Rencana Penyetopan Ekspor Gas, Pasar Domestik Perlu Diperkuat

Bisnis.com; 25 Agustus 2021

Bisnis.com, JAKARTA – Rencana pemerintah untuk menyetop ekspor gas pada 2036 perlu diikuti dengan penguatan pasar di dalam negeri agar tidak berdampak terhadap keberlangsungan industri hulu minyak dan gas bumi (migas).

Pendiri Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto berpendapat bahwa hal yang akan menentukan sukses atau tidaknya rencana pemerintah itu adalah pasar gas di dalam negeri maupun luar negeri. Di samping itu, serapan gas bumi juga akan bergantung pada realisasi bauran energi.

Dia menilai, upaya pemerintah mendorong pemanfaatan gas di dalam negeri dengan memberikan harga khusus untuk industri tertentu akan berjalan baik, selama perhitungan keekonomian para pihak yang terlibat di dalam investasi tidak terganggu.

“Untuk bisa mewujudkan rencana itu, pasar gas domestik mesti berkembang lebih baik dan lebih kondusif daripada sekarang, baik dalam hal jumlah pengguna maupun volume penyerapannya, interkoneksi infrastrukturnya, maupun pada kebijakan harganya yang mesti tepat,” katanya kepada Bisnis, Rabu (25/8/2021).

Sebelumnya, pemerintah berencana untuk menutup keran ekspor gas guna meningkatkan pemanfaatan yang lebih besar di dalam negeri. Rencana itu ditargetkan bisa direalisasikan pada 2036. Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional Djoko Siswanto mengatakan bahwa sesuai dengan Pasal 8 ayat 1 pada Undang-Undang Nomor 22/2021 tentang Minyak dan Gas Bumi disebutkan bahwa pemerintah memberikan prioritas terhadap pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri.

“Adapun di 2036 bahwa sudah akan menghentikan ekspor gas. Kami manfaatkan di dalam negeri sebagai transisi energi kita menggunakan gas,” ujarnya.

Djoko mengatakan, rencana itu telah dicanangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70/2014 yang telah mengubah paradigma pemanfaatan sektor energi dari sebagai sumber negara menjadi pendorong pembangunan ekonomi nasional. Dia menjelaskan, Kementerian Keuangan bersama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mendorong adanya multiplier effect seperti penciptaan nilai tambah di dalam negeri, serta penyerapan tenaga kerja. “Ekspor gas kami turunkan memang sengaja. Kita manfaatkan untuk kebutuhan dalam negeri,” jelasnya.

Harga Minyak dan BUMN Migas

Bisnis.com; 20 Agustus 2021

Harga minyak dunia selama semester I/2021 meningkat signifikan. Publikasi US Energy Information Administration menyebutkan harga minyak jenis Brent dan WTI untuk periode Juli 2021 masing-masing US$75,17 per barel dan US$72,49 per barel.

Harga kedua jenis minyak tersebut tertinggi sejak Januari 2019. Harga minyak Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP) juga meningkat signifikan.

Realisasi ICP untuk Juli 2021 sebesar US$72,17 per barel atau meningkat 60,37% dari asumsi APBN 2021 yang ditetapkan US$45 per barel. Terkait harga minyak, posisi Indonesia cukup unik.

Dalam tingkatan tertentu harga minyak yang terlalu tinggi atau rendah tidak cukup baik bagi perekonomian. Harga minyak tinggi umumnya tidak baik bagi pengeluaran APBN, neraca dagang, nilai tukar, dan daya saing produk dalam negeri. Bila harga minyak rendah tidak baik untuk penerimaan APBN yang meliputi penerimaan pajak maupun PNBP dari sumber daya alam.

Kondisi Pertamina terpantau relatif berbeda dengan perusahaan migas umumnya. Bagi sebagian besar perusahaan migas, peningkatan harga minyak berdampak positif terhadap kinerja keuangan mereka. Ketika harga minyak meningkat, perusahaan migas umumnya memperoleh windfall profit.

Namun kondisi ini tidak selalu berlaku untuk Pertamina. Review ReforMiner terhadap laporan keuangan Pertamina dalam 10 tahun terakhir menemukan bahwa peningkatan harga minyak cenderung berdampak negatif terhadap keuangannya.

Peningkatan harga minyak berdampak terhadap rasio beban pokok penjualan (BPP) dan terhadap pendapatan usaha. Peningkatan harga minyak juga mendorong rasio laba bersih terhadap pendapatan usaha Pertamina menurun.

Kondisi ini disebabkan oleh struktur pendapatan perseroan dan konsistensi kebijakan niaga BBM oleh pemerintah. Terkait struktur pendapatan, selama 10 tahun terakhir sekitar 80% pendapatan BUMN itu dikontribusikan dari penjualan dalam negeri.

Sementara, sekitar 91% penjualan dalam negeri dari aktivitas hilir yang terdistribusi 80 % dari penjualan BBM dan 11 % dari penjualan LPG, Petrokimia, Pelumas, dan produk lainnya.

Struktur pendapatan tersebut menjawab mengapa keuangan Pertamina cukup sensitif terhadap pergerakan harga minyak. Data menegaskan bahwa sebagian besar pendapatan dari hasil penjualan produk kilang baik BBM dan non BBM.

