Gelombang Kedua Covid-19 Tekan Harga Minyak

Bisnis.com, 28 September 2020

Bisnis.com, JAKARTA – Adanya gelombang kedua penyebaran Covid-19 di sejumlah negara ditenggarai sebagai faktor penekan melempemnya harga minyak dunia.

Seperti dilansir dari Bloomberg, harga minyak kembali tertekan setelah sempat naik ke level US$43 per barel di akhir Agustus lalu, seiring dengan munculnya tanda-tanda kebangkitan kembali pandemi yang membuat sejumlah negara memberlakukan lockdown lagi.

Staf Pengajar Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengatakan melemahnya harga minyak dunia disebabkan oleh adanya sentimen menurunnya permintaan komoditas tersebut seiring dengan diberlakukannya lockdown jilid II di berbagai negara yang mencatatkan kembali peningkatan kasus positif Covid-19.

Sementara itu, sentimen perang di Timur Tengah justru seharusnya bisa meningkatkan harga minyak dunia. Tetapi, pada kenyataannya harga minyak dunia belum bisa merangkak naik.

“Sentimennya karena itu [gelombang kedua Covid-19]. Selain itu kan biasa di dalam trading ada profit taking,” katanya kepada Bisnis, Senin (28/9/2020).

Senada, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menjelaskan, kontributor terbesar pergerakan harga minyak dunia pada pekan lalu adalah penyebaran Covid-19 yang kembali naik.

“Saya kira Covid menjadi kontributor terbesar. Bursa saham di Eropa juga lumayan dalam jatuhnya akibat ketakutan perkembangan Covid-19 tersebut,” katanya kepada Bisnis, Senin (28/9/2020).

Harga minyak West Texas Intermediate untuk pengiriman November melemah 0,9 persen menjadi US$39,88 per barel di New York Mercantile Exchange per pukul 7.58 pagi waktu London setelah turun 2,1 persen minggu lalu.

Sementara harga minyak Brent untuk kontrak November penyelesaian turun 0,8 persen menjadi US$41,58 di ICE Futures Europe Exchange setelah jatuh 2 persen pada hari Jumat.

Berdasarkan data Bloomberg per pukul 18.00 WIB, harga minyak WTI Crude Oil menguat 0,52 persen ke level US$40,44 per barel, sedangkan harga minyak Brent di bursa ICE naik 0,41 persen ke level US$42,09.

Kewajiban Cadangan Operasional BBM Bisa Menambah Beban Badan Usaha

Dunia Energi, 25 September 2020

JAKARTA – Penyediaan cadangan operasional bahan bakar minyak (BBM) oleh badan usaha yang disyaratkan oleh pemerintah dinilai bisa menambah beban para pelaku usaha. Padahal seharusnya ketersediaan cadangan BBM itu jadi tugas dan kewajiban negara.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengatakan jika ada kewajiban penyediaan cadangan BBM, maka hal ini akan menjadi beban bagi badan usaha lantaran ada nilai yang ditimbun dan tidak bisa menjadi cash flow.

“Karena selama periode tertentu mandatori akan ada nilai uang tertentu yang tidak bisa menjadi cashflow, yang dalam bisnis itu sangat penting,” kata Komaidi di Jakarta, Kamis (24/9).

PT Pertamina (Persero) selama ini dikenai beban penyediaan cadangan BBM yang kemudian diimplementasi dengan cadangan operasional perusahaan. Hanya saja Pertamina masih memiliki peluang untuk memperoleh kompensasi atas penyediaan cadangan ini dari tempat lain, seperti pengurangan setoran dividen.

Menurut Komaidi, perlakuan serupa yang akan menjadi masalah jika aturan baru nanti tetap jalan. “Karena hal ini tidak akan bisa dilakukan oleh badan usaha yang terkena mandatori tersebut,” ujar Komaidi.

Jika pencadangan operasional mau diwajibkan ke badan usaha, maka negara harus memperhitungkan nilai uang yang dicadangkan. Jadi harus memberikan imbalan pada badan usaha yang ditugaskan.

“Bagaimanapun bagi badan usaha itu kan masalah usaha. Ibaratnya yang triliun ditaruh di pasar uang sehari saja, ada imbalannya. Apalagi ini sampai 17 hari,” ungkap Komaidi.

Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) tengah menyusun aturan yang mewajibkan badan usaha memiliki cadangan niaga BBM mulai tahun depan. Dalam beleid tersebut, badan usaha diwajibkan cadangan niaga BBM hingga 23 hari dalam lima tahun ke depan. Kewajiban ini dilakukan bertahap mulai tahun ini, yakni cadangan BBM untuk 11 hari di 2020 dan 2021, 17 hari di 2022-2023, dan menjadi 23 hari mulai 2024 dan seterusnya.

Henry Achmad, Anggota Komite BPH Migas, mengatakan badan usaha diwajibkan memiliki cadangan niaga BBM secara berkesinambungan pada jaringan distribusi niaganya di dalam negeri selama 23 hari dalam kurun waktu lima tahun. Volume cadangan ini akan disesuaikan dengan realisasi penjualan BBM badan usaha.

Badan usaha juga wajib menyampaikan laporan terkait pelaksanaan penyediaan cadangan tersebut. Laporan ini mencakup realisasi penyaluran rata-rata harian, volume harian cadangan niaga umum BBM, lokasi dan kapasitas fasilitas penyimpanan. Badan usaha juga harus memberikan data pendukung seperti berita acara serah terima BBM, berita acara stok opname fisik, rekapitulasi penyaluran BBM pada fasilitas penyimpanan, serta data lain terkait pelaksanaan penyediaan cadangan niaga umum BBM.

