Akses data migas dibuka lebar, investasi dan eksplorasi hulu migas bisa naik?

Kontan, 27 Oktober 2019

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pembukaan akses data minyak dan gas bumi (migas) melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pengelolaan dan pemanfaatan Data Migas diklaim mulai memperlihatkan hasil untuk menarik minat calon investor.

Deputi Perencanaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Jaffee Arizon Suardin mengungkapkan, setidaknya ada 25 calon investor asing yang tertarik untuk melihat data migas sejak pemerintah menerbitkan beleid tersebut pada Agustus 2019 lalu.

“Sudah banyak investor yang datang ke Indonesia. Kira-kira sekitar 25 investor yang tertarik datang ke SKK untuk melihat data,” kata Jaffe dalam paparan kinerja hulu migas di Kantor SKK Migas, Kamis (24/10) lalu.

Direktur Indonesian Petroleum Association (IPA) Nanang Abdul Manaf mengungkapkan, pelaku industri migas memang menyambut positif terbitnya Permen Nomor 7 Tahun 2019. Dengan beleid tersebut, Nanang bilang bahwa peluang untuk menarik minat calon investor dalam melakukan berbagai studi yang terintegrasi menjadi lebih terbuka.

“Sehingga membuka peluang juga untuk dilanjutkan dengan kegiatan eksplorasi yang lebih agresif,” kata Nanang kepada Kontan.co.id, Minggu (27/10).

Namun, Nanang tetap memberikan catatan. Sebab, Nanang berpendapat bahwa pembukaan akses data tersebut tidak cukup untuk mendongkrak secara signifikan minat investor untuk menanamkan investasi dna melakukan eksplorasi migas di tanah air.

Menurutnya, ada sejumlah hal penting lain yang harus diperhatikan pemerintah dalam upaya menggaet investor. Nanang juga menilai, dampak riil dari pembukaan akses data tersebut tidak akan berlangsung instan.

“Jadi isu data ini baru satu hal, yang lainnya terkait isu fiskal term serta regulasi dan penyederhaan perizinan. Impact dari Permen ini mungkin baru terasa setelah beberapa tahun ke depan,” terang Nanang.

Nanang menilai, fiskal term dan juga aspek regulasi-penyederhaan perizinan menjadi hal yang sangat krusial untuk menarik investor, dan karenanya harus lebih atraktif dibandingkan negara-negara lainnya.

“Investor itu membandingkan satu negara dengan negara lainnya. jadi harus lebih atraktif dibanding negara lain seperti Vietnam, Malaysia dan Myanmar,” ungkap Nanang.

Hal senada juga disampaikan oleh Pendiri Reforminer Institute sekaligus Pengamat Migas Universitas Trisakti, Pri Agung Rakhmanto. Menurut Pri, adanya 25 calon investor yang mengakses data migas belum menjadi tolok ukur bahwa iklim investasi migas di Indonesia sudah menarik.

“Masih perlu dilihat lebih jauh lagi dan perlu dibarengi dengan upaya lain dalam kemudahan izin, kepastian fiskal, konsistensi regulasi dan birokrasi, yang menjadi isu utama dalam investasi hulu migas itu lebih menentukan,” katanya saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (27/10).

Pri berpendapat, biaya untuk mendapatkan akses data bukan menjadi penghambat utama dalam menarik investasi di sektor hulu migas. “Jadi saya kira tidak terlalu signifikan secara besaran dalam kerangka investasi hulu migas keseluruhan,” sambungnya.

Lebih lanjut, Pri menyebut bahwa akses gratis atau pun pengurangan biaya untuk mengakses data migas bukan menjadi faktor utama untuk menarik investor. Yang terpenting, sambung Pri, adalah sejauh mana kualitas informasi tersebut secara teknis dan bisnis dapat menunjang program yang akan dirancang perusahaan.

Pri menekankan, prinsip bisnis di hulu migas bertumpu pada risiko dan ganjaran (risk vs reward). Apabila risk tetap dan reward secara relatif aik dan lebih besar dibanding risk, maka investasi akan bertumbuh. Beg

Dalam hal ini, Pri menilai, bahwa pembukaan akses data tersebut tidak berpengaruh signifikan dalam prinsip risk vs reward tersebut. “Sehingga pengaruh langsungnya ke investasi atau ke dalam ease of doing business juga kemungkinan tidak dapat dikatakan cukup signifikan,” ungkap Pri.

