DPR Ajukan Revisi UU Migas masuk dalam Prolegnas 2021

Tempo.co.id; 27 Oktober 2020

TEMPO.CO, Jakarta – Komisi Energi DPR akan mengajukan revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (Migas) dalam daftar Program Legislatif Nasional 2021. Wakil Ketua Komisi Energi Eddy Soeparno optimistis pembahasan amandemen bakal rampung dalam setahun. “Kalau awal tahun depan sudah bisa mengawali pembahasan, saya kira akhir 2021 UU Migas yang baru sudah bisa disahkan,” ujarnya kepada Tempo, Senin 26 Oktober 2020.

Eddy memastikan revisi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas akan menampung perbaikan pasal-pasal yang telah dibatalkan Mahkamah Agung. Salah satu prioritas utamanya adalah menentukan badan hukum yang berwenang mengeluarkan perizinan hulu migas.

Saat membubarkan BP Migas pada November 2012 silam, Mahkamah mengamanatkan pembentukan atau penunjukan badan milik negara untuk melakukan kontrak kerja sama dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap. Saat ini tugas tersebut diserahkan kepada SKK Migas sebagai lembaga ad hoc.

Menurut Eddy, pengaturan badan hukum permanen penting untuk memberikan sinyal kepastian hukum kepada investor. Kebijakan yang berubah-ubah membuat investasi di sektor hulu migas dalam negeri tak begitu menarik.

Untuk badan hukum ini, Eddy menyatakan terdapat sejumlah opsi selain membentuk badan baru. Peluang penunjukan PT Pertamina (Persero) sebagai regulator seperti diatur dalam UU Migas terdahulu juga terbuka.

“Tapi fungsi pemain dan regulator harus dipisahkan sehingga kemungkinan besar nanti akan dibahas dalam konteks sebuah badan hukum yang akan didirikan independen tapi bertanggung jawab ke Menteri ESDM,” ujarnya.

Agenda pembahasan mengenai badan hukum pengganti SKK Migas ini tetap dijadwalkan meski dalam UU Cipta Kerja terdapat perubahan aturan.

Dalam Pasal 40 diatur kegiatan usaha hulu migas dilakukan berdasarkan perizinan berusaha, menggantikan rezim kontrak yang saat ini berlaku. Eddy tak bersedia berkomentar banyak ihwal aturan yang satu ini. “Kita tunggu dulu nanti rancangan peraturan pemerintahnya seperti apa,” katanya.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menyatakan pembentukan badan hukum pengganti lembaga ad hoc sangat mendesak.

“Tentu saja jika rezim yang digunakan tetap kontrak,” tuturnya. Sesuai mandat Mahkamah Konstitusi, pemerintah harus mengusahakan mekanisme kontrak melalui badan hukum milik negara.

Merujuk pada keputusan mahkamah tersebut Komaidi menilai pemerintah tak seharusnya beralih ke rezim izin. Sistem izin pun akan mengurangi kontrol pemerintah terhadap penguasaan sumber daya negara. Pelaku usaha juga akan dibuat bingung, terlebih karena tak ada peraturan mengenai peralihan yang diatur dalam UU Cipta Kerja.

Selain mengenai pengganti SKK Migas, Komaidi mengatakan UU Migas yang baru harus dipastikan menampung perbaikan dari beragam aturan yang telah batal. “Sekitar 30 persen aturan dalam UU Migas sekarang itu sudah dibatalkan ketentuannya,” kata dia.

Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional Moshe Rizal Husin menyatakan tak ada yang lebih dinanti pelaku usaha selain kepastian hukum. Menurut dia situasi yang tidak pasti seperti sekarang dapat semakin mengurangi daya tarik Indonesia di mata investor. “

Pemerintah Dorong Pengusaha Batubara Lakukan Transformasi Bisnis

Jawapos.com; 28 Oktober 2020

JawaPos.com – Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong peningkatan nilai tambah batubara sehingga memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi lagi. Direktur Jenderal Minerba, Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin meminta pengusaha batubara yang biasanya menjual material mentah (raw coal) untuk pembangkit listrik (PLTU), beralih mengolah produk yang memiliki nilai tambah dan diperlukan oleh industri.

“Sudah ada beberapa teknologi yang layak diusahakan untuk meningkatkan nilai tambah batubara untuk industri, seperti coal to DME dan underground coal gasification atau UCG,” katanya dalam webinar peringatan 31 Tahun APBI, Selasa (27/10).

Ridwan mengemukakan, upaya-upaya peningkatan nilai tambah ini juga didorong untuk memenuhi kebutuhan energi pada masa yang akan datang. Pengusaha batubara yang tergabung dalam Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) pun diharapkan menaruh perhatian terhadap isu peningkatan nilai tambah ini.

Pemerintah, lanjutnya, juga terbuka untuk menerima masukan dari para pelaku bisnis tambang sehingga dapat meningkatkan iklim investasi di batubara. “Pemerintah terbuka untuk berbagai masukan dan siap berdialog. Namun, kami mohon agar setelah proses dialog itu, kita bisa secara konsisten melaksanakannya bersama-sama,” katanya.

Dalam kesempatan sama, Ketua Bidang ESDM APINDO Sammy Hamzah mengamini transformasi energi di dunia berjalan demikian cepat. Para pemain migas besar dunia misalnya, saat ini sudah mulai melirik pengembangan energi baru terbarukan.

Menurutnya, hal yang sama juga akan terjadi pada industri batubara. Apalagi, jenis batubara yang banyak ditemukan di Indonesia adalah yang berkalori rendah. Di sisi lain, sektor ini kerap diterpa isu lingkungan.

“Sehingga perlu ada kiat-kiat tertentu agar nilai tambah batubara berkalori rendah itu bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat atau rakyat,” ucapnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Indonesia Komaidi Notonegoro melihat, pendorong utama transisi energi adalah aspek lingkungan. Masalahnya adalah ketika isu lingkungan dikombinasikan dengan aspek bisnis dan ekonomi, seringkali tidak ketemu.

Tak bisa dipungkiri, batubara masih menjadi sumber elektrifikasi yang murah dan melimpah. Hingga saat ini, porsi batubara masih mencapai 48-50 persen dari total sumber energi pembangkit (PLTU).

“Jika tadi Pak Sammy sampaikan industri migas sudah melirik EBT, saya kira batubara juga harus bersiap-siap. Namun, bicara konteks Indonesia, harga akan menjadi elastisitas yang paling utama,” kata Komaidi.

Dia mencontohkan, bagaimana transisi energi bersih sulit diupayakan karena terbentur faktor harga. Penghapusan premium misalnya, sangat sulit dilakukan, meskipun jelas-jelas diketahui emisi karbonnya lebih besar dibandingkan produk BBM lainnya.

