekanisme Pengembalian Investasi pada Kegiatan Usaha Hulu Migas, Permen ESDM 52/2017 (revisi atas Permen ESDM 8/2017) tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split, dan Permen ESDM 37/2016 tentang Ketentuan Penawaran Participating Interest 10 % Pada Wilayah Kerja Migas.

Di luar Permen ESDM, di tingkatan Peraturan Presiden (Perpres), ada Perpres 40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Sementara itu, di tingkat Peraturan Pemerintah (PP), dua aturan yang dianggap akan dapat memberikan kepastian dan sekaligus memberikan insentif fiskal untuk hulu migas, yaitu PP 53/2017 tentang Perlakuan Perpajakan Pada Kegiatan Usaha Hulu Migas dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split dan PP 27/2017 (revisi atas PP 79/2010) juga belum efektif karena secara administrasi dan birokrasinya masih harus menunggu diterbitkannya peraturan-peraturan pelaksana di bawahnya, baik di tingkat menteri maupun dirjen.

Analisis dan identifikasi studi ReforMiner menemukan bahwa terus berkutatnya sektor hulu migas di dalam 3 permasalahan utama di atas, adalah karena ada 3 elemen fundamental yang diperlukan dalam Kontrak Kerja Sama yang selama ini hilang dari regulatory framework sektor hulu migas yang ada, yaitu: (1) penerapan assume and discharge di dalam hal perpajakan Kontrak Kerja Sama, (2) pemisahan urusan administrasi dan keuangan Kontrak Kerja Sama dengan urusan pemerintahan dan keuangan negara (state finance), dan (3) penerapan prinsip single door bureaucracy /single institution model yang mengurus hal administrasi/birokrasi/perizinan Kontrak Kerja Sama.

Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi 22/2001 tidak memiliki ketiga elemen fundamental tersebut, sehingga regulatory framework pengelolaan hulu migas yang selama ini didasarkan atasnya selalu “conflicting” atau tidak sinkron dengan bentuk Kontrak Kerja Sama yang dijalankan, sehingga memunculkan ketiga masalah utama di atas.

Mengaitkan Pertamax dengan Subsidi BBM Dinilai Tak Tepat

KATA DATA; Kamis, 5 Juli 2018, 13.36 WIB

Pertamax merupakan BBM kategori umum yang tidak mendapatkan subsidi.

Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax per 1 Juli 2018, memantik banyak respons. Salah satunya adalah dengan mengaikatkan kenaikan harga BBM beroktan 92 itu dengan perampasan subsidi rakyat.

Namun, menurut Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro, harga Pertamax tidak ada kaitannya dengan subsidi. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 191 tahun 2014 dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 39 tahun 2014 (diubah lima kali, terakhir Permen ESDM Nomor 34 tahun 2018), Pertamax merupakan golongan BBM Umum.

Karena tergolong BBM Umum, Pertamax tidak pernah mendapatkan subsidi. Jadi, tidak pernah ada kaitan antara harga Pertamax dan subsidi BBM di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). “Mengaitkan Pertamax dengan subsidi BBM adalah tidak tepat,” kata Komaidi kepada Katadata.co.id, Rabu (4/7).

Mengacu aturan itu, Selain Pertamax, yang tak mendapatkan subsidi dalam APBN adalah Premium, karena merupakan BBM penugasan. Hanya Solar dan Minyak Tanah yang mendapatkan subsidi dari negara.

Komaidi mengatakan kenaikan harga pada dasarnya murni keputusan korporasi yang menggunakan basis bisnis. “Kenaikan di antaranya didorong kenaikan harga minyak mentah dan pelemahan nilai tukar rupiah,” ujar dia.

KATA DATA

Penentuan harga BBM pun tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 tahun 2018. Regulasi itu menyebutkan harga jenis BBM Umum menjadi domain atau ditetapkan oleh Badan Usaha dan wajib dilaporkan kepada Menteri ESDM.

Dalam aturan itu harga tertinggi ditentukan berdasarkan harga dasar ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) yang menyesuaikan peraturan daerah provinsi setempat. Kemudian margin badan usaha tetap dipatok maksimal 10% dari harga dasar.

Per 1 Juli 2018 lalu, Pertamina menaikkan harga Pertamax di Pulai Jawa sebesar Rp 600 per liter menjadi Rp 9.500 per liter. Namun di Papua justru harganya turun dari Rp 11.050 per liter jadi Rp 9.700 per liter.

