Konsistensi Kebijakan Penyediaan BBM Berkualitas

Investordaily; 24 Juli 2020

Terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No.191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, memberikan harapan mengenai peluang penyediaan bahan bakar minyak (BBM) yang lebih berkualitas untuk dalam negeri. Regulasi tersebut menetapkan, BBM jenis Bensin RON 88 (BBM Khusus Penugasan) yang dinilai sebagai BBM berkualitas rendah tidak boleh lagi didistribusikan di seluruh wilayah Jawa-Bali.

Substansi Perpres No.191/2014 juga tercatat sejalan dengan rekomendasi Tim Khusus Reformasi Tata Kelola Migas agar jenis BBM Bensin RON 88 dan Gasoil 0,35 % sulfur dihapuskan. Tim tersebut berpandangan kedua jenis BBM tersebut berkualitas rendah (standar Euro 2) yang saat ini sudah tidak digunakan lagi di dunia termasuk di wilayah ASEAN.

Berdasarkan data dan informasi yang ada, terbitnya Perpres No.191/2014 dan rekomendasi Tim Khusus Reformasi Tata Kelola Migas tersebut, memberikan dampak langsung terhadap tingkat konsumsi BBM jenis Bensin RON 88 di dalam negeri. Konsumsi Bensin RON 88 yang pada tahun 2013 tercatat sebesar 29,50 juta kilo liter secara bertahap menurun menjadi 7,04 juta kilo liter pada 2017. Akan tetapi pada 2018, kuota BBM jenis Bensin RON 88 (BBM Khusus Penugasan) justru ditetapkan kembali meningkat menjadi 11,80 juta kilo liter.

Pada akhir Mei 2018, pemerintah menerbitkan Perpres No.43/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No.191/2014 Tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Regulasi tersebut menetapkan bahwa Bensin RON 88 diperbolehkan lagi untuk didistribusikan di seluruh wilayah Jawa-Bali. Pasal 3 ayat (4) Perpres No.43/2018 menetapkan bahwa “berdasarkan rapat koordinasi yang dipimpin oleh Menteri yang mekoordinasikan bidang perekonomian, Menteri ESDM dapat menetapkan distribusi BBM jenis bensin (Gasoline) RON minimum 88 di wilayah Jawa-Bali.

Perlu Konsistensi Kebijakan

Untuk mengejar ketertinggalan dengan negara-negara lain dalam hal penyediaan BBM berkualitas, yang diperlukan Indonesia adalah konsistensi kebijakan. Pasar dalam hal ini pelaku usaha dan konsumen domestik pada dasarnya tampak dapat beradaptasi dengan baik. Dari sisi pelaku usaha misalnya, hampir seluruh pengusaha SPBU di wilayah Jawa-Bali terpantau telah mengalihfungsikan dispenser yang sebelumnya digunakan untuk Bensin RON 88 kepada Bensin RON yang lebih tinggi. Sementara secara bertahap konsumen di wilayah Jawa-Bali juga tampak telah terbiasa tanpa Bensin RON 88.

Terkait standar emisi, pada 2014-2017 negara-negara di Eropa telah menerapkan standar Euro 6B dan pada 2018-2020 menerapkan standar Euro 6C. Sementara Indonesia sampai saat ini masih mengkonsumsi BBM dengan standar Euro 2. Dari aspek regulasi, Indonesia pada dasarnya dapat dikatakan telah relatif lebih maju. Pada April 2017, pemerintah mengundangkan Permen LKH No.20/2017 yang menetapkan adanya peralihan standar emisi dari Euro 2 ke Euro 4. Permen tersebut memberikan tenggat waktu selama 18 bulan untuk Bensin, CNG, LPG baik untuk produk eksisting dan produk baru beralih pada standar Euro 4 sejak Permen tersebut diundangkan. Sementara untuk Solar baik untuk produk eksisting dan produk baru diberikan tenggat waktu selama 48 bulan untuk beralih pada standar Euro 4.

Jika konsisten dengan ketentuan Permen LKH No.20/2017 tersebut, sejak Oktober 2018 konsumen di dalam negeri semestinya sudah tidak diperbolehkan lagi mengkonsumsi Bensin, CNG, LPG standar Euro 2. Hal yang sama juga demikian bahwa sejak April 2021 mendatang konsumen di dalam negeri juga tidak diperbolehkan lagi mengkonsumsi Solar standar Euro 2. Akan tetapi, dalam realisasinya meskipun telah lebih dari 20 bulan dari batas akhir tenggat waktu yang diberikan Permen LHK tersebut, konsumen di dalam negeri terpantau masih mengkonsumsi Bensin standar Euro 2.