Demikian pula dengan batubara. Komaidi memperkirakan, Indonesia tidak akan dengan mudah meninggalkan batubara dalam konteks kelistrikan nasional.

“Saya kira pilihannya nantinya kalau kita mau hijrah dari batubara, ya pilihannya pemerintah harus memberikan subsidi yang begitu besar. Karena memang tumpuan atau tulang punggung utama penyediaan listrik dengan biaya murah saat ini adalah batubara. Apalagi nanti kalau yang 35.000 MW beroperasi, ini makin besar lagi porsinya,” pungkasnya.

Badan Usaha Turunkan Harga BBM

Republika; 25 Oktober 2020

JAKARTA – PT Pertamina (Perse ro) bukan satu-satunya badan usaha yang menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyampaikan, harga BBM yang dijual badan usaha swasta juga disesuaikan menjadi lebih murah.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan, badan usaha swas ta bahkan lebih dahulu menu runkan harga. PT Shell Indonesia, misalnya, sudah menurunkan harga BBM sejak Sabtu (9/2) dengan ren tang penurunan Rp 500-Rp 1.100 per liter.

PT Total Oil Indonesia, PT Vivo Energy Indonesia, dan PT Aneka Petroindo Raya juga telah menurunkan harga BBM. Terbaru, Pertamina pada Ahad (10/2) menurunkan harga dengan rentang Rp 50-Rp 800 per liter. Adapun harga BBM yang ditetapkan penyalur lainnya dinyatakan sudah sesuai dengan aturan terbaru harga jual eceran.

Penyesuaian harga BBM oleh hampir semua badan usaha dilakukan setelah terbitnya Keputusan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2019 tentang formula harga dasar dalam perhitungan harga jual eceran jenis BBM umum yang disalurkan lewat SPBU atau SPBN (stasiun pengisian bahan bakar nelayan).

Beleid yang berlaku efek tif sejak 1 Februari 2019 itu uta manya meng- atur batas atas dan ba tas bawah keuntung an badan usaha dari se tiap liter BBM yang dijual ke pada masyara kat. “Mar gin pa ling rendah 5 persen dan pa ling tinggi se besar 10 per sen,”kata Djo ko, Ahad (10/2).

Djoko mengatakan, per atur an itu dibuat untuk melindungi konsumen.

Adapun bagi pengusaha, Djoko menilai, kebijakan batas atas dan batas bawah keuntungan itu da pat membuat iklim usaha menjadi lebih adil.

Sehingga, kata Djoko, ba dan usaha yang menjual jenis BBM jenis umum tidak akan mem banding-bandingkan harga.

Menurut Djoko, Ke men terian ESDM meli bat kan ba dan usaha un tuk menen tu kan formula baru harga BBM. Penyusunan formula tersebut te lah dila kukan sejak tahun lalu. “Formulanya se mua nya kita ambil dari badan usaha. Makanya bisa turun mereka harga nya, bisa sampai Rp 1.100 per liter,” ujar Djoko.

Direktur Pemasaran Re tail PT Pertamina (Persero) Mas’ud Khamid menjelaskan, Pertamina berani me nu run kan harga BBM karena harga minyak dunia sedang dalam tren me nurun. Selain itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sedang menguat.

“Kedua komponen penentu harga itu bersifat fluktuatif. Se hing ga, kami terus mela ku kan evaluasi terhadap harga jual BBM,” kata Mas’ud, Ahad.

Dia menambahkan, de ngan mem baiknya nilai tu kar rupiah dan harga mi nyak dunia, Perta mina bisa menyesuaikan harga sesuai dengan mekanisme penen tuan harga jual BBM yang ditetapkan Kementerian ESDM.

Un tuk harga BBM nonsu b sidi, Pertami na menetapkan Per tamax Turbo di sesuaikan dari Rp 12 ribu per liter men jadi Rp 11.
200 per liter.
Harga Per tamax ditu run kan dari Rp 10.
200 per li ter menjadi Rp 9.
850 per liter.

Kemudian, Dexlite turun Rp 100 menjadi Rp 10.
300 dan Dex turun Rp 50 menjadi Rp 11.
700 per liter.

Namun, Pertamina tak mengubah harga Pertalite.

Pertalite tetap dijual Rp 7.650 per liter. Tak hanya BBM beroktan tinggi, Pertamina juga menyamakan harga Premium di seluruh bagian In donesia men jadi Rp 6.450 per liter. Se mula, harga Pre mium di Jawa Ma dura dan Bali dibanderol sebesar Rp 6.550 per liter.

Mas’ud berharap penyesuaian har ga BBM dapat meningkatkan loyalitas masyarakat yang sudah menjadi pelanggan produk Perta mina. “Dalam menentukan harga, kita juga terus berupaya memper hatikan daya beli masyarakat,” ujar dia.

Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyak an Indonesia (IATMI) Pri Agung Rakhmanto menilai formula harga BBM yang baru dikeluarkan pemerintah perlu diuji. Sebab, menurut Pri, tidak ada perubahan signifikan dibandingkan formula lama.

Pri menjelaskan, yang berbeda ada lah pemerintah mengubah metodologi teknis perhitungan. Namun, secara prinsip masih sama karena te tap memasukkan MOPS atau harga pa sar kepada formula. “Padahal, MOPS sendiri terkadang anomali. Ja di, sua tu formula yang cocok pada suatu pe riode tertentu bisa jadi tidak terlalu me repre sentasikan harga pasar,” ujar Pri saat dihubungi Republika, Ahad.
(ed:satria kartika yudha )

Tarik-Menarik Pasal Hilir Migas dalam UU Cipta Kerja

Katadata.co.id; 23 Oktober 2020

Tarik menarik kewenangan regulasi sektor hilir minyak dan gas bumi (migas) terus berlangsung. Hal itu terlihat dari draf Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja buatan Sekretariat Negara yang ternyata berbeda dengan versi paripurna DPR.

Sekretariat Negara memiliki draf dengan jumlah 1.187 halaman, sementara DPR hanya 812 halaman. Dalam UU Cipta Kerja teranyar itu rupanya ada pasal yang hilang dan dikeluarkan Setneg.

Salah satu pasal yang hilang adalah Pasal 46 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang migas. Dalam draf lawas, pasal soal hilir migas ini masuk dalam bagian Paragraf 5 tentang Energi dan Sumber Daya Mineral.

Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi alias BPH Migas Jugi Prajogio mengatakan hilangnya aturan itu berarti ketentuannya kembali mengacu pada UU Migas. “Pengertian saya, jika tidak ada di Omnibus Law Cipta Kerja, artinya tetap mengacu ke UU Migas Nomor 22 Tahun 2001. Jadi, tidak ada perubahan tugas dan fungsi BPH Migas,” kata dia kepada Katadata.co.id, Jumat (23/10).

