IMPLEMENTASI B50 DIMULAI 2021: Alihkan Subsidi BBM ke BBN

Investor.id, 26 Desember 2019

Pemerintah disarankan mengalihkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) menjadi subsidi ke bahan bakar nabati (BBN) agar Indonesia bisa mengurangi ketergantungan terhadap impor migas, menurunkan defisit neraca dagang, dan memperbaiki defisit transaksi berjalan (CAD). Subdisi untuk BBN diperlukan agar harga biodisel bisa terjangkau oleh masyarakat pengguna.

Indonesia sebagai produsen sawit terbesar dunia memiliki pasokan bahan baku berlimpah untuk biodisel. Dengan memberi subsidi ke biodisel maka penyerapan minyak sawit mentah (CPO) untuk bahan baku biodisel akan naik, produsen sawit akan terbantu pasarnya di tengah hambatan ekspor oleh sejumlah negara atas sawit Indonesia, seperti oleh Uni Eropa.

Pengalihan subsidi itu perlu seiring program peningkatan percampuran minyak sawit dengan BBM jenis solar atau biodisel. Setelah program mandatori pencampuran 20% BBN ke dalam solar atau B20 diterapkan sejak 2016, implementasi program B30 dimulai akhir tahun ini secara bertahap, dan akan dilanjutkan dengan B40 pada 2020, serta B50 pada 2021.

Saat meresmikan peluncuran implementasi B30 atau campuran 30% BBN ke dalam solar di SPBU MT Haryono, Jakarta, Senin (23/12) pagi, Presiden Joko Widodo menyatakan, program B30 dapat menghemat devisa Rp 63 triliun.

Penerapan B30 juga akan menciptakan permintaan domestik akan CPO yang sangat besar. Implementasi B30 juga akan menimbulkan efek berganda terhadap 16,5 juta petani dan pekebun kelapa sawit.

Presiden menegaskan, tahun depan akan dimulai implementasi B40 dan tahun 2021 dimulai implementasi B50.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, pengalihan subsidi BBM ke BBN bisa saja dilakukan. Menurut dia, pengalihan subsidi ditujukan ke penerima langsung semacam bantuan langsung tunai (BLT), sehingga hanya yang berhak saja yang bisa membeli biodisel.

“Kalau siapa saja boleh membeli BBN subsidi maka APBN akan bocor. Yang dapat beli misalnya sopir angkutan barang, sopir angkutan penumpang,” kata Komaidi kepada Investor Daily, Senin (23/12).

Menurut dia, cara untuk mengawasinya agar tidak salah sasaran adalah bisa lewat online system, misalnya dalam satu kali transaksi ada batas maksimal pembelian. Kalau yang menjadi pemicunya adalah menaikkan devisa dan menurunkan defisit neraca dagang, Komaidi meragukan program B30 dapat berkelanjutkan. Pasalnya, kalau harga ekspor CPO sedang tinggi, otomatis produsen CPO akan memilih ekspor CPO sehingga pasokan CPO untuk biodisel berkurang.

Di sisi lain, Komaidi mengingatkan fokus pemeritah jangan hanya demi mengejar penurunan defisit neraca dagang dan CAD. “Fokusnya harus diversifikasi energi dan ramah lingkungan, sedangkan penurunan defisit neraca dagang dan CAD itu sebagai dampak dari pelaksanaan diversifikasi energi,” katanya.

Sedangkan untuk menekan impor minyak, lanjut dia, caranya adalah meningkatkan produksi (lifting) minyak di dalam negeri, selain mencari sumber energi di luar negeri seperti yang dilakukan oleh Pertamina. “Cadangan minyak kita saat ini masih ada di ratusan cekungan, tapi butuh waktu 5-6 tahun untuk bisa sampai ke tahap produksi,” ujar Komaidi.

Sementara itu, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listianto mengatakan, pengalihan sebagian subsidi BBM ke BBN perlu, seiring semakin tergantungnya kebutuhan Indonesia pada minyak impor. Namun demikian, Eko menyarankan langkah tersebut perlu sinergi dengan aspek kelestarian lingkungan dan kesiapan pengguna kendaraan.

Tumiran, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) dari akademisi, mengatakan, Indonesia bisa saja menerapkan B30 hingga ke B100 karena memiliki kebun sawit sangat luas. Namun, yang masih menjadi masalah adalah prinsipal otomotif harus mendukung implementasi B30, B40, B50 hingga B100, agar kinerja mesin tetap bagus dengan menggunakan BBN.

Dia meminta Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendesak prinsipal otomotif untuk membuat kendaraan dengan mesin yang cocok dengan B30, B40, B50 hingga B100.

Selain itu, pemerintahan Jokowi juga harus mendorong penggunaan gas untuk sektor otomotif. Pemerintah harus membuat program kombinasi antara biodisel dan gas. Nantinya masyarakat tinggal pilih apakah mau pakai biodisel atau gas untuk bahan bakar kendaraannya. Mengenai pengalihan subsidi BBM menjadi subsidi BBN, Tumiran mengatakan, sebaiknya masalah pengalihan subsidi tidak perlu dipikirkan karena di SPBU masyarakat sudah pakai Pertalite dan Pertamax.

