Kebijakan Penghapusan BBM RON Rendah

Investor.id; 20 November 2020

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute dan Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti

Rencana kebijakan penghapusan BBM RON rendah, yaitu bensin RON 88 atau dalam merek dagang lebih dikenal sebagai Premium, ramai diperbincangkan. Sejumlah informasi menyebutkan pemerintah berencana tidak lagi menyediakan Premium di wilayah Jawa-Madura-Bali (Jamali) efektif mulai 1 Januari 2021 mendatang. Meskipun sudah ramai menjadi diskusi publik, berdasarkan pencermatan, pemerin tah tampak belum sepenuhnya satu suara terkait rencana kebijakan tersebut.

Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK menyampaikan telah bertemu Direktur Operasi PT Pertamina (Persero) dan menyebutkan bahwa per 1 Januari 2021 Pertamina akan meniadakan bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium di wilayah Jawa, Madura, dan Bali.

Sementara itu, Dirjen Migas yang memiliki kewenangan terhadap hal tersebut menyampaikan belum bertemu dan berkoordinasi dengan pihak KLHK.

Kewenangan Kebijakan

Berdasarkan ketentuan UU Minyak dan Gas Bumi maupun aturan pelaksanaannya yang di antaranya Perpres No 191/2014 j.o Perpres No.43/2018 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, kewenangan penyediaan dan pendistribusian BBM termasuk kewenangan meniadakan jenis BBM tertentu melekat pada pemerintah.

Sementara itu, Pertamina dan badan usaha yang lain hanya berperan sebagai pelaksana penugasan dan/atau pelaksana PSO yang ditetapkan oleh pemerintah. Mengacu pada ketentuan tersebut, pelaksanaan penghapusan BBM jenis Premium sepenuhnya akan ditentukan oleh konsistensi pemerintah di dalam melaksanakan rencana kebijakan yang telah ditetapkan. Namun berdasarkan rekam jejak, pemerintah tidak cukup konsisten di dalam melaksanakankebijakan penyediaan dan pendistribusian BBM jenis Premium.

Melalui ketentuan pasal 3 ayat (3) Perpres No 191/2014, pemerintah menetapkan bahwa sejak 31 Desember 2014 BBM jenis Premium tidak lagi didistribusikan di wilayah Jawa, Madura, dan Bali. Akibat kebijakan tersebut, pemerintah berhasil mengurangi konsumsi BBM jenis Premium dari 29,70 juta KL pada 2014 menjadi sekitar 7 juta KL pada 2017.

Akan tetapi, ketika konsumsi telah berhasil diturunkan, justru sejak 24 Mei 2018 melalui Perpres No 43/2018 pemerintah kembali menyediakan dan mendistribusikan BBM jenis Premium di wilayah Jawa, Madura, dan Bali. Akibatnya, konsumsi BBM jenis Premium yang sudah sempat menurun menjadi sekitar 7 juta KL pada 2017 kembali meningkat menjadi sekitar 12 juta KL pada 2019. Konsumsi Premium berpotensi terus meningkat jika permintaan penambahan kuota yang disampaikan oleh sejumlah wilayah dipenuhi oleh pemerintah pusat.

Rencana penghapusan BBM jenis Premium pada dasarnya memiliki basis yang cukup kuat. Penggunaan BBM Premium yang notabene sebagai bensin RON 88 tidak memenuhi ketentuan regulasi di bidang lingkungan, yaitu Permen KLHK No P20/MENLHK/ SETJEN/KUM.1/3/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, Kategori N, dan Kategori O. Ketentuan pasal 3 ayat (2) Permen KLHK tersebut menetapkan bahwa BBM jenis bensin yang diperbolehkan untuk digunakan adalah minimal memiliki RON 91. Ditinjau dari aspek penggunanya, saat ini jumlah negara yang menggunakan BBM jenis RON 88 semakin sedikit.