“Penyediaan yang dimaksud dihitung dari volume penyaluran harian rata-rata pada tahun sebelumnya. Dalam hal pemegang izin usaha baru memulai kegiatan niaga umum BBM, perhitungan penyaluran harian rata-rata menggunakan perencanaan volume penyaluran harian pada tahun berjalan,” kata Henry.

BPH Migas nantinya dapat menjatuhkan sanksi adminitratif berupa teguran tertulis dan denda kepada badan usaha yang melakukan pelanggaran. Sanksi teguran tertulis dikenakan paling banyak dua kali untuk jangka waktu paling lama masing-masing tiga bulan.(RI)

Industri Batu Bara dan Listrik Nasional

Investordaily, 21 September 2020

Komaidi Notonegoro : Direktur Eksekutif ReforMiner Institute

Saat ini peran batu bara dalam pasokan listrik nasional cukup signifikan. Ber dasarkan data yang ada, total kapasitas pembangkit listrik nasional per Februari 2020 sekitar 69,6 GW. Dari jumlah tersebut, sekitar 34,37 GW (49,9%) di antaranya merupakan PLTU atau pembangkit listrik yang umumnya menggunakan energi primer batu bara.

Porsi batu bara dalam bauran energi primer pembangkit listrik nasional untuk beberapa tahun ke depan kemungkinan akan semakin meningkat. Hal tersebut mengingat dari total tambahan kapasitas pembangkit sekitar 56,4 GW yang direncanakan dalam RUPTL 2019-2028, sekitar 27,06 GW atau 48 % di antaranya adalah PLTU.

Data menunjukkan tahun 2019 realisasi kebutuhan batu bara un tuk PLTU yang dioperasikan PLN sekitar 97,72 metrik ton. Jika mengacu pada RUPTL 2019-2028, kebutuhan batu bara PLN diproyeksikan terus meningkat dan menjadi sekitar 152,63 juta metrik ton pada 2028.

Kebutuhan batu bara untuk kelistrikan nasional tentu lebih besar dari nilai tersebut jika mengingat PLTU tidak hanya dioperasikan PLN tetapi juga pembangkit listrik non-PLN atau indepent power producer (IPP).

Kebijakan Harga

Terbitnya Kepmen ESDM No 261 K/30/MEM/2019 tentang Pemenuhan Batubara Dalam Negeri Tahun 2020 menegaskan bahwa batu bara memiliki peran penting tidak hanya bagi keberlanjutan pasokan listrik tetapi juga harga jual listrik di dalam negeri. Salah satu poin penting yang diatur dalam regulasi tersebut adalah harga jual batu bara untuk penyediaan tenaga listrik ditetapkan sebesar US$ 70 per metrik ton. Kebijakan tersebut untuk menjaga BPP listrik tetap terkendali agar pemerintah tidak perlu menaikkan harga jual listrik untuk masyarakat.

Sebelum regulasi tersebut terbit, pemerintah telah menerbitkan Kepmen ESDM No 1395 K/30/ MEM/2018 dan Kepmen ESDM No 1410 K/30/MEM/2018 yang secara substansi mengatur hal yang sama, yaitu mengenai harga jual batu bara untuk penyediaan tenaga lstrik untuk kepentingan umum.

Kepmen ESDM tersebut merupakan aturan pelaksana dari sejumlah regulasi yang secara hierarki berada di atasnya, seperti PP No 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Permen No 7/2018 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral dan Batubara, dan Pemern ESDM No 25/2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.

Sampai dengan saat ini biaya penyediaan listrik dari batu bara tercatat sebagai salah satu yang paling murah. Statistik PLN 2019 menyebutkan bahwa rata-rata biaya operasi yang meliputi biaya bahan bakar, biaya pemeliharaan, penyusutan, beban bunga, biaya pegawai, dan biaya lain-lain untuk pembangkit batu bara (PLTU) sebesar Rp 653,12 per kWh. Biaya tersebut lebih rendah dari rata-rata biaya operasi pembangkit yang menggunakan energi primer BBM (PTLD) sebesar Rp 3.308,26 per kWh dan biaya operasi pembangkit yang menggunakan gas (PLTG) Rp 2.570,03 per kWh.

Jika dibandingkan dengan pembangkit listrik berbahan bakar BBM dan gas, seluruh komponen biaya operasi untuk pembangkit PLTU pada 2019 tercatat lebih rendah. Biaya energi primer atau bahan bakar, misalnya, rata-rata biaya yang diperlukan untuk memproduksi listrik dari batu bara adalah Rp 445,85 per kWh.

Sedangkan rata-rata biaya bahan bakar untuk memproduksi listrik dari BBM dan gas pada tahun yang sama masing-masing Rp 2.454,32 per kWh dan Rp 1.908,93 per kWh.

Untuk tahun 2019, rata-rata porsi biaya energi primer atau bahan bakar terhadap total biaya pembangkitan sekitar 75%. Berdasarkan porsi tersebut, penyediaan listrik dengan biaya bahan bakar yang lebih murah secara umum akan menghasilkan total biaya operasi penyediaan listrik yang lebih rendah. Karena biaya bahan bakar berupa batu bara relatif lebih murah dibandingkan energi fosil yang lain, maka secara keseluruhan biaya penyediaan listrik dari batu bara juga menjadi lebih murah.