Kenaikan harga ini pun ditanggapi Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fahri Hamzah. “Itu kan naikin harga BBM itu merampas subsidi rakyat. Merampas subsidi rakyat itu harus pakai Undang-undang (UU). Minimal presiden bikin Peraturan Pengganti UU (Perppu) dong. Masak Pertamina disuruh merampas subsidi rakyat?” kata dia seperti tertulis di artikel DetikNews berjudul “Harga Pertamax Naik, Fahri Tuding Pemerintah Rampas Subsidi Rakyat” yang terbit Selasa (3/7).

Aspek Ekonomi Holding BUMN Migas
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

MEDIA INDONESIA: Selasa, 03 Juli 2018, 01:30 WIB

SALAH satu yang tercatat masih menjadi konsen dari pelaksanaan kebijakan holding BUMN migas ialah manfaat ekonomi yang akan diperoleh. Meski telah tercatat mulai efektif berjalan, manfaat ekonomi dari penggabungan PGN ke dalam Pertamina melalui kebijakan holding masih dipertanyakan.

Berdasarkan pencermatan, sampai saat ini masih terdapat keraguan mengenai ada atau tidaknya manfaat ekonomi yang akan diperoleh dari kebijakan <i>holding<p> BUMN migas. Bahkan di dalam level tertentu justru kebijakan <holding BUMN migas dikhawatirkan akan memberikan dampak negatif bagi kedua belah pihak, baik Pertamina maupun PGN.

Masuknya PGN ke bagian Pertamina justru dikhawatirkan akan berdampak negatif bagi kinerja keuangan Pertamina. Terdapat penilaian bahwa kinerja PGN dalam beberapa waktu terakhir cenderung menurun dan tidak lebih baik jika dibandingkan dengan Pertamina, terutama yang menyangkut kinerja unit bisnis gas.

Di antara yang menjadi konsen ialah informasi mengenai perolehan laba usaha dan laba bersih PGN yang selama 2012-2017 dilaporkan cenderung menurun. Peningkatan biaya operasi usaha akibat beban sewa FSRU Lampung dan beberapa keputusan investasi Saka Energi yang notabene merupakan anak usaha PGN, juga di antara yang menjadi catatan.

Di sisi lain, penggabungan PGN ke dalam Pertamina juga dikhawatirkan akan memberikan dampak negatif bagi PGN. Aspek transparansi PGN yang berstatus sebagai perusahaan yang sudah tercatat di Bursa Efek Indonesia, dikhawatirkan akan mengalami kemunduran jika bergabung dengan Pertamina. Status Pertamina yang masih menerima penugasan PSO dari pemerintah juga dikhawatirkan dapat menghambat laju kinerja PGN.

Manfaat ekonomi

Jika dapat dilaksanakan dengan benar, secara teori akan terdapat sejumlah manfaat positif dari pelaksanaan kebijakan holding BUMN migas. Secara umum pelaksanaan <I>holding<P> BUMN migas minimal akan berpotensi memberikan manfaat kepada tiga pihak, yaitu BUMN yang menjadi subjek holding, pemerintah, dan masyarakat luas khususnya konsumen gas bumi.

Pada tahap awal, kebijakan holding berpotensi memberikan manfaat positif kepada pihak yang terlibat di dalam holding, yaitu Pertamina dan PGN. Jika dapat berjalan lancar, penggabungan Pertamina dan PGN akan meningkatkan posisi pembiayaan melalui penggabungan aset kedua perusahaan.

Holding juga berpotensi dapat meningkatkan kapasitas investasi dan kemandirian finansial pihak yang terlibat di dalamnya sehingga peluang untuk dapat mengembangkan bisnis hulu dan hilir gas akan semakin besar.
Dengan holding, keekonomian proyek gas yang akan dikerjakan kedua perusahaan juga berpotensi lebih baik. Salah satunya karena dapat menekan biaya akibat terhindar dari kemungkinan dilakukannya pembangunan infrastruktur gas yang tidak perlu. Kedua perusahaan juga berpotensi melakukan diversifikasi usaha sehingga profil risiko investasi secara keseluruhan dapat diturunkan.