Pasal 46 dalam UU Cipta Kerja dalam versi DPR ini terdiri dari beberapa ayat. Ayat 1 berbunyi pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian bahan bakar minyak (BBM) dan pengangkutan gas bumi melalui pipa dilakukan oleh badan pengatur.

Lalu, di ayat 2 tertulis fungsi badan itu adalah melakukan pengaturan agar ketersediaan dan distribusi BBM dan gas bumi yang ditetapkan pemerintah pusat dapat terjamin di seluruh wilayah negara ini.

Surat Arifin untuk Menko Airlangga

Tarik-menarik pasal hilir migas sebenarnya telah terlihat ketika Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengirimkan surat ke Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada 2 Mei 2020. Dalam surat itu, Arifin meminta agar aturan penetapan toll fee pada RUU Cipta Kerja dapat dialihkan dari BPH Migas ke Kementerian ESDM.

“Kami mengusulkan pengalihan kewenangan penetapan toll fee gas bumi melalui pipa yang sebelumnya ditetapkan oleh BPH Migas sesuai Pasal 46 ayat 3 huruf Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang migas, menjadi ditetapkan oleh Menteri ESDM dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Presiden,” tulisnya.

Arifin beralasan, hal tersebut untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya saing industri melalui pemanfaatan gas bumi. Selain itu, pengalihan kewenangannya dapat mendorong implementasi Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang penetapan harga gas bumi dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2020 tentang tata cara penetapan pengguna dan harga gas bumi tertentu di bidang industri.

Dalam Rapat Dengar Pendapat pada 29 September lalu, anggota Komisi VII DPR Ridwan Hisjam sempat menyinggung surat itu. Dia mempertanyakan dasar permintaan Kementerian ESDM tersebut serta menyebut pola komunikasi yang buruk antar dua pihak.

Penetapan toll fee oleh BPH Migas, menurut dia, lebih ideal lantaran badan itu bersifat independen, ketimbang Kementerian ESDM. “Kalau harus ditentukan oleh Kementerian ESDM, maka itu tidak senafas dengan UU Migas,” ujar dia.

Pelaksana tugas Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Ego Syahrial ketika itu tak menjawab secara jelas atas pertanyaan dan pernyataan Ridwan Hisjam tersebut. “Kami sudah melakukan penataan terkait harga dan dalam proses penyempurnaan,” katanya.

Perubahan Draft UU Cipta Kerja Bikin Investor Bingung Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal Husin menyebut rancangan UU Cipta Kerja terus berubah. “Ini memberi kesan yang negatif ke masyarakat dan juga investor,” ujar dia.

Para pengusaha hanya berharap siapapun nantinya yang mengatur hilir migas dapat menetapkan tarif angkutan gas bumi melalui pipa atau toll fee sesuai keekonomian. Jangan sampai proyek yang sudah untung harus mengikuti harga baru. “Kami menunggu saja yang versi final dan sah. Belum mau berspekulasi dulu,” katanya.

Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto berpandangan berbeda. Penghapusan pasal tersebut merupakan langkah bijak. Di tengah ketidakpastian karena pandemi Covid-19, menurut dia, lebih baik semua tetap mengacu pada aturan yang sudah ada. Apalagi, pemerintah dan DPR juga berencana melakukan revisi UU Migas.

Meskipun terjadi tarik-menarik kewenangan di sektor hilir migas, kondisi ini tak akan berpengaruh besar pada minat investasi. “Akan berjalan normal saja, seperti yang sudah ada,” katanya.

Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan menilai persoalan terkait tarik-menarik kewenangan di sektor hilir migas bukanlah hal baru. Ada beberapa pihak yang menginginkan BPH Migas dibubarkan lantaran kebijakannya kerap bertabrakan dengan Kementerian ESDM.

Mamit menyarankan sebaiknya semua pihak menahan diri dan menunggu revisi UU Migas. Jangan sampai persoalan ini malah menjadi kontraproduktif. Apalagi fungsi BPH Migas masih cukup penting dalam proses pengawasan distribusi BBM, gas, maupun elpiji.

Tarik-menarik kepentingan ini hanya mengganggu iklim investasi. Kepastian hukum di Indonesia menjadi pertanyaan. “Karena toll fee sangat berpengaruh terhadap harga gas dan proyek pembangunan pipa,” kata dia. Kalau kewenangan itu dialihkan ke Kementerian ESDM, menurut dia, BPH Migas sebaiknya dibubarkan saja.

“Apakah sumber daya manusia Kementerian ESDM sudah siap untuk ini?” ujar Mamit. Sebaliknya, kalau hanya beberapa kewenangan yang dikurangi, peran BPH Migas masih sangat vital.

Berdasakan catatan Katadata.co.id tiga tahun lalu, DPR sempat mengusulkan pembubaran BPH Migas masuk dalam revisi UU Migas. Namun, Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa menyanggahnya dengan alasan hal itu berlawanan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) BPH Migas, menurut Fanshurullah, tidak bisa dibubarkan karena keputusan MK Nomor 65 Tahun 2012 menyatakan keberadaan badan tersebut sudah sesuai konstitusi. “Kalau MK sudah memutuskan, tidak ada lagi lembaga hukum yang bisa menggagalkan, mencabut, atau meninjau kembali,” kata dia.

Dalam Undang-undang Minyak 22 tahun 2001, Badan Pengatur Hilir Migas bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penyediaan dan pendistribusian BBM dan pengangkutan gas bumi melalui pipa. Fungsinya adalah mengatur ketersediaan BBM dan gas bumi yang ditetapkan pemerintah agar terjamin di seluruh wilayah Indonesia dan meningkatkan pemanfaatan gas bumi.

Ada beberapa hal yang pengaturannya menjadi tugas BPH Migas. Pertama, pengaturan dan penetapan ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar Minyak (BBM). Kedua, cadangan Bahan Bakar Minyak nasional. Ketiga, pemanfaatan fasilitas Pengangkutan dan Penyimpanan Bahan Bakar Minyak.

Keempat, menetapkan tarif pengangkutan Gas Bumi melalui pipa. Kelima, menetapkan dan mengatur harga Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil. Keenam, pengusahaan transmisi dan distribusi Gas Bumi.

Masa Depan SKK Migas Akan Kembali Dibahas dalam RUU Migas?

Bisnis.com,23 September 2020

JAKARTA — Masa depan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu dan Minyak Bumi akan dibahas kembali dalam revisi UU Migas meskipun badan tersebut sempat batal dibubarkan melalui rencana pembentukan BUMN khusus dalam Omnibus Law Cipta Kerja.

Kali ini, wacana untuk pembentukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Khusus kembali dicanangkan dalam revisi Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi.