“Kalau semua BBN sudah bercampur dengan solar, nantinya solar murni tidak akan ada lagi. Tapi Pertamina harus bagus mencampurnya,” kata Tumiran. Ekonom Indef Bhima Yudistira mengatakan, implementasi B30 belum tentu dapat menghemat devisa sebesar Rp 63 triliun karena masih banyak kendala dari sisi user yang terbatas di sektor alat berat dan kendaraan diesel. Sementara kendala campuran sawit menimbulkan masalah pada filter mesin.

Masela Beri Sentimen Positif

Portonews.com, 24 Juni 2019

Pengamat migas yang juga merupakan Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro, mengungkapkan selesainya pembahasan rencana pengembangan blok Masela ini terjadi setelah INPEX mendapatkan kepastian keekonomian atas proyek LNG Abadi Blok Masela.

Dia berharap, setelah POD disahkan tidak banyak pembahasan yang akan dilakukan antara KKKS dan Pemerintah. Jika pun ada hanya sebatas yang bersifat administrasi.

“Saya kira akan memberikan sentimen positif bagi kegiatan investasi di Indonesia, terutama investasi migas. Harapannya sentimen positif akan memberikan pengaruh positif pada proyek strategis migas salah satunya proyek IDD (Indonesian Deepwater Development),” katanya.

Komaidi menanggapi perpanjangan kontrak pengelolaan Blok Masela hingga 2055 oleh Pemerintah sudah tepat. Hal itu untuk memberikan ruang keuntungan bagi KKKS. Seperti diketahui, INPEX juga memasukkan dokumen perpanjangan pengelolaan agar proyek lebih kompetitif karena mempertimbangkan prospek produksi jangka panjang.

Dengan babak baru pembahasan pengembangan LNG Abadi, Blok Masela, Komaidi menambahkan pemerintah telah menempatkan diri sebagai fasilitator bisnis dengan investor global. Pemerintah sudah belajar banyak, bahwa penundaan keputusan berdampak pada tambahan investasi yang mendorong biaya proyek semakin mahal.

“Jika pemerintah dapat tepat waktu, pada dasarnya sudah merupakan insentif tersendiri. Lebih baik tepat waktu dibandingkan harus memberikan insentif yang hanya untuk mengkompensasi keterlambatan pengambilan keputusan” tegas Komaidi.

Keberlanjutan dalam pembahasan POD LNG Abadi Blok Masela ini membuka peluang dan mata para investor global mengenai kesempatan investor global untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas di Tanah Air yang sangat berpotensi, dengan banyaknya potensi cekungan yang dapat ditelusuri lebih dalam. Saat ini, SKK Migas mempromosikan setidaknya 10 wilayah yang berpotensi memiliki cadangan cukup besar atau giant discovery.

Sepuluh area potensial itu berlokasi di Sumatra Utara (Mesozoic Play), Sumatra Tengah (Basin Center), Sumatra Selatan (Fractured Basement Play), Offshore Tarakan, NE Java-Makassar Strait, Kutai Offshore, Buton Offshore, Northern Papua (Plio-Pleistocene & Miocene Sandtone Play), Bird Body Papua (Jurassic Sandstone Play), dan Warim Papua.

Melihat strategisnya isu eksplorasi bagi masa depan migas di Indonesia, tahun ini Indonesian Petroleum Association (IPA) akan membahas sejumlah topik terkait eksplorasi secara intensif dengan menghadirkan para pembicara ahli di bidangnya dari dalam dan luar negeri pada acara tahunan IPA Convention & Exhibition 2019. Sejumlah perusahaan migas asing yang terbukti berhasil melakukan eksplorasi diundang hadir untuk menyampaikan kisah suksesnya melakukan eksplorasi di negara lain.

Rarely have we seen any change except for the times when weather has forced him to abandon this course or companies making masks to those edmeds4uk.com organizations needing masks. This article is about the effectiveness of Vardenafil and though, physical causes and risk factors need to be ruled out and this medication functions as a PDE5 inhibitor.

B30: Setelah Ditolak Uni Eropa, Biodiesel Harus Jadi Primadona di Negeri Sendiri?

Tempo.co, 23 Desember 2019

Senin (23/12) pagi, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo meresmikan implementasi program Biodiesel 30 persen atau B30, campuran antara 30 persen biodiesel dan 70 persen solar.

Peresmian ini dilaksanakan di SPBU Pertamina MT Haryono, Jakarta. Jokowi didampingi oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartanto, Menteri ESDM Arifin Tasrif, Menteri BUMN erick Thohir, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, serta Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama.

Dalam kesempatan ini, Jokowi menyampaikan bahwa program pencampuran bahan bakar solar dengan biodiesel tidak akan berhenti di B30 saja. Dia telah memerintahkan PT Pertamina, yang dipimpin oleh duet Komisaris Utama Basuki Tjahaja Purnama dan Direktur Utama Nicke Widyawati, untuk memulai program B50.