Berdasarkan data, saat ini hanya ada 7 negara yang menggunakan BBM RON 88, yaitu Bangladesh, Uzbekistan, Ukraina, Mongolia, Colombia, Mesir, dan Indonesia. Negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Myanmar, dan Singapura sudah sejak lama tidak menggunakan BBM RON 88, bahkan mereka sudah cukup lama menggunakan BBM dengan RON minimal 91.

Relatif terbatasnya jumlah Negara yang menggunakan BBM RON 88 menyebabkan ketersediaan data BBM jenis tersebut relative terbatas. Dampaknya, pengguna BBM RON 88 tidak memiliki basis data dan informasi yang cukup mengenai harga BBM RON 88 yang dapat digunakan sebagai referensi di dalam proses pengadaannya.

Ketika harga referensi sebuah produk relatif terbatas, maka potensi penyimpangan dalam proses pengadaannya semakin besar. Karena itu, penghapusan Premium berpotensi dapat meningkatkan aspek transparansi dalam proses pengadaan BBM di Indonesia.

Penghapusan BBM jenis Premium juga dapat mendorong kebijakan pengelolaan dan pengusahaan BBM di Indonesia menjadi lebih baik. Pemisahan administrasi negara dan administrasi usaha yang dijalankan oleh pelaksana penugasan dapat dilakukan dengan lebih baik. Berdasarkan ketentuan Perpres No 191/2014 j.o Perpres No 43/2018, BBM RON 88 atau Premium ditetapkan sebagai BBM Khusus Penugasan.

Dalam hal ini BBM Khusus Penugasan adalah BBM yang didistribusikan di wilayah penugasan dan tidak diberikan subsidi. Ketentuan “tidak diberikan subsidi” tersebut menjadi pintu masuk tercampurnya administrasi Negara dan administrasi usaha. Dalam implementasinya, meskipun tidak lagi diberikan subsidi, pelaksana penugasan BBM RON 88 tidak diberikan kewenangan untuk dapat menetapkan harga seperti kewenangan di dalam menetapkan harga BBM non-subsidi.

Kebijakan penetapan harga BBM Khusus Penugasan tetap dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam tingkatan ter tentu, meskipun pelaksana penugasan diberikan ruang untuk dapat mengusulkan besaran harga, persetujuan dan penetapan harga BBM Khusus Penugasan tetap berada di tangan pemerintah.

Dalam implementasinya, dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat, pemerintah seringkali menetapkan harga jual BBM Khusus Penugasan di bawah harga keekonomiannya. Karena tidak lagi diberikan subsidi, selisih harga penetapan dan harga keekonomian dari BBM Khusus Penugasan dibebankan kepada pelaksana penugasan (Pertamina).

Dalam hal ini selisih harga yang berdasarkan ketentuan UU Keuangan Negara seharusnya diberikan subsidi dan menjadi beban negara (pemerintah) kemudian digeser menjadi beban pelaksana penugasan.

Berdasarkan sejumlah permasalahan yang ada tersebut, rencana kebijakan penghapusan BBM RON rendah (BBM jenis Premium) dapat berpotensi memberikan dampak positif tidak hanya terhadap perbaikan kualitas lingkungan hidup tetapi juga positif terhadap kebijakan pengelolaan dan pengusahaan BBM.

Dalam hal ini, yang tidak kalah penting dari semua itu adalah konsistensi pemerintah di dalam melaksanakan rencana kebijakan yang telah ditetapkan. Inkonsistensi kebijakan penyediaan dan pendistribusian BBM RON 88, seperti dalam contoh kasus re visi Perpres No 191/2014 dengan Perpres No 43/2018, justru menim bulkan ketidakpastian di dalam kegiatan usaha penyediaan BBM, memunculkan biaya tambahan dalam penyediaan BBM, dan dapat menyebabkan terjadinya ekonomi biaya tinggi.