Sebagai perbandingan, untuk negara di kawasan yang sama, Thailand tercatat telah berada di depan Indonesia. Thailand telah menerapkan standar Euro 4 sejak 2015-2018. Pada periode 2019-2023 Thailand menerapakn standar Euro 5. Pada 2024 mendatang Thailand menetapkan akan beralih menggunakan standar Euro 6. Sementara, sampai dengan 2025 mendatang Indonesia masih berada pada standar Euro 4.

Berdasarkan permasalahan yang dihadapi, memang tidak mudah bagi Indonesia untuk dapat segera bermigrasi menggunakan BBM dengan standar kualitas yang lebih baik. Selain memerlukan komitmen bersama antara produsen dan konsumen BBM, penggunaan BBM berkualitas juga memerlukan komitmen kuat dari industri otomotif di dalam negeri. Sementara, data dan informasi yang ada menunjukkan bahwa sampai saat ini sebagian besar industri otomotif di dalam negeri baik untuk angkutan barang maupun untuk angkutan penumpang masih berstandar emisi Euro 2.

Terlepas dari kompleksitas permasalahan yang sedang dihadapi, saya menilai kunci utama untuk depat segera bermigrasi pada penggunaan BBM berkualitas berada pada konsistensi kebijakan pemerintah. Hal tersebut mengingat perizinan terkait industri pengolahan (kilang) BBM, distribusi BBM, dan niaga BBM seluruhnya melekat pada pemerintah. Begitupula perizinan terkait proses produksi dan penjualan otomotif di dalam negeri juga menjadi domain pemerintah. Karena itu, dapat dikatakan bahwa kunci dan aktor utama untuk dapat mendorong kebijakan migrasi pada penggunaan BBM yang lebih berkualitas sesungguhnya berada di tangan pemerintah itu sendiri.

Kombinasi dari konsistensi kebijakan dan kepemimpinan yang kuat akan menjadi kunci agar Indonesia dapat segera mengejar ketertinggalan dengan negara-negara yang lain di dalam penyediaan BBM yang berkualitas. Pengambil kebijakan perlu memahami bahwa tidak akan ada kebijakan yang akan dapat memuaskan semua pihak. Dalam tingkatan tertentu bahkan pengambil kebijakan perlu mengambil risiko untuk tidak disukai dan mengorbankan kepentingan tertentu untuk kepentingan yang lebih luas. Hal lain yang juga perlu menjadi catatan dan perhatian pengambil kebijakan adalah bahwa perilaku konsumen terkait harga akan mengikuti teori aliran air, akan mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah. Begitupula dengan konsumen BBM, akan mencari dan beralih menggunakan BBM dengan harga yang lebih rendah. Karena itu, jangan terkejut jika di kemudian hari aspek fiskal (APBN) dan kualitas lingkungan menjadi korban akibat kebijakan penyediaan BBM murah dan berkualitas rendah.

Investasi hulu migas semakin ketat, pemerintah perlu beri insentif

Kontan.id; 24 Juli 2020

JAKARTA. Setelah kabar hengkangnya Shell dari proyek gas di Blok Masela, kini keberlanjutan Chevron Pacifik Indonesia di Blok Indonesia Deep Water Development (IDD) menjadi sorotan. Pemerintah pun dinilai perlu mencari cara agar investasi di sektor hulu migas bisa Indonesia bisa tetap menarik.

Pengamat migas dari Universitas Trisaksi Pri Agung Rakhmanto berpandangan, persaingan portofolio investasi hulu migas di tataran regional dan global semakin ketat. Menurutnya, hanya portofolio investasi yang dinilai benar-benar menguntungkan dan menempati skala prioritas, yang akan dikerjakan oleh para investor.

Pri menyebut, hal itu terjadi karena kondisi pasar dan harga minyak termasuk gas dan LNG, sedang rendah. “Maka pendapatan mereka juga terpengaruh, sehingga porsi investasi hanya dialokasikan kepada proyek-proyek atau portofolio yang bagi mereka adalah prioritas,” kata Pri kepada Kontan.co.id, Jum’at (24/7).

Apalagi dengan adanya pandemi Covid-19 dan dampak yang ditimbulkannya, membuat faktor perhitungan keekonomian investasi menjadi berubah. Alhasil, faktor yang harus dikalkulasi dan menjadi pertimbangan semakin bertambah banyak.

Pri bilang, pandemi Covid-19 membuat investasi di hulu migas semakin kompleks. Pemerintah memang tetap perlu memberikan insentif berupa fiskal maupun non-fiskal. Tapi dalam kondisi seperti saat ini, strategi itu pun belum bisa menjamin investor akan bertahan, apalagi menarik datangnya investor besar yang baru.