Relatif lebih murahnya biaya penyediaan listrik dari batu bara salah satunya karena batu bara untuk penyediaan listrik diberikan harga khusus sebesar US$ 70 per metric ton, yang notabene lebih rendah dari harga pasar. Jika kebijakan harga khusus batu bara untuk listrik tidak lagi diberlakukan, hampir dapat dipastikan biaya penyediaan listrik dari batu bara akan lebih mahal dibandingkan biaya saat ini. Tingkat kemahalannya akan ditentukan oleh seberapa besar selisih antara harga khusus batu bara dan harga pasar yang berlaku ketika harga khusus untuk listrik ditiadakan.

Mencermati kondisi tersebut, pemerintah kiranya perlu menimbang dan mengkaji ulang apakah kebijakan pemberian harga khusus batu bara untuk pembangkit listrik masih perlu dilaksanakan atau sudah mengharuskan adanya alternative dan transisi kebijakan.

Dengan mencermati sejumlah aspek, penghentian kebijakan harga khusus batu bara untuk pembangkit listrik pada dasarnya hanya soal waktu. Kebijakan pemberian harga khusus batu bara untuk pembangkit listrik dapat dilaksanakan saat ini kemungkinan karena volume batu bara yang harus diberikan harga khusus relative masih dalam batas toleransi pelaku usaha.

Kemungkinan yang lain, volume batu bara untuk pembangkit listrik yang harus diberikan harga khusus masih dapat dipenuhi dari hasil produksi BUMN yang notabene dapat diintervensi oleh pemerintah.

Akan tetapi, dalam beberapa tahun ke depan ketika sejumlah proyek pembangkit batu bara termasuk proyek-proyek dalam 35.000 MW beroperasi, kebutuhan batu bara untuk pembangkit listrik kemungkinan akan meningkat signifikan dan tidak cukup mengandalkan pasokan dari BUMN.

Ketika sudah melibatkan produsen batu bara non-BUMN di dalam pemenuhannya, pemerintah kemungkinan akan relatif lebih sulit untuk tetap dapat melaksanakan kebijakan harga khusus batu bara untuk pembangkit listrik. Apalagi jika nantinya kebutuhan dan harga batu bara di pasar internasional semakin meningkat.

*) Direktur Eksekutif ReforMiner Institute dan Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti

RI Resesi, Harga BBM Perlu Turun Nggak Ya?

CNBC, 22 September 2020

Jakarta, CNBC Indonesia – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati baru saja mengungkapkan perkiraan ekonomi Indonesia di kuartal III 2020 ini berada di kisaran minus 2,9% sampai minus 1,0%. Ini artinya, Indonesia masuk ke resesi ekonomi, karena pada kuartal II 2020 ekonomi juga sudah mengalami minus 5,32%.

Ketika negara mengalami resesi ekonomi, apakah harga bahan bakar minyak (BBM) perlu diturunkan, mengingat daya beli masyarakat juga akan menurun selama resesi?

Menurut Pri Agung Rakhmanto, ahli ekonomi energi dan juga pendiri ReforMiner Institute, jika harga BBM diturunkan memang secara relatif akan menjadi lebih rendah atau lebih terjangkau masyarakat, tergantung seberapa besar penurunan harganya. Namun ini tidak menjamin akan mendorong konsumsi masyarakat karena daya beli yang memang turun dan kondisi pandemi Covid-19 ini juga membuat tingkat konsumsi turun.

“Jadi, hal yang mestinya merupakan sisi positif dari diturunkannya harga BBM ini pun menjadi tidak pasti karena kondisi yang ada,” tuturnya kepada CNBC Indonesia melalui pesan singkat pada Senin (22/09/2020).

Lalu, dari sisi faktor yang sangat memengaruhi perhitungan harga BBM seperti harga minyak dan kurs, menurutnya resesi ekonomi Indonesia tidak berkaitan langsung dengan level harga minyak dunia. Nilai tukar rupiah (kurs) juga berpotensi melemah ketika resesi, sehingga justru akan semakin menaikkan biaya dalam pengadaan BBM.

“Jadi dari sudut pandang biaya, sebetulnya relatif tidak ada relevansi untuk menurunkan harga BBM ketika ekonomi nasional resesi, selain untuk mencoba mengangkat daya beli dan konsumsi, yang berdasarkan penjelasan di atas tidak pasti,” jelasnya.

Menurutnya penurunan harga BBM akan berdampak pada keuangan Pertamina dan badan usaha lain penyedia BBM. Dalam hal ini, lanjutnya, harus dihitung secara matang antara potensi manfaat yang diperoleh dengan risiko yang mungkin timbul.

“Jangan sampai penurunan harga BBM membuat kemampuan badan usaha di dalam menyediakan BBM menjadi terganggu,” ujarnya.

Sementara dari sisi risiko terkait pertimbangan politis, menurutnya menurunkan harga BBM relatif lebih mudah diterima secara politis, tetapi akan menimbulkan risiko politis lebih besar ketika pemerintah nantinya mencoba menaikkan atau menyesuaikan lagi.

“Ini juga perlu dipertimbangkan secara matang di dalam memutuskan perlu tidaknya menurunkan harga BBM saat resesi ini,” pungkasnya.

Saat ini harga BBM di luar diesel non-subsidi rata-rata di bawah Rp 10.000 per liter. Untuk harga bensin dengan RON 92 ke atas rata-rata sekitar Rp 9.000- Rp 9.130 per liter. Untuk harga bensin dengan nilai oktan (RON) 90 seperti merek Pertalite yang dimiliki Pertamina sekitar Rp 7.650 per liter, kecuali beberapa wilayah seperti Denpasar dan Tangerang Selatan yang diturunkan setara harga Premium (RON 88) yakni sekitar Rp 6.450 per liter. Sementara solar subsidi masih di harga Rp 5.150 per liter.