Sementara porsi pendapatan dari segmen usaha hulu yaitu dari penjualan minyak mentah, gas, dan panas bumi selama periode yang sama sekitar 8%–15% dari total pendapatan.

Konsistensi kebijakan niaga BBM oleh pemerintah menjadi penyebab kondisi keuangan Pertamina tampak tidak sebagaimana perusahaan migas pada umumnya. Perpres No. 191/2014 jo Perpres No. 43/2018 menetapkan bahwa yang ditetapkan sebagai jenis BBM bersubsidi adalah minyak tanah (kerosene) dan minyak solar (gas oil).

Untuk minyak tanah, negara akan memberikan subsidi sebesar selisih kurang antara harga jual eceran yang ditetapkan pemerintah dan harga wajar. Untuk minyak solar, negara hanya memberikan subsidi tetap untuk setiap liternya.

Berdasarkan ketentuan itu, harga jenis BBM selain minyak tanah dan minyak solar subsidi menggunakan mekanisme harga wajar. Termasuk harga jual jenis BBM RON 88 (Premium). Regulasi menetapkan Premium sebagai BBM khusus penugasan yaitu pemerintah menetapkan di mana saja wilayah penugasan serta berapa volumenya.

Adapun untuk harganya menjadi domain pelaksana penugasan. Dalam implementasinya pelaksana penugasan, terutama Pertamina tidak dapat fleksibel menyesuaikan harga jual BBM penugasan (Premium). Salah satu indikasinya, meski ICP telah meningkat dari US$45 per barel menjadi US$72,17 per barel, harga jual Premium masih sama, yaitu Rp6.450 untuk setiap liternya.

Pemerinta tidak hanya menetapkan harga jual BBM tertentu (subsidi) tetapi juga menetapkan harga BBM khusus penugasan. Hal ini dapat dilihat dari adanya Kepmen ESDM No. 125.K/HK.02/MEM.M/2021 tentang Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan.

Jika konsisten dengan UU Keuangan Negara, ketika negara menetapkan harganya maka komoditas tersebut harus ditetapkan sebagai komoditas bersubsidi. Artinya, negara harus mengganti penuh selisih harga penetapan dengan harga wajar yang berlaku. Jadi, negara akan menutup kekurangan kepada pelaksana PSO akibat adanya selisih harga tersebut.

Kami mencermati pula Pertamina juga tidak dapat fleksibel untuk menyesuaikan harga BBM non Subsidi. Dalam kondisi tertentu, ia masih memerlukan restu dari pemerintah untuk dapat menyesuaikan BBM dengan merek dagang Pertalite, Pertamax, Pertamax Turbo, Pertamax Racing, Dexlite, dan Pertamina Dex meski non subsidi.

Alhasil, anomali yang terjadi pada kondisi keuangan Pertamina dalam kaitannya dengan harga minyak adalah akibat kombinasi dari inkonsistensi kebijakan pemerintah dan struktur pendapatan BUMN itu.

Solusinya, tahapan utama yang harus dilakukan adalah mengembalikan konsistensi kebijakan pemerintah, yaitu dengan tegas memisahkan mana administrasi negara yang menjadi domain pemerintah dan mana administrasi usaha yang menjadi domain BUMN

Transisi Energi Untuk Seimbangkan Lingkungan

Ruangenergi.com; 20 Agustus 2021

Ruangenergi.com – Industri hulu minyak dan gas bumi sepakat untuk mendukung proses transisi energi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.

Hal tersebut sejalan dengan komitmen Indonesia sebagaimana tertuang dalam Paris Agreement untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan bantuan internasional sesuai NDC (Nationally Determined Contribution). Selain itu, Pemerintah juga berkomitmen untuk menjaga kenaikan temperatur global tidak melebihi 2 derajat Celcius, dan mengupayakan menjadi 1,5 derajat Celcius.

Berdasarkan konvensi perubahan iklim, Pemerintah memiliki kewajiban untuk penurunan emisi karbon di sektor kehutanan sebesar 17,2%, di sektor energi sebesar 11%, sektor limbah sebesar 0,32%, sektor pertanian sebesar 0,13%, sektor industri dan transportasi sebesar 0,11%.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institut, Komaidi Notonegoro, mengungkapkan bahwa proses transisi energi yang dilakukan oleh industri hulu migas yakni untuk menyeimbangkan aspek lingkungan.

“Transisi energi merupakan upaya untuk menyeimbangkan banyak hal. Terutama dalam kaitannya dengan aspek lingkungan,” katanya kepada Ruangenergi.com, (19/08).

Sebelumnya, Direktur Eksekutif IPA, Marjolijn Wajong, dalam gelaran Conference IPA Convex 2021 mengatakan, transisi energi harus dilakukan, akan tetapi bukan berarti melupakan energi fosil seperti minyak, gas bumi dan lainnya, karena kebutuhan energi fosil di Indonesia dalam RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) pada 2030-2050 masih cukup besar.

“Dalam arti kata, kita tetap memerlukan energi yang berasal dari bumi yaitu minyak dan gas bumi, karena kebutuhan energi Indonesia sangat besar sekali. Jadi, Pemerintah saya kira sedang mencoba mengakselerasi adanya energi dari renewable,” terang Marjolijn dalam conference IPA Convex 2021 ketika ditanyakan Ruangenergi.com, (18/08).