Capaian Kuartal III

Terlepas dari beleid tentang akses data yang terbit pada Agustus lalu itu, SKK Migas mencatat bahwa hingga Kuartal III, penerimaan negara di sektor hulu migas baru mencapai US$ 10,99 miliar, atau menurun 6,86% dari periode yang sama pada tahun lalu yang mencapai US$ 11,8 miliar.

Secara target tahunan, angka US$ 10,99 miliar itu setara dengan 62,2% dari target tahun 2019 yang ditetapkan US$ 17,5 miliar. Terkait dengan penerimaan negara ini, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menjelaskan bahwa hal itu juga dipengaruhi oleh Indonasia Crude Oil (ICP) yang hanya berada di angka US$ 60-an per barel, di bawah target asumsi makro APBN US$ 70 per barel.

Kendati begitu, realisasi investasi di sektor migas hingga September 2019 tercatat US$ 8,4 miliar atau meningkat 11% dibandingkan realisasi investasi di periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 7,6 miliar. Namun secara target tahunan, realisasi investasi per kuartal III itu baru mencapai 57,15% dari target investasi hulu migas tahun 2019 di angka US$ 14,7 miliar.

Meski target investasi untuk tahun ini masih sulit tercapai, namun Deputi Perencanaan SKK Migas Jaffee Suardin Arizon memproyeksikan bahwa investasi migas nasional akan terus meningkat. Sebab, hingga tahun 2027 direncanakan akan ada 42 proyek migas yang dapat bergulir dengan total investasi US$ 43,3 miliar, serta total produksi 1,1 juta boepd yang mencakup produksi minyak sebesar 92,1 ribu bopd dan gas sebesar 6,1 miliar kaki kubik per hari.

Peningkatan produksi dan cadangan minyak perlu dilakukan agar defisit migas berkurang

www.kontan.co.id; Kamis, 24 Oktober 2019 / 20:44 WIB

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Salah satu pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terbaru adalah memperbaiki current account deficit (CAD). Apalagi, salah satu penyebab utama pelebaran CAD adalah defisit neraca minyak dan gas (migas).

Sekadar catatan, per September 2019, defisit neraca migas Indonesia tercatat sebesar US$ 6,44 miliar. Hasil ini diperoleh dari nilai impor migas Indonesia yang mencapai US$ 15,86 miliar sedangkan ekspor migas hanya mencapai US$ 9,42 miliar.

Pengamat Energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, perbaikan neraca migas bukan perkara mudah dan tidak bisa diselesaikan dalam satu periode pemerintahan saja. Apalagi, defisit neraca migas sudah terjadi sejak tahun 2000.

Hal ini terjadi lantaran kebutuhan migas di dalam negeri yang terus belum mampu diimbangi oleh tingkat produksi yang memadai. “Khusus untuk minyak, konsumsi sudah mencapai 1,6 juta barel, tapi produksi minyak hanya bisa 800 ribu barel,” ujar dia kepada Kontan, Kamis (24/10).

Menurutnya, upaya terbaik yang bisa dilakukan sekarang adalah memperbanyak produksi dan cadangan minyak. Dengan begitu, setidaknya kebutuhan minyak di dalam negeri dapat terpenuhi dan impor berangsur-angsur turun.

Komaidi juga berpendapat, implementasi bauran BBM dengan biodiesel 20% (B20) hanya memberi manfaat bagi neraca migas secara jangka pendek. Terlebih, kebijakan tersebut disubsidi oleh pemerintah. “Risikonya, walau secara moneter menguntungkan, subsidi yang besar juga bisa membebani fiskal kita,” imbuhnya.

Justru, ketika harga crude palm oil (CPO) bergerak naik, alangkah baiknya pemerintah memaksimalkan momentum tersebut untuk memperbesar ekspor komoditas ini ke berbagai negara. “Nilai tambah dari ekspor CPO akan lebih terasa sewaktu harganya naik,” kata Komaidi.

Terlepas dari itu, ia berharap Arifin Tasrif yang kini menjadi Menteri ESDM periode 2019-2024 bisa mengemban tugasnya untuk memperbaiki defisit neraca migas. Pasalnya, masalah ini bisa memberi efek domino di tahun-tahun mendatang jika suatu pemerintahan gagal mengatasinya.