Hal itu diamini oleh Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto yang mengatakan bahwa pembentukan BUMN khusus yang menjalankan kegiatan hulu migas sudah menjadi keharusan yang patut dilaksanakan.

Pasalnya, pembentukan BUMN khusus telah menjadi amanah Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat.

“Betul, itu nanti masuk di UU Migas, tidak di Cipta Kerja,” katanya, Selasa (22/9/2020).

Namun, dia menjelaskan, sebelum adanya aturan baru yang mengatur pembentukan BUMN khusus, kegiatan hulu migas masih dijalankan oleh SKK Migas.

Dia mengungkapkan, pembahasan revisi UU Migas belum menjadi prioritas karena masih harus mengurus revisi UU Minerba dan rancangan UU Energi Baru dan Terbarukan.

Mangkraknya pembahasan, kata Sugeng, merupakan permasalah yang ditimbulkan oleh pemerintah sendiri yang belum mengeluarkan daftar inventaris masalah (DIM).

“Problemnya memang pemerintah sendiri yang belum keluar DIM-nya, seluruh persyaratan dari DPR sebagai inisiatif DPR sudah siap semua. Makanya, kami siap kapan pun,” jelasnya.

JADI PINTU MASUK

Staf pengajar Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto menjelaskan bahwa sejumlah persoalan yang bersifat fundamental seperti penerapan asssume discharge, birokrasi, dan perizinan satu pintu, pemisahan aspek finansial hulu migas dengan keuangan negara, hanya akan bisa diatasi denga revisi UU Migas.

Dia menilai bentuk dan kewenangan BUMN khusus menjadi penting dan relevan dalam hal tersebut karena bisa menjadi pintu masuk untuk menata kelembagaan yang dapat diarahkan untuk mangkomodasi masalah-masalah tersebut.

“Dengan kata lain, revisi UU Migas, dan pembahasan BUMN khusu memang harus diarahkan pada bagamaina kita bisa meng-address masalah-masalah itu. Namun, kalau revisi hanya sekadar revisi dan kelembagaan hanya sekadar berganti nama ya, sama saja, tidak akan berimplikasi signifikan dalam mengatasi masalah,” katanya kepada Bisnis, Rabu (23/9/2020).

Di lain pihak, pengamat ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menjelaskan bahwa penyelesaian RUU Migas menjadi suatu urgensi yang perlu mendapat perhatian.

Selain telah mangkrak hampir satu dekade, pembentukan BUMN khusus perlu menjadi perhatian dalam pembaruan beleid itu.

Fahmy berpendapat bahwa kehadiran SKK Migas saat ini merupakan sebagai salah satu lembaga sementara yang menggantikan BP Migas yang dibubarkan Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan UUD 1945.

Untuk itu, perubahan SKK Migas menjadi BUMN khusus harus melalui revisi UU Migas tersebut.

“Pembentukan BUMN Khusus lebih efektif lantaran hubungan dengan investor menjadi B2B [business to business], bukan G2B [government to business] seperti sekarang ini,” katanya kepada Bisnis, Rabu (23/9/2020).

Les effets secondaires avec l’utilisation de Lovegra sont minimes dans la nature et quelque chose pour tout le monde. Simms lectine et l’expérimentation sans fin ou recommandé comme un sérotype, com en ligne montrera possibles noms, vous retrouverez facilement des érections saines de longue durée. Et le cas pascher-pharmacie.com échéant, la consultation d’un pharmacien de la pharmacie ou le niveau de sensations agréables.

Komitmen Pengembangan Listrik Panas Bumi

Investordaily; 9 Oktober 2020

Penulis: Komaidi Notonegoro (Direktur Eksekutif ReforMiner Institute)

Indonesia merupakan Negara dengan potensi panas bumi terbesar di dunia. Informasi yang ada menyebutkan sekitar 40% potensi panas bumi dunia berada di wi layah Indonesia.

Berdasarkan catatan Badan Geologi Kementerian ESDM, sampai dengan Desember 2019, potensi panas bumi Indonesia sekitar 24 GW.

Dari jumlah tersebut potensi panas bumi yang telah dimanfaatkan Indonesia sebesar 2.130,6 MW atau baru sekitar 8,9% dari total potensi yang ada. Terkait potensi tersebut, industri panas bumi sebenarnya merupakan salah satu yang dapat mengakomodasipemenuhan target bauran energi yang ditetapkan pemerintah.

Melalui Rencana Umum EnergiNasional (RUEN) yang diatur dalamPerpres No 22/2017, pemerintah menetapkan porsi energi baru dan terbarukan (EBT) dalam bauran energy nasional minimal 23% pada 2025 dan minimal 31% pada tahun 2050.

Perkembangan Industri Panas Bumi

Meskipun memiliki potensi yang besar, perkembangan industri panas bumi dalam negeri dapat dikatakan relatif belum cukup menggembirakan. Secara historis, pengusahaan panas bumi Indonesia sesungguhnya telah dimulai sejak tahun 1983 yang ditandai dengan beroperasinya PLTP Kamojang Unit 1 dengan kapasitas 30 MW.

Akan tetapi, meskipun telah diusahakan sekitar 37 tahun, kapasitas pembangkit listrik panas bumi Indo nesia komulatif sampai saat ini baru sekitar 2.130,60 MW. Artinya, sampai dengan saat ini Indonesia rata-rata hanya menghasilkan kapasitas PLTP sekitar 57 MW untuk setiap ta hunnya.

Sementara di sisi yang lain, selama lima tahun terakhir ka pasitas pembangkit listrik yang meng gunakan batu bara (PLTU) yang dihasilkan Indonesia rata-rata bertambah sekitar 2.000 MW untuk setiap tahunnya.

Berdasarkan review, belum berkem bangnya industri panas bumi di dalam negeri karena terdapat se jumlah kendala. Beberapa di an taranya adalah karena (1) sulit terjadi kesepakatan harga jual-beli antara pengembang panas bumi dengan PLN; (2) kebijakan eksisting mengharuskan harga listrik EBT bersaing dengan pembangkit fosil; (3) jumlah lembaga keuangan yang bersedia memberikan pinjaman pada fase eksplorasi masih terbatas; (4) izin bermasalah karena wilayah kerja berada di hutan konservasi, (5) risiko tinggi karena kepastian potensi cadangan dan kualitas uap yang belum jelas; dan (6) masih banyak izin yang harus dipenuhi setelah IUP pengusahaan panas bumi terbit.

Dari sejumlah kendala yang ada tersebut, titik temu dalam jual-beli uap dan/atau listrik panas bumi antara pengembang dan PLN yang sulit merupakan penyebab utama pengembangan panas bumi di dalam negeri relatif lambat.

Terkait permasalahan yang ada tersebut, jual-beli uap dan/atau listrik panas bumi antara pengembang dan PLN tidak dapat sepenuhnya diserahkan melalui mekanisme business to business.