 

Nasib Hulu Migas Masih Tak Menentu

Kompas.com; 17 November 2020

Revisi UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional 2021. Hal ini membuat iklim usaha hulu migas di Indonesia masih dibayangi ketidakpastian.

KOMPAS — Nasib investasi hulu minyak dan gas bumi di Indonesia masih tak menentu menyusul tidak dimasukkannya perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dalam Program Legislasi Nasional 2021. Pembahasan sektor ini dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dianggap belum cukup. Hal krusial yang butuh kejelasan adalah status Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi serta mengenai izin usaha.

Dalam rapat panitia kerja penyusunan program legislasi nasional rancangan undang-undang (RUU) prioritas 2021 oleh Badan Legislasi DPR, Selasa (17/11/2020), terdapat 37 RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021. Di sektor energi, hanya ada satu RUU tentang Energi Baru dan Terbarukan yang masuk dalam daftar Prolegnas. Perubahan UU No 22/2001 yang disebut-sebut masuk dalam Prolegnas 2021 justru tidak ada.

”Tidak semua usulan dapat masuk dalam Prolegnas RUU prioritas 2021 mengingat capaian legislasi masih sangat rendah dan program legislasi yang sudah ditetapkan,” ujar Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya saat membuka rapat tersebut.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menyampaikan, tidak masuknya perubahan UU Nomor 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dalam Prolegnas 2021 membuat pelaku industri hulu migas hilang kepercayaan pada pemerintah. Sebelumnya, pemerintah menyatakan bahwa hal-hal yang tidak tercantum dalam UU Cipta Kerja untuk sektor migas akan dibahas dalam revisi UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

“Dengan tidak masuknya perubahan UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dalam Prolegnas 2021 kian membuat pelaku industri hulu migas hilang kepercayaan pada pemerintah.”

Selain itu, sektor migas yang juga diatur dalam UU Cipta Kerja belum memberikan kejelasan dan kepastian. Contohnya adalah status kegiatan usaha migas yang diganti dengan sistem perizinan. Lalu, bagaimana nasib kontrak bagi hasil yang sudah berjalan sekarang ini? Tidak ada penjelasan sama sekali,” kata Komaidi.

Dalam UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, yaitu Pasal 40 yang mengatur tentang perubahan UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, disebutkan di Pasal 5 bahwa kegiatan usaha minyak dan gas bumi dilaksanakan berdasar perizinan berusaha dari pemerintah pusat. Kegiatan usaha tersebut menyangkut wilayah hulu (eksplorasi dan eksploitasi) serta hilir (pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga).

”Kalau sifatnya izin usaha kepada pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, lalu bagaimana nasib Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas)? Sama sekali tidak ada dalam bab penjelasan,” kata Komaidi.

Hal yang sama disampaikan Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Aryanto Nugroho. Menurut dia, berbagai persoalan di sektor hulu migas Indonesia sangat mendesak untuk dituntaskan, seperti nasib kelembagaan SKK Migas dan Indonesia yang kini berstatus net importer minyak sejak 2004. Belum pula masalah terus menipisnya cadangan minyak nasional dan aspek tata kelola.

”RUU No 22/2001 diharapkan dapat menyelesaikan persoalan terkait ketidakpastian hukum setelah diundangkannya UU Cipta Kerja, khususnya yang menyangkut izin usaha hulu migas,” ujar Aryanto.

Sektor Batubara Dalam UU Cipta Kerja

Sindonews.com; 17 November 2020

Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti

DALAM Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, sektor batubara tercatat diberi perhatian khusus. Terhadap UU Mineral dan Batubara Nomor 4/2009 jo UU Nomor 3/2020, UU Cipta Kerja hanya menyisipkan satu pasal, yaitu Pasal 128A di antara Pasal 128 dan Pasal 129, serta mengubah ketentuan Pasal 162.