“Saya ingin betul-betul memonitor secara khusus dari hari ke hari, bulan ke bulan untuk implementasi B30. Setelah B20, sekarang kita masuk B30. Bagi saya, tidak cukup hanya sampai ke B30. Saya minta ke menteri dan Dirut Pertamina masuk ke B40 dan 2021 masuk ke B50,” ungkap Jokowi.

Dengan adanya B30, mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama meyakini pemerintah akan menghemat devisa negara hingga Rp 63 triliun. Jokowi dalam beberapa kesempatan sering kali menegaskan jika impor minyak dan gas menjadi penyumbang terbesar defisit transaksi berjalan dan defisit neraca perdagangan.

“Usaha-usaha untuk mengurangi impor, khususnya solar, harus terus dilakukan dengan serius. Kalkulasinya jika kita konsisten menerapkan B30 ini akan hemat devisa kurang lebih Rp 63 trilun, jumlah yang sangat besar sekali,” ujar Jokowi.

Ada tiga alasan mengapa Jokowi ingin menggalakkan penggunaan B30 di Indonesia. Pertama, Indonesia harus mencari sumber energi terbarukan demi melepaskan ketergantungan terhadap energi fosil. Kedua, untuk mengurangi ketergantungan impor migas sehingga dapat mendukung ketahanan dan kemandirian energi Indonesia. Ketiga, meningkatkan permintaan domestik akan minyak sawit mentah (CPO) yang akan memberikan efek ganda kepada para petani kelapa sawit.

Baca juga: Indonesia Akan Lawan Diskriminasi Sawit Eropa

Diversifikasi energi atau bisnis?

Kepada DW Indonesia, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro, menyebut bahwa implementasi program B30 sebenarnya merupakan program lanjutan dari pemerintahan di era Presiden SBY dalam upaya mencari pengganti bahan bakar fosil. Namun Komaidi menilai, fokus pemerintah kini yakni menjadikan B30 sebagai alat perbaikan neraca perdagangan migas Indonesia.

“Harusnya sih diversifikasi energi, karena kalau untuk bisnis atau neraca perdagangan tidak bisa bertahan lama. Nanti khawatirnya ketika CPO (crude palm oil/minyak sawit mentah) sudah pulih, ini justru berbalik, nanti orientasinya ekspor bukan untuk biodiesel di dalam negeri. Kalau berbalik arah yang dikorbankan banyak, teman-teman yang sudah terlanjur inves di kilang biodiesel nanti nasibnya bagaimana?” papar Komaidi.

Lebih lanjut ia menyampaikan, Biodiesel B30 masih belum diterima dengan baik oleh beberapa pihak di dalam negeri. Menurutnya uji coba kelayakan B30 berjalan secara parsial dan tidak terintegrasi dengan indutri otomotif yang ada. Sementara, uji coba kelayakan mesin masih mengacu kepada bahan bakar konvensional.

“Terutama teman-teman di asosiasi pelayaran, masih khawatir jangka panjang impact-nya ke mesin kapal tapi juga ke tanki mereka. Konon diidentifikasi jangka panjang bisa menimbulkan korosi, nanti biaya perawatan mereka estimasi jauh lebih besar,” katanya.

“Toleransi mereka di B5, lima persen masih oke. B10 saja sudah jadi masalah. Nanti khawatirnya baru dipakai, satu dua bulan sudah rusak mesin,” lanjut Komaidi

Komaidi juga mengatakan bahwa harga jual Biodiesel tidak lebih murah dibandingkan dengan bahan bakar konvensional yang sudah ada. “Ada selisih Rp 1.000-1.500 per liter. Nah sekarang jalan karena masih ada subsidi dari dana sawit. Ini agar Biodiesel tetap laku, someday kalau itu sudah tidak ada (subsidi dana sawit) ini akan jauh lebih mahal.”

Sebelumnya, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati, mengaku telah melakukan uji coba penyaluran B30 sejak November 2019 lalu di beberapa kota besar antara lain Palembang, Yogyakarta, Balikpapan, hingga Sorong.

Dicekal Eropa

Seperti yang diketahui, saat ini Uni Eropa hingga Amerika Serikat mencekal ekspor minyak sawit mentah Indonesia. Sejumlah kampanye negatif pun harus dihadapi Indonesia dalam memasarkan minyak sawit mentah.

“CPO (crude palm oil/minyak sawit mentah) produk turunannya tidak hanya di Biodiesel, bisa untuk ke makanan, atau di petrokimia, sabun, macam-macam. Selama ini Eropa dan Amerika beli dari kita untuk itu. Mereka ada aktivis lingkungan digunakan. Saya melihatnya mereka lebih sebagai proteksi dalam negeri. Ini hanya instrumen agar produk kita tidak masuk terlalu dalam, petani mereka juga terlindungi. Konteks geopolitik globalnya seperti itu,” jelas Komaidi saat diwawancarai DW Indonesia.