Bagi pemerintah, holding BUMN migas memiliki posisi yang strategis dalam banyak aspek, terutama menyangkut kinerja makroekonomi. Melalui penggabungan Pertamina-PGN berpotensi terjadi peningkatan dalam <i>accessibility, acceptability, affordability, dan availability gas bumi. Kondisi itu seharusnya sangat positif bagi perekonomian nasional mengingat PDB Indonesia saat ini sebagian besar dihasilkan dari sektor-sektor ekonomi yang padat energi.

Holding juga berpotensi meningkatkan pendapatan negara melalui pertumbuhan industri. Dengan kegiatan sektor industri yang meningkat, penerimaan negara baik dari pajak maupun PNBP juga berpotensi meningkat. Melalui kebijakan holding, pemerintah juga dapat berpeluang melakukan optimalisasi aset BUMN sehingga memungkinkan untuk menciptakan tata kelola dan transparansi yang lebih baik di dalam pengelolaan BUMN.

Bagi masyarakat, pelaksanaan holding berpotensi mendorong ketersediaan pasokan gas dengan harga yang lebih terjangkau. Kebijakan holding juga berpotensi dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap gas bumi karena distribusi gas yang lebih merata. Dalam hal ini masyarakat juga berpotensi menikmati multiplier effect akibat turunnya harga gas untuk industri.

Berdasarkan potensi manfaat ekonomi yang akan diperoleh baik oleh pihak yang terlibat dalam holding, pemerintah, dan masyarakat luas tersebut, dapat dikatakan bahwa jika ditinjau dari apek ekonomi, secara teori dan konsep kebijakan holding BUMN migas sangat positif.

Karena itu, mengingat payung hukum kebijakan holding BUMN migas telah diterbitkan, tugas selanjutnya yang harus dikawal kita semua sebagai stakeholder ialah mengawal agar kebijakan holding BUMN migas berjalan sesuai dengan teori, konsep, dan tujuan awal, yang pada akhirnya akan bermuara pada upaya mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Bersatunya PGN dan Pertagas bisa menguatkan keberadaan Holding Migas
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

Kontan.co.id: Minggu, 01 Juli 2018 / 17:21 WIB

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pada tanggal 11 April 2018 lalu telah secara resmi berdiri Holding BUMN Migas. PT Pertamina Persero (Pertamina) secara resmi menjadi induk BUMN Migas dan PT Perusahaan Negara Tbk (PGN) sebagai anggota Holding. Selanjutnya, telah disetujui oleh Kementerian BUMN integrasi PT Pertamina Gas (Pertagas) dalam PGN dalam PP 06 Tahun 2018.

Tujuan utama dalam pendirian Holding BUMN Migas adalah untuk bersama-sama membangun bisnis gas world class yang mendorong ketahanan energi nasional melalui 4A: Availability, Accessibility, Affordability dan Acceptability dari gas di Indonesia.  Integrasi bisnis gas ini dilakukan guna mendorong perekonomian dan ketahanan energi nasional, melalui pengelolaan infrastruktur gas yang terhubung dari Indonesia bagian Barat (Arun) hingga Indonesia bagian Timur (Papua).

Holding BUMN Migas akan dapat menghasilkan sejumlah manfaat, di antaranya adalah memperkuat infrastruktur migas di Indonesia, menciptakan efisiensi dalam rantai bisnis gas bumi sehingga tercipta harga gas yang lebih terjangkau kepada konsumen, meningkatkan kapasitas dan volume pengelolaan gas bumi nasional, meningkatkan kinerja keuangan Holding BUMN Migas, dan menghemat biaya investasi dengan tidak terjadinya lagi duplikasi pembangunan.

Peran PGN dan Pertagas akan sangat penting ke depan karena akan mengelola bisnis gas secara terintegrasi sebagai Sub Holding Gas dibawah koordinasi Holding BUMN Migas. Dua perusahaan yang tadinya bersaing, mulai saat ini akan bahu membahu dalam melakukan ekspansi dan investasi demi mengejar target yang lebih besar lagi.pada sektor hilir bisnis gas bumi.

Semua stakeholder Sub Holding Gas akan merasakan manfaat positif dari bergabungnya PGN dan Pertagas. Mulai dari para pelanggan yang akan mendapatkan harga gas yang lebih terjangkau, para pemegang saham mayoritas maupun minoritas yang akan merasakan profitabilitas PGN yang meningkat, sampai dengan seluruh karyawan PGN dan Pertagas yang akan semakin terbuka dengan kesempatan yang luas untuk berkarir karena perusahaan tempatnya bekerja kini semakin besar.

