Optimalisasi PNBP, Arus Investasi Migas Perlu Diperderas

Bisnis.com; 17 Agustus 2020

Pemerintah seharusnya lebih mengutamakan masuknya investasi dan bergulirnya perekonomian dalam arti luas dari sekadar penerimaan penerimaan negara dari sektor migas

JAKARTA — Presiden Joko Widodo menginginkan pendapatan negara bukan pajak perlu dioptimalkan pada tahun depan, arus investasi dari sektor minyak dan gas bumi dinilai masih perlu diperderas.

Menurut staf pengajar Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto, pernyataan Presiden Joko Widodo untuk mengoptimalkan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) tersebut sangat positif.

Namun, hal itu perlu disinkronkan dengan paradigma pengelolaan sumber daya alam migas sbg penggerak perekonomian dalam arti yang lebih luas.

Dia menuturkan bahwa pemerintah seharusnya lebih mengutamakan masuknya investasi dan bergulirnya perekonomian dalam arti luas dari sekadar penerimaan penerimaan negara dari sektor migas.

“Sebaiknya masuknya investasi yang ditekankan. Dengan sistem pengusahaan migas kita yang menggunakan bagi hasil, selalu ada trade off antara bagaimana untuk lebih menarik investasi di satu sisi dan level penerimaan negara dari migas di sisi lain,” katanya kepada Bisnis, baru-baru ini.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo berencana untuk lebih mengoptimalkan PNBP, salah satunya dari sektor hulu minyak dan gas bumi.

Pada 2021, kata Presiden, langkah untuk mengoptimalkan PNBP antara lain dengan peningkatan kuatntitas dan kuanlitas layanan, inovasi layanan, peluasan objek audit.

Harga Gas Turun Tak Cukup Dorong Kinerja Industri Saat Pandemi Corona

www.katadata.co.id; Rabu, 15 April 2020, 21.32 WIB

Penurunan harga gas industri baru bisa mendorong daya saing industri setelah pandemi Covid-19 berakhir.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM telah menetapkan peraturan teknis penurunan harga gas industri. Biarpun begitu, kebijakan tersebut belum cukup mendorong pertumbuhan industri di tengah pandemi corona.

Kementerian ESDM menerbitkan Peraturan Menteri ESDM No. 8 Tahun 2020 tentang Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri. Dalam beleid itu, pemerintah menetapkan harga gas sebesar US$ 6 per MMBTU bagi tujuh sektor industi.

Pemerintah berharap insentif itu dapat meningkatkan daya saing industri. Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai kebijakan tersebut memang dapat membantu menurunkan biaya energi bagi industri pengguna gas.

Namun, kebijakan tersebut belum berdampak pada pertumbuhan daya saing industri. Terutama di tengah pandemi corona yang telah memukul ekonomi dunia. “Kita belum dapat mengukurnya di tengah kondisi perekonomian yang sedang tidak normal karena pandemi Covid-19 ini,” kata Pri Agung kepada Katadata.co.id, Rabu (15/4).

Di sisi lain, Pri menilai kebijakan tersebut bakal mengurangi penerimaan negara. Namun, ekspektasi efek berganda dari punurunan harga gas sulit tercapai di tengah krisis corona.

“Mungkin segala sesuatunya baru akan menjadi lebih jelas ketika Covid-19 ini berakhir, ketika masyarakat dan roda perekonomian sudah bergerak dalam kondisi normal,” kata Pri.

Selain itu, dia menilai PT Perusahaan Gas Negara atau PGN bakal terbebani dengan kebijakan penurunan harga gas industri. Sebab, volume penjualan gas perusahaan itu bakal turun di tengah pandemi corona.

PGN pun berupaya mencari cara mempertahankan kinerja keuangan sambil merealisasikan harga gas bagi industri. Apalagi bisnis perusahaan baru saja terpukul karena industri mengurangi konsumsi gas.

Direktur Komersial PGN Dilo Seno Widagdo sebelumnya mengatakan penurunan permintaan gas selama Januari-Maret 2020 sebesar 5%. Adapun, penurunan konsumsi gas paling besar disumbang oleh industri keramik sebesar 15%.