Perizinan Hulu Migas Didorong Satu Pintu Melalui SKK Migas

Sindonews.com: Selasa, 22 Oktober 2019 – 12:47 WIB

JAKARTA – Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mendorong agar tanggung jawab pengurusan izin investasi hulu migas tidak dilakukan sendiri oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Kewenangan tugas mengurus perizinan di kementerian/lembaga diniali sebaiknya dilakukan satu pintu melalui SKK Migas untuk mewakili negara dalam kontrak pengusahaan migas.

“Jadi nanti kita membantu menjadi satu pintu menyelesaikan perizinan ke pemerintah. Nantinya SKK Migas yang akan mengurus di kementerian/lembaga terkait,” ujar Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto saat berkunjung ke SINDO MEDIA, Jakarta, Senin (21/10/2019).

Dia meyakini perubahan konsep pengurusan perizinan tersebut akan mempercepat proses izin yang selama ini dikeluhkan KKKS mengingat SKK Migas merupakan bagian dari pemerintah. Terobosan tersebut juga dipastikan mampu mendorong investasi hulu migas di Indonesia.

“Mestinya itu akan lebih cepat karena SKK Migas adalah bagian dari pemerintah. Jadi nanti KKKS hanya berurusan dengan SKK Migas saja tidak perlu masuk ke masing-masing kementerian/lembaga,” ungkapnya.

Pihaknya berharap terobosan besar tersebut dapat menyelesaikan kesulitan perizinan yang selama ini dialami oleh KKKS termasuk pembebasan lahan. Harapannya, dengan adanya kemudahan berinvestasi tersebut, kegiatan eksplorasi dan dapat kembali bergairah sehingga cadangan dan produksi migas nasional dapat kembali meningkat.

“Mudah-mudahan ini akan menjadi terobosan besar untuk menyelesaikan kesulitan-kesulitan yang selama ini dialami investor hulu migas. Apalagi terobosan ini juga telah didukung pemangkasan perizinan di sektor hulu migas telah mencapai 50%,” kata dia.

Dosen FTKE Universitas Trisakti sekaligus pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, memang sudah seharusnya pengurusan perizinan hulu migas menjadi tanggung jawab dari lembaga/institusi yang nantinya ditunjuk untuk mewakili negara dalam kontrak pengusahaan migas. Mekanisme yang dilakukan yakni dengan melakukan revisi Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). Pasalnya kehadiran UU tersebut kemudian KKKS dituntut menyelesaikan perizinan sendiri.

Dalam konteks proses revisi UU Migas yang saat ini masih bergulir, imbuhnya, menjadi sangat penting untuk merumuskan secara lebih spesifik kewenangan dan sekaligus tugas dan tanggung jawab dari Badan Usaha Khusus (BUK) Migas, sebagaimana yang saat ini ada di dalam draf RUU Migas usulan DPR maupun di dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang disusun pemerintah.

“Penyelesaian persoalan perizinan hulu migas tidak dilakukan dengan cara menghapus perizinan di lintas kementerian atau sektor, tetapi dengan cara mengembalikan prinsip perizinan satu pintu,” kata dia.

Menurut dia, pengurusan perizinan dilakukan melalui institusi yang nantinya berdasarkan UU Migas yang baru ditunjuk untuk mewakili negara di dalam tugas pengusahaan kegiatan usaha hulu migas yang dilakukan melalui kontrak kerja sama. Dengan demikian, secara prinsip kontraktor hulu migas nantinya hanya perlu melakukan pengurusan perizinan di satu institusi dan tidak berlapis-lapis sebagaimana yang terjadi saat ini. “Poin prinsip inilah yang semestinya ada di dalam UU Migas yang baru nanti,” tegasnya.

Dia menekankan, apabila revisi UU Migas sulit dilakukan, menurut Pri Agung, pemerintah dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu). Penerbitan Perppu oleh pemeritah akan menjadi terobosan konkret yang lebih fundamental meningkatkan investasi hulu migas.

“Untuk menarik investasi hulu migas butuh terobosan konkret. Pemerintah bisa menyederhakan perizinan kegiatan operasional yang selama ini lintas kementerian/lembaga, lintas sektoral, pusat-regional, menjadi hanya satu pintu, yaitu di SKK migas,” ujarnya.

