Menimbang Arahan Jokowi dalam Konsepsi Kelembagaan Hulu Migas

Katadata.co.id; 31 Maret 2019

Penulis : Pri Agung Rakhmanto, Dosen di FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute

Pada akhir 2018, Dewan Perwakilan Rakyat melalui sidang paripurna mengesahkan draf Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) menjadi RUU Migas sebagai inisiatif Dewan. RUU Migas tersebut disampaikan kepada pemerintah, yang juga telah meresponsnya.

Presiden Joko Widodo, dalam rapat kabinet 23 Januari, menyampaikan beberapa butir penting, di antaranya, agar UU Migas hasil revisi ini nantinya: Pertama, tidak bertentangan dengan Konstitusi.

Kedua, mampu mendorong produksi migas nasional dan mendukung penguatan kapasitas nasional. Ketiga, mampu memperkuat ketahanan dan kemandirian energi nasional. Keempat, mampu menjadi momentum untuk mereformasi tata kelola migas lebih efisien, transparan, sederhana, dan berkelanjutan.

Hingga tulisan ini dibuat, pemerintah telah menyelesaikan Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU Migas untuk dibahas bersama DPR. Salah satu elemen (ter)penting di dalam DIM tersebut dan yang memiliki keterkaitan erat dengan empat butir arahan Presiden Joko Widodo di atas adalah kelembagaan hulu migas.

Pada tingkat tertentu, kelembagaan hulu migas bahkan dapat dikatakan merupakan ruh atau nyawa dari UU Migas itu sendiri. Berangkat dari hal tersebut, berikut beberapa pemikiran terkait penataan kelembagaan hulu migas, yang mungkin dapat menjadi masukan atau bahan pertimbangan bagi pemerintah dan DPR di dalam menyelesaikan proses revisi UU Migas.

Dalam keterkaitan dengan keempat butir yang menjadi arahan Presiden, berdasarkan pertimbangan aspek konstitusional, perekonomian, penguatan ketahanan energi dan kapasitas nasional, dan faktor lingkungan usaha migas, saya mencoba merumuskan kriteria kelembagaan hulu migas nasional yang baru sebagai berikut:

(1) Memenuhi aspek konstitutional sebagaimana diamanatkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu menggunakan pola pengusahaan B to B. (2) Lebih dapat menjadikan migas sebagai penggerak perekonomian nasional dalam arti yang seluas-luasnya. (3) Memperkuat ketahanan, kemandirian energi dan kapasitas nasional. (4) Adaptif dan mampu merespons dinamika kondisi lingkungan usaha migas di tingkat nasional maupun global.

Pemenuhan aspek konstitusional di dalam kelembagaan hulu migas diperlukan dalam rangka menciptakan kepastian hukum. Dari perspektif konstitusi, hal itu untuk mewujudkan makna penguasaan negara atas sumber daya migas secara utuh. Yaitu, merealisasikan pengelolaan migas dalam derajat penguasaan negara pada peringkat pertama atau yang tertinggi.

Dalam hal ini, kelima fungsi negara untuk mengadakan kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad), dilaksanakan secara sekaligus oleh negara melalui institusi-institusinya.

Dalam konteks untuk lebih dapat menjadikan migas sebagai penggerak perekonomian nasional dalam arti yang seluas-luasnya, kelembagaan hulu migas yang baru harus mampu menjadi instrumen yang efektif untuk dapat menarik investasi hulu migas secara optimal sehingga mendatangkan multiflier effect ekonomi secara maksimal. Kelembagaan hulu migas yang baru juga harus mampu menjadi katalisator dan fasilitator yang memungkinkan pelaksanaan investasi kegiatan usaha hulu migas berjalan dengan efektif dan efisien.

Dalam konteks untuk memperkuat ketahanan dan kemandirian energi serta kapasitas nasional, dalam hal ini mencakup posisi dan peran perusahaan migas nasional, kelembagaan hulu migas yang baru hendaknya menempatkan perusahaan migas nasional dalam posisi yang semestinya.

Pihak yang diberi kewenangan oleh negara melalui pemerintah c.q. Kementerian ESDM ini mengelola sumber daya migas secara mandiri ataupun melalui kerja sama dengan pihak lain.

Perusahaan migas nasional ditempatkan sebagai pengelola kekayaan migas negara dan sekaligus merupakan wakil dari negara di dalam melakukan kerja sama usaha hulu migas dengan pihak lain.