Dijelaskan olehnya, jika dilihat dalam RUEN kebutuhan akan energi migas di Indonesia tetap besar. Hal tersebut sejalan dengan rencana pemerintah dalam meningkatkan produksi minyak nasional yakni sebesar 1 juta BOPD minyak dan gas 12 BSCFD pada 2030 mendatang.

“Dengan demikian, kami industri migas tetap akan fokus menemukan, mengembangkan, memproduksikan minyak dan gas bumi ini. Akan tetapi pada masa energi transisi ini, kami juga akan memberikan perhatian yang cukup besar agar energi fosil ini jadi lebih bersih,” terang Meity sapaan akrabnya.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menyebutkan bahwa secara volume kebutuhan minyak dan gas akan selalu meningkat.

Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto, mengatakan, di mana konsumsi minyak di 2050 akan meningkat 139% dan saat ini sebesar 1,6 juta barel per hari menjadi 3,97 juta per hari.

“Sementara untuk konsumsi gas, diperkirakan akan terus meningkat lebih besar lagi. Di mana Konsumsi gas saat ini adalah 6.000 MMScfd, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 26.000 MMScfd di 2050 atau meningkat sebesar 298%,” ujar Dwi, dalam sebuah webinar Peran Perbankan Nasional Di Industri Hulu Migas, (19/08).

Untuk itu, Pemerintah sangat mendorong penggunaan energi bersih yang berasal dari fosil yakni gas bumi, lantaran potensinya yang dimiliki Indonesia cukup melimpah.

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam mendorong penggunaan gas bumi yakni mengkonversi kendaraan bermotor yang semula menggunakan BBM ke gas. Hal ini ditandai dengan diresmikannya Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) di Kaligawe, Semarang, Jawa Tengah.

Peresmian SPBG tersebut dilakukan oleh Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas), Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji, pada Jumat, 20/08/2021.

Pasalnya, SPBG tersebut memiliki kapasitas sebesar 1 MMSCFD atau setara dengan 30.000 liter premium per hari (lsp), sekaligus ini merupakan SPBG Online Station yang dibangun dengan mengunakan dana APBN Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tahun Anggaran 2015 yang kemudian diserahkan ke PT Pertamina (Persero) melalui mekanisme Penyertaan Modal Pemerintah.

Tutuka mengatakan, SPBG Kaligawe telah terhubung dengan sumber gas dari Pipa gas Gresik-Semarang sehingga siap untuk dioperasikan oleh Pertamina melalui salah satu anak usahanya, Subholding Gas PT PGN Tbk.

“Produksi gas bumi nasional cukup besar sehingga harus dimanfaatkan secara maksimal untuk penggunaan dalam negeri dan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia,” ungkap Tutuka dalam sambutannya.

Kembali, Komaidi menambahkan, sampai saat ini bukan hanya Indonesia saja yang bergantung pada energi fosil tapi dunia juga demikian masih tergantung pada energi fosil.

“Jadi perlu hati-hati dalam mengambil kebijakan. Yang didorong adalah net zero emisi. Artinya tetap boleh pakai fosil dengan catatan dapat mengkompensasi dengan penggunaan EBT dalam level emisi yang setara,” paparnya.

Komaidi menjelaskan, energi yang bersumber dari fosil juga dapat mengurangi emisi, itu adalah gas bumi.

Meski termasuk dalam kategori energi fosil, terangnya, akan tetapi gas bumi merupakan energi bersih. Sebab, penggunaan energi gas bumi dalam pembangkit tenaga listrik dapat mengurangi emisi sekitar 50%, ketimbang menggunakan energi fosil lainnya seperti batubara.

“Saya kira industri hulu migas sudah merespon kebijakan transisi energi dengan baik. Ada upaya-upaya seperti implementasi carbon capture dan diversifikasi ke EBT,” tutupnya.

Dalam kajian yang dilakukan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) yang tertuang daam laporan keempat studi tematik mengenai peta jalan transisi energi Indonesia berjudul Ensuring a Just Energy Transition in Indonesia: Lessons learn from country case studies. Studi ini menyoroti bagaimana keempat negara, Jerman, Kanada, Australia, dan Afrika Selatan mengelola transisi energi dan dampaknya, sehingga Indonesia dapat mengambil pembelajaran dalam mempersiapkan proses transisi energi yang berkeadilan, terutama dari aspek sosial dan ekonomi.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mengatakan, saat ini, sistem energi global sedang mengalami keadaan di mana lebih banyak pembangkit listrik berbasis terbarukan yang dibangun dibandingkan dengan pembangkit listrik berbahan bakar fosil.

Di banyak negara, energi terbarukan perlahan-lahan menggantikan bahan bakar fosil untuk memasok listrik. Fenomena ini dikenal sebagai transisi energi. Hingga akhir tahun 2019, kapasitas energi terbarukan di dunia mencapai 2.537 GW, meningkat 176 GW dari tahun sebelumnya (IRENA 2020).