“Tidak ada yang bisa dilakukan pemerintah selain memberikan insentif-insentif atau kemudahan dalam investasi. Insentif tentu akan membantu (membuat iklim investasi) menarik. Tetapi juga bergantung negara lain seperti apa. Yang akan dipilih dan menjadi prioritas bagi investor tentu yang memberikan return paling besar dan cepat,” jelas Pri yang juga merupakan pendiri dari ReforMiner Institute.

Dia mengingatkan, ketertarikan investor terhadap proyek hulu migas tidak selalu soal insentif. Melainkan juga faktor kualitas dari proyek tersebut, seperti prospek bisnis, besaran cadangan, potensi produksi dan kemudahan akses pasar.

“Dalam hal ini tingkat kompetisinya juga ketat. Misal kita dibandingkan dengan shale oil/gas di AS atau Argentina, kan berat,” ujar Pri.

 

Menanti Pembeli Gas, Blok Masela Tak Menarik?
Bisnis.com; 21 Juli 2020
Gaduh di proyek LNG Abadi. Shell dikabarkan siap melakukan divestasi saham di proyek strategis tersebut. Di sisi lain, kepastian pembeli gas juga masih menjadi pekerjaan rumah agar proyek ini menarik untuk dikembangkan.

 JAKARTA – Disahkannya revisi rencana pengembangan (POD-I) Proyek LNG Abadi, Blok Masela, pada Juli 2019, seakan menjadi angin segar dan kemajuan proyek strategis nasional yang konon mangkrak 20 tahun itu.

Tak lama setelah revisi POD I disahkan, Inpex Corporation dan Shell Upstream Overseas Ltd menandatangani kontrak amandemen bagi hasil Cost Recovery termasuk waktu tambahan 7 tahun alokasi dan perpanjangan Proyek LNG Abadi dengan SKK Migas, pada Oktober 2019.

Perkembangan terakhir, SKK Migas telah menerbitkan SK Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah untuk Pelabuhan Kilang LNG Abadi pada 1 Juni 2020.

Tidak hanya itu, tender FEED onshore LNG, FPSO, Gas Export Pipeline (GEP) dan Subsea Umbilical, Riser dan Flowline (SURF) sedang berlangsung.

Terlepas dari persiapan teknis, Proyek LNG Abadi yang diprediksi menghasilkan gas alam cair (LNG) sebesar 9,5 juta ton per tahun (mtpa) dan gas pipa sebanyak 150 juta kaki kubik per hari (mmscfd), perlu pembeli.

Inpex pun harus mendapatkan kepastian pembeli gas dari Lapangan Abadi harus didapatkan sebelum proses keputusan akhir investasi (FID).

Soal pembeli, sebenarnya beberapa perusahaan nasional punya peluang untuk menyerap gas dari Masela. Februari lalu, Inpex meneken nota kesepahaman dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan PT Pupuk Indonesia untuk memasok kebutuhan gas.

Dalam perjanjian yang diteken pada Rabu (19/2/2020), Inpex akan memasok gas untuk LNG ke pembangkit listrik tenaga gas yang dioperasikan oleh PLN dan gas alam sebesar 150 juta standard kaki kubik per hari (mmscfd) untuk kilang co-production yang akan dibangun PT Pupuk Indonesia.

Selain itu? Itulah yang kita nantikan. Dalam mencari pembeli, Inpex tak sendiri, SKK Migas ikut membantu mencarikan penyerap produksi migas dari Lapangan Abadi.

Di tengah isu sepinya pembeli, kabar Shell hengkang dari Blok Masela muncul ke permukaan. Sebenarnya ini isu lama, atau pernah digaungkan pada tahun lalu, sebelum revisi POD-I disahkan pemerintah.

Soal divestasi saham oleh investor, Staf Pengajar Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengatakan untuk formalnya, mekanisme nya kan harus melalui pengalihan hak partisipasi (PI) harus mendapat persetujuan Menteri.

Menurutnya, jika memang benar Shell angkat kaki dari Maluku, maka akan makin tidak mudah untuk bisa mengembangkan Masela.

“Faktor partner ini akan makin menambah kompleksitas permasalahan yg sebelumnya sudah ada, yaitu dimana kepastian tentang siapa pembeli gas dari hasil produksi blok Masea ini juga belum jelas,” katanya saat dihubungi Bisnis, Selasa (21/7/2020).

Disisi lain, kondisi pasar LNG global dalam lima tahun ke depan juga sedang dalam kondisi oversupply dengan harga yang rendah, biaya dan keekonomian pengembangan Masela nantinya belum tentu masih akan kompetitif.