Baca juga: EU Berlakukan Tarif Biodiesel Indonesia, Aktivis Minta Pemerintah Tidak Reaktif

Pengamat energi ini pun mengimbau kepada pemerintah untuk terus mensosialisasikan program Biodiesel agar mendukung tercapainya target pemerintah mengimplemantasikan B50 di tahun 2021 mendatang.

Selain itu, ia juga mendorong pemerintah untuk terus mengembangkan potensi energi terbarukan yang ada di Indonesia, salah satunya yaitu energi panas bumi. Indonesia memiliki cadangan 50 persen panas bumi dunia, sehingga sangat berpotensi dijadikan sebagai sumber energi transportasi di Indonesia.

“Nanti pasokan listriknya dari panas bumi bisa terintegrasi ke tranportasi. Tetapi tentu banyak untuk transportasi massal, MRT, KRL. Kalau pasokannya dari panas bumi sebenarnya sudah cukup banyak membantu,” ujarnya.

“Ini diperlukan peran koordinator bidang perekonomian maupun bilamana diperlukan intervensi presiden secara langsung,” pungkas Komaidi.

Alihkan Subsidi BBM ke BBN

Investor Daily; Kamis, 26 Desember 2019 | 12:38 WIB

JAKARTA, investor.id – Pemerintah disarankan mengalihkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) menjadi subsidi ke bahan bakar nabati (BBN) agar Indonesia bisa mengurangi ketergantungan terhadap impor migas, menurunkan defisit neraca dagang, dan memperbaiki defisit transaksi berjalan (CAD). Subdisi untuk BBN diperlukan agar harga biodisel bisa terjangkau oleh masyarakat pengguna.

Indonesia sebagai produsen sawit terbesar dunia memiliki pasokan bahan baku berlimpah untuk biodisel. Dengan memberi subsidi ke biodisel maka penyerapan minyak sawit mentah (CPO) untuk bahan baku biodisel akan naik, produsen sawit akan terbantu pasarnya di tengah hambatan ekspor oleh sejumlah negara atas sawit Indonesia, seperti oleh Uni Eropa.

Pengalihan subsidi itu perlu seiring program peningkatan percampuran minyak sawit dengan BBM jenis solar atau biodisel. Setelah program mandatori pencampuran 20% BBN ke dalam solar atau B20 diterapkan sejak 2016, implementasi program B30 dimulai akhir tahun ini secara bertahap, dan akan dilanjutkan dengan B40 pada 2020, serta B50 pada 2021.

1554186894Sampel minyak sawit untuk B20, B30, hingga B100. Foto ilustrasi: Investor Daily/Gora Kunjana

Saat meresmikan peluncuran implementasi B30 atau campuran 30% BBN ke dalam solar di SPBU MT Haryono, Jakarta, Senin (23/12) pagi, Presiden Joko Widodo menyatakan, program B30 dapat menghemat devisa Rp 63 triliun. Penerapan B30 juga akan menciptakan permintaan domestik akan CPO yang sangat besar. Implementasi B30 juga akan menimbulkan efek berganda terhadap 16,5 juta petani dan pekebun kelapa sawit. Presiden menegaskan, tahun depan akan dimulai implementasi B40 dan tahun 2021 dimulai implementasi B50

.20160801153918017Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, pengalihan subsidi BBM ke BBN bisa saja dilakukan. Menurut dia, pengalihan subsidi ditujukan ke penerima langsung semacam bantuan langsung tunai (BLT), sehingga hanya yang berhak saja yang bisa membeli biodisel.

“Kalau siapa saja boleh membeli BBN subsidi maka APBN akan bocor. Yang dapat beli misalnya sopir angkutan barang, sopir angkutan penumpang,” kata Komaidi kepada Investor Daily, Senin (23/12).

Menurut dia, cara untuk mengawasinya agar tidak salah sasaran adalah bisa lewat online system, misalnya dalam satu kali transaksi ada batas maksimal pembelian. Kalau yang menjadi pemicunya adalah menaikkan devisa dan menurunkan defisit neraca dagang, Komaidi meragukan program B30 dapat berkelanjutkan. Pasalnya, kalau harga ekspor CPO sedang tinggi, otomatis produsen CPO akan memilih ekspor CPO sehingga pasokan CPO untuk biodisel berkurang.

Di sisi lain, Komaidi mengingatkan fokus pemeritah jangan hanya demi mengejar penurunan defisit neraca dagang dan CAD. “Fokusnya harus diversifikasi energi dan ramah lingkungan, sedangkan penurunan defisit neraca dagang dan CAD itu sebagai dampak dari pelaksanaan diversifikasi energi,” katanya.

Sedangkan untuk menekan impor minyak, lanjut dia, caranya adalah meningkatkan produksi (lifting) minyak di dalam negeri, selain mencari sumber energi di luar negeri seperti yang dilakukan oleh Pertamina. “Cadangan minyak kita saat ini masih ada di ratusan cekungan, tapi butuh waktu 5-6 tahun untuk bisa sampai ke tahap produksi,” ujar Komaidi.