Sejalan dengan hal itu, perusahaan migas nasional juga dapat difungsikan sebagai kepanjangan tangan negara untuk menjalankan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam mencapai tujuan-tujuan negara, termasuk untuk memperkuat keamanan pasokan dan ketahanan energi nasional.

Di dalam merespons dinamika kondisi lingkungan usaha migas, khususnya yang berkembang di tingkat nasional, kelembagaan hulu migas nasional yang baru harus memungkinkan terciptanya pengelolaan hulu migas yang memiliki keluwesan dan kelincahan di dalam bergerak tetapi tetap dalam koridor good governance.

Hal ini terutama untuk menjawab tantangan persoalan perizinan dan birokrasi pengambilan keputusan yang saat ini lebih kompleks seiring dengan berjalannya demokratisasi dan desentralisasi di dalam arena politik ekonomi nasional.

Di sisi lain, kelembagaan hulu migas yang baru juga harus memungkinkan terciptanya iklim investasi dan pengusahaan hulu migas nasional yang tidak saja kondusif dan adaptif tetapi juga kompetitif dalam menghadapi persaingan di tingkat global.

Dalam hal bagaimana menarik investasi, yang di tingkat global persaingannya semakin ketat, kelembagaan hulu migas nasional yang baru harus mampu menciptakan kemudahan dalam berusaha (ease of doing business) bagi para pelaku di hulu migas dengan lebih baik.

Berdasarkan kriteria dan penjabarannya di atas, kelembagaan hulu migas yang baru dapat dikonsepsikan sebagai berikut:

Screenshot

Dalam konsepsi kelembagaan hulu migas di atas, negara melalui pemerintah c.q. Kementerian ESDM sebagai pemegang kekayaan sumber daya migas (mineral rights), melalui Undang-Undang Migas yang baru nanti memberikan kuasa pertambangan (mining rights) atas wilayah migas yang ada di seluruh NKRI kepada Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMN-K) atau Badan Usaha Khusus (BUK).

BUMN-K atau BUK ini merupakan bentuk badan usaha yang dimiliki negara sesuai dengan ketentuan UU BUMN dan UU Perseroan Terbatas yang secara khusus dibentuk dan didirikan berdasarkan UU Migas yang baru (lex specialis) untuk menjalankan fungsi pengelolaan kegiatan usaha hulu migas. Kepemilikan saham BUMN-K atau BUK sepenuhnya di tangan pemerintah dan tidak dapat diperjualbelikan.

BUMN-K atau BUK tidak melaksanakan secara langsung kegiatan operasional hulu migas (eksplorasi dan eksploitasi) tetapi menjalankan fungsi pengelolaan/manajemen dari mining rights. Hal itu dilakukan melalui kontrak kerja sama pengelolaan wilayah kerja dengan Pertamina, kontrak kerja sama dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap lain (swasta nasional maupun asing), dan atau dengan melalui mekanisme kepemilikan saham pada pengelolaan wilayah kerja tertentu.

Selain Pertamina, pemerintah juga dapat membentuk BUMN operasional lain untuk melakukan kegiatan hulu migas secara langsung yang merupakan BUMN murni sesuai UU BUMN dan UU Perseroan. Adapun sahamnya dapat diperjualbelikan dan dapat merupakan perusahaan terbuka (Tbk) dan terdaftar di bursa saham.

Konsepsi model kelembagaan ini akan menjadikan pengusahaan hulu migas kembali dilakukan secara Business to Business (B to B). Hal ini akan memungkinan berbagai bentuk kontrak dan atau fiscal regime pengusahaan migas dapat diterapkan secara lebih fleksibel (PSC cost recovery, PSC gross split, service contract, tax & royalty dll), dengan tetap sesuai dengan amanat Konstitusi.

Diharapkan, persoalan ketidakpastian hukum terkait aspek konstitutionalitas yang selama ini ada dapat teratasi. Kepastian hukum ini diharapkan akan menjadikan iklim investasi hulu migas nasional secara keseluruhan lebih kondusif dan kompetitif di dalam menarik investasi.

Sehingga, sektor hulu migas (kembali) dapat lebih menggerakkan perekonomian nasional dan memberikan multiplier effect dalam arti yang lebih luas, untuk mewujudkan kemakmuran rakyat.