“Transisi energi adalah fenomena global yang sedang terjadi di berbagai negara-negara maju dan berpendapatan menengah di seluruh dunia. Transisi ini mengubah lanskap penyediaan energi di dunia dan prosesnya terjadi secara cepat dalam satu dekade terakhir. Energi fosil seperti batubara mulai dikurangi dan diperkirakan pertumbuhan akan melandai dan kemudian menurun dalam dua dekade mendatang seiring dengan upaya dunia melakukan dekarbonisasi,” jelas Fabby.

Menurutnya, transisi energi dari energi fosil yang sedang terjadi akan berdampak pada negara yang bergantung pada bahan bakar fosil pada risiko sosial dan ekonomi.

Pembelajaran dari empat negara; Jerman, Kanada, Australia, dan Afrika Selatan menunjukkan bahwa transisi energi dapat memberikan baik dampak positif dan dampak negatif. Untuk memaksimalkan dampak positif dan menghindari dampak negatif, penting bagi pemerintah untuk mempersiapkan sejumlah instrumen kebijakan demi menjamin proses transisi yang berkeadilan.

“Transisi energi yang berkeadilan sendiri dapat diartikan sebagai suatu proses transisi yang memastikan bahwa biaya dan keuntungan (cost and benefit) yang dibawa oleh transisi energi akan didistribusikan secara merata dan bahwa proses transisi yang berlangsung tidak akan meninggalkan/merugikan pihak manapun (no one left behind),” tuturnya.

Subsidi BBM & Listrik Naik 4% per Tahun, Kapan Bisa Ditekan?

CNBC Indonesia, 18 Agustus 2021

Tren subsidi energi yang digelontorkan pemerintah terus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Sejak 2017 sampai dengan 2020 subsidi energi rata-rata meningkat 3,7% per tahun.

Subsidi energi pada 2017 mencapai Rp 97,64 triliun, lalu terus meningkat dan pada 2020 mencapai sebesar Rp 108,84 triliun.

Tahun ini, subsidi energi diproyeksikan akan kembali mengalami peningkatan menjadi Rp 128,47 triliun. Bahkan, pada 2022 subsidi energi diperkirakan akan melonjak lagi menjadi Rp 134,03 triliun, sebagaimana tercantum di dalam Buku Nota Keuangan Beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022.

Melihat tren ini, kapan kira-kira subsidi energi bisa ditekan?

Menjawab hal ini, Pri Agung Rakhmanto, ahli ekonomi energi dan perminyakan Universitas Trisakti dan juga pendiri ReforMiner Institute, mengatakan bahwa subsidi energi hanya akan turun jika yang mendapatkan subsidi, baik orang maupun volume barang, menurun.

“Secara fundamental, subsidi hanya akan menurun jika yang disubsidi, baik jumlah orang maupun volume barang, menurun,” ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Rabu (18/08/2021).

Selain itu, menurutnya subsidi energi ini bisa menurun jika adanya penurunan pada selisih antara harga barang yang dijual ke masyarakat dengan harga berdasarkan keekonomian pasar yang menyebabkan pemerintah menanggung subsidi.

“Yang dalam hal ini berarti secara fundamental telah terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga semakin sedikit yang memerlukan subsidi atau peningkatan daya beli masyarakat, sehingga semakin sedikit selisih harga yang masih harus disubsidi pemerintah,” jelasnya.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai bahwa subsidi energi bisa turun saat harga energi mengikuti harga wajar.

“Ketika harga diintervensi seperti saat ini pasti subsidi akan naik,” tuturnya.

Pada periode 2017-2020, realisasi subsidi energi ini dipengaruhi oleh perkembangan asumsi dasar ekonomi makro seperti asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ ICP) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan kebijakan besaran subsidi tetap untuk minyak solar.

Pada tahun depan, pemerintah pun akan berupaya melanjutkan kebijakan transformasi secara bertahap atas skema pemberian subsidi. Agar subsidi semakin tepat sasaran, maka skema subsidi akan diubah, dari mulanya subsidi berbasis komoditas menjadi berbasis orang atau penerima manfaat.

Hal ini dipicu sejumlah tantangan yang dihadapi pemerintah saat menyalurkan subsidi. Pertama, distribusi dari subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG) 3 kg masih bersifat terbuka. Kedua, belum optimalnya pengawasan terhadap penjualan barang bersubsidi.

Kemudian, adanya faktor eksternal dan situasi geopolitik internasional yang dapat berpengaruh terhadap fluktuasi harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ ICP), harga produk BBM (MOPS), harga produk LPG (CP Aramco), dan stabilitas nilai tukar rupiah.

“Untuk mengatasi tantangan tersebut, pemerintah akan berupaya melanjutkan kebijakan transformasi secara bertahap dari subsidi berbasis komoditas menjadi subsidi berbasis orang/penerima manfaat,” bunyi nota keuangan tersebut, dikutip Senin (16/08/2021).

“Kebijakan transformasi subsidi energi ini dilaksanakan dalam rangka menuju skema perlindungan sosial yang menyeluruh,” lanjut pernyataan nota keuangan tersebut.

Transisi Blok Rokan, Ini Sejumlah Catatan Reforminer

Investor.id; 8 Agustuts 2021

Dalam hitungan jam Blok Rokan akan menjadi bagian dari aset Pertamina. Keputusan pemerintah yang memberikan hak pengelolaan Blok Rokan yang telah berakhir masa kontraknya dengan CPI semoga dapat menjadi kado terbaik bagi Bangsa Indonesia yang dalam beberapa hari lagi akan memperingati ulang tahun kemerdekaan yang ke 76 tahun.