Dalam menyelesaikan proses pendirian Holding BUMN Migas ke depannya, telah disusun roadmap yang jelas dengan milestones penting dalam jangka pendek dan jangka menengah dalam mengintegrasikan Sub Holding Gas. Pada tanggal 29 Juni 2018 telah dicapainya milestone yang signifikan dalam proses integrasi, yaitu PGN telah menandatangani Perjanjian Jual Beli Saham Bersyarat (Conditional Sales Purchase Agreement/CSPA) dengan Pertamina.

Proses integrasi Pertagas ini dilakukan dengan menerapkan Good Corporate Governance dan Peraturan Perundangan yang berlaku, khususnya di bidang pasar modal serta melibatkan berbagai pihak yang mendukung dan mengawal proses integrasi. Sebagai tahapan selanjutnya, dibutuhkannya persatuan kombinasi kapabilitas, aset dan talenta yang luar biasa antara PGN dan Pertagas untuk menghasilkan nilai tambah yang sangat signifikan bagi bangsa Indonesia dan seluruh pemangku kepentingan. Suatu pekerjaan besar, yang bisa berhasil jika seluruh karyawan PGN dan Pertagas bisa saling bahu-membahu guna menjalankan visi dan misi yang sama demi kemajuan perusahaan dan kesejahteraan karyawan.

Dalam beberapa kali kesempatan, baik Kementerian BUMN maupun direksi Pertamina dan PGN, sudah memastikan bahwa tidak akan ada PHK dalam proses integrasi ini. Serta semua karyawan tetap akan mendapatkan hak yang sama. Sehingga diharapkan Direksi PGN untuk dapat memastikan, masa transisi dari proses integrasi Pertagas ke PGN bisa berjalan lancar dan sesuai rencana dengan merangkul seluruh elemen karyawan dengan baik.

Sebagai penutup, diyakini bahwa Pertamina sebagai induk Holding BUMN Migas menyambut baik dalam membangun bisnis gas Indonesia yang world class dimana integrasi PGN dan Pertagas akan menjadi bagian dari keluarga besar Pertamina Grup yang memiliki visi yang sama dalam membangun kedaulatan energi untuk bangsa Indonesia. Diharapkan pendirian Holding BUMN Migas ini dapat menciptakan kedaulatan dan ketahanan energi yang pastinya membawa manfaat untuk masyarakat dan negara.

Harga Gas untuk Listrik
Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

KORAN SINDO: Senin, 02 Juni 2018

Pemerintah memutuskan bahwa selama 2018-2019 tidak akan terdapat penyesuaian harga jual tenaga listrik. Dalam perspektif ma kroekonomi dan sosial, kebijakan pemerintah tersebut positif.

Menjelang tahun politik, stabilitas sosial dan eko – nomi masyarakat memang pen – ting untuk dijaga. Karena itu relatif dapat dipahami jika pe – merintah kemudian mengambil kebijakan tersebut. Akan tetapi pada kondisi har – ga energi primer pem bang kit yang sedang meningkat se perti saat ini, kebijakan pe me rintah tersebut berpotensi me ne kan kinerja keuangan penyedia te naga listrik, terutama PLN. Ketika harga energi pri mer pembang – kit, terutama ener gi fosil, me – ningkat, kebi jakan yang seharusnya dilakukan adalah menaik kan harga jual listrik.

Kebijakan pemerintah un – tuk tidak menaikkan harga jual listrik pada saat harga energi primer pembangkit meningkat hanya dapat dilakukan dalam dua pilihan. Pertama, menurunkan harga energi primer yang masih memungkinkan untuk di – intervensi pemerintah. Ke dua, mengorbankan aspek kesehatan keuangan badan usaha pe – nye dia listrik baik PLN maupun badan usaha penyedia tenaga listrik yang lain dengan ber – bagai konsekuensinya.