Sebelumnya, terkait proyeksi perekonomian RI di kuartal III 2020 ini, Sri Mulyani mengatakan, “Kemenkeu yang tadinya melihat ekonomi kuartal III minus 1,1% hingga positif 0,2%, dan yang terbaru per September 2020 ini minus 2,9% sampai minus 1,0%. Negatif teritori pada kuartal III ini akan berlangsung di kuartal IV. Namun kita usahakan dekati nol.”

Untuk diketahui ekonomi kuartal I-2020 masih positif di 2,97% sementara ekonomi di kuartal II-2020 minus 5,32%. Jika terjadi dua kuartal berturut-turut ekonomi negatif atau kontraksi maka Indonesia masuk resesi.

Pengamat: Pertimbangan harga jadi alasan proyek migas mundur dari jadwal

Kontan.co.id; 22 September 2020

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah proyek minyak dan gas bumi (migas) yang sedianya dapat onstream di kuartal III 2020 terpaksa harus mundur ke kuartal IV 2020.

Pengamat Energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai harga masih menjadi pertimbangan utama dalam kepastian onstream sebuah proyek.

“Dengan harga yang relatif rendah tidak terdapat insentif bagi produsen migas untuk mempercepat produksi,” ujar Komaidi kepada Kontan.co.id, Senin (21/9).

Komaidi melanjutkan, pembahasan keekonomian proyek kemungkinan jadi penyebab penundaan proyek. Di sisi lain, hampir sebagian besar produsen migas memilih untuk menahan produksi.

“Dampak utama jika tetap dipaksakan onstream tentu mempengaruhi harga jual yang lebih rendah,” kata Komaidi.

Komaidi menilai, dalam kondisi saat ini solusi yang mungkin dilakukan yakni tetap menjaga produksi dalam batas tertentu sesuai keperluan.

“Menjaga tingkat produksi dan ada aspek target penerimaan negara terkait hal tersebut sehingga juga harus dipertimbangkan,” pungkas Komaidi.

 

Masa Depan Bisnis LNG Indonesia Tergantung Inisiatif Pemerintah

Dunia Energi, 16 September 2020

JAKARTA – Bisnis gas alam cair atau Liquefied Natural Gas (LNG) Indonesia tengah menjadi sorotan lantaran baru saja kehilangan salah satu kontrak jual beli LNG penting yakni Western Buyer Extention (WBX) yang memutuskan tidak memperpanjang kontraknya yang habis pada tahun ini. Kontrak dengan WBX merupakan salah satu kontrak LNG terbesar yang dibuat oleh Indonesia, bahkan menjadi salah satu yang terbesar di dunia.

Kini berbagai pihak menerka-nerka seperti apa masa depan bisnis LNG Indonesia setelah ditinggal salah satu pembeli terbesarnya di tengah berbagai ketidakpastian berbagai indikator ekonomi seperti sekarang ini.

Pri Agung Rakhmanto, pengamat migas dari Universitas Trisakti, mengatakan harus diakui situasi pasar LNG global sudah lima tahun terakhir cenderung oversupply sehingga harga tertekan. Selain itu, saat ini  sudah banyak sumber pasokan di luar yang memberikan harga jual lebih murah, seperti dari Australia, Qatar, Malaysia, termasuk juga dari Amerika Serikat dengan kelebihan produksi shale gas.

“Situasi ini kemungkinan masih akan berlangsung 2-3 tahun ke depan. Bisa juga lebih lama karena diperparah demand yang makin turun karena pandemi covid,” kata Pri Agung kepada Dunia Energi, Rabu (16/9).

Menurut Pri Agung, wajar sekali keputusan pembeli dari Jepang (WBX) tidak melanjutkan kontrak pembelian LNG dari kilang Bontang. Nasib proyek LNG nasional ke depan akan sangat bergantung kepada bagaimana kepiawaian para pengambil kebijakan di tanah air (pemerintah) di dalam bagaimana bisa mencari market dan mendapatkan pembelinya.

Agar LNG Indonesia diminati oleh konsumen maka harga yang kompetitif bisa jadi solusi.

“Untuk membuat harga kompetitif, salah satu opsi yang bisa diambil adalah dengan mengurangi porsi bagian negara di dalam komponen harga jual gas atau LNG kita,”  kata Pri Agung.

Dia pun mengingatkan bahwa yang perlu diutamakan dari Proyek gas atau LNG adalah bagaimana agar proyek itu tetap berjalan, sehingga investasi mengalir masuk dan ujungnya mampu menimbulkan multiplier effect ekonomi. “Jadi bukan lagi penerimaan negara langsung yang diutamakan. Insentif fiskal juga perlu diperluas, misal pembebasan PPn, PBB, bea masuk impor, dan pajak-pajak tidak langsung ataupun retribusi daerah,” ungkapnya.

Selain itu, pasar domestik juga jangan sampai dilupakan dan perlu dimaksimalkan. Hanya saja menurut Pri Agung, lagi-lagi kuncinya memang di harga jual LNG. Jadi baik pasar luar maupun domestik, salah satu syarat untuk bisa mendapatkan pembeli LNG adalah harganya harus lebih kompetitif. “Jadi, semua effort perlu lebih difokuskan untuk ke arah itu,” kata Pri Agung.(RI)

BUMN Khusus dalam RUU Cipta Kerja dihapus, begini tanggapan SKK Migas dan Pengamat

Kontan, 14 September 2020

JAKARTA. Pemerintah dan DPR sepakat menghapus rencana pembentukan Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMNK) sebagai pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi (migas) dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Cipta Kerja.