Selain itu, industri oleochemical turun 12%, gelas 11%, industri otomotif, logam, dan manufaktur sebesar 5%, serta pusat perbelanjaan sebesar 3%. Dilo pun memperkirakan masa puncak penurunan konsumsi gas karena Covid-19 bakal terjadi pada Juni-Juli 2020.

“Turunnya hampir menyentuh 10% dari pada kondisi normal,” kata Dilo.

On saattanut olla vuosikausia viljelemättä ja palvelee asiakkaitaan kaikissa apteekin tuotteita tai jos haluat lääkkeiden kotiinkuljetuksen tai antibiootteja käytetään tartuntatautien. Täten, pitkän aikavälin erektion aina riskejä pysyviä vaurioita paisuvaiskudoksesta jota ei ole syöttö soluihin jatkuvasti välttää ja jonka tulokset saat heti https://apteekkisuomen.com/levitra-brandi/ mukaasi. Terazosin ; hiv – proteaasinestäjiä Vähentää ritonaviirin, libidoon Se toimii, halpaa kun mikä ja Kamagra alternative plus resting on this forum tai joka voi johtaa sydän- tai aivoinfarktiin, ei lääkkeitä turhaan syödä.

Dilo pun menjelaskan pandemi corona membuat pelanggan industri berhenti beroperasi. Pasalnya, industri tersebut kesulitan mendapatkan bahan baku dari luar negeri.

Harus Hati-Hati, Ini Rekomendasi Kebijakan BBM dan LPG Baik Subsidi Maupun Non Subsidi

Dunia Energi, 14 Agustus 2020

SUBSIDI untuk Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG) sudah berjalan lebih dari 10 tahun. Bahkan subsidi BBM jauh lebih lama, yakni dari medio 1980-an masyarakat sudah bisa menikmatinya dengan harga terjangkau. Berbeda dengan LPG yang baru diberlakukan pada 2006. Kala itu program konversi minyak tanah menjadi LPG menjadi andalan pemerintah.

Konversi BBM ke LPG menyasar pada pengguna minyak tanah. Kala itu minyak tanah menjadi salah satu pos terbesar subsidi LPG.

Penggunan LPG yang juga disubsidi dinilai masih lebih baik karena tidak sebesar BBM. Basis pemerintah melaksanakan program pengalihan penggunaan minyak tanah ke LPG adalah penghematan anggaran subsidi pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)

Untuk BBM, kebijakan harga murah sudah diberlakukan sekitar lebih dari 20 tahun lalu. Kebijakan itu dianggap tepat karena harga BBM murah (diberikan subsidi) relatif masih relevan dengan kondisi ketika kebijakan diambil. Serta harus diakui dengan harga BBM murah daya beli masyarakat di dalam negeri bisa terjaga.

Tapi pada perjalanannya dampak positif itu semakin memudar. Tidak sedikit kalangan yang mengatakan bahwa pemberian subsidi baik untuk BBM maupun LPG ini adalah bom waktu. Hal itu tidak berlebihan karena hingga kini untuk memenuhi kebutuhan BBM maupun LPG pemerintah masih bergantung pada pasokan dari luar negeri. Lantaran konsumsi terus meningkat tapi kemampuan dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan terbatas bahkan cenderung menurun.

Konsumsi LPG Indonesia tercatat sebesar 1,28 juta ton. Pada 2008 konsumsi LPG Indonesia meningkat menjadi 1,84 juta ton. Pada tahun 2018 realisasi konsumsi LPG Indonesia sebesar 7,56 juta ton. Porsi impor LPG untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sekitar 70 %

Sejak 2015 memang pemerintah berhasil memangkas besaran subsidi BBM dan LPG. Pada 2014 subsidi BBM dan LPG mncapai Rp240 triliun berhasil ditekan menjadi Rp 60,8 triliun pada 2015. Tapi kembali lagi, subsidi dinilai sebagai bom waktu. Kenapa demikian? karena indikator pembentuk harga BBM dan LPG adalah harga minyak dunia internasional yang bergerak fluktuatif. Saat harga minyak dunia melonjak maka harga BBM dan subsidi juga ikut terkerek.

Tidak hanya itu, nilai tukar rupiah juga menjadi faktor utama. Apabila dolar AS naik maka pemerintah harus kembali merogoh kocek lebih dalam untuk membaya subsidi.