Penyelesaian RUU Migas belum jadi prioritas

Kontan.co.id; 27 Maret 2019

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pada akhir Januari 2019 lalu, Presiden Joko Widodo/Jokowi menyebut pentingnya percepatan pembentukan Undang-Undang Migas yang baru demi tata kelola migas yang lebih baik. Namun sayangnya hingga saat ini, RUU Migas justru mandek di pemerintah.

Pemerintah sejatinya sudah menyelesaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Dengan begitu, pemerintah dan DPR bisa membahas RUU Migas bersama berdasarkan DIM yang diusulkan pemerintah.

Namun menurut Anggota Komisi VII DPR RI, Tjatur Sapto Edy, hingga saat ini belum ada rencana pembahasan RUU Migas antara DPR dengan pemerintah. Menurut Tjatur, DPR saat ini tengah fokus pada pemilihan umum yang akan berlangsung 17 April 2019 mendatang. “Semua konsentrasi Pemilu,”ungkap Tjatur ke KONTAN pada Rabu (27/3).

Biarpun begitu, dia yakin RUU Migas ini bisa selesai di periode DPR RI 2014-2019. Pasalnya anggota DPR telah menyelesaikan draft RUU Migas. Pembahasan RUU Migas pun akan dimulai lagi setelah Pemilu. “Sangat mungkin, karena sudah selesai di DPR,”kata Tjatur.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menyebut pentingnya pemerintah dan DPR RI untuk mengesahkan UU Migas yang baru. Agar ada kepastian hukum bagi pelaku industri migas.

“Dalam konteks memberikan kepastian bagi usaha migas pengesahaannya penting. Namun melihat kondisi saat ini kemungkinan untuk disahkan peluangnya relatif kecil,”kata Komaidi.

Menurutnya anggita DPR saat ini memang fokus untuk menghadapi Pemilu. “Saya kira fokus DPR sudah terbagi,”imbuhnya.

Sejauh ini ada bebedapa poin penting terkait RUU Migas. Salah satunya adalah mengenai pembentukan Badan Usaha Khusus (BUK). Dalam konsep draft RUU Migas versi DPR RI, BUK merupakan badan usaha khusus yang didalamnya juga termasuk PT Pertamina (Persero). BUK ini dibentuk untuk mengurus bisnis hulu hingga hilir migas di Indonesia.

Sementara Badan Usaha yang akan dibentuk pemerintah merupakan Badan Usaha Negara (BUN). BUN ini dibentuk khusus untuk mengurus bisnis hulu migas. Sementara untuk hilir migas akan dibentuk badan usaha yang berbeda.

Selain itu, pemerintah juga akan membentuk Petroleum Fund. Petroleum Fund ini rencananya akan digunakan untuk menghimpun dana eksplorasi.

Menyoal Regulasi Hulu Migas
Pri Agung Rakhmanto;
Dosen FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute dan
Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI)

Pemerintah Beri Subsidi Pertamax, Premium Berpotensi Tergusur

Dunia Energi.com; 19 Maret 2019

JAKARTA – Pemberian subsidi untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax dinilai bisa dilakukan pemerintah, asalkan ada perubahan dari sisi regulasi. Pemerintah berencana mengubah pemberian subsidi BBM, dari sebelumnya ke Premium menjadi BBM dengan research octane number (RON) yang lebih tinggi.

“Saya kira memungkinkan sepanjang payung hukumnya direvisi, memasukkan Pertamax ke dalam jenis BBM yang disubsidi,” ujar Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute kepada Dunia Energi, Selasa (19/3).

Menurut Komaidi, pemerintah mempunyai alasan bagus untuk segera menghapus Premium, yakni terkait kualitas dan dampak buruk terhadap lingkungan. “Saya kira ini bagian dari upaya menghapus Premium, sehingga pemerintah tetap memberi opsi,” tukasnya.

Namun Ia tidak yakin subsidi yang diberikan akan besar dan bisa  langsung menutupi defisit yang ditanggung Pertamina. Saat ini yang terpenting adalah memberikan subsidi, bukan besaran subsidinya. “Poin pemerintah adalah memberikan subsidi, bukan seberapa besar subsidinya. Bisa saja per liter hanya diberi subsidi Rp300,” kata Komaidi.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah mengkaji kemungkinan untuk kembali memberikan subsidi BBM. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini subsidi  akan diberikan bagi BBM dengan kualitas baik.

Ignasius Jonan, Menteri ESDM, mengatakan usulan atau wacana untuk memberikan subsidi untuk BBM yang kualitasnya lebih baik atau memiliki oktan diatas Premium ataupun Pertalite bisa dipertimbangkan.