Menanggapi kabar tersebut, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengakui siap mengikuti ketentuan pemerintah.

Asal tahu saja, ketentuan BUMN Khusus dalam RUU Cipta Kerja memang diafiliasikan dengan SKK Migas. Kehadiran BUMN Khusus berpotensi menghapus SKK Migas.

Nantinya, institusi ini berganti menjadi Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMNK). Poin tersebut tertera dalam pasal 4A dan pasal 64A terkait perubahan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

“Hanya saja kami minta agar apapun keputusannya, harus memberikan kepastian berusaha bagi investor sehingga industri hulu migas Indonesia dapat dijaga keberlangsungan nya,” ujar Plt Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Susana Kurniasih kepada Kontan.co.id, Senin (14/9).

Di sisi lain, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menjelaskan langkah melepas ketentuan pembentukan BUMN Khusus kemungkinan berkaitan dengan proses RUU Migas yang masih berjalan.

Artinya, pembentukan BUMN Khusus masih mungkin tertuang dalam RUU Migas nantinya. “Dalam hal ini UU tersebut tidak membatalkan UU yg ada sebelumnya hanya mengubah beberapa ketemtuan yg dinilai jadi penghambat saja,” jelas dia kepada Kontan.co.id, hari ini.

Komaidi melanjutkan, pemerintah juga perlu memperjelas konsep pembentukan BUMN Khusus yang dimaksud, termasuk penjelasan seputar kebutuhan akan kehadiran BUMN Khusus.

Dia pun tak menampik, pembentukan BUMN khusus bakal memberi dampak pada proses hulu migas tanah air. “Tergantung konsepnya seperti apa. Pembentukan dari nol atau mengubah bentuk institusi yang sudah ada. Penyesuaiannya akan memerlukan waktu lagi,” ungkap Komaidi.

Ia menilai, pemerintah perlu melakukan kajian mendalam soal kebutuhan BUMN Khusus. Ia menyarankan agar pembentukan BUMN Khusus juga tidak sekedar ajang uji coba pasalnya industri hulu migas berpotensi menjadi korban.

RUU Migas jalan di tempat

Dalam catatan Kontan.co.id, Pemerintah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) memastikan akan ada dua regulasi yang masuk dalam pembahasan Program Legislasi nasional (Prolegnas) yakni UU Energi Baru Terbarukan dan UU Migas.

Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto mengungkapkan dari kedua UU tersebut, Komisi VII akan memprioritaskan UU Energi Baru Terbarukan untuk segera dituntaskan.

“DPR dari sisi prioritas yang akan kita tuntaskan adalah EBT. (pengembangan) EBT harus dimulai,” ungkap Sugeng dalam diskusi virtual, Sabtu (29/8).

Sugeng melanjutkan, pembahasan UU Migas masih terkendala Daftar Isian Masalah (DIM) pemerintah yang tak kunjung siap. DPR bahkan menyatakan siap menyerahkan inisiatif UU Migas ke tangan pemerintah jika tak kunjung ada perkembangan.

Menanggapi dinamika yang terjadi, Ekonom Senior Faisal Basri menilai pembahasan UU Migas tidak dianggap penting oleh pemerintah dan DPR.

“Ini undang-undang udah lama sekali. Saya nangkepnya mungkin tidak penting tuh UU Migas. Tadinya inisiatif DPR terus bolanya mau di gocek ke pemerintah,” kata Faisal dalam kesempatan yang sama.

Menurutnya, pembahasan kedua UU harusnya bisa dilakukan secara paralel. Kendati demikian, Faisal mengungkapkan jika dilihat dari sisi ekonomi politik maka pembahasan UU Migas yang seperti dianaktirikan dapat dipahami karena ada perbedaan oligarki.

Menurutnya, tidak banyak pengusaha migas nasional yang masih tersisa, sementara masih banyak pengusaha EBT yang tersisa dan punya kepentingan

Menyoal Kebijakan Niaga BBM

Bisnis.com; 09 September 2020

Oleh:

Komaidi Notonegoro (Direktur Eksekutif ReforMiner Institute)

Email   : komaidinotonegoro@gmail.com – HP : 081 553 133 252

UU No.22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menetapkan niaga BBM merupakan bagian dari kegiatan usaha hilir migas yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan. Untuk pelaksanaannya, kegiatan usaha niaga BBM ditetapkan dapat dilakukan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi usaha kecil, dan badan usaha swasta.

UU tersebut menetapkan pelaksanaan kegiatan niaga BBM dilaksanakan melalui mekanisme izin usaha. Badan usaha dapat melaksanakan kegiatan usaha niaga BBM setelah mendapatkan izin usaha dari Pemerintah. Sementara untuk harga BBM diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.

Secara makro Peraturan Pemerintah (PP) No.36/2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi yang merupakan aturan pelaksana dari UU Migas No.22/2001 juga mengatur hal yang sama. Perbedaannya, pada PP tersebut dilakukan pengaturan lebih detil mengenai seperti bagaimana prosedur, teknis, dan tahapan untuk memperoleh izin usaha niaga BBM.