Lima Tahun Terkerangkeng Defisit Migas

Medcom.id; Jum’at, 18 Oktober 2019 12:34

Jakarta: Dalam kurun waktu lima tahun terakhir di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM) masih dibayang-bayangi oleh masalah yang sama; defisit minyak dan gas (migas).

Pengamat energi dan pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan defisit migas yang besar masih akan menjadi tantangan dan pekerjaan rumah bagi Kementerian ESDM di masa selanjutnya. Sektor migas akan tetap defisit sejalan dengan peningkatan kebutuhan energi masyarakat.

Di satu sisi Indonesia memang belum bisa memenuhi kebutuhan energinya sebab keterbatasan pasokan dari produksi migas yang kian menurun. Indonesia masih bergantung pada impor. Hal ini yang menjadikan defisit migas tetap menggerogoti neraca dagang dan transaksi berjalan Indonesia.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) teranyar mencatat, meskipun menurun, namun angkanya masih relatif tinggi. Defisit migas pada September 2019 sebesar USD761,8 juta cenderung menurun dibandingkan dengan September tahun lalu yang sebesar USD970,4 juta. Sedangkan kumulatif Januari-September 2019 sebesar USD6,4 miliar, menurun dari periode yang sama tahun lalu USD9,5 miliar.

“Permintaan energi terus naik, suplai harus cukup dengan tidak membebani perekonomian. Kalau kondisi sekarang dilakukan, suplai kita akan tidak cukup. Di sisi lain devisa yang dikeluarkan untuk impor akan makin membesar dan akan menjadi tekanan ke stabilitas fiskal maupun moneter,” kata Pri pada Medcom.id.

Artinya, kata dia, perlu dilakukan perbaikan dan peningkatan yang lebih signifikan di sektor ESDM terutama migas.

Berbagai upaya untuk menekan defisit migas diapresiasi, namun tetap harus dipacu untuk dilakukan pembenahan. Salah satunya dengan mendatangkan investasi migas dalam skala yang lebih besar baik untuk kegiatan eksplorasi yang berkaitan dengan produksi di hulu maupun pengembangan kapasitas kilang di hilirnya.

Pri menganggap investasi sebanyak 70 persen yang saat ini dilakukan merupakan operating expenses, yakni untuk melakukan operasi dan investasi yang sebelumnya sudah berjalan. Artinya, kecenderungan masuknya investasi baru di hulu migas masih minim. Sementara di hilir belum ada investasi asing langsung yang masuk untuk mengembangkan kilang.

Menurutnya, investasi menjadi kunci bagi Indonesia untuk memperbesar cadangan dan produksi migas dalam negeri. Dia bilang investasi adalah modal untuk mengembangkan pencarian cadangan baru dari sumber daya alam tanah air yang sangat potensial.

“Kita punya sumber daya besar tapi kalau tidak ada investasi maka akan tetap sebagai sumber daya, makannya butuh investasi untuk mengubah itu semua sebagai cadangan, lalu mengubah itu menjadi produksi,” ujar dia.

Praktisi migas nasional Tumbur Parlindungan memandang investasi di sektor migas sangat penting dalam konteks kedaulatan energi nasional. Pasalnya kebanyakan berasal dari impor, bukan dari hasil produksi dalam negeri.

Mengandalkan impor tentu tidak baik bagi negara. Selain mencederai tujuan kemandirian energi yang ingin diangkat oleh Indonesia, impor pun membebani keuangan negara.

Oleh karena itu, menurut Tumbur, pemupukan cadangan perlu dilakukan dengan memasifkan lagi kegiatan eksplorasi migas di Indonesia. Namun, sayangnya kegiatan ekplorasi terbentur oleh kepastian hukum di Tanah Air yang dinilai belum sepenuhnya mendukung.

Hal ini tentu membuat pengusaha di sektor migas berpikir ulang, sebab untuk melakukan eksplorasi migas di Indonesia penuh risiko. Belum tentu mendapatkan cadangan yang diharapkan kendati telah mengeluarkan dana besar. Untuk itu, dibutuhkan adalah jaminan hukum berinvestasi.

“Harusnya dibantu supaya investor nyaman berinvestasi. Kinesis dari mereka adalah kepastian hukum,” kata Tumbur.

Mantan President Indonesian Petroleum Association (IPA) ini meminta agar jangan ada lagi aturan baru yang bertentangan dengan kontrak yang telah ditandatangani. Tumbur menyarankan agar pemerintah membantu investor agar lebih nyaman berinvestasi.