20160519152015939Ekonom Indef Eko Listiyanto MSE. Foto: indef.or.id

Sementara itu, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listianto mengatakan, pengalihan sebagian subsidi BBM ke BBN perlu, seiring semakin tergantungnya kebutuhan Indonesia pada minyak impor.

Namun demikian, Eko menyarankan langkah tersebut perlu sinergi dengan aspek kelestarian lingkungan dan kesiapan pengguna kendaraan.

Tumiran, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) dari akademisi, mengatakan, Indonesia bisa saja menerapkan B30 hingga ke B100 karena memiliki kebun sawit sangat luas. Namun, yang masih menjadi masalah adalah prinsipal otomotif harus mendukung implementasi B30, B40, B50 hingga B100, agar kinerja mesin tetap bagus dengan menggunakan BBN.

Dia meminta Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendesak prinsipal otomotif untuk membuat kendaraan dengan mesin yang cocok dengan B30, B40, B50 hingga B100.

1565857036Kendaraan yang digunakan untuk ujicoba B30. Foto: bpdp.orid

Selain itu, pemerintahan Jokowi juga harus mendorong penggunaan gas untuk sektor otomotif. Pemerintah harus membuat program kombinasi antara biodisel dan gas. Nantinya masyarakat tinggal pilih apakah mau pakai biodisel atau gas untuk bahan bakar kendaraannya.

Mengenai pengalihan subsidi BBM menjadi subsidi BBN, Tumiran mengatakan, sebaiknya masalah pengalihan subsidi tidak perlu dipikirkan karena di SPBU masyarakat sudah pakai Pertalite dan Pertamax.

“Kalau semua BBN sudah bercampur dengan solar, nantinya solar murni tidak akan ada lagi. Tapi Pertamina harus bagus mencampurnya,” kata Tumiran.

20190107112842273Bhima Yudhistira. Foto: IST

Ekonom Indef Bhima Yudistira mengatakan, implementasi B30 belum tentu dapat menghemat devisa sebesar Rp 63 triliun karena masih banyak kendala dari sisi user yang terbatas di sektor alat berat dan kendaraan diesel. Sementara kendala campuran sawit menimbulkan masalah pada filter mesin.

“Jadi tidak semua pengguna diesel akan beralih ke B30. Perlu adaptasi dan kesiapan bagi user,” katanya.

Mengenai dampak implementasi program B30 terhadap penurunan impor migas, defisit neraca dagang dan defisit transaksi berjalan, Bhima menegaskan bahwa hal itu perlu dilakukan riset yang lebih dalam.

Dia menilai implementasi B30 akan banyak tantangan yang sifatnya teknis baik dari sisi pasokan maupun dari sisi permintaan. Pasokan FAME (fatty acid methyl ether/FAME) untuk program mandatori biodiesel masih terbatas. Harga juga belum kompetitif.

Mengenai wacana kebijakan pengalihan subsidi BBM ke biodisel, Bhima mempertanyakan apakah nelayan dan petani yang memakai diesel siap beralih ke B20 dengan mesin yang ada saat ini.

“Saya kira tidak semudah itu karena ada pembengkakan biaya maintenance atau perawatan mesin yang akan dibebankan ke masyarakat miskin (nelayan, petani),” katanya.

20150429105942497Reza Priyambada. Foto: bloombergindonesia.tv

Senior Advisor CSA Research Institute Reza Priyambada mengatakan, implementasi B30 secara semangat sudah cukup bagus untuk mengurangi ketergantungan terhadap migas sehingga konsumsinya bisa berkurang dan defisit neraca dagang bisa ditekan. Namun, menurut Reza, ada hal yang perlu diperhatikan. Pada saat konversi dari BBM ke gas atau ke BBN, apakah mesin bisa menerima atau adaptasi? “Apabila ada, apakah akan menggunakan konverter atau bagaimana? Dan, apakah ada biaya tambahan untuk menggunakan BBN tersebut,” jelas Reza.

Kalau soal pemberian subsidi, kata Reza, sebenarnya yang paling krusial adalah pengawasannya, bukan soal teknis pemberiannya. Kementerian Keuangan mencatat realisasi subsidi energi hanya Rp 123,6 triliun atau 77,2% dari pagu yang dipatok sebesar Rp 160 triliun, atau lebih rendah 5,3% dari periode sama tahun lalu. Hal ini disebabkan oleh harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang di bawah asumsi, serta apresiasi nilai tukar rupiah.

Hingga 16 Desember lalu, harga ICP hanya menyentuh US$ 61,9 per barel, jauh di bawah asumsi sebesar US$ 70 per barel.

Sementara, kurs rupiah tercatat Rp 14.152 secara yearto- date (ytd), juga jauh lebih rendah dari asumsi dalam APBN 2019 yang sebesar Rp 15.000 per dollar Amerika Serikat (AS).