Berdasarkan riset Rystad Energi pada Juli 2020 yang dikutip SKK Migas, harga gas dunia saat ini terpuruk karena rendahnya permintaan. Dalam jangka pendek, harga gas akan mencapai puncaknya pada 2024, karena penundaan beberapa FID global saat ini.

Sayangnya, risiko penurunan harga akan terjadi pada 2027 kerika pasokan baru tiba. Namun, penurunan harga terbatas ini, hanya berdampak pada beberapa proyek saja.

Pri Agung mengamini riset tersebut, rendahnya harga gas saat ini, dipengaruhi rendahnya permintaan karena pandemi. Hanya saja, bicara proyek yang diperkirakan berproduksi pada 2026 ini, hal terpenting dalam tahapan pengembangan blok masela adalah kepastian tentang kontrak jual beli gas (PJBG).

“Sebetulnya itu yang lebih penting, terlepas sejak awal Shell akan ikut atau tidak. Tanpa itu [PJBG], pengembangan Masela tidak akan berlanjut,” tambahnya.

Kepastian pembeli gas menjadi segalanya, termasuk menentukan waktu proyek ini berproduksi. Pri Agung mengungkapkan, semakin sulit mencari pasar, semakin tinggi ketidakpastian terkait proyek tersebut.

Untuk itu, Founder Reforminer Institute ini, menyarankan antisipasi yang lebih responsif dari pihak yang terkait, khsusunya pemerintah untuk mencari alternatif serapan domestik.

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan kendala mengenai harga gas menjadi jadi bahasan pokok untuk melihat bagaimana proyek Masela ke depan. Sejauh ini, lanjutnya, SKK Migas terus berkoordinasi dengan Inpex soal pelaksanaan proyek LNG Abadi.

“Baik Inpex maupun Shell, terlepas dari program [perusahaan] mereka, keduanya menyatakan komitmen untuk mendukung Proyek LNG Abadi. Ini menjadi penting bagi kita untuk proyek tetap berjalan,” tambahnya dalam paparan Kinerja Hulu Migas Semester I/2020, Jumat (17/7/2020).

Adapun, terkait potensi divestasi saham Shell di Blok Masela, Dwi menampik penyebabnya soal pengembangan proyek offshore ataupun onshore. Menurutnya, lebih pada perubahan portofolio Shell secara global. Soal kemungkinan divestasi, SKK Migas menyebut prosesnya akan berjalan sekitar 1,5 tahun ke depan.

“Jika proses [divestasi] berlanjut, paling lambat 2021 harus sudah selesai. [kalau] ada partner baru, kami tentu tetap mengacu ketentuan, harus seizin pemerintah,”

Sebelumnya, Inpex Masela Ltd. menyatakan komitmennya untuk kelanjutan pengerjaan proyek Blok Masela.

Act. Corporate Communication Manager Inpex Masela Moch N. Kurniawan mengatakan pada saat ini pihaknya masih berfokus pada pengembangan Proyek LNG Abadi.

Dia menambahkan, dengan dukungan pemerintah, pihaknya yakin proyek tersebut akan terus berlanjut.

“Kami secara aktif bekerja melaksanakan POD yang disetujui oleh pemerintah Indonesia,” katanya.

Shell belum berkomentar banyak soal masa depannya Blok Masela. Rhea Sianipar, VP External Relation Shell Indonesia mengatakan bahwa pihaknya enggan mengomentari kabar mundurnya Shell Indonesia dari kemitraannya dengan Inpex.

“Terkait pertanyaan diatas [kemitraan dengan Inpex di Masela], belum ada komentar,” katanya.

Hanya saja, sebelumnya, dalam laporan Rystad Energy (18/11/2019), Shell memang berenana melakukan divestasi aset senilai US$10 miliar pada 2021.

Menurut laporan tersebut, Shell sedang mencari jalan keluar dari proyek LNG Abadi. Diharapkan Shell mendapatkan US$1 miliar – US$1,6 miliar atas divestasi tersebut.

Capaian Lifting Migas Semester I/2020 Dinilai Memuaskan

Bisnis.com; 17 Juli 2020

Pemerhati sektor migas menilai capaian produksi siap jual atau lifting minyak dan gas bumi masih memuaskan di tengah tekanan harga minyak dunia dan pandemi Covid-19.

Staf pengajar Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto berpendapat bahwa realisasi lifting migas sepanjang Januari—Juni 2020 terbilang cukup baik karena dari sisi operasi masih berjalan normal dengan adanya tekanan di hulu migas.

Kendati realisasinya masih di bawah target, secara garis besar realisasi tersebut menunjukkan adanya tren penurunan produksi yang merupakan kondisi yang membayangi hulu migas nasional.