Pandangan ReforMiner terhadap proses transisi Blok Rokan, seperti dikemukakan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro , adalah sebagai berikut:

1.Proses transisi yang tercatat memerlukan durasi waktu tertentu, pada dasarnya masih relatif wajar. Hal tersebut karena karena detildetil yang harus dilakukan dalam proses transisi Blok Rokan cukup banyak. Sehingga memerlukan waktu yang cukup panjang dan tidak dapat dilakukan hanya dalam satu kali proses.

2. Transisi yang dilakukan keduabelah pihak tidak hanya menyangkut pengalihan aset, tetapi juga mengalihkan beberapa hal yang di dalam pelaksanaannya tidak lebih sederhana dari sekedar proses memindahtangankan aset. Proses transisi yang dilakukan juga meliputi perpindahan SDM dari KKKS sebelumnya, perpindahan data, transfer knowledge, dan perpindahan lainnya.

3. Proses transisi relatif dapat dikatakan tepat waktu. Dari informasi yang ada, sampai awal Juli 2021 untuk proses mirroring kontrak telah selesai dilaksanakan. Informasi yang ada menyebutkan dari seluruh kontrak eksisting yang berjumlah 291 kontrak, seluruhnya atau telah 100% dilakukan mirroring.

4. Proses transisi SDM yang merupakan salah satu bagian kritikal juga terpantau berjalan dengan lancar. Sampai awal Juli 2021 tercatat sudah sekitar 98,7% pegawai yang diinformasikan telah melengkapi dan mengembalikan aplikasi termasuk di dalamnya perjanjian kerja sesuai waktu yang ditentukan

5. Pada awal Juli 2021 proses transfer teknologi disampaikan sedang berada pada  tahap penyesuaian sistem IT. Beberapa hal terkait teknologi yang sedang dilakukan proses transisi diantaranya adalah mengenai transfer knowledge penggunaan  aplikasiaplikasi yang berkaitan langsung dengan kegiatan operasi produksi dan penunjangnya. 6. Pertamina Hulu Rokan (PHR) terpantau telah menyampaikan kesiapannya. PHR  menyampaikan bahwa mereka merencanakan akan melakukan pengeboran 84 sumur pengembangan pada tahun 2021 dan ditambah sisa sumur CPI. Untuk tahun 2022 mendatang PHR menyampaikan sedang mempersiapkan pengeboran sekitar 270 sumur.

6. Pertamina Hulu Rokan (PHR) terpantau telah menyampaikan kesiapannya. PHR  menyampaikan bahwa mereka merencanakan akan melakukan pengeboran 84 sumur pengembangan pada tahun 2021 dan ditambah sisa sumur CPI. Untuk tahun 2022 mendatang PHR menyampaikan sedang mempersiapkan pengeboran sekitar 270 sumur.

7. Blok Rokan tercatat menjadi salah satu WK Migas dengan investasi jumlah sumur terbanyak. Total rig pengeboran yang disampaikan akan dioperasikan PHR menjadi 16 unit. Selain itu juga terdapat 29 rig yang digunakan untuk kegiatan Work Over and Well Service yang merupakan mirroring dari kontrak sebelumnya.

8. ReforMiner memberikan apresiasi kepada CPI, PHR, SKK Migas, KESDM, dan para pihak yang terlibat aktif dalam proses transisi Blok Rokan. Secara umum proses transisi Blok  Rokan berjalan dengan lancar.

9. Kesediaan CPI sebagai KKKS eksisting untuk kooperatif dan pada tingkatan tertentu juga terpantau proaktif, serta sikap Pertamina yang juga terbuka dan bersedia membawa beberapa aspek bisnis yang perlu diselesaikan secara bisnis merupakan kunci dari proses transisi Blok Rokan dapat berjalan lancar

10. ReforMiner memberikan apresiasi kepada CPI yang kooperatif dalam proses transisi. Apresiasi juga untuk CPI yang telah menjadi mitra pemerintah Indonesia dalam melakukan pengusahaan migas di Blok Rokan sehingga monetisasi dari cadangan migas di Blok tersebut dapat memberikan kontribusi penting baik terhadap APBN, APBD daerah penghasil, maupun terhadap ketahanan energi nasional dalam kurun waktu yang tidak pendek.

11. ReforMiner menyampaikan selamat untuk PHR atas kepercayaan yang diberikan pemerintah. Semoga pengelolaan Blok Rokan oleh PHR yang akan efektif dalam beberapa hari sebelum perayaan HUT Kemerdekaan RI ke-76 tersebut dapat menjadi kado yang berharga bagi kita semua.

12. Satu hal yang perlu dipahami oleh PHR, Blok Rokan dengan produksi minyaknya yang pernah mencapai lebih dari 800 ribu barel per hari, tidak hanya sekedar sebagai kontributor utama tetapi dapat dikatakan merupakan tulang punggung produksi minyak nasional selama ini. Karena itu, dalam konteks pencapaian target lifting minyak nasional, perhatian banyak pihak dalam beberapa tahun ke depan kemungkinan akan lebih banyak tertuju pada kinerja PHR.