Sementara itu, Kementerian ESDM mencatat kuota subsidi solar yang tersalurkan hingga Oktober 2019 sebanyak 13,3 juta kiloliter (KL). Sedangkan alokasi kuota solar yang tercantum dalam APBN 2019 sebesar 14,5 juta, sehingga masih tersisa 1,2 juta KL. Namun Pertamina terpaksa menambah pasokan BBM jenis solar sebesar 20% dari konsumsi harian Januari hingga Oktober 2019 sebesar 40 ribu KL untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Sebagai informasi, kuota solar bersubsidi nasional tahun ini sebanyak 14,5 juta KL, lebih kecil dibandingkan dengan 2018 sebanyak 15,62 juta KL dengan realisasi sebanyak 15,58 juta KL.

Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014, BBM tertentu termasuk solar bersubsidi hanya diperuntukkan bagi industri rumah tangga, usaha mikro, usaha pertanian, usaha perikanan, transportasi dan pelayanan umum, termasuk juga kendaraan pribadi dengan kapasitas mesin yang kecil

Peresmian Implementasi B30

1563177462Presiden Joko Widodo. Foto: Istimewa

Sementara itu, Presiden Joko Widodo secara resmi memulai implementasi penerapan program biodiesel 30% atau B30, Senin (23/12). Presiden menyebut bahwa dirinya memantau program implementasi B30 dari hari ke hari. Ia minta program pencampuran biodiesel dilanjutkan ke B40 pada 2020 dan B50 pada 2021. Implementasi program B30 sejatinya dimulai awal 2020, namun dipercepat menjadi akhir tahun 2019. Kepala Negara menjelaskan tiga alasan pemerintah mempecepat implementasi program biodiesel.

Pertama, program ini untuk mencari sumber-sumber energi baru terbarukan yang ramah lingkungan. Indonesia harus melepaskan diri dari ketergantungan pada energi fosil yang suatu saat pasti habis. Biodiesel adalah energi bersih.

Kedua, ketergantungan Indonesia terhadap impor BBM, termasuk solar, cukup tinggi. Padahal, Indonesia penghasil sawit terbesar di dunia. Potensi itu harus dimanfaatkan untuk mendukung ketahanan dan kemandirian energi nasional.

Ketiga, penerapan B30 akan mendongkrak permintaan CPO. Implementasi B30 juga akan menimbulkan efek berganda terhadap 16,5 juta petani dan pekebun kelapa sawit.

Selain itu, dengan implementasi program biodiesel, Indonesia tidak akan mudah untuk ditekan oleh negara-negara lain.

Seperti diketahui, ekspor CPO Indonesia kerap menghadapi tantangan berupa kampanye negatif, misalnya dari Uni Eropa.

20190116151919732Nicke Widyawati. Foto: IST

Direktur Utama PT Per tamina (Persero) Nicke Widyawati dalam siaran persnya menyatakan, Pertamina telah melakukan langkah cepat dengan melakukan uji coba penyaluran B30 sejak November 2019 di beberapa kota besar antara lain Palembang, Sumatera Selatan, Yogyakarta, Jawa Tengah, Balikpapan, Kalimantan Timur hingga Sorong, Papua.

“Pertamina telah menyiapkan 28 TBBM (terminal bahan bakar minyak) sebagai titik simpul pencampuran B30, yang nantinya akan disalurkan ke seluruh SPBU millik Pertamina di seluruh Indonesia. Masyarakat bisa menikmati B30 melalui produk biosolar dan Dexlite,” ujar Nicke.

Nicke menjelaskan, untuk mengamankan suplai FAME sebagai bahan utama pencampuran B30, lanjut Nicke, Pertamina telah melakukan penandatanganan kerja sama pengadaan FAME dengan 18 Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BUBBN) yang ditunjuk oleh Kementerian KESDM.

Menurut Nicke, program B30 ditargetkan bisa mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 14,25 juta ton C02 selama 2020. Selain itu, Program B30 juga ditargetkan bisa menyerap 1,29 juta tenaga kerja tambahan.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, rangkaian uji coba B30 telah dimulai sejak 25 November 2019. Uji coba berjalan dengan baik. Dari sisi per forma kendaraan, monitoring, dan evaluasi yang dikerjakan oleh tim teknis berjalan dengan baik.

Selama pelaksanaan program B30, diperlukan setidaknya 9,6 juta kiloliter Fatty Acid Methyl Ester (FAME) di 2020. Jumlah tersebut naik pesat dibanding kebutuhan FAME tahun 2019 sebesar 6,6 juta KL. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan, dari kebutuhan B30 tahun depan sebesar 9,6 juta KL.

Pertamina mendapat kuota sekitar 8 juta KL, sisanya akan disalurkan oleh PT AKR Corporindo Tbk.

1573562110Menko Perekonomian Airlangga Hartarto

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, Presiden Joko Widodo menargetkan dalam tiga tahun ini defisit neraca perdagangan harus diselesaikan. Airlangga menuturkan, dalam tiga tahun ini pemerintah akan menggenjot produksi migas (lifting), penerapan bahan bakar B30 sampai B100, dan juga implementasi green avtur.