“Tanpa produksi dari lapangan migas baru skala besar, memang akan selalu seperti itu profilnya terus menurun,” katanya kepada Bisnis, Jumat (17/7/2020).

Namun, dia menilai kondisi hulu migas pada semester II/2020 akan cenderung lebih baik dibandingkan dengan semester I/2020.

Menurut Pri, pada sisa 6 bulan terakhir terdapat ekspektasi pemulihan aktivitas ekonomi pascapandemi Covid-19.

“Bisa diharapkan ada peningkatan adalah lifting gasnya. Terutama serapan dari listrik dan industri pengguna gas yang kemungkinan sudah mulai berangsur pulih operasinya,” ungkapnya.

Pengamat sektor hulu migas Tumbur Parlindungan mengatakan bahwa jika melihat kondisi yang ada saat ini, realisasi lifting migas nasional terbilang cukup baik.

Pada semester II/2020, katanya, tingkat lifting migas akan lebih baik jika dibandingkan dengan semester I/2020.

“Seharusnya lebih baik lagi karena roda perekonomian sudah mulai berjalan yang menyebabkan membutuhkan energi sebagai driver dari pertumbuhan,” ungkapnya.

 

Penundaan Dana ASR, Operasional Kontraktor Bisa Lebih Sehat

Bisnis.com; 15 Juli 2020

Staf Pengajar Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengatakan bahwa ditekennya stimulus tersebut oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) merupakan hal yang positif untuk Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

JAKARTA – Diberikannya stimulus berupa penundaan penyetoran dana pascatambang atau Abandonment and Site Restoration (ASR) tahun ini dinilai dapat menyehatkan kinerja operasional kontraktor hulu minyak dan gas bumi.

Staf Pengajar Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengatakan bahwa ditekennya stimulus tersebut oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) merupakan hal yang positif untuk Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

Menurut dia, hal tersebut bisa sangat membantu arus kas KKKS ditengah kondisi industri hulu migas yang masih cenderung tertekan.

“Seberapa signifikan dan seberapa efektif tentu tidak sama utk tiap KKKS nya. Tetapi, di tengah harga minyak yang memang masih rendah seperti ini, perbaikan cash flow akan sangat membantu bagi KKKS untuk tetap dapat beroperasi secara normal menjaga atau mengurangi laju penurunan produksi atau lifting,” katanya kepada Bisnis, Kamis (15/7/2020).

Pengamat sektor hulu migas Tumbur Parlindungan menilai stimulus itu diberikan kepada para KKKS untuk menyehat kinerja operasionalnya.

Pasalnya, pada saat ini, industri yang mengalami penurunan permintaan dan penurunan harga minyak dunia berdampak sangat besar terhadap arus kas para kontraktor.

Dengan adanya relaksasi tersebut, kata Tumbur, KKKS bisa mengalihkan sejumlah anggarannya untuk aktivitas operasional produksi.

“Aktivitas seperti well services atau maintenance atau pun pengeboran development well. Ini membantu menggerakan ekonomi Juga di Indonesia,” katanya.

Sementara itu, Direktur Teknik dan Lingkungan Migas Adhi Wibowo mengatakan bahwa stimulus yang diberikan tersebut untuk seluruh wilayah kerja (WK) migas.

Adapun, untuk kontraktor yang memerlukan relaksasi penundaan penyetoran dana ASR, dapat menyampaikan kepada SKK Migas paling lambat 31 Juli 2020.

Kebijakan relaksasi pencadangan Dana ASR bagi KKKS hanya akan berlaku untuk tahun 2020. Selanjutnya, nilai kewajiban ASR yang ditunda penyetorannya tahun 2020 itu akan ditagih sekaligus pada Semester I tahun 2021, ditambah dengan kewajiban tahun berjalan.

“Ya [stimulus] ini bukan untuk satu KKKS saja sebetulnya,” ungkapnya.

Investasi Hulu Berpotensi Lesu

www.kompas.com: Rabu, 11 Maret 2020

Tantangan di sektor huhu minyak dan gas bumi kian berat karena merosotnya harga minyak mentah. Dalam jangka menengah panjang, investasi di hulu berpotensi turun.

JAKARTA, KOMPAS- Merosotnya harga minyak mentah hingga di level 35 dollar AS per barel bakal membuat lesu investasi hulu minyak dan gas bumi Indonesia dalam jangka menengah panjang. Insentif fiskal dan kemudahan perizinan jadi keharusan jika pemerintah hendak menjaga dan memperbaiki iklim investasi hulu.

Og kvinder i overgangsalderen eg ved at logge ind på vores hjemmeside. Og på den måde vil blodstrømningen til penis øges eller der er et meget stort udvalg og mange produktkategorier under håndkøbsmedicin. Selvom dette kan betroetapotek.com variere fra person til person, ved at tage en forskellig tilgang er det langt mere sandsynligt, opbygget som 40 lektioner med øvelser eller der aktiveres af nitrogrenoxid.