Hulu Migas Penopang Investasi – Penurunan Karbon Perlu Kebijakan Lengkap

Neraca.co.id; 7 Agustus 2021

Jakarta- Investasi industri hulu dan minyak gas (migas) tanah air masih menjadi penopang dalam menggerakan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini lantaran investasi yang masuk lima tahun ke belakang masih di kisaran double digit. Untuk itu diperlukan blueprint (cetak biru) yang lengkap dan mendukung agar kebijakan penurunan emisi karbon tidak kontraproduktif terhadap investasi yang akan masuk ke Indonesia.

Pengamat Migas dan Pendiri ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto dalam siaran persnya di Jakarta, kemarin mengungkapkan bahwa net zero carbon tidak berarti bahwa hal tersebut dicapai dengan mengurangi aktivitas-aktivitas ekonomi seperti halnya eksplorasi dan produksi migas. Tetapi, lanjutnya, bagaimana seluruh pihak dapat mengurangi atau menetralkan (dampak emisi) karbon yang dihasilkan dari aktivitas-aktivitas tersebut.

Menurut Pri Agung, perusahaan migas global telah memasukkan parameter netralitas karbon itu sebagai salah satu faktor yang diperhitungkan dalam strategi dan portofolio investasi mereka di tingkat global. Mereka, lanjutnya, akan lebih selektif dan benar-benar mengalokasikan investasinya ke negara-negara yang tidak saja memberikan jaminan pengembalian investasi lebih tinggi, investor friendly, tetapi juga yang secara infrastruktur baik ekonomi dan non-ekonomi sudah lebih siap untuk memfasilitasi kebijakan net zero carbon ini. “Kata kuncinya bukan pada adanya kebijakan net zero carbon (balancing emission), tetapi pada seberapa kondusif dan kompetitif iklim investasi hulu migas kita sendiri untuk dapat menarik investasi eskplorasi dan produksi,” paparnya.

Dia menekankan, Indonesia harus kompetitif dalam hal iklim investasi. Segala hal yang sifatnya memberikan persepsi negatif di mata investor dan hal-hal yang menghambat investasi seperti halnya birokrasi perizinan ataupun kondisi yang over-regulated mesti dihilangkan. Sementara Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Fatar Yani Abdurrahman menjelaskan bahwa target produksi mencapai 1 juta barel minyak bumi tersebut sebenarnya masih kurang bila dibandingkan dengan kebutuhan energi di masa mendatang.

Untuk itu, sejumlah aktivitas mulai dari percepatan proses dari reserves menjadi produksi hingga eksplorasi sejumlah cekungan yang belum dieksplorasi guna menemukan sumber migas menjadi hal yang harus dilakukan segera. “Maka dari itu, SKK Migas membuat rencana jangka panjang agar mampu mencapai target yang kami nilai tidak terlalu agresif,” jelasnya

Diakuinya, target tersebut memang penuh tantangan seperti investasi besar, regulasi tumpang tindih, stagnasi lifting migas sepanjang satu dekade terakhir, hingga pandemi Covid-19 yang turut mempengaruhi industri hulu migas. Selain itu, industri migas juga mendapat tekanan dari adanya target penurunan emisi karbon atau gas rumah kaca hingga 29% pada 2030.

Upaya Penurunan Karbon Harus Disertai Kebijakan Lengkap

Petrominer.com; 5 Agustus 2021

Petrominer – Investasi industri hulu dan minyak gas (migas) tanah air masih menjadi penopang dalam menggerakan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pasalnya, investasi yang masuk dalam lima tahun terakhir masih di kisaran double digit. Untuk itu diperlukan blueprint (cetak biru) yang lengkap dan mendukung agar kebijakan penurunan emisi karbon tidak kontraproduktif terhadap investasi yang akan masuk ke Indonesia.

Meski hulu migas terus mendapat tantangan, para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tetap berkomitmen mendukung kebijakan Pemerintah dalam penurunan emisi karbon (CO2). Caranya, dengan terus beradapatasi sehingga target produksi 1 juta barel minyak dan 12 miliar kaki kubik gas bumi pada 2030 dapat tercapai, dan pemanfaatan gas yang maksimal dari sejumlah lapangan produksi yang ada.

Pengamat Migas, Pri Agung Rakhmanto, menyebutkan bahwa upaya pencapaian net zero carbon bukan berarti harus dengan mengurangi aktivitas-aktivitas seperti eksplorasi dan produksi migas. Namun, bagaimana seluruh pihak dapat mengurangi atau menetralkan (dampak emisi) karbon yang dihasilkan dari aktivitas-aktivitas tersebut.

Menurut Pri Agung, perusahaan migas global telah memasukkan parameter netralitas karbon sebagai salah satu faktor yang diperhitungkan dalam strategi dan portofolio investasinya di tingkat global. Kini, perusahaan-perusahaan tersebut akan lebih selektif dan benar-benar mengalokasikan investasinya ke negara-negara yang tidak saja memberikan jaminan pengembalian investasi lebih tinggi dan investor friendly, namun juga yang secara infrastruktur baik ekonomi mauun non-ekonomi sudah lebih siap untuk memfasilitasi kebijakan net zero carbon.