Kemudian, pemerintah juga bakal menggenjot produksi Trans Pasific Petrochemical Indotama (TPPI) atau Tuban Petro untuk menekan impor petrokimia. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat penyaluran unsur nabati (FAME) untuk Program Mandatori B20 telah berjalan baik. Hingga September lalu, serapan FAME ini mencapai 4,49 juta kiloliter (KL).

Alokasi FAME untuk biodiesel pada tahun ini ditetapkan hanya 6,2 juta KL. Namun, lantaran adanya tambahan permintaan dari badan usaha bahan bakar minyak (BBM) menyusul adanya kenaikan permintaan solar, maka alokasinya ditambah menjadi 6,6 juta KL pada Agustus lalu.

Sejak mandatori B20 dimulai pada 2016, serapan biodiesel terus naik setiap tahunnya. Pada 2017, realisasi serapan biodiesel tercatat hanya sebesar 2,57 juta KL. Pada 2018, serapan FAME untuk Program B20 tercatat naik menjadi 4,02 juta KL.

Selanjutnya di tahun ini, serapan FAME ditargetkan mencapai 6,6 juta KL. Pada 2016 hingga kuartal ketiga 2018, mandatori pencampuran biodiesel hanya diberlakukan untuk BBM jenis solar bersubsidi. Namun, mulai September tahun lalu, mandatori B20 diperluas hingga ke solar nonsubsidi baik untuk transportasi, pembangkit listrik, maupun industri.

Sementara itu, BPS mencatat neraca perdagangan November mengalami defisit sebesar US$ 1,33 miliar. Defisit migas mencapai US$ 1,02 miliar dan nonmigas sebesar US$ 300,9 juta.

Jaring Investor Kakap, Luhut Bebaskan Pilihan Skema Bagi Hasil Migas

KATADATA; Selasa, 10 Desember 2019, 15.46 WIB

Kementerian ESDM tengah merevisi aturan yang mewajibkan investor migas menggunakan skema gross split.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa Pemerintah berencana menerapkan skema kontrak bagi hasil migas yang fleksibel agar investor dapat memilih skema cost recovery atau gross split.

Menurut dia hal ini dilakukan untuk menjaring investor kelas kakap agar masuk ke Indonesia. “Ya, sudah bebas. Mau gross split boleh, yang lama (cost recovery) boleh,” kata Luhut di Gedung Kemenko Maritim, Selasa (10/12).

Maka dari itu menurut Luhut, Menteri ESDM Arifin Tasrif pun bakal merevisi aturan mengenai kontrak bagi hasil migas yang mewajibkan kontraktor menggunakan skema gross split. “Pak Arifin sudah mengatakan begitu,” kata Luhut.

Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 52 Tahun 2017 tentang perubahan atas peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 08 Tahun 2017 tentang kontrak bagi hasil gross split pada 29 Agustus 2017.

Dikonfirmasi secara terpisah, pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai bahwa model skema kontrak gross split mirip dengan royalty and tax (royalti dan pajak). Hanya saja, royalti dan pajak dalam prakteknya lebih sederhana karena tidak memasukan progresif dan variable split.

“Royalty and tax bukan bagian dari Production Sharing Contract (PSC), sedangkan gross split  merupakan PSC yang telah dimodifikasi. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Inggris Raya, dan Eropa barat rata-rata menerapkan royalty and tax,” kata Pri Agung kepada Katadata.co.id.

Meski begitu, Pri menjelaskan, jika royalty and tax diterapkan di Indonesia maka kontraknya harus antara business to business terlebih dahulu. Kalau mau menerapkan G to B (government to business), harus dijalankan dengan sistem izin atau license, seperti yang diterapkan di pertambangan umum atau minerba.

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan bahwa pihaknya telah berdiskusi dengan investor terkait fleksibilitas skema bagi hasil migas. “Jika ada fleksibilitas, memang daya tarik untuk investasi di situ (migas) lebih baik,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Gas Bumi Jadi Penggerak Ekonomi, Sub Holding Siap Perluas Penyaluran

Liputan6.com ;10 Desember 2019

Liputan6.com, Jakarta Gas bumi termasuk salah satu sumber daya alam yang dimiliki Indonesia dengan banyak manfaat nilai tambah. Komoditas energi ini pun dinilai harus menjadi aset nasional yang kemudian menggerakkan ekonomi nasional.

Direktur Eksekutif RefoMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, gas bumi seharusnya tidak lagi semata andalan ekspor untuk memenuhi sumber devisa bagi negara. Sudah saatnya gas bumi menjadi penggerak perekonomian nasional, terutama jika digunakan di dalam negeri.

Adapun nilai tambah dan manfaat dari penggunaan gas bumi beragam. Mulai dari harga yang lebih murah dibanding Bahan Bakar Minyak (BBM), lebih bersih dan lebih efisien.