Harga Gas Pembangkit

Mencermati kondisi yang ada, melakukan intervensi ter – hadap harga energi primer pem – bangkit (khususnya gas) me – rupakan opsi yang masih mung – kin untuk dilakukan jika pe me – rintah menghendaki tidak me – naikkan harga jual listrik ketika harga energi primer meningkat seperti saat ini. Hal itu me ng – ingat peran gas dalam bauran energi primer pembangkit ter – catat relatif cukup signifikan. Pada tahun 2017, porsi te na – ga listrik yang diproduksi pem – bangkit listrik yang meng gu – nakangastercatat sekitar27,86% dari total produksi listrik PLN. Konsumsi gas yang diperlukan untuk mempr oduk si listrik dalam porsi tersebut tercatat se – kitar 368,49 juta MMBTU.

Dengan volume konsumsi gas tersebut, dengan asumsi ni – lai tu kar rupiah di kisaran Rp14.000/ USD, setiap penu – runan har ga gas sebesar USD1/ MMBTU akan menurunkan bia – ya pengadaan energi primer pembangkit PLN sekitar Rp5 tri liun. Selain itu pe nu run an harga gas tersebut juga akan berdampak terhadap me nu – run nya biaya produksi listrik dari pembangkit yang meng gu – nakan gas sekitar Rp125/kWh. Selain harga yang dite tap – kan BPH Migas, harga gas untuk konsumen domestik Indonesia tercatat terbagi menjadi tiga kelompok pengguna utama, yai – tu pembangkit listrik, indus tri tertentu, dan industri umum. Rata-rata harga gas yang di – terima pembangkit listrik ter – catat di antara harga gas un tuk industri tertentu dan industri umum.

Harga gas untuk pem – bangkit lebih tinggi dari harga untuk industri tertentu, tetapi lebihrendahdariindustriumum. Pada 2016 misalnya rata-rata har ga gas untuk pembangkit lis – trik tercatat sekitar USD6,10/ MMBTU. Sementara harga gas untuk industri tertentu dan industri umum masing-masing sekitar USD5,30/MMBTU dan USD11,20/MMBTU. Untuk kawasan Asia Teng – gara, harga gas untuk pem bang – kit listrik di Indonesia tercatat lebih tinggi dari harga gas pem – bangkit listrik di Malaysia dan Vietnam. Pada tahun 2016, har – ga gas untuk pembangkit di Ma – laysia dan Vietnam masing-ma – sing sekitar USD4,70/MMBTU dan USD3,80/MMBTU. Pemerintah Malaysia dan Viet nam tercatat memberikan sub sidi harga gas untuk pem ban – g kit listrik di negara me reka.

Hal tersebutdimak sud kanagarhar ga jual listrik murah sehingga mam – pu mendorong dan mening kat – kan daya saing industri mereka. Berdasarkankondisiyangada tersebut dapat dikatakan pada dasarnya masih terdapat ruang bagi pemerintah untuk dapat melakukan penurunan harga gas untuk pembangkit. Jika peme – rintah dapat memberlakukan hargagasyangre latiflebihmurah untuk industri tertentu seperti industri pupuk dan industri pe – trokimia, seharusnya juga terdapat peluang untuk mem be – rikan harga gas yang lebih murah untuk pem bangkit listrik. Tantangan utama penurunan harga gas untuk pembangkit lis – trik kemungkinan akan be r ada pada kerelaan pemerintah un tuk “berkorban” mengurangi Pen da – pat an Negara Bukan Pajak(PNBP) dari pengusahaan gas.

Jika pe – merintah masih sulit merelakan pengurangan penerimaan dari pengusahaan gas, na sib penu – run an harga gas un tuk pem bang – kit listrik ke mung kinan akan sama dengan kebi jakan penurunan harga gas un tuk industri. Dalam hal ini, mes kipun payung hukum yaitu Per pres Nomor 40/2016, Permen ESDM Nomor 6/2016, dan Per men ESDM No – mor 16/2016 te lah diterbitkan, sampai saat ini implementasi penurunan harga gas untuk industri dapat dika ta kan belum berjalan se penuhnya.

Hal lain yang perlu dila ku kan terkait dengan penurunan harga gas untuk pembangkit ada lah perlu dilakukan revisi ter hadap Permen ESDM No mor 45/2017 tentang Peman faat an Gas Bumi untuk Pem bang kit Listrik. Jika mengacu pada formula yang ditetapkan permen ini, dengan kondisi le vel harga minyak (ICP) saat ini, harga gas yang harus diberlakukan untuk pembangkit listrik justru lebih tinggi dari rata-rata harga gas yang saat ini diterima pembangkit listrik.