Substansi dari Pasal 128A adalah memberikan insentif bagi pengusahaan batubara. Dalam hal ini kegiatan usaha batubara diberikan perlakuan khusus terhadap kewajiban penerimaan negara. Untuk pelaku usaha di sektor batubara yang melakukan peningkatan nilai tambah batubara akan dibebaskan dari kewajiban membayar royalti. Adapun substansi dari Pasal 162 adalah mengatur sanksi bagi pihak-pihak yang mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang izin usaha pertambangan (IUP), izin usaha pertambangan khusus (IUPK), izin pertambangan rakyat (IPR), atau surat izin penambangan batuan (SIPB).

Substansi Perubahan
Secara keseluruhan saya menilai perubahan, penghapusan, dan penambahan ketentuan UU Mineral dan Batubara di dalam UU Cipta Kerja relatif tidak begitu banyak karena substansi dari UU Nomor 3/2020 tersebut telah sesuai dengan roh dan prinsip dari UU Cipta Kerja itu sendiri. Jika melihat tata waktu pengundangannya, menjadi cukup logis jika UU Nomor 3/2020 yang diundangkan pada 10 Juni 2020 telah memiliki kesesuaian dengan UU Nomor 11/2020 yang diundangkan pada 2 November 2020.

Dalam perspektif makroekonomi dan keuangan negara, pemberian perlakuan khusus kepada sektor batubara melalui UU Cipta Kerja tersebut relatif dapat dipahami. Berdasarkan perkembangan yang ada, kontribusi sektor batubara terhadap penerimaan negara, perolehan devisa, penyerapan tenaga kerja, dan pembentukan PDB nasional mengalami peningkatan. Hal tersebut kemungkinan yang menjadi basis pemerintah untuk memberikan perhatian khusus terhadap sektor batubara.

Berdasarkan kondisi yang ada, peran sektor batubara terhadap perekonomian nasional untuk beberapa tahun ke depan kemungkinan semakin meningkat. Struktur perekonomian Indonesia yang saat ini lebih banyak dikontribusikan oleh sektor-sektor ekonomi yang padat energi—khususnya listrik—kemungkinan akan mengalami penurunan produktivitas dan daya saing jika kegiatan sektor batubara terganggu.

Pada tingkatan tertentu kemudahan dalam akses tenaga listrik, termasuk biaya pemanfaatannya, akan menjadi penentu tingkat produktivitas dan daya saing perekonomian nasional. Hal tersebut karena porsi biaya listrik dalam struktur biaya produksi sektor industri manufaktur dan jasa-jasa yang notabene sebagai kontributor utama pembentuk PDB Indonesia cukup signifikan. Karena itu, jika biaya produksi listrik dapat lebih murah maka potensi peningkatan daya saing dan produktivitas perekonomian nasional juga semakin besar. Kondisi yang ada tersebut kemungkinan yang menyebabkan mengapa sebagian besar pembangkit listrik nasional saat ini menggunakan batubara. Hal itu karena jika dibandingkan dengan sumber energi fosil yang lain, batubara tercatat sebagai sumber energi primer pembangkit yang paling murah.

Statistik PLN 2019 menyebutkan bahwa rata-rata biaya operasi yang meliputi biaya bahan bakar, biaya pemeliharaan, penyusutan, beban bunga, biaya pegawai, dan biaya lain-lain untuk pembangkit batubara (PLTU) sebesar Rp653,12 per kwh. Biaya tersebut lebih rendah dari rata-rata biaya operasi pembangkit yang menggunakan energi primer BBM (PTLD) sebesar Rp3.308,26 per kwh dan biaya operasi pembangkit yang menggunakan gas (PLTG) Rp2.570,03 per kwh.