Presiden Direktur Pertamina EP Nanang Abdul Manaf mengatakan, untuk menggairahkan investasi di sektor hulu migas, perlu impovisasi terutama dari sisi kebijakan. Penyederhanaan regulasi atau kebijakan perlu terus ditingkatkan agar membuat investasi di sektor ini makin atraktif. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka investor akan lebih memilih negara lain untuk menambahkan modalnya.

“Investor kan inginnya satu payung hukum. Kalau bisa dari pusat sampai daerah. Investor bisa memilih, ketika di tempat lain lebih atraktif, mereka bisa pilih yang lebih mudah,” jelas Nanang.

Kendala payung hukum tidak hanya dirasakan oleh sektor migas. Sektor mineral dan batu bara (minerba) juga meminta agar kebijakan tidak cepat berubah mengingat ekplorasi memiliki risiko yang tinggi dan memakan waktu yang panjang.

“Jadi stabilitas kebijakan perlu didorong untuk meningkatkan ekplorasi, khusus kebijakan di sektor perizinan lahan hutan. Juga perlu dukungan insentif,” kata Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia.

Selain itu, tidak hanya perlu membenahi sektor migas dan minerba, pemerintah juga diminta konsisten dan memprioritaskan pengembangan energi terbarukan. Selain bisa mengurangi energi fosil, pengembangan energi terbarukan juga ditujukan untuk pengurangan emisi karbon yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat.

Lebih lanjut, Pemerintah juga perlu konsisten dalam kebijakan reformasi subsidi energi khususnya harga bahan bakar minyak (BBM) Solar yang di awal pemerintahan Jokowi sudah dihapuskan.

Di sisi kelistrikan, sambung Pri, bisa membuat perencanaan yang lebih baik untuk mengantisipasi kejadian pemadaman massal (blackout). Sebab, kejadian blackout sangat berdampak negatif bagi banyak hal, apalagi aktivitas masyarakat saat ini banyak ditopang oleh penggunaan kartu elektronik.

Distribusi Masih Menjadi Tantangan Bisnis Gas Bumi

Kontan,10 Oktober 2019

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemanfaatan gas bumi telah menjadi bagian dari penggerak ekonomi seiring dengan meningkatnya alokasi untuk kepentingan domestik. Gas bumi tak lagi hanya menjadi komoditas, tapi juga sebagai sumber energi potensial baik untuk sektor kelistrikan, industri maupun rumah tangga.

Kendati begitu, bisnis gas bumi bukannya tanpa kendala. Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, kendala utama di bisnis gas bumi ialah masalah distribusi.

Komaidi menggambarkan, sekitar 80% pengguna gas berada di wilayah Indonesia bagian barat. Sebaliknya, saat ini sekitar 75% cadangan gas berada di wilayah Indonesia timur.

Selain itu, Komaidi menyebut bahwa karakteristik komoditas gas berbeda dengan minyak. “Kan distribusi gas berbeda dengan minyak. Kalau minyak diproduksi, bisa disimpan dalam suatu tempat dan bisa dipindahkan ke pengguna. Sementara gas unik, pilihannya relatif terbatas dalam hal distribusi,” kata Komaidi kepada Kontan.co.id, Kamis (10/10).

Pilihannya, kata Komaidi, gas tersebut harus diubah terlebih dulu menjadi gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) supaya mudah diangkut. Jika tidak, maka harus dibangun infrastruktur distribusi berupa jaringan pipa.

“Berarti harus bangun pipa sepanjang sumber dan pengguna. Tentu, dalam beberapa kasus, ini menjadi tidak ekonomis,” terang Komaidi.

Hal tersebut diamini oleh asosiasi trader gas melalui pipa atau Indonesian Natural Gas Trader Association (INGTA). Kepala Bidang Kelembagaan INGTA, A. Hendrayana mengatakan distribusi gas menjadi tantangan yang harus diatasi oleh anggotanya.

Alasannya, ada ketidak seimbangan antara daerah penghasil gas yang sebagian besar berada di Jawa, sementara penghasil gas lebih banyak di luar Jawa. “Jadi tantangannya ada di infrastruktur jalur pipa. Ini perlu diperhatikan sehingga dapat menggairahkan industri untuk lebih memanfaatkan gas,” kata Hendra saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (10/10).