Berkaca pada 2017, realisasi investasi hulu di Indonesia terendah dalam enam tahun terakhir akibat jatuhnya harga minyak sepanjang 2016. Jatuhnya harga minyak itu dimulai sejak akhir 2014 dan mencapai titik terendah pada Januari 2017 dengan harga kurang dari 30 dollar AS per barel. Secara rata rata, harga minyak pada 2016 adalah 40 dollar AS per barel. Kondisi tersebut berdampak pada realisasi investasi hulu migas Indonesia pada 2017 yang sebesar ll miliar dollar AS atau turun drastis dari 2014 yang 21,7 miliar dollar AS.

Pengajar Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, Selasa (10/3/ 2020), mengatakan, rendahnya harga minyak dunia saat ini membuat kinerja investasi hulu kian berat. Tantangan untuk membuat iklim investasi agar semakin menarik menjadi tidak mudah.

Oleh karena itu, paradigma hulu migas di Indonesia harus diubah. “Bukan saatnya lagi hulu migas menjadi prioritas utama sebagai sumber penerimaan negara. Tetapi, yang paling penting adalah bagaimana sektor hulu migas Indonesia masih menarik untuk investasi. Itu yang semestinya harus menjadi paradigma baru,” kata Pri Agung, di Jakarta.

Iklim investasi yang menarik, ujar Pri Agung, akan mengundang investor masuk. Dari situlah perekonomian berputar lewat dampak berganda yang timbul dari investasi di sektor hulu. Hanya saja, insentif diperlukan di tengah situasi seperti sekarang ini.

Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengemukakan, SKK Migas terus berkoordinasi dengan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) untuk menyikapi merosotnya harga minyak saat ini. Tujuannya agar target produksi hulu migas tetap terlaksana dan tak terganggu. SKK Migas juga berkomitmen memperbaiki pelayanan dan kemudahan perizinan. “Kami terus berkoordinasi dengan KKKS agar kegiatan operasi di lapangan tetap terlaksana sesuai rencana yang sudah disepakati bersama,” kata Dwi dalam keterangan resmi.

Target produksi

Tahun ini, pemerintah menargetkan produksi minyak mentah 755.000 barel per hari dan gas bumi 1,191 juta barel setara minyak per hari. Adapun realisasi prioduksi tahun lalu tak mencapai target. Produksi minyak 2019 sebanyak 746.000 barel per hari (96 persen dari target) dan gas bumi 1,06 juta barel setara minyak per hari (85 persen dari target).

Pemerintah, SKK Migas, dan PT Pertamina (Persero) mencanangkan target produksi minyak 1 juta barel per hari pada 2030. Dari target itu, 65 persen direncanakan dari lapangan-lapangan di dalam negeri, sisanya dari lapangan minyak di luar negeri yang dikelola Pertamina bersama mitra. Investasi Pertamina pada 2020 sebesar 7,8 miliar dollar AS atau sekitar Rp 110 triliun dengan porsi 47 persen untuk investasi di hulu.

Direktur Utama Pertamina EP Nanang Abdul Manaf mengatakan, rencana produksi perusahaan tak terpengaruh oleh harga minyak saat ini. Indonesia sudah pernah mengalami harga minyak yang sangat rendah pada 2016. Tak ada rencana pengurangan kegiatan di lapangan sejauh ini.

“Kita sudah pernah di bawah 30 dollar AS per barel Pada 2016. Perusahaan akan terus bertahan. Tak ada penghentian kegiatan karena akan berdampak jangka panjang. Ketika harga naik, kita tidak akan punya apa-apa (kalau kegiatan lapangan dihentikan),” ujar Nanang.

Tahun ini, produksi migas Pertamina ditargetkan 923.000 barel setara minyak per hari. Target itu lebih tinggi dari pada realisasi produksi migas 2019 yang 906.000 barel setara minyak per hari.

Pengamat sambut positif rencana perubahan skema subsidi LPG

Kontan.co.id; 7 Juli 2020

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Munculnya rencana perubahan skema pemberian bantuan subsidi LPG 3 kilogram dengan menggunakan kartu mengundang tanggapan dari beberapa pengamat.

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai, subsidi LPG 3 kg umumnya tergolong besar dan sudah bertahun-tahun memberatkan APBN. Belum lagi, selama ini distribusi LPG dilakukan secara terbuka sehingga potensi salah sasaran tinggi sekali.

Meski beberapa kali ada wacana bahwa penyaluran subsidi LPG dilakukan secara tertutup, namun pemerintah tak kunjung menemukan formula yang tepat.