Konsistensi Kebijakan

Permasalahan mengenai konsistensi kebijakan niaga BBM tercatat mulai terjadi sekitar tiga tahun pasca UU No.22/2001 diundangkan. Pada 12 Desember 2004 Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) yang menyerahkan harga BBM pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. MK berpendapat harus terdapat campur tangan pemerintah dalam kebijakan penentuan harga BBM karena merupakan cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup masyarakat luas.

Pada Maret 2009 pemerintah melakukan perubahan terhadap PP No.36/2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi melalui PP No.30/2009. Perubahan dilakukan untuk mengubah ketentuan Pasal 72 yang sebelumnya menetapkan bahwa “Harga BBM diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan” menjadi “Harga BBM diatur dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah”.

Regulasi lain yang terkait, pada 16 November 2005 pemerintah menerbitkan Perpres No.71/2005 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Jenis BBM Tertentu. Perpres tersebut kemudian diubah dengan Perpres No.45/2009. Pemerintah juga menerbitkan Perpres No.22/2005, Perpres No.55/2005, Perpres No.9/2006, dan Perpres No.15/2012 yang semuanya mengatur mengenai harga jual BBM di dalam negeri.

Pada Desember 2014, pemerintah kemudian mengundangkan Perpres 191/2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM. Pada saat yang bersamaan, sebagai aturan pelaksanaannya pemerintah menerbitkan Permen ESDM No.39/2014 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran BBM. Dalam perkembangannya Perpres No.191/2014 kemudian diubah dengan Perpres No.43/2018.

Sementara untuk Permen ESDM No.39/2014 tercatat telah dilakukan perubahan hingga enam kali, masing-masing melalui Permen ESDM No.4/2015, Permen ESDM No.39/2015, Permen ESDM No.27/2016, Permen ESDM No.21/2018, Permen ESDM No.34/2018, dan Permen ESDM No.40/2018. Berdasarkan catatan, semua Menteri ESDM -termasuk PLT- pada Kabinet Pemerintahan Presiden Jokowi Jilid I melakukan perubahan terhadap permen ESDM No.39/2014.

Pada pemerintahan Presiden Jokowi Jilid II juga terjadi penyesuaian kebijakan terkait niaga BBM meskipun tidak dilakukan melalui perubahan yang ketujuh atas Permen ESDM No.39/2014. Pada Februari 2020, pemerintah menerbitkan Kepmen ESDM No.62. K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis BBM Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui SPBU dan/atau SPBN (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan).

Dari perspektif kebijakan publik, perubahan kebijakan niaga BBM yang cukup sering tersebut dapat dibaca bahwa pemerintah seolah tampak responsif dengan situasi, kondisi, dan perkembangan yang ada. Akan tetapi dari perspektif bisnis dan sudut pandang pelaku usaha niaga BBM, perubahan kebijakan yang terlalu sering merupakan refleksi ketidakpastian usaha dan akan menjadi disinsentif.

Dalam pelaksanaan kegiatan bisnis di sektor apapun, perubahan kebijakan yang terlalu sering akan menyulitkan pelaku usaha. Perubahan kebijakan umumnya akan berbanding lurus dengan tingkat risiko bisnis. Semakin sering kebijakan dalam suatu segmen bisnis dilakukan penyesuaian, risiko bisnis pada segmen bisnis tersebut akan semakin besar. Hal tersebut karena dalam kebijakan yang tidak pasti, pelaku usaha akan kesulitan di dalam melakukan perencanaan dan mitigasi risiko bisnis mereka.

Mencermati kondisi dan perkembangan yang ada, pemerintah perlu lebih cermat dan hati-hati di dalam melakukan kebijakan niaga BBM. Apalagi regulasi yang ada telah menetapkan bahwa kagiatan usaha hilir migas termasuk niaga BBM dibuka untuk umum. Konsekuensinya, terdapat beberapa kebijakan yang sebelumnya masih relevan untuk dilakukan kemudian menjadi tidak dapat diimplementasikan kembali. Intervensi kebijakan harga BBM yang menyebabkan pelaku usaha merugi dapat diselesaikan melalui mekanisme APBN atau instrumen lain jika hanya melibatkan BUMN. Akan tetapi, kebijakan tersebut tidak dapat diimplementasikan lagi jika dalam pelaksanaan niaga BBM sudah melibatkan pelaku usaha yang lain.

Dalam hal ini yang juga perlu menjadi perhatian adalah bahwa dalam bisnis terdapat prinsip high risk high return. Berdasarkan prinsip tersebut, ketidakpastian kebijakan yang tinggi yang notabene berbanding lurus dengan risiko bisnis yang tinggi berpotensi dikompensasi melalui keuntungan usaha yang lebih tinggi. Jika hal tersebut terjadi, dapat dipastikan penyediaan BBM di dalam negeri akan berbiaya tinggi dan pada akhirnya konsumen BBM di dalam negeri yang akan membayar biaya-biaya tersebut.

Mencermati permasalahan yang ada, pemerintah perlu menyiapkan regulasi yang dapat menjadi payung hukum kegiatan usaha niaga BBM yang relevan dalam berbagai kondisi. Hal tersebut mengingat perubahan kebijakan niaga BBM yang terlalu sering justru akan kontraproduktif dengan tujuan kebijakan pemerintah itu sendiri.

Jika perubahan terlalu sering dilakukan, kebijakan niaga BBM yang dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan daya beli konsumen di dalam negeri justru berpotensi akan menekan daya beli konsumen itu sendiri. Sesuai dengan prinsip bisnis yang berlaku umum, pelaku usaha tentu akan membebankan biaya-biaya yang timbul termasuk biaya akibat ketidakpastian kebijakan melalui harga barang dan jasa yang harus dibayar oleh konsumen.