Jika dibandingkan dengan pembangkit listrik berbahan bakar BBM dan gas, seluruh komponen biaya operasi untuk pembangkit PLTU pada 2019 tercatat lebih rendah. Untuk biaya energi primer atau bahan bakar, misalnya, rata-rata biaya yang diperlukan untuk memproduksi listrik dari batubara adalah Rp445,85 per kwh. Sementara rata-rata biaya bahan bakar yang diperlukan untuk memproduksikan listrik dari BBM dan gas pada tahun yang sama masing-masing Rp2.454,32 per kwh dan Rp1.908,93 per kwh.

Untuk 2019, rata-rata porsi biaya energi primer atau bahan bakar terhadap total biaya pembangkitan sekitar 75%. Berdasarkan porsi tersebut, penyediaan listrik dengan biaya bahan bakar yang lebih murah secara umum akan menghasilkan total biaya operasi penyediaan listrik yang lebih rendah. Dalam penyediaan listrik dari batubara, karena biaya bahan bakarnya relatif lebih murah dibandingkan energi fosil yang lain, maka secara keseluruhan biaya penyediaan listrik dari batubara juga menjadi lebih murah.

Dari sisi kapasitas, saat ini porsi kapasitas pembangkit listrik yang menggunakan batubara sekitar 50% terhadap total kapasitas pembangkit yang ada. Porsi pembangkit listrik yang menggunakan batubara kemungkinan akan terus meningkat jika mengingat sebagian besar pembangkit listrik dalam proyek pembangkit listrik 35.000 MW adalah PLTU yang notabene menggunakan batubara sebagai energi primer pembangkit.

Kondisi eksisting pembangkit listrik nasional tersebut berpotensi mendorong konsumsi batubara domestik terus meningkat. Data menunjukkan, pada 2019 realisasi kebutuhan batubara untuk PLTU yang dioperasikan PLN saja sekitar 97,72 juta metrik ton. Jika mengacu pada RUPTL 2019-2028 kebutuhan batubara PLN diproyeksikan akan terus meningkat dan menjadi sekitar 152,63 juta metrik ton pada 2028. Kebutuhan batubara untuk kelistrikan nasional tentunya akan jauh lebih besar dari nilai tersebut jika mengingat PLTU tidak hanya dioperasikan oleh PLN, tetapi juga oleh pembangkit listrik non-PLN atau independent power producer (IPP).

Konsumsi batubara domestik juga berpotensi terus meningkat jika program gasifikasi batubara yang dilaksanakan pemerintah memenuhi nilai keekonomian dan berjalan dalam skala yang lebih masif. Sebagaimana diketahui, saat ini melalui kerja sama PT Bukit Asam dan PT Pertamina (Persero) pemerintah sedang melakukan gasifikasi batubara menjadi dimethyl ether (DME) dan synthetic natural gas (SNG). Sejumlah kondisi yang ada tersebut kemungkinan yang menjadi basis pemerintah dan DPR memberikan perhatian khusus sektor batubara melalui UU Cipta Kerja.

Sektor Migas dalam UU Cipta Kerja

Investor.id: Kamis,12 November 2020

Undang-Undang No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang proses revisinya menjadi inisiatif DPR dan telah berjalan selama 12 tahun menjadi bagian dalam UU Cipta Kerja. Dalam UU No 11/2020, perubahan, penghapusan, dan/ atau penambahan ketentuan baru dilakukan melalui pasal 40.

Berdasarkan review, terdapat delapan pasal UU No 22/2001 yang diubah melalui UU Cipta Kerja. Di antaranya pasal 1,4,5,23, 25,52,53, dan 55. Selain itu, UU Cipta Kerja menambahkan pasal 23A yang disisipkan antara pasal 23 dan pasal 24.

Beberapa perubahan yang dilakukan adalah definisi pemerintah pusat, definisi pemerintah daerah, pengaturan dalam kegiatan usaha hulu migas, pengaturan dalam kegiatan usaha hilir, dan tata cara pengenaan sanksi terhadap pelanggaran dalam pelaksanaan kegiatan usaha minyak dan gas bumi.