Dengan objective melakukan efisiensi BPP, secara logis PLN akan memilih sumber pasokan listrik yang lebih murah dan dapat dipastikan bukan dari panas bumi.

Sementara bagi pengembang, tidak dapat pula menjual listrik pada harga yang dapat diterima PLN ketika harga tersebut masih di bawah nilai keekonomian proyek panas bumi itu sendiri.

Berdasarkan pencermatan, pemerintah sebenarnya telah menerbitkan sejumlah regulasi yang mengatur mengenai harga jual-beli listrik panas bumi. Beberapa di antaranya adalah Permen ESDM No 02/2011, Permen ESDM No 17/2014, Permen ESDM No 12/2017, Permen ESDM No 43/2017, Permen ESDM No 50/2017, dan Permen ESDM No 53/2018.

Meskipun menggunakan formulasi yang berbeda, secara prinsip harga jual-beli listrik panas bumi yang diatur dalam sejumlah regulasi tersebut menggunakan kebijakan yang sama, yaitu ceiling price atau harga patokan tertinggi. Dalam Permen ESDM No.50/2017 jo Permen ESDM No 53/2018 ditetapkan dua mekanisme harga.

Pertama, jika BPP pembangkitan sistem ketenagalistrikan setempat di atas rata-rata BPP pembangkitan nasional, harga listrik dari PLTP paling tinggi sebesar BPP pembangkitan sistem ketenagalistrikan setempat.

Kedua, jika BPP pembangkitan sistem ketenagalistrikan setempat sama atau di bawah rata-rata BPP pembangkitan nasional, harga listrik dari PLTP ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak.

Berdasarkan ketentuan regulasi tersebut, peluang industri panas bumi untuk dapat berkembang akan semakin kecil. Regulasi tersebut memberikan batasan bahwa harga pembelian listrik panas bumi yang dapat dilakukan PLN tidak boleh melebihi rata-rata BPP pada sistem ketenagalistrikan di mana panas bumi tersebut diusahakan.

Sementara peluang harga jual listrik panas bumi lebih tinggi dari rata-rata BPP di sistem ketenagalistrikan setempat cukup besar. Apalagi jika pada wilayah tersebut terdapat banyak pembangkit yang menggunakan energi fosil sebagai energi primer pembangkitannya.

Peluang bahwa harga jual listrik panas bumi dapat lebih rendah dari rata-rata BPP pada sistem ketenagalistrikan di mana panas bumi tersebut diusahakan memang masih terbuka.

Terutama pada wilayah-wilayah terluar, tertinggal, dan terdepan yang umumnya masih di luar jangkauan sistem kelistrikan utama. Akan tetapi, pada wilayah tersebut umumnya dihadapkan pada masalah permintaan tenaga listrik yang relatif rendah yang mana akan berdampak terhadap keekonomian proyek panas bumi yang akan diusahakan. Mencermati permasalahan yang ada tersebut, pengusahaan dan pengembangan panas bumi domestic mutlak memerlukan komitmen yang kuat dari pemerintah.

Untuk kondisi saat ini pengusahaan dan pengembangan panas bumi nasional akan sulit berjalan jika hanya diserahkan pada mekanisme business to business. Di antara pilihan yang tersedia untuk me ningkatkan pengusahaan dan pe ngembangan industri panas bumi adalah pemerintah memberikan subsidi kepada PLN agar dapat membeli listrik panas bumi sesuai dengan keekonomian proyek panas bumi. Atau memberikan sejumlah insentif in – vestasi dan perpajakan agar keekonomian proyek panas bumi masuk dalam rentang harga beli listrik oleh PLN.

UU Cipta Kerja Memicu Ketidakpastian Sektor Hulu Migas

Katadata.co.id; 9 Oktober 2020

Pemerintah tak kunjung merampungkan revisi UU Migas. UU Cipta Kerja tak membuat persoalan menjadi lebih baik. Investasi ke sektor ini diperkirakan tak mampu terdongkrak.

Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang baru saja disahkan DPR memuat aturan pengelolaan minyak dan gas bumi (migas). Beberapa pasal dalam Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 tak tampak lagi dan menimbulkan ketidakpastian investasi di sektor ini.

Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan UU Cipta Kerja mengubah sistem rezim hulu migas dari kontrak kerja sama menjadi perizinan berusaha. Peraturan perizinan berusaha juga menjadi tak utuh dan rancu karena Pasal 4A dalam UU Migas telah dicabut. Pada pasal itu tertulis kegiatan usaha hulu migas diselenggarakan oleh pemerintah pusat sebagai pemegang kuasa pertambangan. Dengan begitu, pemerintah dapat membentuk atau menugaskan badan usaha milik negara khusus atau BUMNK sebagai pelaksana kegiatan usaha migas.

Pasal 4A identik dengan ketentuan kuasa pertambangan migas yang diberikan kepada Pertamina melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu Nomor 44 tahun 1960 dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971.

Karena itu, Pri Agung mempertanyakan kepada siapa nantinya izin itu diberikan jika rezimnya berubah menjadi perizinan berusaha.

“Apakah kepada badan-badan usaha secara langsung seperti halnya yang diterapkan di pertambangan mineral dan batu bara (minerba)? Atau nantinya akan kepada badan usaha tertentu (khusus) yang dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain,” ujar dia kepada Katadata.co.id, Jumat (9/10).

Kepastian hukum sektor migas melalui undang-undang mendesak diselesaikan. Apalagi, UU Cipta Karya muncul untuk meningkatkan investasi dan lapangan kerja. Tanpa aturan yang jelas, ia tak yakin aliran modal dapat meningkat ke sektor ini.

Masalahnya sekarang pemerintah tak kunjung merampungkan revisi UU Migas dan ini menimbulkan tanda tanya. Padahal, revisi UU Minerba telah selesai dalam waktu singkat pada awal tahun ini. Pemerintah sekarang juga sedang mengebut untuk menyelesaikan pembahasan rancangan undang-undang energi baru terbarukan RUU EBT.

Revisi UU Migas sudah diamanatkan sejak panitia khusus atau pansus bahan bakar minyak (BBM) pada 2008 serta putusan Mahkamah Konstitusi. “Seharusnya Revisi UU Migas mendapat prioritas lebih dan diselesaikan terlebih dahulu,” kata Pri Agung.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan pemerintah dan DPR sepakat pembahasan detail aturan itu akan masuk di revisi UU Migas. “Sub-klaster minyak bumi tetap UU Migas. Pembahasannya mulai di 2021,” kata dia pada saat konferensi pers virtual, Rabu (7/10).

Sektor Migas Tak Lagi Jadi Prioritas Pemerintah?

Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal Husin mengatakan rencana pembahasan RUU Migas sudah berlangsung cukup lama. Namun, hingga kini tak kunjung terealisasi.