Menurut Hendra, sektor industri memang menjadi penyerap gas terbanyak dibandingkan rumah tangga. “Kalau untuk pasokan ke rumah tangga angkanya kecil sekali, dibandingkan volume suplai ke industri,” sebutnya.

Untuk pangsa pasar penyaluran gas, Hendra menyebut, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) memegang peranan paling besar. Dari 26 perusahaan yang bernaung di INGTA, porsi sub holding gas BUMN untuk segmen industri dan rumah tangga sangat signifikan, yakni mencapai 96%. “Sementara 4% sisanya dipegang oleh 25 anggota lainnya,” ungkap Hendrayana.

Selain karena besaran investasi, PGAS memegang porsi yang besar lantaran mendapatkan penugasan dari pemerintah, seperti membuat pipa transmisi. “Mereka (PGAS) mendapat penugasan dan previlage dari pemerintah serta mendapatkan alokasi gas yang diprioritaskan sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM,” terangnya.

Asal tahu saja, bersama pemerintah, PGAS memang diberikan penugasan untuk membangun infrastruktur gas bumi, seperti jaringan distribusi gas bumi (jargas). Targetnya, akan terbangun jargas sebanyak 4,7 juta sambungan hingga 2025 nanti.

Hingga tutup tahun lalu, PGAS sudah merealisasikan 524.433 sambungan. Adapun untuk tahun ini, subholding gas bumi plat merah itu menargetkan pembangunan 78.216 sambungan.

Sebagai informasi, hingga Semester I 2019 volume distribusi PGAS mencapai 932 BBUTD, yang mana lebih dari 95% dialirkan ke segmen industri.

Polemik Rencana Penyesuaian Harga Gas PGN untuk Industri

Komaidi Notonegoro

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute &
Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

Investor Daily; Jumat, 11 Oktober 2019 | 11:13 WIB

Rencana penyesuaian harga jual gas PGN untuk pengguna industri yang sedianya efektif diberlakukan pada awal Oktober 2019, masih menuai pro-kontra. Pelaku industri pengguna gas bumi melalui Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia belum sepakat dengan rencana tersebut. Pelaku industri mengisyaratkan akan tetap menggunakan harga lama jika PGN melakukan penyesuaian harga gas.

Melalui FGD Kepastian Implementasi Penurunan Harga Gas Bumi Sesuai Perpres No 40/2016 yang dilaksanakan pada 25 September 2019, Kadin, Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), dan Indonesian Natural Gas Trader Association (INGTA) merumuskan sejumlah rekomendasi terkait industri gas. Pertama, Pemerintah diminta mengimplementasikan harga gas bumi sesuai ketentuan Perpres No 40/2016.

Kedua, penerapan harga gas bumi dilakukan di titik pengguna (plant gate). Ketiga, pipa gas SSWJ ditetapkan sebagai open access dan di-review oleh BPH Migas. Keempat, BKPM perlu mencari investor untuk jasa distribusi gas. Kelima, pelaku industry bersepakat akan menolak harga gas yang akan disesuaikan PGN dan hanya akan membayar dengan patokan tarif lama.

Perlu Duduk Bersama

Mencermati permasalahan yang ada tersebut, saya menilai para pihak perlu duduk bersama untuk mencari solusi yang optimal. Bagaimanapun penyelesaian permasalahan bisnis memerlukan komunikasi dua arah, yang mana PGN dan industri pengguna gas tidak dapat hanya berdiri dan melihat dari sudut pandang kepentingan masing-masing.

Pada satu sisi, industri pengguna gas perlu memahami posisi PGN adalah sebagai usaha niaga gas. Karena itu, harga jual gas PGN akan sangat ditentukan oleh harga yang diperoleh dari industri hulu gas. Berdasarkan kajian ReforMiner, harga gas kepala sumur di Indonesia cukup variatif. Rata-rata harga gas kepala sumur di seluruh wilayah Indonesia sekitar US$ 5,30/MMBTU dengan rentang harga yang berbeda untuk setiap wilayahnya.

Rentang harga gas kepala sumur untuk wilayah Indonesia bagian barat antara US$ 2,88–8,90/MMBTU dengan rata-rata US$ 6,16/MMBTU. Wilayah Indonesia bagian tengah berkisar US$ 2,59–6,44/MMBTU dengan rata-rata US$ 5,26/MMBTU.