Belum Memenuhi Ekspektasi

Berdasarkan review terhadap substansi pasal per pasal, saya menilai pengaturan klaster migas dalam UU Cipta Kerja masih belum memenuhi ekspektasi para stakeholder. Terutama ekspektasi pelaku usaha di sektor hulu migas.

Dalam tingkatan tertentu, beberapa pengaturan di dalam klaster migas justru dapat berpotensi menambah komplikasi dalam pelaksanaan kegiatan usaha minyak dan gas bumi.

Pasal-pasal UU No 22/2001 yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Keputusan MK No 36/ PUU/X/2012 termasuk mengenai fungsi dan kedudukan BP Migas (sementara diganti SKK Migas) justru tidak diatur di dalam UU Cipta Kerja.

Sementara untuk hal yang dapat dikatakan tidak mendesak seperti mengubah sistem pengusahaan hulu migas dari kontrak kerja sama menjadi sistem perizinan justru dilakukan.

Berdasarkan pencermatan, dalam proses pembahasan sebelumnya terpantau terdapat pa salpasal dalam klaster migas yang mengakomodasi Keputusan MK No 36/PUU/X/2012 dan memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha. Bahkan pasal-pasal tersebut terpantau masih terdapat dalam draft RUU yang dibahas dan disetujui antara Badan Legislasi DPR RI (Baleg) dan Fraksi-Fraksi di DPR pada 3 September 2020.

Di antara pasal-pasal klaster migas yang terpantau terdapat dalam draft RUU Cipta Kerja status 3 September 2020, namun kemudian tidak tertuang dalam UU No 11/2020 adalah pasal 4A, pasal 11, pasal 12, dan pasal 64A. Substansi pasal 4A adalah mengatur penyelenggaraan kegiatan usaha hulu migas, pembentukan BUMNK Hulu Migas, dan mekanisme kerja sama antara BUMNK Hulu Migas dengan Ba dan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam kegiatan usaha hulu migas.

Pasal 11 dan pasal 12 mengatur mekanisme dan tata cara dalam teknis pengusahaan hulu migas yang terkait dengan substansi pengaturan dalam pasal 4A.

Sementara itu, pasal 64A mengatur proses transisi dan pengalihan kewenangan dari SKK Migas kepada BUMNK Hulu Migas. Beberapa yang diatur adalah status kontrak kerja sama yang sedang berjalan dan kedudukan SKK Migas sebelum dan sesudah BUMNK Hulu Migas terbentuk.

Tidak munculnya sejumlah pasal dalam klaster migas UU No 11/2020 kemungkinan karena pemerintah c.q Kementerian ESDM mencabut ketentuan sejumlah pasal, termasuk pasal mengenai pembentukan BUMNK Hulu Migas. Keputusan tersebut konon diambil karena sejumlah ketentuan tersebut akan diatur dalam perubahan UU Minyak dan Gas Bumi No22/2001 yang akan masuk dalam Prolegnas.

Pencabutan ketentuan pasal 4A dari klaster migas UU Cipta Kerja pada dasarnya menyebabkan pengaturan Perizinan Berusaha dalam klaster migas menjadi tidak utuh dan rancu. Pada draft yang di sepakati 3 September 2020 saat itu ditetapkan bahwa “Pemerintah Pusat selaku pemegang Kuasa Pertambangan akan memberikan Perizinan Berusaha pada setiap Wilayah Kerja kepada Badan Usaha Milik Negara Khusus untuk melaksanakan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi”.

Dalam bentuk yang berbeda, Perizinan Berusaha tersebut dapat dikatakan identik dengan Kuasa Usaha Pertambangan minyak dan gas yang diberikan kepada Per tamina melalui UU No 44 (Prp)/1960 dan UU No 8/1971. Ka rena itu pula, pada draft yang dise pakati sebelumnya ditetapkan bahwa nantinya kerja sama antara BUMNK Hulu Migas dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap di dalam kegiatan usaha hulu migas akan dilakukan berdasarkan Kontrak Kerja Sama.