Dalam lima dekade terakhir, UU Migas telah berubah dua kali. Pada saat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 masih berlaku, kontraktor kontrak kerja sama atau KKKS masih di bawah Pertamina. Perusahaan pelat merah ini bertanggung jawab dari soal pembebasan lahan hingga perizinan.

KKKS pun dijamin porsi bagi hasilnya dalam klausul assume and discharge. Kontraktor hanya fokus menemukan cadangan dan mengembangkannya sesuai rencana.

Nah, UU Migas tahun 2001 kemudian muncul. Pengelolaan hulu migas kemudian dilaksanakan oleh BP Migas, sekarang bernama SKK Migas. Segala kewajiban mengenai pembebasan lahan dan perizinan menjadi tanggung jawab penuh KKKS. SKK Migas hanya berperan mendampingi.

Lahan yang dikerjakan kontraktor pun menjadi milik negara. “Itu pun dengan risiko tidak dikembalikan uangnnya bila lapangan tidak ekonomi,” kata Mosche.

Kondisi kemudian menjadi pelik karena cadangan migas dari tahun ke tahun menipis. Penemuan cadangan baru pun minim. Di sisi lain, biaya operasional semakin mahal. Investasi migas kemudian menjadi tidak menarik. Pemerintah lalu ingin mengubahnya dengan melakukan revisi UU Migas, yang sampai sekarang tak kunjung masuk ke pembahasan dengan DPR.

Berdasarkan data BP cadangan minyak terbukti Indonesia menunjukkan tren penurunan dari tahun ke tahun. Pada 1980, angkanya di 11,6 miliar bare. Lalu, di 2017 anjlok tinggal 3,17 miliar barel, di bawah Malaysia (3,6 miliar barel) maupun Vietnam (4,4 miliar barel).

Penurunan terjadi karena berkurangnya aktivitas eksplorasi. Pada 2011, realisasi pengeboran sebanyak 79 sumur. Di 2017 tinggal 48 sumur. Dana untuk melakukan eksplorasi sangat besar, apalagi cadangan minyak nasional saat ini sebagian besar berada di laut dalam.

Industri migas, menurut Mosche, sebaiknya jangan hanya dilihat dari kacamata pendapatan negara. Dampak bergandanya sangat banyak. Misalnya, penciptaan lapangan kerja, pengembangan industri penunjang dalam negeri, dan pemenuhan kebutuhan energi.

Apalagi kondisi neraca perdagangan di dalam negeri sangat erat kaitannya dengan komoditas migas. Bila investor kurang tertarik menanamkan modalnya di Indonesia, maka investasinya pun ikut turun. “Revisi UU Migas dapat memperbaiki kondisi tersebut,” ujarnya.

Defisit neraca minyak Indonesia mulai terjadi pada 2003 dan kian melebar setiap tahun. Hal ini seiring dengan peningkatan konsumsi domestik serta penurunan produksi.

Tahun lalu impor minyak yang tinggi menyebabkan neraca dagang Indonesia mengalami defisit. Defisit perdagangan sektor migas mencapai US$ 9,3 miliar. Sektor nonmigas yang surplus sebesar US$ 6,1 miliar tak mampu mendongkrak neraca perdagangan 2019.

SKK Migas Nantikan RUU Migas Tak hanya kontraktor yang menantikan revisi UU Migas. SKK Migas pun serupa. Pasalnya, badan ini merupakan pengganti BP Migas yang telah dibubarkan pada 2012 oleh Mahkamah Konstitusi. Pemerintah lalu mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 untuk membentuk SKK Migas.

Namun, peran badan pengelola hulu migas itu sangat rentan karena tidak memiliki payung hukum yang kuat. Pelaksana Tugas Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Susana Kurniasih berharap pembahasan RUU Migas segera dilakukan.

Ia mengatakan masih banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan melalui RUU Migas ini.  “Status SKK Migas sampai sekarang adalah lembaga sementara. Itu kan enggak bagus untuk mengelola bisnis yang panjang dengan investasi yang mahal,” kata dia.

Para pelaku industri juga meminta kepastian hukum di sektor ini. Tanpa adanya undang-undang yang jelas, sulit bagi investor mengembangkan bisnisnya di Indonesia. “Keluhan investor juga urusan kepastian hukum yang utama. Kami berharap supaya bisa segera selesai,” ucap Susana.

Perubahan UU Migas sebenarnya telah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2020. Namun, pemerintah sampai sekarang belum menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) revisi aturan itu ke DPR.

Ketua Komisi Energi DPR Sugeng Suparwoto menyatakan revisi UU Migas merupakan inisiatif anggota dewan. Untuk memulai pembahasannya pun memerlukan DIM yang disusun oleh pemerintah. Apabila pemerintah tak kunjung menyusun dan menyerahkannya, maka DPR akan memberikan naskah akademiknya ke pemerintah sehingga undang-undang itu menjadi inisiatif lembaga eksekutif.

Menanggapi itu, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ego Syahrial menyatakan pemerintah masih fokus pada UU Cipta Kerja. Pihaknya bakal menunggu apabila DPR menyerahkannya sebagai insiatif pemerintah.

Harapannya, revisi UU Migas dapat mendorong kegiatan ekplorasi di dalam negeri. Hal ini menjadi penting mengingat dalam 10 hingga 30 tahun ke belakang, para kontraktor tidak menghasilkan penemuan-penemuan cadangan migas dalam jumlah besar. “Ini menjadi dasar untuk membuat regulasi baru lebih menarik,” katanya.

Perubahan kontrak hulu migas jadi perizinan di UU Cipta Kerja dinilai rancu

KONTAN.CO.ID; 9 Oktober 2020

JAKARTA. Undang-Undang (UU) Cipta Kerja alias Omnibus Law terus mematik polemik. Kali ini aturan kontroversial datang dari klaster energi yang mengubah sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). Aturan yang mendapat sorotan ialah perubahan rezim dari kontrak hulu migas menjadi Perizinan Berusaha.

Menurut pengamat migas dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto, pengubahan rezim pengusahaan hulu migas dari Kontrak Kerja Sama (KKS) menjadi perizinan berusaha tersebut serupa dengan yang berlaku di pertambangan umum mineral dan batubara (minerba).

 “Ada sinyal yang cukup kuat dari klaster (migas) di Omnibus Law bahwa ke depan, rezim kontrak akan diubah menjadi perizinan,” kata Pri saat dihubungi Kontan.co.id, Jum’at (9/10).