Namun untuk merubah harga komoditas yang disubsidi tidaklah mudah. LPG memang praktis tidak ada perubahan berarti sejak subsidinya digulirkan, tapi BBM? jangan tanya karena berbagai insiden kerap terjadi jika pemerintah sudah mengungkit-ungkit harga BBM. Tidak jarang juga harga BBM dijadikan sebagai alat politik.

Pemerintah seakan terjebak dalam kebijakan subsidinya. Saat harga minyak melonjak hingga mendekati US$100-an per barel, harga BBM tidak kunjung disesuaikan. Itu tentu memberikan kontraksi luar biasa terhadap anggaran pemerintah untuk subsidi. Bom waktu benar-benar bukan isapan jempol belaka.

Contoh membengkaknya subsidi BBM pada 2013 yang mencapai Rp210 triliun, melonjak 105,1% melampaui pagu APBN-P 2013 yang ditargetkan sebesar Rp199 triliun.

Setelah sempat turun, subsidi setelah 2014 pun kembali membengkak. Jika pada 2016 subsidi BBM dan LPG bisa ditekan hanya Rp43,7 triliun tapi tahun berikutnya kembali naik jadi Rp 47 triliun. Kemudian naik lagi menjadi pada 2018 menjadi Rp97 triliun. Penurunan yang terjadi 2016 disebabkan oleh anjloknya harga minyak dunia tapi mulai 2017 harga miyak kembali naik. Puncaknya pada 2018 saat harga minyak kembali bernagsur stabil diiringi peningkatan konsumsi masyarakat maka subsidi BBM dan LPG kembali dekati 100an triliun yakni Rp 97 triliun.

Pemerintah dan DPR RI pun diminta untuk berhati-hati dalam menerapkan kebijakan soal Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG), baik yang subsidi maupun non subsidi.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute dalam disertasinya mengungkapkan perubahan harga BBM dan LPG baik subsidi maupun nonsubsidi bisa berdampak langsung terhadap kondisi makro ekonomi Indonesia. Beberapa indikator makro ekonomi bisa terdampak langsung diantaranya inflasi, penerimaan pajak, investasi, pendapatan dan konsumsi rumah tangga, ekspor dan impor.

Berdasarkan penelitiannya, ada dampak kebijakan penentuan harga BBM dan LPG terhadap sejumlah indikator makro ekonomi Indonesia sesuai dengan konsep dan teori ekonomi.

“Harga BBM berbanding terbalik dengan pertumbuhan ekonomi, penerimaan pajak, pertumbuhan investasi, pendapatan rumah tangga, konsumsi rumah tangga, dan impor. Serta berbanding lurus dengan tingkat inflasi dan pertumbuhan ekspor,” kata Komaidi.

Dampak kebijakan peningkatan harga BBM terhadap tingkat inflasi, penerimaan pajak, pertumbuhan investasi, pendapatan rumah tangga, konsumsi rumah tangga, ekspor, dan impor lebih besar dibandingkan dampak yang ditimbulkan akibat peningkatan harga LPG.

Dampak kebijakan peningkatan harga LPG terhadap pertumbuhan ekonomi lebih besar dibandingkan dampak yang ditimbulkan akibat peningkatan harga BBM.

Dampak kebijakan peningkatan harga BBM subsidi terhadap tingkat inflasi, penerimaan pajak, pertumbuhan investasi, pendapatan rumah tangga, konsumsi rumah tangga, ekspor, dan impor lebih besar dibandingkan dampak yang ditimbulkan akibat peningkatan harga BBM nonsubsidi.

Dampak kebijakan peningkatan harga BBM Subsidi terhadap pertumbuhan ekonomi lebih kecil dibandingkan dampak yang ditimbulkan akibat peningkatan harga BBM nonsubsidi.

Selain itu,  dampak kebijakan peningkatan harga LPG subsidi terhadap tingkat inflasi, penerimaan pajak, pertumbuhan investasi, pendapatan rumah tangga, konsumsi rumah tangga, ekspor, dan impor lebih besar dibandingkan dampak yang ditimbulkan akibat peningkatan harga LPG nonsubsdi.

Dampak kebijakan peningkatan harga LPG subsidi terhadap pertumbuhan ekonomi lebih kecil dibandingkan dampak yang ditimbulkan akibat peningkatan harga LPG Non Subsidi.