Catatan Kerugian Pertamina Rp 11 Triliun dan Perjalanan Harga BBM di Indonesia dari Masa ke Masa…

Kompas.com; 9 September 2020

KOMPAS.com – Pembahasan mengenai bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium dan Pertalite baru-baru ini kembali ramai diperbincangkan masyarakat.

Setelah sebelumnya muncul wacana menghapus keduanya, anggota Komisi VII DPR RI, Mulan Jameela, mengusulkan penyetaraan harga Pertamax dengan Premium.

Hal itu diungkapkan Mulan saat rapat dengar pendapat Komisi VII dengan direksi Pertamina pada Senin (31/8/2020) sebagai solusi atas rencana Pertamina yang akan menghapus BBM jenis Pertalite dan Premium.

Harga BBM Cukup Bersaing

Pengamat energi dari Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, mengungkapkan, harga BBM sudah cukup bersaing dalam konteks pasar dalam negeri.

Menurut dia, harga-harga BBM Pertamina juga dijadikan patokan oleh pelaku usaha bahan bahan bakar yang lainnya.

“Karena volume yang mayoritas, sering kali harga Pertamina menjadi referensi atau acuan pemain yang lain,” kata Komaidi saat dihubungi Kompas.com, Rabu (9/9/2020).

Komaidi menjelaskan, tidak bisa membandingkan harga BBM Pertamina dengan yang ada di luar negeri. “Tentu tidak bisa aple to aple,” ucap Komaidi lagi. Lebih lanjut, dia memaparkan sedikit catatan mengenai harga BBM Pertamina dari era Presiden Soeharto hingga kini Presiden Joko Widodo. Pertama, pada era Presiden Soeharto lebih dipilih mekanisme subsidi, disesuaikan dengan kondisi pada saat itu. “Era awal pembangunan perlu daya dorong dan produksi masih berlimpah,” ucap Komaidi.

Kemudian, era Presiden BJ Habibie, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dan Megawati, lanjut Komaidi, merupakan era transisi yang mana harga BBM masih belum lepas dari kebijakan lama. Pada periode ini gejolak politik masih tinggi sehingga kebijakan harga BBM yang relatif sensitif secara politik tidak banyak diubah. Lalu, imbuh dia, era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki kemiripan dengan era Presiden Soeharto, tetapi sudah tertekan dalam aspek fiskal. “Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan menjadi target utama. Banyak subsidi yang diberikan. Kalaupun BBM dinaikkan, diganti dengan kompensasi lain seperti BLT,” jelas Komaidi.

Saat ini, pada zaman Presiden Joko Widodo, menurut dia, masih berusaha lepas dari ketergantungan subsidi energi, terutama BBM. Selain itu, juga relatif tertolong dengan tren harga minyak mentah yang rendah.

“Namun, ketika harga minyak menuju normal, masalah fiskal datang yang sejauh ini sebagian menjadi beban bagi pelaksana penugasan, yaitu Pertamina,” kata Komaidi.

Seperti diketahui, PT Pertamina (Persero) tercatat mengalami kerugian sekitar Rp 11 triliun pada semester 1 tahun 2020. Menyoal dari hal itu, Komaidi menuturkan, berdasarkan laporan keuangan yang ada, sebenarnya kegiatan operasional penjualan-biaya pokok penjualan masih untung. “Untuk kerugian, jika mencermati laporan keuangan yang ada relatif dapat dipahami. Artinya rugi datang dari biaya lain-lain di luar biaya pokok penjualan,” kata Komaidi. Menurut Komaidi, dalam konteks laporan keuangan (akuntansi) umum, semester 1 tidak lebih baik dari semester 2.

Salah satu penyebabnya yakni banyak biaya-biaya yang sudah keluar di semester 1, penerimaan atas biaya tersebut belum terealisasi di semester 1. “Ada pula sebab lain, pada semester 1 masih ada peluang adanya pembebanan biaya dari tahun sebelumnya,” ungkap dia. “Misalnya tagihan-tagihan dari vendor yang disampaikan di Desember tahun sebelumnya misalnya akan dibayar di semester 1 tahun berikutnya mengingat proses invoice juga memerlukan waktu,” sambung Komaidi. Laporan kerugian di semester 1 ini, Komaidi melanjutkan, tidak bisa digunakan menjadi indikator akhir karena masih ada semester berikutnya.

Maksimalkan penjualan di semester 2

Komaidi memiliki satu saran utama untuk Pertamina jika ingin menutup kerugian yang mereka alami di semester 1 ini. Saran itu yakni dengan memaksimalkan di semester 2 nanti. “Saya kira memaksimalkan di semeter kedua. Maksimalkan penjualan dan minimalkan biaya,” jelas Komaidi. Saat disinggung soal kebijakan Pertamina di masa pandemi virus corona ini, Komaidi melihat upaya yang serius perusahan pelat merah itu.

Sebaliknya, Komaidi justru menyoroti beberapa kebijakan pemerintah. “Saya kira dari sisi perusahaan (Pertamina) terlihat banyak upaya yang dilakukan untuk menaikkan penjualan. Yang perlu menjadi catatan adalah kebijakan pemerintah. Misalnya menugaskan Pertamina untuk membangun RS untuk Covid,” kata Komaidi. Hal itu, lanjut dia, berdampak bagus dari sisi sosial, namun, dari kacamata usaha akan menjadi beban tersendiri bagi kelangsungan usaha. “Dari sisi sosial bagus namun dari kacamata usaha tentu ini menjadi beban usaha. Sehingga pemerintah perlu lebih baik lagi ke depan,” pungkas Komaidi.