“Ke depan perlu dipertimbangkan usul Pak Kardaya (anggota DPR) waktu itu, kalau perlu kasih subsidi itu BBM dengan oktan yang lebih baik, ramah lingkungan. Misalnya, untuk APBN 2020,” kata Jonan di Jakarta, Selasa.

Dia menambahkan salah satu jenis BBM yang tepat adalah jenis Pertamax dengan RON 92, lebih tinggi dari Premium, namun dari sisi biaya produksi juga tidak terlalu tinggi seperti Pertamax Turbo.

“Misalnya disubsidi adalah Pertamax, bukan yang turbo. Yang lain tidak di subsidi, jadi yang menggunakan RON besar itu bahan bakar ramah lingkungan. Ini bahas, periode tahun selanjutnya APBN 2020,” kata Jonan

 

Revisi Undang-Undang Migas Mendesak Diselesaikan

koran-sindo; Rabu, 6 Maret 2019 – 13:34 WIB

JAKARTA – Sejumlah pakar menilai revisi Undang-Undang No 21/2001 tentang Minyak dan Gas mendesak untuk segera diselesaikan. Rampungnya UU Migas baru menjadi terobosan konkret kemudahan investasi hulu migas dalam rangka meningkatkan produksi migas nasional.

”Persoalan terbesar di hulu terutama terkait investasi untuk bisa menemukan cadangan baru dan meningkatkan produksi. Instrumennya salah satu yang mendasar suka tidak suka ialah menyelesaikan UU Migas. Harapan saya dari dulu sesegera mungkin selesai,” ujar pakar energi dari Universitas Trisakti, Pri Agung Rakhmanto kepada KORAN SINDO di sela acara Knowledge Sharing Series bertajuk ”Mengawal Masa Depan Energi Indonesia”, di Gedung Purnomo Yusgiantoro Center, Jakarta, kemarin.

Menurut dia, dengan adanya keterbatasan waktu dalam masa sidang DPR 2018-2019, seharusnya sudah ada kalkulasi waktu untuk menyelesaikan beleid tersebut. Apalagi pembahasan Daftar Inventaris Masalah (DIM) atas draf Rancangan Undang-Undang Migas sudah masuk dalam pembahasan antara DPR dengan pemerintah.

”Sekarang kan sudah masuk antara pemerintah dengan DPR, harusnya bisa segera diselesaikan. Tapi, memang sekarang sudah habis waktunya untuk diselesaikan. Mendekati pemilu, jadi kecil kemungkinan,” kata dia.

Pri Agung menyarankan, apabila RUU Migas sulit untuk dilakukan, pemerintah alangkah baiknya mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU (perpu). Penerbitan perpu migas oleh Presiden Joko Widodo akan menjadi terobosan konkret lebih fundamental ketimbang sekadar mengonversi kontrak-kontrak migas menjadi gross split.

”Kalau Pak Jokowi ingin meninggalkan warisan besar, yaitu menyelesaikan RUU Migas. Tapi, kalau memang sulit diselesaikan, bisa melalui perpu karena sudah mendesak. Apalagi sekarang defisit neraca perdagangan nasional negatif karena defisit migasnya besar,” kata dia.

Ia berharap dalam RUU Migas setidaknya memberikan terobosan perizinan lebih sederhana berada di bawah naungan satu lembaga saja. Pihaknya mengusulkan agar perizinan yang berbelit-belit tersebar di berbagai institusi dibuat menjadi satu pintu di SKK Migas.

Selain itu, terkait terobosan perpajakan sebaiknya juga dilaksanakan oleh SKK Migas dengan Kementerian Keuangan. Namun, SKK Migas harus bersifat BUMN khusus yang mendapatkan kuasa pertambangan di hulu berdasarkan aturan UU Migas dan lex specialis, baik dalam fungsi maupun kewenangan.

”Terobosan dalam bentuk peran SKK Migas dapat dilakukan melalui revisi UU Migas. Jika tidak, maka tidak ada kepastian hukum mengikat setelah BP Migas dibubarkan oleh MK,” kata dia.

Hal senada juga dikatakan Ketua Purnomo Yugiantoro Center Filda Yusgiantoro, revisi UU Migas menjadi terobosan nyata meningkatkan investasi hulu migas. UU Migas baru, katanya, diharapkan mampu meningkatkan produksi migas nasional di tengah cadangan migas terus menurun akibat penurunan aktivitas kegiatan eksplorasi.