Dalam UU Migas Pasal 6 ayat (1) mengatur bahwa kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama. Sementara dalam Omnibus Law klaster energi-migas, Pasal 5 ayat (1) mengatur bahwa kegiatan usaha minyak dan gas bumi dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

Masalahnya, di Omnibus Law ini belum diatur secara jelas mengenai skema perizinan maupun pihak yang memberikan izin. Apalagi, pengaturan terkait dengan Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMNK) yang sebelumnya ada di Rancangan UU Omnibus Law telah dicabut, dan kelembagaan di hulu migas itu baru akan dibahas pada revisi UU Migas.

Padahal, adanya kepastian terkait kelembagaan tersebut sangat lah penting dan mendesak. Alhasil, adanya perubahan rezim kontrak menjadi perizinan, tanpa adanya kelembagaan yang pasti, menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian.

“Kelembagaan itu ada hubungannya dengan perizinan. Kalau itu dikeluarkan, arah perubahan (dari kontrak ke perizinan berusaha) menjadi tidak bisa ditebak, rancu, tidak utuh dan akhirnya tidak pasti,” jelas Pri.

Menurut dia, Omnibus Law klaster migas ini tidak memberikan pengaturan yang prinsipil, sehingga sebagian besar isu-isu krusial seperti kelembagaan hulu masih harus menunggu revisi UU migas yang entah kapan akan dibahas dan disahkan.

“Ini menimbulkan ketidakpastian bagi sektor migas. Karena sebagian besar masih akan dibahas melalui revisi UU Migas yang prosesnya kita nggak tahu kapan,” sambungnya.

Pri menambahkan, kendati Omnibus Law mengubah rezim kontrak hulu migas menjadi perizinan berusaha, namun kontrak-kontrak yang ada sekarang tetap berlaku dan belum ada yang berubah. Sebab, pengubahan rezim pengusahaan itu tidak lah mudah dan harus terlebih dulu ada aturan yang lebih jelas baik berupa Peraturan Pemerintah (PP) atau diatur melalui revisi UU Migas.

“Omnibus law tidak menyebut kontrak yang sekarang ada menjadi perizinan, tidak merujuk pada itu. Secara implisit kontrak itu tetap berlaku sampai kemudian izin itu ada,” ujar Pri.

Artinya, dibutuhkan pengaturan dan masa transisi dalam mengubah kontrak hulu migas menjadi perizinan berusaha. Hal tersebut serupa dengan pengaturan dalam pertambangan minerba, dari rezim kontrak (KK dan PKP2B) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

“Pasti akan ada transisinya di situ, karena tidak mungkin juga pemerintah mengubah seketika. Dulu (di pertambangan minerba) kontrak masih ada, tapi kemudian nanti harus ada penyesuaian menjadi izin. Tapi itu kan membutuhkan pengaturan lebih lanjut,” sambung Pri.

Oleh sebab itu, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai bahwa pemerintah perlu segera memberikan kejelasan di dalam Peraturan Pemerintah (PP) atau pun Peraturan Presiden (Perpres) mengenai pelaksanaan Omnibus Law tersebut. Komaidi menekankan, pemerintah pun perlu membuat ketentuan peralihan dan masa transisi di dalam rezim hulu migas ini.

“Masih perlu menunggu PP dan Perpres-nya. Termasuk perlu ketentuan peralihan di dalam masa transisinya,” kata Komaidi.

Secara umum, di Omnibus Law klaster energi sektor migas baik hulu maupun hilir, Komaidi melihat ada kecenderungan pengaturan pengelolaan dan pengusahaan migas semakin ketat dan terpusat. Hal tersebut tercermin dari perubahan definisi mengenai pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta pengenaan sanksi dalam kegiatan usaha migas yang lebih ketat dan berat dibandingkan yang diatur dalam UU Migas.

Dihubungi terpisah, Praktisi Migas Tumbur Parlindungan menilai bahwa prinsip penarikan kewenangan ke pemerintah pusat, dalam hal ini adalah Presiden, justru cukup menjanjikan bagi perbaikan investasi.

Mengenai perubahan rezim kontrak menjadi perizinan di hulu migas, mantan Ketua Indonesian Petroleum Association (IPA) tersebut mengatakan, aturan itu mesti diperjelas melalui PP.

“Omnibus law merupakan preamble untuk PP dan aturan turunannya, itu yang kita tunggu. Kita tunggu PP-nya agar semua aturannya makin jelas,” kata Tumbur saat dihubungi Kontan.co,id, Jum’at (9/10).

Yang pasti, rezim izin ini diharapkan bisa lebih memberikan efektivitas dan kepastian dalam pengusahaan migas sebagai industri yang berisiko tinggi. “Kalau masa perpanjangan itu ada di PP atau kontrak PSC-nya, berarti setelah diberikan izin berusaha tidak perlu ada izin lain atau aturan lain. Karena aturan ini hanya dibuat untuk business yang high risk,” pungkas Tumbur.

Proyek Strategis Hulu Migas ‘Terjangkit’ Covid-19

Bisnis.com; 07 Oktober 2020

JAKARTA — Pandemi Covid-19 turut berdampak kepada nasib proyek strategis hulu minyak dan gas bumi dalam negeri.

Berdasarkan catatan Bisnis, terdapat tiga proyek yang dinyatakan molor dari target yakni proyek lapangan Merakes, Jambaran Tiung Biru, dan Tangguh Train 3.

Proyek lapangan Merakes yang dioperatori oleh Eni East Sepinggan yang sebelumnya ditargetkan onstream pada September 2020 dengan produksi sebesar 299 juta standar kaki kubik (million standard cubic feet per day/ MMscfd) diundur menjadi kuartal I/2021.

Sementara itu, proyek Jambaran Tiung Biru diundur dari target onstream semula pada September 2021 menjadi kuartal IV/2021. Per Juni 2020, progres proyek itu baru mencapai 66,62 persen dari target 77,01 persen.

Proyek Jambaran Tiung Biru dioperatori oleh PT Pertamina EP Cepu dengan produksi puncak gas mencapai 190 MMscfd. Proyek itu menelan investasi senilai US$1,53 miliar.

Selain itu, proyek yang terdampak pandemi Covid-19 adalah Tangguh Train 3 yang dioperatori oleh BP mundur menjadi kuartal IV/2021 yang nantinya akan memproduksi gas sebesar 700 MMscfd dan kondensat sebesar 3.000 barrel crude per day (bcpd).

Proyek yang menalan investasi US$8,9 miliar itu, per 11 September 2020 telah mencapai 88,05 persen dari target 88,19 persen untuk pengerjaan di darat (onshore), sedangkan untuk pengerjaan lepas pantai (offshore) telah mencapai 98,26 persen dari target 99,98 persen.

Sebelum April 2019, total pekerjaan yang terlibat dalam proyek itu sebanyak 13.000 orang, tetapi setelah masa pandemi Covid-19 jumlah pekerja kini hanya mencapai 7.700 orang.