Mekanisme pasar

Hal senada juga diungkapkan oleh pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhy. Fahmy menjelaskan, harga BBM non-subsidi Pertamina ditetapkan berdasarkan mekanisme pasar. Hal itu, lanjut Fahmy, dipastikan dapat bersaing di pasar dalam negeri, dan juga dipastikan menjadi market leader. ” Harga BBM non-subsidi Pertamina ditetapkan berdasarkan mekanisme pasar, pasti bisa bersaing. Bahkan dalam penetepan harga, Pertamina menjadi merket leader,” kata dia. Kemudian, kata Fahmy, saat Pertamina tidak menurunkan harga BBM dan harga minyak dunia sedang terpuruk, SPBU asing juga tidak menurunkan harga jualnya. “Harga BBM subsidi dan penugasan ditetapkan pemerintah, seringkali di bawah harga keekonomian, sehingga tidak ada pesaing,” imbuh dia.

Disarankan menurunkan harga BBM

Fahmy memiliki beberapa saran yang dapat dilakukan oleh Pertamina untuk menutup kerugian di semester 1 ini. “Naikkan lifting minyak dan efisiensi besar-besaran dalam pengadaan impor BBM, termasuk efisiensi pengeluaran gaji direksi dan komisaris,” jelas dia. Selain itu, Pertamina disarankannya untuk menurunkan harga BBM pada saat harga minyak dunia terpuruk karena pandemi. Meskipun penurunan harga BBM akan memperbesar kerugian semeseter 1 di tahun 2020 ini. “Namun, penurunan harga tersebut dapat memberikan kontribusi menaikan daya beli rakyat yang lagi terpuruk akibat pandemi. Ujung-ujungnya, penurunan harga BBM akan menaikkan pertumbuhan ekonomi,” papar Fahmy.

DPR Tunggu Usulan Pemerintah untuk Revisi UU Migas

Katadata.co.id; 31 Agustus 2020

Revisi Undang-undang Minyak dan Gas Bumi (Migas) yang masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2020 hingga kini belum dibahas Dewan Perwakilan Rakyat. Ketua Komisi Energi DPR Sugeng Suparwoto menyatakan revisi UU Migas merupakan inisiatif anggota dewan dan untuk memulai pembahasan memerlukan daftar inventarisasi masalah (DIM) yang disusun oleh pemerintah.

Hingga kini, pemerintah belum menyerahkan DIM revisi UU Migas ke DPR. Bila pemerintah tak kunjung menyusun dan menyerahkan DIM RUU Migas, maka DPR akan menyerahkan naskah akademiknya ke pemerintah, sehingga tidak lagi menjadi insiatif DPR namun menjadi inisiatif pemerintah.

Nantinya, DPR yang akan menyiapkan dan menyusun DIM. “Intinya kami mau tumbuhkan suasana baru, kebutuhan tinggi butuh investasi besar,” ujar Suparwanto, Senin (31/8).

Sementara itu Pelaksana Tugas Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ego Syahrial menyatakan saat ini pemerintah masih fokus pada Rancangan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law. Sehingga, pemerintah bakal menunggu apabila DPR menyerahkannya sebagai insiatif pemerintah. “Webinar ini kami tampung unek-unek semua. Ini jadi dasar kami susun DIM ke depan,” kata Ego.

Ego berharap dengan adanya revisi UU Migas dapat mendorong kegiatan ekplorasi di dalam negeri lebih baik. Apalagi pada 10 hingga 30 tahun belakangan, kegiatan ekplorasi tidak menghasilkan penemuan-penemuan cadangan migas Jumbo.

“Ini menjadi dasar agar membuat lebih menarik. Salah satu aturan yang sudah dihapus sekitar 100-200 regulasi, tapi tumpang tindih yang atur ini enggak cuma ESDM tapi Kementerian/Lembaga lain,” ujarnya.

Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai penyelesaian RUU Migas merupakan langkah awal yang memang mutlak diperlukan. Alasannya ini sebagai landasan semua peraturan turunan, terutama terkait fiskal atau perpajakan.

“Jadi, kalau tanpa revisi UU Migas, maka kita akan selalu berkutat di dalam upaya penyelesaian masalah (di sektor migas), tetapi tidak sampai ke fundamentalnya,” ujar Pri kepada Katadata.co.id, Senin (31/8).

Dia mencontohkan prinsip assume and discharge yang mestinya diberlakukan sebagai lex specialis pada aturan perpajakan. Namun, kedua prinsip itu tidak akan bisa diterapkan kembali jika undang undang migasnya tidak diubah.

Selain penerapan assume and discharge, masalah lain seperti birokrasi dan perizinan satu pintu, pemisahan aspek finansial hulu migas dengan keuangan negara, hanya akan bisa diatasi dengan revisi UU Migas. Pri menilai revisi UU Migas memang harus diarahkan bagaimana mengatasi masalah-masalah tersebut.

“Sekarang pemerintah sedang membahas omnibus law dengan DPR, di dalamnya mengatur atau berkaitan dengan revisi UU Migas. Maka, isinya mestinya adalah ketentuan yang dapat digunakan sebagai landasan untuk mengatasi persoalan fundamental tersebut,” ujarnya.

Artikel ini telah tayang di Katadata.co.id dengan judul “DPR Tunggu Usulan Pemerintah untuk Revisi UU Migas” ,

Penulis: Verda Nano Setiawan
Editor: Yuliawati