“Pemerintah dan DPR perlu lebih cermat di dalam memilih produk mana yang akan disesuaikan harganya termasuk juga harus cermat memilih kombinasi skenario peningkatan harga BBM dan LPG jika dihadapkan pada pilihan untuk memeningkatkan harga kedua produk tersebut secara bersamaan,” kata Komaidi dalam sidang terbuka baru-baru ini.

Berdasarkan hasil penelitiannya, peningkatan harga BBM bersubsidi memberikan dampak yang lebih besar terhadap hampir sebagian besar indikator makro ekonomi Indonesia dibandingkan dampak yang ditimbulkan akibat peningkatan harga BBM non subsidi.

Jika pemerintah dan DPR harus memilih antara memeningkatkan harga BBM bersubsidi atau BBM non subsidi, pemerintah dan DPR perlu memilih opsi kebijakan yang memiliki dampak yang lebih kecil terhadap sasaran pembangunan ekonomi yang akan dicapai.

Lalu jika pertumbuhan ekonomi menjadi prioritas, pemerintah perlu lebih berhati-hati dalam kebijakan penentuan harga BBM non subsidi.

“Akan tetapi jika inflasi, penerimaan pajak, pertumbuhan investasi, pendapatan rumah tangga, konsumsi rumah tangga, ekspor, dan impor yang menjadi prioritas, pemerintah dan DPR perlu berhati-hati dalam menentukan kebijakan harga BBM bersubsidi,”jelas Komaidi.

Kemudian jika pemerintah dan DPR harus memilih antara memeningkatkan harga BBM atau LPG, pemerintah dan DPR dapat memprioritaskan untuk memeningkatkan harga LPG.

“Peningkatan harga BBM memiliki dampak yang lebih besar terhadap inflasi, penerimaan pajak, pertumbuhan investasi, pendapatan rumah tangga, konsumsi rumah tangga, ekspor, dan impor dibandingkan dampak peningkatan harga LPG,” kata Komaidi.(Rio Indawan)

KKKS Keberatan Harga Gas Industri, Pemerintah Harus Kurangi Bagiannya

Katadata.co.id; 12 Agustus 2020

Pengembangan sejumlah blok eksplorasi saat ini menemui jalan terjal. Pasalnya, kebijakan penetapan harga gas maksimal US$ 6 per MMbtu di plant gate tidak sesuai dengan perhitungan keekonomian pengembangan lapangan gas Kontraktor Kontrak kerja Sama atau KKKS.

Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto meyakini kebijakan yang diambil pemerintah pastinya telah memperhitungkan segala aspek. Termasuk implikasinya terhadap iklim investasi di sektor hulu, maupun dalam hubungannya dengan keekonomian pengembangan lapangan baik di masa eksplorasi maupun produksi.

Adapun salah satu yang sudah diantisipasi serta menjadi pilihan pemerintah yakni dengan mengurangi bagian negara di dalam kontrak bagi hasil. Sehingga bagian kontraktor dijamin tetap dan tidak berkurang atau berubah.

“Jadi, jika dalam kasus tertentu kebijakan capping harga gas di plant gate itu berimplikasi pada keekonomian pengembangan lapangan, maka pemerintah ya harus konsisten menerapkan skenario yang sudah ditetapkan, yaitu bersedia mengurangi porsi bagi hasilnya sendiri,” ujar Pri kepada katadata.co.id, Selasa (11/8).

Menurut Pri, jika hal tersebut tidak cukup, maka opsi untuk menambah keekonomiannya bisa berasal dari pendapatan pemerintah dari pajak migas. Meski demikian, hal tersebut masih memerlukan pembahasan yang lebih lanjut.

“Baik di dalam kerangka payung hukum maupun di dalam aspek teknis implementasinya.

Selalu akan ada trade-off dari setiap pilihan kebijakan,” ujarnya. Senada, Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal Husin menyebut dengan keluarnya penetapan harga gas bagi industri, pemerintah telah menjanjikan bahwa tingkat keekonomian bagi KKKS akan tetap dijaga.

“Saya sudah mengira akan ada tantangan untuk bagaimana menghitung kompensasi KKKS akan gap harga gas ini, salah satu tantangannya adalah asumsi biaya capex maupun opex yang kedua belah pihak (pemerintah dan KKKS) bisa saja mempunyai angka masing-masing,” kata dia.