”Hal ini dapat didukung dengan perbaikan iklim investasi yang lebih menarik bagi investor. Apalagi eksplorasi harus dilakukan terutama di wilayah timur Indonesia dengan investasi lebih besar karena di-offshore,” tuturnya.

GIANT FIELD : Sektor Hulu Migas Masih Perlu Pembenahan

www.bisnis.com:  04 Maret 2019 12:53 WIB

Pemerintah dinilai perlu membenahi sisi hulu industri minyak dan gas nasional demi mengoptimalkan potensi cadangan raksasa atau giant field.

Bisnis.com, JAKARTA—Pemerintah dinilai perlu membenahi sisi hulu industri minyak dan gas nasional demi mengoptimalkan potensi cadangan raksasa atau giant field.

Pengamat Energi dari ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, pemerintah mengklaim setidaknya ada 10 wilayah kerja yang memiliki potensi cadangan migas raksasa.

Kendati demikian, menurutnya, potensi tersebut tidak akan menarik bagi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) selama pemerintah tidak melakukan pembenahan di industri hulu migas. Dia menilai, ada banyak faktor yang harus dibenahi untuk menarik KKKS seperti iklim investasi dan kepastian hukum.

“Ya iklim investasinya harus kondusif, dijamin kepastian hukum. Skema bisnis yang ditawarkan attractive dan diberikan kemudahan-kemudahan dan penyederhanaan dalam proses birokrasi perizinannya. Serta, kualitas data blok tersebut juga perlu yang bermutu,” katanya, Minggu (3/3/2019).

Dalam hal ini, Pri Agung menilai meski pemerintah menggratiskan akses data wilayah kerja, namun hal itu belum tentu menarik minat KKKS.

“Iya, belum tentu, karena banyak faktor lain yang lebih menentukan. Apalagi secara finansial biaya akses data yang digratiskan itu kan juga tidak seberapa bagi investor migas.”

Adapun, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan akan terus memburu cadangan migas baru untuk dieksplorasi mengingat makin meningkatnya kebutuhan minyak dan gas bumi (migas).

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menyebut sejauh ini Indonesia masih memiliki potensi migas raksasa (giant field) di beberapa wilayah.

Salah satu wilayah tersebut adalah South Sumatera (Fractured Basement Play). Kata Arcandra, di wilayah tersebut telah ditemukan cadangan gas bumi sebesar 2 triliun kaki kubik (TCF) gas di Wilayah Kerja Sakakemang, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan dengan Repsol sebagai KKKS nya.

“Semoga ini bisa membangkitkan semangat eksplorasi di Indonesia ke depan, karena masih banyak basin kita dan play kita yang belum di eksplorasi, dan ternyata Alhamdulillah kita menemukan yang baru,” ujarnya.

Sementara itu, Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas mengidentifikasi setidaknya ada 10 potensi Discovery Giant yakni North Sumatera (Mesozoic Play), Center of Sumatera (Basin Center), South Sumatera (Fractured Basement Play), Offshore Tarakan, NE Java-Makassar Strait, Kutai Offshore, Buton Offshore, Northern Papua (Plio-Pleistocene & Miocene Sandtone Play), Bird Body Papua (Jurassic Sandstone Play), dan Warim Papua.

Subsidi Gas Melon Bocor, Tata Niaga harus Dikaji Ulang

Bisnis.com; 3 Maret 2019

Bisnis.com, JAKARTA — Praktik distribusi tabung gas elpiji bersubsidi 3 kilogram yang tidak tepat sasaran ternyata masih berlangsung hingga kini. Untuk itu, pemerintah harus segera menata kembali tata niaga produk yang kerap disebut ‘gas melon’ tersebut.

Kebocoran subsidi gas elpiji 3 kilogram menjadi topik headline koran cetak Bisnis Indonesia edisi Selasa (5/3/2019). Berikut laporannya.

Dari hasil penelusuran yang dilakukan Bisnis, di tengah kebutuhan akan gas tabung sangat besar, masyarakat yang berstatus tidak berhak pun menginginkan elpiji 3 kg. Ibarat peribahasa ada gula ada semut, banyak orang yang berebut tabung LPG 3 kg yang dijual murah karena bersubsidi.