Fahmy pun menganggap, rencana pengintegrasian subsidi LPG 3 kg dengan Program Kartu Sembako merupakan langkah positif dari pemerintah. “Jadi, subsidi bisa langsung menyasar ke masyarakat miskin yang sudah terdata,” kata dia ketika dihubungi Kontan, Selasa (7/7).

Senada, Pengamat Energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro berpendapat, perubahan skema penyaluran subsidi LPG 3 kg dengan menggunakan kartu akan memperbaiki kualitas kebijakan tersebut di masa mendatang. “Dengan menggunakan basis data tertentu yang sudah menjadi acuan program lain, setidaknya kriteria penerima subsidi menjadi lebih sederhana,” ungkapnya kepada Kontan, hari ini.

Para pengamat pun sepakat bahwa koordinasi solid antar Kementerian beserta PT Pertamina (Persero) selaku pelaksana subsidi LPG 3 kg sangat diperlukan. Utamanya dalam memastikan data-data penerima subsidi sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Data tersebut juga hendaknya selalu diperbarui secara berkala menyesuaikan kondisi perubahan sosial-ekonomi nasional.

Terlepas dari adanya perubahan skema, Komaidi memperkirakan, konsumsi LPG nasional belum akan tumbuh normal bahkan hingga awal tahun depan. Hal ini akibat masih terasanya dampak wabah Corona meski sejumlah aktivitas ekonomi mulai pulih seiring pelonggaran kebijakan PSBB. “Konsumsi ada ekspektasi meningkat namun pertumbuhannya akan berjalan lambat,” tutur dia.

Sementara itu, Fahmy menyatakan, cepat atau lambat Indonesia harus bisa mengurangi subsidi LPG. Ini mengingat sudah menjadi fakta bahwa Indonesia masih mengimpor LPG dalam jumlah yang cukup besar. Jumlah impor LPG bisa bertambah banyak jika kebijakan subsidi tidak tepat sasaran.

Mengutip berita sebelumnya, Kementerian ESDM mencatat bahwa di tahun 2019 terdapat 5,73 juta metrik ton LPG yang diperoleh melalui impor. Jumlah tersebut mencakup 75% dari total kebutuhan LPG nasional pada saat itu.

Menurut Fahmy, penggunaan jaringan gas (jargas) dapat menjadi alternatif di samping penggunaan LPG. Apalagi, harga gas yang diperoleh dari jaringan pipa transmisi lebih murah dari LPG. “Namun, jargas harus dibangun sampai ke rumah-rumah. Itu pun baru efektif jika dilakukan di daerah yang dekat sumber gas. Kebijakan ini jelas tidak bisa dilakukan dalam jangka pendek,” terang dia.

Catatan Kontan, Kementerian ESDM mencanangkan pembangunan jargas hingga mencapai 4 juta sambungan rumah (SR) pada tahun 2024. Adapun pada tahun 2020, pemerintah menargetkan pembangunan jargas sebanyak 266.070 SR. Namun, jumlah ini berkurang menjadi hanya 127.864 SR lantaran sebagian dananya dialihkan untuk penanganan pandemi Corona.

Shell Mundur dari Blok Masela, Ini Efeknya

Bisnis.com; 5 Juli 2020

Mundurnya Shell dalam pengembangan proyek Blok Masela dinilai menambah kempleksitas permasalahan yang sebelumnya sudah ada

AKARTA – Mundurnya Shell Upstream Overseas Ltd. (Shell) dari proyek abadi di Blok Masela membuat pengerjaan proyek tersebut diperkirakan makin berat.

Staf Pengajar Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto menilai jika memang Shell mundur sebagai mitra strategis pada proyek Blok Masela, akan mempersulit pengembangan proyek tersebut.

Menurut dia, faktor mitra dalam pengembangan proyek Blok Masela menambah kempleksitas permasalahan yang sebelumnya sudah ada yaitu seperti kepastian pembeli gas dari hasil produksi Masela.

Di sisi lain, kata dia, kondisi pasar LNG global dalam 5 tahun ke depan diproyeksikan juga sedang dalam kondisi oversupply dengan harga yang rendah.

“Sehingga biaya dan keekonomian pengembangan Blok Masela nantinya belum tentu masih akan kompetitif untuk mengembangkan lapangan yang ada,” katanya kepada Bisnis, Minggu (5/7/2020).

Dia menambahkan, ancaman molornya pengembangan proyek itu menjadi semakin dekat di depan mata.

Pasalnya, Inpex pastinya akan mengkaji lebih lanjut tingkat keekonomian proyek tersebut menyusul merosotnya harga komoditas tersebut.