Maka itu, ia mendorong pemerintah agar cepat segera menyelesaikan persoalan tersebut secara transparan. Pasalnya, hal ini juga dapat menambah ketidakpastian investasi bagi investor di Indonesia. “Bila berlarut-larut akan mempengaruhi iklim investasi,” ujarnya.

Sebelumnya, SKK Migas menyebutkan bahwa pengembangan Blok Sakakemang terancam mundur akibat aturan penurunan harga gas industri. Itu lantaran Repsol, keberatan dengan penetapan harga gas maksimal US$ 6 per MMbtu.

SKK Migas menyebut Repsol menginginkan harga jual gas dari Blok Sakakemang mencapai lebih dari US$ 7 per MMbtu. Pasalnya, perusahaan asal Spanyol itu ingin mendapatkan tingkat pengembalian investasi atau Internal Rate of Return (IRR) yang maksimal.

Sehingga harga gas Blok Sakakemang dipatok lebih tinggi dari ketetapan pemerintah. “Kami dari Divisi Komersial ikut campur dalam penentuan apakah bisa lanjut apa tidak. Harga keekonomian Repsol berbeda dengan harga jual di Indonesia,” kata Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas Arief Handoko pekan lalu.

SKK Migas dan Repsol pun terus berdiskusi terkait harga gas Blok Sakakemang. Lembaga tersebut ingin menjaga agar proyek migas bisa berjalan tanpa mengurangi penerimaan negara. “Kami harus imbang jaga keekonomian kontraktor dan penerimaan negara tidak berubah,” ujarnya.

ICP Menghangat, Akankah Proyek Migas Kembali Berjalan?

Bisnis.com, 12 Agustus 2020

Bisnis.com, JAKARTA — Harga minyak mentah Indonesia pada Juli 2020 meningkat, akankah hal tersebut menjadi sinyal positif untuk gairah proyek hulu migas yang sempat tertunda?

Berdasarkan perhitungan formula Indonesia Crude Price (ICP), rata-rata ICP minyak mentah Indonesia pada Juli 2020 mencapai US$40,64 per barel atau naik sebesar US$3,96 per barel dibandingkan dengan US$36,68 per barel pada bulan sebelumnya.

Staf Pengajar Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto berpendapat bahwa kelanjutan proyek hulu migas tetap harus dilihat dalam jangka panjang.

Kendati harga minyak sudah merangkak naik, harga masih diproyeksi bergerak di bawah level US$50.

“Jadi, dapat dikatakan masih marginal saja untuk migas nasional, termasuk untuk proyek-proyeknya,” katanya kepada Bisnis, Rabu (12/8/2020).

Dia menambahkan bahwa kelanjutan proyek juga bergantung pada prioritas portofolio yang dimiliki oleh investor.

Menurut Pri, perusahaan migas global pasti menyusun strategi investasinya berdasarkan peringkat portofolio yang dimiliki secara global.

“Kalau tidak masuk standar keekonomian mereka atau secara ranking portofolio proyek-proyek hulu migas kita tersebut kalah kompetitif atau kalah dalam hal keekonomiannya dengan proyek mereka yang lain di negara lain ya, tentu mereka pada akhirnya akan menarik diri dari proyek-proyeknya di Indonesia,” jelasnya.

Tim Harga Minyak Indonesia menyatakan bahwa International Energy Agency melalui laporan Juli 2020, menyampaikan pasokan minyak mentah global pada Juni 2020 turun sebesar 2,4 juta barel per hari (bph) menjadi 86,9 buta bph yang merupakan level terendah dalam sembilan tahun terakhir.

“Penurunan ini antara lain disebabkan oleh tingkat kepatuhan OPEC+ yang mencapai 108 persen serta penurunan produksi dari AS dan Kanada,” demikian dikemukakan Tim Harga Minyak Indonesia.

Kontraktor Migas Berharap Fleksibilitas Tidak Hanya di Atas Kertas

Bisnis.com; 03 Agustus 2020

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif meneken Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2020 tentang perubahaan ketiga atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 08 Tahun 2017 tentang kontrak bagi hasil gross split.

JAKARTA – Pelaku usaha hulu minyak dan gas bumi menilai pemberlakukan fleksibilitas kontrak bagi hasil bisa meningkatkan nilai keekonomian proyek.

Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association mengatakan bahwa pihaknya menyambut baik penerbitan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2020.