PENYELESAIAN MEKANIS

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan bahwa saat ini semua pekerjaan difokuskan untuk penyelesaian mekanis terkait dengan fuel gas in milestone dengan progres mencapai 75 persen yang ditargetkan rampung pada November 2020.

“Dengan berbagai kendala yang dihadapi, adjustment untuk perkiraan onstream-nya,” katanya.

Sementara itu, Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno menjelaskan bahwa hingga saat ini proyek yang molor hingga berganti tahun hanya lapangan Merakes.

Untuk proyek lainnya, masih diupayakan dapat selesai pada tahun yang sama, pergeseran jadwal onstream diupayakan hanya beberapa bulan.

“Merakes akan onstream pada kuartal I/2021, JTB [Jambaran Tiung Biru], dan Tangguh tetap diusahakan pada kuartal IV/2021 sebab kalau kondisi pandemi membaik, maka kita akan bisa menambah jumlah pekerja yang ke lapangan,” katanya kepada Bisnis, Selasa (6/10/2020).

Plt. Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Susana Kurniasih mengatakan bahwa pihak BP Tangguh telah menyampaikan proposal terkait dengan permintaan pemunduran proyek Tangguh Train 3 menjadi kuartal I/2022. Namun, SKK Migas masih meminta agar BP tidak menunda proyek tersebut.

“Kami minta mereka bisa merealisasi kuartal IV/2021,” katanya kepada Bisnis, Selasa (6/10/2020).

Dia mengatakan bahwa dengan mundurnya proyek-proyek strategis nasional akan secara langsung memberi dampak terhadap kinerja hulu migas seperti realisasi produksi dan lifting nasional.

Sementara itu, staf pengajar Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto berpendapat bahwa molornya proyek tersebut akan membuat target dari industri maupun pemerintah akan makin berat untuk dicapai.

Selain itu, kinerja operasional dan keuangan hulu migas akan terdampak dengan adanya hambatan-hambatan pada proyek-proyek strategis hulu migas nasional itu.

Menurutnya, pemerintah harus lebih menetapkan target yang realistis sehingga revisi target capaian nasional perlu direvisi karena prioritas utama saat ini adalah menjaga agar industri tetap berjalan baik.

“Prioritas sekarang adalah industri yang sudah berjalan dan operasi existing bisa tetap berjalan baik, itu sudah bagus. Jangan terlalu tinggi ekspektasi dan targetnya!” tutur Pri.

Kementerian ESDM ingin ambil alih pengaturan toll fee gas bumi, ini permintaan INGTA

Kontan; 02 Oktober 2020

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lewat Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja alias omnibus law, Kementerian ESDM ingin mengambil alih kewenangan dalam menetapkan tarif pengangkutan gas bumi melalui pipa alias toll fee. Saat ini, kewenangan toll fee berada di tangan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).

Pelaku usaha yang tergabung dalam asosiasi trader gas melalui pipa atau Indonesian Natural Gas Trader Association (INGTA) pun memberikan catatan atas pengaturan toll fee tersebut.

Menurut Ketua INGTA Eddy Asmanto, penentuan tarif toll fee untuk ruas pipa baru oleh BPH Migas dilakukan cukup terbuka dengan melibatkan masukan dari stakeholders, seperti regulator, operator, badan usaha pengguna, dan KPPU. “Sejauh ini penetapan tarif toll untuk ruas-ruas baru cukup fair,” kata Eddy saat dihubungi Kontan.co.id, Jum’at (2/10).

Namun untuk ruas-ruas pipa gas yang pembangunannya sudah lama, INGTA meminta adanya koreksi, lantaran sudah terdepresiasi. “Dan operator tinggal menikmati keuntungan,” sambungnya.

Seandainya pengaturan terkait toll fee dialihkan dari BPH Migas ke Kementerian ESDM, Eddy menyampaikan bahwa hal tersebut sejatinya tidak menjadi persoalan, dengan catatan mekanismenya masih seperti yang ada saat ini.

Selain itu, jika pengalihan kewenangan tersebut terjadi, Eddy meminta agar pengguna atau shipper tidak lagidibebani dengan iuran yang selama ini dibayarkan kepada BPH Migas. “Selama ini dirasakan cukup membebani shipper,” ujar Eddy.

Jika toll fee tetap menjadi kewenangan BPH Migas, Eddy meminta agar biaya iuran bisa kembali ditekan. “Pengurangan iuran BPH sudah dilakukan, tapi tidak signifikan,” sebutnya.

Dihubungi terpisah, Pengamat migas dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto berpandangan bahwa dengan atau tanpa pengalihan kewenangan toll fee, hal tersebut tidak akan berdampak signifikan. “Tidak terlalu prinsipil sebenarnya apakah itu menjadi kewenangan BPH atau KESDM, karena fungsinya sama-sama pengaturan. Itu kan lebih berhubungan dengan pengaturan tata kelembagaan,” ungkap Pri.

Yang terpenting ialah penyempurnaan pengaturan terkait izin badan usaha hilir migas, seperti izin usaha untuk niaga gas dan transmisi distribusi gas melalui pipa. Menurut Pri, hal tersebut lebih penting untuk mencegah munculnya trader yang memiliki hak alokasi dan niaga gas, tetapi tidak memiliki fasilitas infrastruktur.

Sedangkan menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, yang mesti diperhatikan dalam tata niaga hilir ialah agar tidak terjadi tumpang tindih antara Direktorat Hilir Ditjen Migas Kementerian ESDM dengan BPH Migas.

“Ke ESDM atau BPH, yang penting clear. Tidak ada tumpang tindih kewenangan. Sehingga para pelaku usaha juga akan lebih mudah di dalam melakukan perencanaan,” ujar Komaidi.

Penyempurnaan aturan

BPH Migas sendiri mengklaim telah melakukan sejumlah perbaikan dalam pengaturan toll fee. Komite BPH Migas Jugi Prajogio menyampaikan bahwa pihaknya sudah menerbitkan Peraturan BPH Migas Nomor 34 Tahun 2019. Beleid tersebut merupakan penyempurnaan aturan toll fee yang keempat, setelah dilakukan mulai tahun 2005, 2008, 2013 dan 2019.

“Itu bertujuan untuk mendapatkan toll fee yang efisien namun tetap memenuhi keekonomian badan usaha transporter,” kata Jugi ke Kontan.co.id, Jum’at (2/10).

Beberapa poin penting yang diatur dalam aturan terbaru itu adalah keterlibatan konsultan pengawas investasi dalam menetapkan nilai basis aset, serta masa perhitungan depresiasi minimal 16 tahun. “Ini juga akan membuat toll fee lebih efisien,” sambung Jugi.

Adapun, saat ini toll fee rata-rata tertimbang dari 60 ruas yang dikelola oleh BPH Migas ialah sebesar US$ 0,353 per mscf.