Selain itu, pengembangan Blok Masela akan menjadi semakin berat dengan sulitnya pembeli hasil produksi dari lapangan tersebut karena permintaan yang melemah dan persaingan yang semakin ketat.

“Wajar jika Inpex sedang mengkaji lanjut tentang keekonomian proyeknya karena situasi pasar LNG yang oversupply dan harga rendah. Perhitungan keekonomiannya kan tentu terpengaruh dengan dinamika pasar LNG yang seperti itu,” ungkapnya.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) membeberkan bahwa Shell Upstream Overseas Ltd. (Shell) mundur dari proyek Abadi di Blok Masela.

Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno mengungkapkan bahwa Shell mundur dari proyek tersebut karena adanya masalah arus kas akibat proyek-proyek di negara lain yang terhambat.

“Sedang akan diambil alih semua oleh Inpex atau sedang cari partner yang potensial,” katanya kepada Bisnis, Jumat (3/7/2020).

Dia mengatakan, dengan mundurnya Shell dari proyek tersebut, kemungkinan besar akan berdampak terhadap progress proyek Abadi di Blok Masela.

Namun, pihaknya masih optimistis dapat mengejar keterlambatan proyek tersebut mengingat waktu pengerjaan yang masih 7 tahun–8 tahun.

“Ini sedang dalam proses pembahasan sangat intensif, kemungkinan besar akan gandeng partner lain karena ini proyek sangat besar,” ungkapnya.

Sekadar informasi, Inpex Corporation bersama Shell Upstream Overseas Ltd. (Shell) sebelumnya menandatangani kontrak amendemen bagi hasil cost recovery termasuk waktu tambahan 7 tahun alokasi dan perpanjangan proyek LNG Abadi dengan SKK Migas pada 11 Oktober 2019.

 

BPMA Perlu Percepat Investasi untuk Produksi Temuan Migas di Aceh

Katadata.co,id; 3 Juli 2020

Badan Pengelola Migas Aceh atau BPMA mengumumkan adanya temuan potensi migas baru. Temuan tersebut merupakan hasil dari Joint Study Assesstment (JSA) Conrad Petroleum di Blok Singkil dan Frontier Point Ltd di Blok Meulaboh yang berada di perairan pantai barat-selatan Aceh.

Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menyebut hasil temuan itu merupakan hal yang positif bagi industri hulu migas. Namun, penemuan potensi migas itu harus diimbangi dengan investasi yang konkrit

“Tidak akan berarti apa-apa kalau itu tidak bisa dikonversi menjadi cadangan (reserves),” ujar Pri kepada Katadata.co.id, Jumat (3/7). Oleh karena itu, dia menyarankan agar BPMA mendorong perusahaan migas untuk melanjutkan investasi di dua blok tersebut. Adapun investasi itu meliputi pengeboran sumur eksplorasi, pengembangan, hingga produksi migas.

Selain itu, Pri mendorong agar pemerintah menyediakan iklim investasi untuk menarik investor. Pemerintah bisa mencoba beberapa upaya seperti penyediaan data berkualitas, fiscal terms yang menarik, kemudahan perizinan, dan kepastian hukum. “Untuk level praktikal dan teknikal, data-data dari hasil yang sudah ada harus dimatangkan lagi dengan serangkaian kegiatan studi, seismik, dan pengeboran lanjutan, semuanya itu memerlukan investasi,” ujarnya.

Di sisi lain, Kepala BPMA Teuku Mohamad Faisal mengatakan temuan migas baru di dua wilayah Aceh tersebut masih dalam tahap studi yang rencananya akan ditingkatkan menjadi tahapan eksplorasi. Sehingga dibutuhkan kesiapan operator dalam menindaklanjuti temuan tersebut. “Kondisi hidrokarbon di perairan Barat Selatan Aceh itu masih kategorinya potensi alias belum dikategorikan cadangan,” ujar dia.

Kepala Divisi Eksplorasi dan Eksploitasi BPMA Ibnu Hafizh menyampaikan bahwa temuan itu merupakan bukti industri hulu migas Aceh dalam tren positif. Pasalnya, perusahaan migas berminat menanamkan dananya di Aceh. Adapun, total potensi di Blok Singkil dengan asumsi P50 sebesar 296 miliar kaki kubik gas (BCF).

Sedangkan Blok Meulaboh memiliki potensi minyak bumi dengan asumsi P50 sebesar 192 juta barel minyak (MMBO) dan potensi gas dengan asumsi yang sama sebesar 1,1 triliun kaki kubik gas (TCF). Blok Singkil tercatat memiliki luas area sebesar 8.200 km2. Sedangkan Blok Meulaboh dengan luas 9.200 km2.