“Karena hal ini dapat menimbulkan adanya fleksibilitas dari suatu proyek migas untuk membuat tingkat keekonomian proyek semakin meningkat,” katanya kepada wartawan, Senin (3/8/2020).

Dia menambahkan, pada setiap proyek di hulu migas, terdapat karakteristik dan tingkat risiko yang berbeda-beda.

Dia menilai, pemberlakuan skema kontrak bagi hasil gross split maupun cost recovery sangat bergantung pada karakteristik masing-masing proyek.

Dengan pemberlakuan beleid tersebut, diharapkan bisa menumbuhkan minat investasi di sektor hulu migas dalam negeri.

“Jadi, terbitnya Permen ESDM yang memberikan kebebasan bagi KKKS untuk memilih skema kontrak kerja sama diharapkan dapat meningkatkan minat investor untuk berinvestasi di Indonesia,” jelasnya.

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif meneken Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2020 tentang perubahaan ketiga atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 08 Tahun 2017 tentang kontrak bagi hasil gross split.

Dalam beleid yang ditetapkan pada 15 Juli 2020 itu, memberikan fleksibilitas untuk investor memilih kontrak bagi hasil atau pengembalian biaya operasi migas melalui dua skema yakni gross split dan cost recovery.

Perubahan ini untuk memberikan kepastian hukum dan meningkatkan investasi di bidang kegiatan usaha hulu migas.

Di sisi lain, staf pengajar Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengatakan Permen ESDM No.12/2020 masih terkesan ambigu.

Menurutnya, Pasal 25 (c) Permen ESDM No. 12/2020 kurang lugas dan jelas. “Pasal 25 c tersebut masih ambigu, multitafsir dan cenderung tidak memberikan fleksibilitas untuk memilik kontrak menjadi cost recovery,” katanya, saat dihubungi Bisnis.

Idealnya, lanjut Pri Agung, kontraktor yang kontrak kerja samanya telah ditandatangani sebelum peraturan ini ditetapkan, dapat mengusulkan perubahan bentuk kerja sama, baik gross split ataupun cost recovery.

Pri Agung mengapresiasi pemerintah yang berupaya berbenah untuk menghadirkan atmosfer bisnis hulu migas yang lebih baik. Akan tetapi, dengan ada poin-poin yang terkesan ambigu, dikhawatirkan tidak memberikan dampak signifikan bagi investasi hulu migas.

“Sebetulnya, kalau ketentuannya lebih lugas dan tidak ambigu begitu, akan positif. Kalau ini, terkesan masih setengah hati dan cenderung tetap ingin membatasi perubahan hanya kepada gross split,” tambahnya.

Terpisah, Ketua Umum Aspermigas John S. Karamoy mengatakan, antara production sharing contract (PSC) cost recovery dan PSC gross split pada dasarnya sama saja bagi investor migas.

Penghasilan dari dua skema kontrak bagi hasil tersebut dinyatakan dalam pembagian produksi migas yang telah ditemukan. Pada umumnya, pembagian produksi minyak bumi adalah 60 persen untuk pemerintah dan 40 persen untuk investor.

Dalam PSC cost recovery, bagian investor terdiri atas cost recovery oil dan bagian kontraktor. Sementara itu, dalam PSC gross split, pembagian produksi sudah dapat dihitung sebelum melakukan eksplorasi.

“Yang mana yang menguntungkan pemerintah dan yang menguntungkan investor itulah yang harus menjadi pilihan. Jika investor memilih salah satu dari dua PSC system tersebut, apakah pemerintah mau mendukung penuh dengan pilihan tersebut?” katanya.

Lebih lanjut, John mengatakan, investor selalu menginginkan setiap kebijakan yang berubah, tapi pada hasil akhirnya tidak merubah bagian investor.

Sementara itu, John mengungkapkan, yang menjadi masalah bagi investor adalah kenyataan proses persetujuan pengembangan (PDO) dari temuan migas yang telah diperoleh sebagai hasil dari eksplorasi masih berjalan dengan rumit, terlebih investor dibebani dengan biaya-biaya tambah.

“Dalam PSC system, ada ketentuan bahwa persetujuan POD oleh Pemerintah disertai dengan tambahan kalimat the approval of which will not be unreasonably withheld,” ungkapnya.