Bahkan, praktik membeli ‘gas melon’ secara komersial sangat mudah dilakukan. Siapa pun bisa membelinya. Jumlah pemesanan pun bisa mencapai ratusan tabung sekali order.

“Kalau pesan sekarang hari Senin, besok bisa sampai. Stoknya ada terus kok,” ujar Anto, salah satu penjual LPG bersubsidi 3 kg kepada Bisnis melalui sambungan telepon, Senin (4/3/2019).

Di sejumlah platform online, dia mengklaim tokonya sebagai pusat tabung gas se-Jabodetabek.

Bila pemesanan mencapai 100 unit, harga gas melon dipatok Rp123.000 per tabung. Pemesanan 50 unit dibanderol lebih mahal Rp2.000, yakni Rp125.000 per tabung.

Biaya ongkos kirim per 100 tabung atau sekali jalan dipatok Rp150.000.

Anto mengklaim LPG 3 kg yang ditawarkannya adalah tabung rollingan atau tabung yang keluar masuk pengisian gas di PT Pertamina. Dengan demikian, keaslian produk terjamin.

Anto bisa jadi cuma salah satu contoh. Masih banyak kejadian penjualan salah sasaran lainnya. Sejatinya, elpiji 3 kg dengan harga murah diperuntukkan bagi masyarakat tertentu.

Dalam Peraturan Presiden No. 104/2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian Dan Penetapan Harga Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram sebenarnya telah disebutkan bahwa produk itu hanya bagi rumah tangga dan usaha mikro.

Kriteria penerima subsidi segmen rumah tangga ialah yang memiliki pendapatan Rp350.000 per kapita per bulan, tembok rumah tak permanen, dan lantai rumah tidak permanen.

Adapun, kriteria usaha mikro yang dimaksud yakni usaha kecil yang dikelola rumah tangga dengan dengan aset maksimal Rp50 juta, dan omzet maksimal Rp300 juta per tahun.

Namun, ke­nya­taannya praktik di lapangan dan platform online, ke­rap terjadi pe­nyelewengan dis­tri­busi, sehingga ‘Si Melon’ tidak ha­nya dinikmati dua ke­lompok tersebut.

Direktur Eksekutif Reforminer Insti­tute Komaidi No­tonegoro me­nga­takan selama ini belum ada batasan yang jelas mengenai pihak yang berhak, dan yang tidak berhak menggunakan LPG 3 kg.

“Ada juga orang yang dinilai kaya, tetapi tetap membeli karena merasa berhak,” ujarnya, Minggu (3/3).

Akibatnya, kuota LPG terus meningkat dan subsidi terus membengkak.

Selain itu, Komaidi mengatakan selama ini distribusi gas melon masih meng­gunakan skema terbuka.

Hal itu menyebabkan penyalur atau agen cenderung kebingungan dalam mengidentifikasi kriteria pembelinya.

Untuk itu, pemerintah harus memperbarui basis data masyarakat maupun usaha mikro yang berhak menerima bantuan.

Setelah membenahi hal-hal tersebut, Komaidi berharap ada sanksi tegas terhadap pihak yang terbukti melakukan penyalahgunaan. Sayangnya, UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak mengatur sanksi pidana terkait penyalahgunaan LPG 3 kg.

Di sisi lain, dalam upaya menekan subsidi dan impor LPG, pemerintah juga menjalankan program jaringan gas yang akan disambungkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

IDENTITAS SPESIFIK

Secara terpisah, Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) III Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana) Juan Tarigan menilai distribusi LPG 3 kg yang belum tepat sasaran akibat tidak adanya peraturan spesifik mengenai identitas penerima. Oleh karena itu, pelaku usaha kesulitan melakukan klarifikasi di lapangan.

“Saat kami akan menjalankan distribusi sesuai aturan, terkadang malah bentrok dengan konsumen yang merasa pantas mendapatkan gas 3 kg,” kata Juan.

Menteri ESDM Ignasius Jonan mengusulkan distri­busi LPG dengan meng­gunakan skema kartu.

“Itu seharusnya diberikan langsung saja. Bisa juga diba­rengi dengan pemberian subsidi listrik. Itu langsung masuk ke kartunya. Tapi skema itu belum final,” kata Jonan.

Jonan menambahkan, menurut rencana harga LPG 3 kg dan LPG 5,5 kg ke atas akan mengikuti harga keekonomian.

Harga subsidi hanya berlaku jika pembeli dapat menunjukkan kartu bantuan sosial yang dimiliki.