Karena itu, perubahan ketentuan sistem pengusahaan hulu migas dari kontrak kerja sama menjadi sistem perizinan menjadi rancu ketika BUMNK Hulu Migas tidak diatur di dalam klaster migas UU No 11/2020. Dapat muncul tafsir bahwa perizinan berusaha tersebut berlaku bagi seluruh pelaku usaha hulu migas, tidak hanya untuk BUMN tetapi juga untuk Badan Usaha dan Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Konsekuensi dari ketentuan tersebut tidak sederhana, apalagi dalam klaster migas UU No 11/2020 tidak terdapat pasal yang mengatur mengenai ketentuan peralihan.

Status kontrak kerja sama yang sedang berjalan, apakah harus disesuaikan atau tetap berlaku, belum diatur secara tegas. Tugas, fungsi, dan kedudukan SKK Migas ketika sistem kontrak kerja sama berubah menjadi perizinan juga belum diatur.

Mencermati perkembangan yang ada tersebut, saya menilai ketidakpastian terhadap substansi pengaturan payung hukum dalam kegiatan usaha minyak dan gas di Indonesia masih tetap tinggi karena mayoritas perubahan ketentuan UU Migas tetap akan dilakukan melalui revisi UU Migas No 22/2001.

Sejumlah perubahan, termasuk mun culnya ketentuan yang tidak sejalan dengan apa yang sudah tertuang dalam klaster migas UU No 11/2020 tersebut juga masih sangat berpeluang terjadi. Apalagi jika mencermati substansi draft RPP Sektor ESDM atas UU Cipta Kerja ya ng telah beredar ke public tidak terdapat pengaturan mengenai sektor minyak dan gas bumi di dalamnya.

*) Direktur Eksekutif ReforMiner Institute dan Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti.

Kemenangan Biden Diyakini Bawa Industri Migas Lebih Positif

Medcom.id; 9 November 2020

Jakarta: Pengamat Energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan meskipun tidak langsung berpengaruh, kemenangan Joe Biden dalam pemilihan presiden (pilpres) Amerika Serikat (AS) akan berdampak positif bagi industri minyak dan gas (migas) dunia, termasuk Indonesia.

Komaidi mengatakan kemenangan Biden memberikan harapan terhadap perang dagang yang terjadi di masa pemerintahan Donald Trump. Hal ini tentu akan berpengaruh positif bagi semua sektor, termasuk migas.

“Kalau Biden menang, ada harapan perang dagang yang dijalankan Trump akan selesai. Sehingga ke semua sektor akan relatif positif dampaknya,” kata Komaidi pada Medcom.id, Senin, 9 November 2020.

Dengan perang dagang yang berakhir tentu akan menciptakan iklim kepastian dalam berbisnis. Di industri migas, harga minyak yang selama ini sangat dipengaruhi oleh pergerakan kondisi global, akan lebih tenang.

Sementara itu, Pengamat Migas Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto menilai dalam beberapa hari terakhir, psikologis pasar tampaknya lebih nyaman dan berharap Biden menang. Menurut Pri, kemungkinan hal ini karena Trump dalam satu periode memimpin dianggap seringkali menciptakan ketidakpastian yang tinggi terhadap ekonomi dunia.

Meski demikian, kemenangan Biden bukanlah satu-satunya faktor yang akan menentukan harga minyak dunia. Menurutnya, yang lebih menentukan harga saat ini dan di masa mendatang adalah bagaimana pandemi covid-19 dapat dikendalikan dan diatasi. Dengan demikian, kegiatan ekonomi dunia akan bergerak, permintaan akan pulih sehingga membuat harga membaik.

“Sebenarnya akan lebih direfleksikan pada bagaimana impact (sosok pemenang) terhadap perkembangan ekonomi global secara keseluruhan,” pungkasnya.