Sementara untuk wilayah Indonesia bagian timur berkisar US$ 2,05–4,29/MMBTU dengan rata-rata US$ 2,65/MMBTU. Jika mengacu pada harga gas kepala sumur tersebut, kemungkinan akan sulit bagi PGN untuk dapat memberikan harga jual gas sesuai amanat Perpres No 40/2016. Perpres tersebut mengamanatkan harga gas untuk pengguna industry tidak boleh melebihi US$ 6/MMBTU.

20180904144353427

Sementara itu, jika PGN membeli gas di wilayah Indonesia bagian barat yang dapat mencapai US$ 8,9/MMBTU di kepala sumur misalnya, tentu tidak mungkin akan menjualnya dengan harga yang diamanatkan Perpres tersebut. Apalagi jika sumber gas yang diperoleh PGN berasal dari LNG yang memerlukan biaya tambahan pada fasilitas regasifikasi untuk mengubah LNG menjadi gas kembali.

Sementara di sisi yang lain, PGN juga perlu memahami permasalahan industri pengguna gas. Studi ReforMiner menemukan harga gas yang diterima oleh beberapa industri di Indonesia relatif lebih mahal dibandingkan harga gas yang diterima oleh industri pengguna gas di Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

Rata-rata harga gas kepala sumur ketiga negara tersebut juga tercatat lebih rendah dibandingkan rata-rata harga gas kepala sumur di Indonesia. Hal tersebut di antaranya karena durasi dari penemuan cadangan sampai dengan pertama kali gas diproduksikan di ketiga negara tersebut rata-rata lebih cepat dibandingkan Indonesia.

Studi ReforMiner juga menemukan bahwa tingginya harga gas di Indonesia tidak semata-mata dikontribusikan oleh industri hulu, tetapi juga akibat keterbatasan infrastruktur dan niaga gas yang bertingkat. Harga gas yang diterima industri makanan di wilayah Bekasi merupakan salah satu contohnya.

Industri pengguna harus menerima harga gas sebesar US$ 14,50/MMBTU meskipun harga gas di kepala sumur yang dialokasikan untuk industri tersebut sebesar US$ 6/MMBTU. Rantai niaga gas yang panjang menyebabkan harga gas yang harus dibayar industry pengguna menjadi sekitar 242% dari harga gas di kepala sumur.

Secara umum industri gas memiliki rantai bisnis yang lebih panjang dibandingkan industri minyak. Rantai bisnis dalam industri gas di antaranya meliputi industri hulu, usaha penyediaan pipa transmisi dan distribusi, usaha infrastruktur pengolahan (kilang LNG), usaha penyediaan infrastruktur regasifikasi, dan melibatkan pelaku usaha niaga gas.

Bagi Indonesia, kondisinya semakin kompleks mengingat sekitar 80% kebutuhan gas berada di wilayah Indonesia bagian barat, sedangkan sekitar 75% cadangan gas berada di wilayah Indonesia bagian timur. Karena itu, ketersediaan infrastruktur menjadi kunci agar produksi gas dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dalam negeri.

Mengingat banyak rantai bisnis yang terlibat, para pihak perlu lebih cermat dan hati-hati di dalam menyikapi kebijakan niaga gas, terutama menyangkut penetapan harga gas. Para pihak perlu melakukan identifikasi menyeluruh terhadap penyebab meningkatnya harga gas terlebih dahulu sebelum mengambil sikap.

Hal ini mengingat pengambilan sikap yang hanya didasarkan pada informasi parsial justru dapat berpotensi merugikan kepentingan para pihak.

Terkait polemik yang terjadi antara PGN dan industri pengguna gas tersebut, alangkah baiknya jika para pihak segera duduk bersama mencari solusi atas permasalahan yang ada. Agar dapat memahami permasalahan satu sama lain, penting bagi para pihak untuk saling terbuka mengenai struktur biaya masing-masing.

Bagi industri pengguna gas, penting untuk menyampaikan kepada PGN bagaimana sesungguhnya gambaran porsi biaya pengadaan gas dalam struktur biaya produksi mereka.

Sedangkan bagi PGN, juga penting untuk menyampaikan kepada industri penggunanya mengenai bagaimana struktur biaya gas yang diniagakan dan berapa besaran margin wajar yang diambil dari kegiatan tersebut.