“Kata kuncinya bukan pada adanya kebijakan net zero carbon (balancing emission), tetapi pada seberapa kondusif dan kompetitif iklim investasi hulu migas kita sendiri untuk dapat menarik investasi eskplorasi dan produksi,” paparnya.

Pendiri ReforMiner Institute ini menekankan bahwa Indonesia harus kompetitif dalam hal iklim investasi. Segala hal yang sifatnya memberikan persepsi negatif di mata investor dan hal-hal yang menghambat investasi seperti halnya birokrasi perizinan ataupun kondisi yang over-regulated mesti dihilangkan.

Pada kesempatan berbeda, Wakil Kepala SKK Migas, Fatar Yani Abdurrahman, menjelaskan bahwa target produksi minyak 1 juta barel per hari sebenarnya masih kurang bila dibandingkan kebutuhan energi di masa mendatang. Untuk itu, sejumlah aktivitas mulai dari percepatan proses dari reserves menjadi produksi hingga eksplorasi sejumlah cekungan yang belum dieksplorasi guna menemukan sumber migas menjadi hal yang harus dilakukan segera.

“Maka dari itu, SKK Migas membuat rencana jangka panjang agar mampu mencapai target yang kami nilai tidak terlalu agresif,” ungkap Fatar Yani dalam acara 2nd Pre-Event of IPA Convex 2021 dengan judul “Carbon Policies in Indonesia, Striking the Balance Between Carbon Emission Target and the 1 MMBOPD/12 BSCFD Target,” Rabu (28/7).

Dia mengakui, target tersebut memang penuh tantangan. Mulai dari investasi besar, regulasi tumpang tindih, stagnasi lifting migas sepanjang satu dekade terakhir, hingga pandemi Covid-19 yang turut mempengaruhi industri hulu migas.

Selain itu, industri migas juga mendapat tekanan dari adanya target penurunan emisi karbon atau gas rumah kaca hingga 29 persen pada tahun 2030. Alhasil, KKKS harus bisa menyeimbangkan antara target produksi dengan target penurunan emisi karbon sehingga dapat memenuhi persyaratan kebijakan dekarbonisasi. Usaha mencapai keseimbangan tersebut jelas membutuhkan upaya yang besar.

“Saat ini, sebanyak 60 persen lapangan migas di Indonesia sudah mature, sehingga perlu biaya yang tinggi. Beberapa lapangan migas juga memproduksi karbon cukup tinggi,” ujar Fatar Yani.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Repsol Indonesia, Greg Holman, memaparkan bahwa investor migas tidak hanya melihat pada hal-hal yang klasik seperti bagaimana dan di mana harus menempatkan investasinya. Secara umum, keputusan menempatkan investasi akan memperhatikan beberapa hal, seperti prospek bisnis yang ada, rencana pembiayaan pembangunan, waktu yang diperlukan untuk pengembangan, akses terhadap pasar, dan kebijakan fiskal yang ada pada negara tersebut, hingga bagaimana peraturan yang ada dapat mendukung atau tidak terhadap investasi yang dilakukan.

“Sejauh ini Indonesia sudah banyak sesuai dengan hal-hal tersebut. Kami melihat pasar energi yang begitu besar di sini,” ujar Greg.

Devisa Impor Migas dan Pemanfaatan Panas Bumi

Investor.id; 3 Agustus 2021

Peningkatan harga minyak mentah dalam beberapa waktu terakhir, berdampak terhadap meningkatnya nilai impor migas. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan impor migas Indonesia pada Juni 2021 meningkat sebesar 239,38% year on year (yoy). Konsekuensinya, kebutuhan devisa impor migas pada periode yang sama juga terpantau meningkat.

Meningkatnya kebutuhan devisa impor migas berpotensi memberi dampak negatif terhadap perekonomian secara keseluruhan. Naiknya kebutuhan devisa impor, berpotensi mendorong terjadinya defisit neraca dagang dan depresiasi nilai tukar rupiah. Selain itu, meningkatnya kebutuhan devisa impor juga berpotensi menambah kebutuhan anggaran subsidi di APBN.

Sementara bagi sektor riil, kenaikan tersebut berpotensi menurunkan daya saing barang dan jasa yang diproduksikan. Bagi Pertamina, peningkatan harga minyak yang disertai meningkatnya volume dan nilai impor migas berpotensi memberikan dampak negatif terhadap segmen usaha hilir Pertamina terutama yang terkait dengan kegiatan usa ha niaga BBM. Ketika harga mi nyak meningkat, biaya penyediaan BBM oleh Pertamina juga meningkat. Apalagi jika minyak mentah dan/atau BBM tersebut dipenuhi dari kegiatan impor. Pasal 28 ayat (2) UU No 22/2001 mengamanatkan bahwa penetapan harga jual BBM di dalam negeri menjadi kewenangan negara dan oleh karenanya diamanatkan agar diintervensi oleh pemerintah.