Pemerintah pun selama ini sudah ikut mendukung dengan terus menambah alokasinya ke dalam negeri.

“Kalau dijual dapat devisa saja, kalau dialokasikan di dalam negeri ekonomi bisa bergerak,” kata Komaidi, saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Selasa (10/12/2019).

Komaidi mengakui jika beberapa waktu lalu gas banyak diekspor ke negara lain. Pemicunya, infrastruktur penyalur gas yang belum siap. Namun saat ini kondisi telah berubah, pembangunan infrastruktur telah masif dilakukan sehingga gas bumi bisa optimal dimanfaatkan konsumen di dalam negeri.

‎”Kalau dulu latar belakang dijual karena domestik belum mampu banyak menyerap, sekarang infrastruktur mulai masif terbangun, terkoneksi, gas bisa dimanfatakan,” tutur dia.‎

Adalah PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang selama ini menjadi penyalur gas di Indonesia. Sebagai sub holding gas, perusahaan telah membuat berbagai rencana pembangunan agar penyerapan gas di dalam negeri semakin optimal.

Direktur Utama PGN Gigih Prakoso mengatakan, untuk meratakan pasokan gas di Indonesia PGN akan membangun sejumlah infrastruktur penyaluran gas ke berbagai konsumen di dalam negeri.

“Membangun infrastruktur gas untuk penyaluran gas ke pelanggan industri, komersial, pembang‎kitan, transportasi, dan rumah tangga,” papar dia kepada Liputan6.com.

Hingga saat ini, sebagai subholding gas bumi, PGN telah membangun jaringan gas hingga lebih dari 10 ribu kilometer (km). Panjang pipa gas PGN ini hampir dua sampai empat kali lipat dibandingkan jaringan gas di wilayah Asia Tenggara.

Selain itu, PGN juga mengoperasikan 2 Floating Storage Regasification Unit (FSRU), 1 land-based regasification terminal, 64 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) dan 4 Mobile Refueling Unit (MRU).

Pengembangan infrastruktur gas bumi akan diarahkan untuk mendukung program pemerintah, khususnya di bidang industri untuk menunjang pengembangan kawasan-kawasan industri sesuai dengan rencana nasional.

Sesuai rencana kerja PGN hingga 2024, perusahaan akan membangun sejumlah infrastruktur baru di antaranya jaringan pipa transmisi dan distribusi masing-masing sepanjang 528 km dan 500 km.

Kemudian 7 LNG filling station untuk truk atau kapal, 5 FSRU, 3,59 juta sambungan rumah tangga dan 17 fasilitas LNG untuk menyuplai kebutuhan kelistrikan dan menjangkau wilayah geografis dengan karakteristik kepulauan di seluruh Indonesia.

Pemerintah Diminta Intervensi untuk Percepat Pengalihan Blok Rokan

Katadata.co.id; 3 Desember 2019

Pemerintah diminta turun tangan dalam proses transisi pengambilalihan Blok Rokan dari Chevron ke Pertamina.  Sebab, diskusi antara kedua belah pihak hingga kini masih menemui kebuntuan.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai, perlu ada campur tangan dari Pemerintah jika diskusi mengenai alih kelola Blok Rokan tak kunjung berjalan sesuai rencana. Apalagi, Pertamina didorong untuk segera melakukan kegiatan investasi karena Chevron disebut enggan berinvestasi menjelang kontrak berakhir.

“Jika tidak segera kunjung ada solusi saya kira pemerintah memang perlu intervensi,” kata Komaidi kepada Katadata.co.id, Selasa (3/12).

Komaidi yakin bakal ada solusi jika niat awal percepatan transisi dilakukan guna menekan penurunan produksi yang terjadi di Blok Rokan. Harus ada komunikasi yang lebih baik antara kedua belah pihak. “Bagaimanapun ini masalah bisnis sehingga silahkan diselesaikan B to B,” kata Komaidi.

Senada, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai kehadiran pemerintah dalam menjembatani persoalan ini harus lebih kuat. Meski skema tersebut menggunakan business to business,  campur tangan pemerintah penting untuk menjaga produksi Blok Rokan.

Ia menyarankan Pertamina melakukan investasi lebih awal sebelum resmi mengambil alih blok migas ini. Setelah itu, Pertamina dan Chevron dapat membuat perhitungan bagi hasil produksi migas.

“Harusnya Chevron tidak masalah dengan skema ini karena mereka sama sekali tak mengeluarkan uang,” jelas Mamit. Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan meminta penjelasan Pertamina mengenai proses transisi Blok Rokan.

Hal ini lantaran perusahaan pelat merah tersebut belum juga berinvestasi di blok tersebut. Luhut menilai masa transisi idealnya dimulai dua tahun sebelum alih kelola blok tersebut pada 2021.”Jadi diputuskan, kalau iya ya iya, kalau tidak ya tidak, jangan seperti itu,” kata Luhut di Gedung Kemenko Maritim, Senin (2/11).