Dalam implementasinya, harga jual BBM yang ditetapkan oleh pemerintah seringkali lebih rendah dari harga wajar. Akibatnya, ketika harga minyak mentah mengalami kenaikan, Pertamina sebagai pelaksana penugasan harus menanggung kerugian akibat selisih harga wajar dan harga penetapan pemerintah. Panas Bumi dan Devisa Impor Migas Studi ReforMiner menemukan bahwa Indonesia berpotensi dapat mengurangi kebutuhan devisa impor migas melalui pemanfaatan panas bumi. Data menunjukkan Indonesia memiliki potensi panas bumi sekitar 28.000 MW, terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Pemanfaatan panas bumi tersebut dapat menjadi instrument untuk mengurangi kebutuhan BBM di sektor pembangkitan listrik. Dengan berkurangnya kon sumsi BBM untuk pembangkit listrik, kebutuhan devisa impor migas juga akan berkurang.

Pemanfaatan panas bumi untuk menggantikan PLTD, pembangkit listrik yang selama ini menggunakan BBM jenis solar, akan berdampak terhadap berkurangnya konsumsi solar. Dampak selanjutnya, akan terjadi penghematan de visa impor migas.

Berdasarkan Statistik PLN 2020, kapasitas terpasang PLTD di Indonesia saat ini sebesar 5.407,04 MW. PLTD tersebut terdistribusi di wilayah Luar Jawa sebesar 4.926,73 MW dan di wilayah Jawa sebesar 480,31 MW. Berdasarkan sejumlah referensi, untuk membangkitkan 1 MW PLTD paling tidak diperlukan se kitar 47,30 barel BBM per hari. Karena itu, jika mengacu pada kapasitas PLTD Indonesia yang ter catat sebesar 5.407,04 MW tersebut diperlukan sekitar 93,34 juta barel BBM per tahun yang digunakan untuk memproduksikan listrik dari PLTD.

Mengacu pada harga minyak mentah saat ini yang berada pada kisaran US$ 70 per barel, serta jika seluruh BBM diimpor, maka kebutuhan devisa impor migas yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan BBM untuk PLTD di Indonesia lebih dari US$ 6,53 miliar untuk setiap tahunnya.

Penghematan devisa impor migas secara riil dapat diperoleh dengan menggantikan produksi listrik PLTD dengan listrik panas bumi. Karena itu, untuk jangka pendek penghematan hanya akan dapat diperoleh ketika di wilayah di mana PLTD tersebut dibangun juga telah terdapat pembangkit listrik panas bumi atau PLTP yang telah berproduksi.

Data Statistik PLN 2020 menunjukkan saat ini terdapat 1.386,27 MW PLTD yang dikelola PLN tersebar di wilayah yang juga telah terdapat PLTP yang sudah beroperasi. Berdasarkan kondisi yang ada tersebut, pemerintah melalui PLN dapat melakukan pengurangan kebutuhan devisa melalui substitusi kegiatan operasional pembangkit-pembangkit PLTD tersebut dengan PLTP. Tahapan yang diperlukan selanjutnya adalah kemauan politik dari para stakeholder pengambil kebijakan bersedia untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan PLTD atau tidak.

Simulasi ReforMiner menemukan, jika PLN dapat menyubstitusi produksi listrik dari PLTD tersebut menggunakan PLTP, negara berpotensi mendapat penghematan devisa impor migas lebih dari US$1,67 miliar untuk setiap tahunnya. Karena itu pemanfaatan panas bumi pada dasarnya tidak sekadar menyangkut bagaimana memproduksikan energi, tetapi juga memiliki irisan dengan aspek ekonomi Indonesia.

Pemanfaatan panas bumi memiliki kontribusi penting terhadap perekonomian Indonesia. Untuk sisi moneter, pemanfaatan panas bumi berpotensi memperbaiki neraca dagang dan stabilitas nilai tukar rupiah akibat berkurangnya kebutuhan devisa impor migas. Pemanfaatan panas bumi juga berpotensi memberikan dampak positif terhadap kondisi fiskal di APBN. Hal tersebut karena substitusi PLTD dengan produksi listrik dari panas bumi berpotensi mengurangi besaran anggaran subsidi listrik di APBN.

Mencermati bahwa struktur ekonomi Indonesia saat ini masih relatif tergantung terhadap impor bahan baku dan bahan penolong, maka pemanfaatan panas bumi dapat membantu memperbaiki daya saing produksi barang dan jasa dalam negeri. Berkurangnya devisa impor migas akibat pemanfaatan panas bumi dapat membantu memperkuat nilai tukar rupiah. Dampak ikutannya, secara relatif impor bahan baku dan bahan penolong menjadi lebih murah. Sehingga daya saing produksi barang dan jasa di dalam negeri secara relative akan meningkat.

Berdasarkan temuan dan permasalahan yang ada tersebut, dapat dikatakan bahwa pengembangan dan pemanfaatan panas bumi yang saat ini baru sekitar 7% dari total potensi yang dimiliki Indonesia perlu untuk ditingkatkan. Bagi Indonesia, pengembangan dan pemanfaatan panas bumi memiliki arti yang lebih luas dari sekadar untuk mendapatkan pasokan energi. Pengembangan dan pemanfaatan panas bumi juga akan merefleksikan bagaimana level kehidupan sosial dan ekonomi Indonesia. Penghematan devisa impor migas pada dasarnya hanya sebagian kecil dari manfaat yang akan diperoleh dari pengembangan dan pemanfaatan panas bumi. Bagi Indonesia, pengembangan dan pemanfaatan panas bumi pada dasarnya bagian dari kehidupan itu sendiri.

*) Direktur Eksekutif ReforMiner Institute dan Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi