Pengamat Nilai Indonesia Harus Optimalkan PLTU Batubara

Tribunbisnis.com; 29 September 2021

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai Indonesia seharusnya mengoptimalkan pembangkit listrik bertenaga batubara yang ada.

Ia menilai pemanfaatan energi terbarukan masih terlampau belum siap.

“Indonesia bisa mengambil pelajaran dari Inggris dan beberapa negara Eropa yang kini kembali menggunakan PLTU berbasis batubara untuk mengatasi krisis energi,” kata Komaidi kepada wartawan, Rabu (29/9/2021).

Di sisi lain, untuk beralih ke energi baru dan terbarukan (EBT) Indonesia dinilai masih membutuhkan waktu lebih.

“Kalau kita lihat di Amerika Serikat, EBT hanya 12 persen di tahun 2020. Kalau Inggris sudah lama pakai fosil, mereka sudah 400 tahun pakai batubara, sejak era revolusi industri,” tutur Komaidi.

Pekan ini, krisis energi melanda Inggris dan beberapa negara Eropa.

Ini menyadarkan mereka bahwa tidak bisa serta-merta mengandalkan dan bergantung sepenuhnya kepada energi baru terbarukan.

Di saat sama, harga gas meroket 250 persen karena keterbatasan pasokan di Barat.

Komaidi yakin, sejauh ini teknologi batu bara akan tetap menjadi energi yang dominan di pembangkit listrik Indonesia.

Ia melihat, pemerintah akan berpikir realistis untuk menggunakan energi yang termurah.

Ia mengatakan, Indonesia perlu berhati-hati menyikapi masalah transisi energi ini.

Menurutnya, EBT bisa dikembangkan, tapi jika belum bisa kompetitif, jangan dipaksakan.

Ditambahkannya, sekalipun menggunakan batubara, PLTU baru saat ini sudah pakai teknologi maju. Di antaranya PLTU USC (Ultra Super Critical) yang bisa dihitung biaya produksinya.

“EBT sebagai pelengkap, bukan pengganti. Kalau diibaratkan makanan di meja, EBT itu ibarat sambal, bukan nasi nya. Hal ini sejalan dengan yang dituangkan Rencana Umum Energi Nasional dimana 2050 konsumsi fosil masih besar, dan EBT hanya 23 persen maksimal,” ujarnya.

Senada, Direktur Eksekutif Energi Watch Mamit Setiawan mengatakan, transisi energi menuju terbarukan pasti akan terjadi, mengingat sudah banyak negara berkomitmen untuk menerapkannya.

Namun, untuk Indonesia, lanjutnya, saat ini belum bisa menerapkan energi baru terbarukan tersebut.

“Transisi energi pasti terjadi, tapi sesuaikan kondisi. Kita harus melihat kondisi bahwa kita banyak belum siapnya. Karena masyarakat kita belum siap membeli energi dengan harga mahal,” kata Mamit.

Transisi Energi Bersih, Indonesia Tetap Butuh Migas Sampai dengan 2050

Bisnis.com – 20 September 2021

Indonesia diproyeksi masih akan membutuhkan minyak dan gas bumi (migas) hingga 2050, meski di saat yang bersamaan pemerintah terus melakukan transisi energi bersih.

Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia diproyeksi masih akan membutuhkan minyak dan gas bumi (migas) hingga 2050, meski di saat yang bersamaan pemerintah terus melakukan transisi energi bersih.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan bahwa pemerintah melalui Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) seperti ditetapkan dalam Perpres Nomor 22/2017 memproyeksikan konsumsi minyak dan gas Indonesia pada 2050 mencapai 8,69 juta barel setara minyak per hari (BOEPD). Kendati RUEN menetapkan porsi minyak dalam bauran energi Indonesia menurun dari paling banyak 25 persen pada 2025 menjadi paling banyak 20 persen di 2050, secara volume konsumsi minyak Indonesia meningkat sekitar 111 persen dari 2,19 juta BOPD pada 2025 menjadi 4,62 juta BOPD di 2050.

Sementara itu, RUEN menetapkan porsi gas dalam bauran energi Indonesia meningkat dari 22,4 persen pada 2025 menjadi 24 persen di 2050. Volume konsumsi gas diproyeksikan meningkat sekitar 171 persen dari 1,76 juta BOEPD pada 2025 menjadi 4,79 juta BOEPD di 2050. “Berdasarkan proyeksi RUEN, total konsumsi minyak dan gas bumi Indonesia akan meningkat sekitar 137 persen, meningkat dari 3,95 juta BOEPD pada 2025 menjadi 9,40 juta BOEPD di 2050,” ujar Komaidi dalam risetnya yang dikutip pada Senin (20/7/2021).

Komaidi menambahkan, titik balik produksi emisi dari negara-negara di kawasan Eropa rata-rata terjadi ketika pendapatan per kapita mereka telah lebih dari US$30.000. Secara umum, negara-negara di kawasan Eropa baru memberikan perhatian terhadap pengembangan dan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) ketika tingkat kesejahteraan masyarakatnya berada pada level yang cukup tinggi. Porsi EBT pada bauran energi primer Amerika Serikat pada 2020 misalnya, tercatat baru sekitar 12 persen terhadap total konsumsi energinya.

Sementara itu, pada tahun yang sama pendapatan per kapita Amerika Serikat tercatat sekitar US$64.000. Pada 2020, pendapatan per kapita Indonesia tercatat baru sekitar US$3.900, atau sekitar 6 persen dari pendapatan per kapita Amerika Serikat.

“Pada tahap awal, suatu negara akan berfokus pada peningkatan pendapatan per kapita yang disertai dengan meningkatnya produksi emisi. Titik balik akan terjadi ketika produksi emisi telah mencapai level tertinggi dan pendapatan per kapita suatu negara telah berada pada level yang tinggi,” jelasnya.

Transisi Energi dan Peran Industri Hulu Migas

Duniaenergi.com – 20 September 2021

Pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) saat ini tampak sedang memperoleh perhatian dari publik dan stakeholder pengambil kebijakan. Tren global yang mendorong adanya proses transisi energi dinilai menjadi momentum yang baik untuk dapat mengembangkan EBT yang sejauh ini relatif belum kompetitif. Hal tersebut juga didasari pada komitmen negara-negara di dunia untuk meningkatkan porsi EBT dalam bauran energi mereka.

Sejalan dengan menguatnya isu transisi energi, pengembangan dan pengusahaan energi fosil termasuk industri hulu migas secara relatif tampak tidak lagi memperoleh perhatian. Para penggiat lingkungan dan EBT bahkan dalam beberapa kesempatan menyerukan agar pengusahaan dan pemanfaatan energi fosil yang dinilai kotor untuk segera ditinggalkan.

Keberpihakan kepada pengembangan EBT dan ketidakberpihakan kepada industri fosil saat ini terpantau tidak hanya sebatas seruan, tetapi sudah mulai diformulasikan dalam konsep kebijakan yang secara bertahap didorong untuk diimplementasikan. Salah satunya adalah adanya wacana kebijakan green investment yang akan diimplementasikan secara masif.

Prinsip dari kebijakan green investment adalah mendorong agar lembaga pembiayaan tidak lagi membiayai kegiatan eksplorasi dan eksploitasi energi fosil. Perbankan dan lembaga pembiayaan yang lain didorong agar hanya memberikan pembiayaan untuk industri energi yang ramah lingkungan. Termasuk memberikan insentif kepada industri yang menggunakan EBT di dalam proses produksi mereka.

Kesiapan Indonesia

Apakah Indonesia sudah siap untuk melakukan transisi energi dalam jangka pendek? Jika melihat kondisi eksisting bauran energi nasional dan praktik transisi energi di sejumlah negara, Indonesia dapat dikatakan belum cukup siap jika harus melakukan transisi energi dalam jangka pendek. Transisi energi di Indonesia harus dilakukan secara bertahap dan tidak dapat tergesa-gesa.

Dalam Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) yang ditetapkan melalui Perpres No 22/2017 cukup jelas bahwa pemerintah memproyeksikan sampai dengan 2050 Indonesia masih akan cukup bergantung pada pemanfaatan energi fosil. Untuk minyak bumi misalnya, meskipun RUEN menetapkan porsi minyak bumi dalam bauran energi Indonesia akan menurun dari paling banyak 25 % pada 2025 menjadi paling banyak 20 % pada 2050, secara volume konsumsi minyak Indonesia justru meningkat sekitar 111 % dari 2,19 BOPD pada 2025 menjadi 4,62 BOPD pada 2050.

Sementara, porsi gas dalam bauran energi Indonesia diproyeksikan meningkat dari 22,4 % pada 2025 menjadi 24 % pada 2050. Volume konsumsi gas diproyeksikan meningkat sekitar 171% dari 1,76 BOEPD pada 2025 menjadi 4,79 BOEPD pada 2050. Dengan demikian total konsumsi minyak dan gas bumi Indonesia akan meningkat sekitar 137 %, meningkat dari 3,95 BOEPD pada 2025 menjadi 9,40 BOEPD pada 2050.

Selain memiliki peran penting dalam bauran energi, sektor minyak dan gas bumi juga memiliki peran strategis dalam struktur perekonomian Indonesia. Data Input-Output (IO) Indonesia menunjukkan bahwa dari sekitar 185 sektor ekonomi di Indonesia, sekitar 150 sektor ekonomi diantaranya memiliki keterkaitan (linkage) dengan sektor migas. Sektor hulu migas juga memiliki peran penting dalam realisasi invesatasi di Indonesia. Data menunjukkan, rata-rata realisasi investasi hulu migas selama periode 2015-2020 sekitar 27 % terhadap total realisasi investasi seluruh sektor ekonomi di Indonesia.

Dari aspek konsep dan teori terkait transisi energi, Environmental Kuznet Curve (EKC) menyebutkan bahwa hubungan antara degradasi lingkungan (produksi emisi) dengan pendapatan per kapita suatu negara akan membentuk kurva parabola. Pada tahap awal, suatu negara akan berfokus pada meningkatkan pendapatan per kapita yang disertai dengan meningkatnya produksi emisi. Titik balik akan terjadi ketika produksi emisi telah mencapai level tertinggi dan pendapatan per kapita suatu negara pada saat yang sama telah berada pada level yang juga tinggi.

Kajian ReforMiner menemukan bahwa titik balik produksi emisi dari negara-negara di Kawasan Eropa rata-rata terjadi ketika pendapatan per kapita mereka telah mencapai lebih dari 30.000 USD per kapita. Secara umum, negara-negara di Kawasan Eropa terlebih dahulu berfokus meningkatkan pendapatan per kapita baru kemudian memberikan perhatian terhadap pengembangan dan pemanfaatan EBT ketika tingkat kesejahteraan meraka telah berada pada level yang cukup tinggi.

Amerika Serikat meskipun dapat dikatakan telah memiliki level kesejahteraan yang cukup tinggi, relatif belum memberikan perhatian terhadap pengembangan EBT mereka. Porsi EBT pada bauran energi primer Amerika Serikat pada tahun 2020 tercatat baru sekitar 12 % terhadap total konsumsi energi mereka. Sementara pada tahun yang sama pendapatan per kapita Amerika Serikat tercatat sekitar 64.000 USD per kapita.

Pada tahun 2020, pendapatan per kapita Indonesia tercatat baru sekitar 3.900 USD per kapita atau hanya sekitar 6 % dari pendapatan per kapita Amerika Serikat. Karena itu, ketika porsi EBT Amerika Serikat dalam bauran energi mereka saat ini tercatat baru sekitar 12 %, sementara Indonesia memaksakan diri untuk mencapai porsi 23 % dalam bauran energi primer nasional dapat dikatakan bahwa hal tersebut tidak cukup proporsional.

Berdasarkan sejumlah catatan yang ada tersebut, stakeholder pengambil kebijakan kiranya perlu memberikan perhatian terhadap kebijakan pengelolaan dan pengusahaan pada industri hulu migas. Hal tersebut mengingat bahwa berdasarkan kondisi eksisting dan proyeksi pemerintah untuk tahun 2050, cukup jelas bahwa transisi energi tidak akan mengurangi peran penting migas dalam bauran energi Indonesia. Hal tersebut tercermin dari konsumsi migas Indonesia pada 2050 yang diproyeksikan masih akan sekitar 9,40 BOEPD. (*)

Migas Berperan Besar, Pemerintah Perlu Hati-hati Transisi Energi

Bisnis.com; 14 September 2021

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah diminta untuk secara cermat menyikapi tren transisi energi baru terbarukan yang tengah digaungkan banyak negara maju. Peran sektor minyak dan gas bumi yang masih besar terhadap perkembangan ekonomi nasional masih perlu mendapatkan perhatian.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro berpendapat kampanye terhadap transisi energi perlu disikapi dengan bijak oleh pemerintah. Pasalnya, kampanye transisi energi paling sering dilakukan oleh negara-negara di benua Amerika dan Eropa.

Dia menuturkan, berdasarkan data Departemen Energi Amerika Serikat realisasi bauran energi baru dan terbarukannya mencapai 12 persen.

“Mereka menyikapinya apakah betul kemudian ekonomi lingkungan atau ekonomi murni berkaitan dengan Amerika dan Eropa yang berada dalam posisi kalah dagang dengan negara-negara di Asia Pasifik seperti India, Korea Selatan, Jepang yang notabene masih cukup besar menggunakan energi fosil,” katanya dalam webinar yang digelar pada Selasa (14/9/2021).

Oleh karena itu, perlu adanya kehatian-hatian dalam menjalankan strategi transisi energi agar nantinya tidak berdampak negatif terhadap sektor minyak dan gas bumi (migas) di dalam negeri. Terdapat risiko besar yang perlu dihadapi pemerintah apabila nantinya sektor migas terdampak. Komaidi menjelaskan, kendati kontribusinya terhadap keuangan negara relatif rendah, tetapi dari 180 sektor yang ada di dalam negeri, setidaknya terdapat 140 sektor industri yang memiliki kaitan erat dengan sektor migas.

“Kalau penanganannya tidak tepat, kalau pun tidak pas, ini juga perlu hati-hati karena ada risiko ekonomi dari tenaga kerja nanti yang akan menjadi korban di Tanah Air dari 150 sektorterkait dengan hulu migas itu,,” ungkapnya.

Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan investasi energi baru terbarukan mencapai Rp400 triliun dalam 10 tahun ke depan setelah RUU Energi Baru Terbarukan rampung.

Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menerangkan bahwa hasil diskusi dengan PT PLN (Persero) dan Kementerian ESDM memproyeksikan EBT di Indonesia mencapai 20 Gigawatt 10 tahun mendatang. Dadan mengasumsikan hitung-hitungan sederhana dari jenis EBT kelistrikan mulai di kisaran Rp1 juta hingga Rp2 juta per Megawatt.

Tidak Ada Basis Ekonomi Kuat, Penggunaan PLTS Atap Secara Masif Dipaksakan?

DuniaEnergi, 09 September 2021

JAKARTA – Pemerintah harus matangkan rencana untuk mendorong penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) khususnya PLTS Atap secara masif. Pasalnya dengan PLTS Atap ada beberapa konsekuensi yang harus diterima. Masalahnya konsekuensi tersebut berhubungan juga dengan target-target pemerintah.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengungkapkan pemerintah telah mengakui dengan masifnya pembangunan PLTS akan berdampak pada menurunny konsumsi gas untuk pembangkit.

“Saya kira ini yang perlu ditimbang ulang oleh pemerintah. Dalam kajian kami ditemukan ada sejumlah potensi dampak yang perlu diantisipasi,” kata Komaidi kepada Dunia Energi, Kamis (9/9).

Selain itu, masifnya PLTS telah memberikan dampak terhadap berkurangnya rencana konsumsi untuk listrik.

“Ini juga tidak sejalan dengan target 1 juta barel dan target produksi gas pemerintah,” ungkap dia.

Kemudian menurut Komaidi PLTS sejauh ini komponen TKDNnya rendah. “Sehingga kalau dipaksakan masif nilai tambah ekonominya bukan Indonesia yang menikmati tapi negara produsen panel surya yang kita impor,” tegas Komaidi.

Dia menjelaskan jika melihat data PLN 2019 biaya pembangkitan PLTS mencapai kisaran Rp 11.000 per kWh. Sementara pada periode yg sama BPP Listrik Nasional hanya kisaran Rp 1000 per kWh

Menurut Komaidi dari sejumlah data tersebut tidak ditemukan basis yang kuat dari pemerintah untuk mendorong PLTS menjadi masif. Sehingga seperti terkesan dipaksakan.

“Setidaknya dari perpektif makro ekonomi dan mikro bisnis kelistrikan juga tidak ditemukan basis yang kuat,” ungkap Komaidi.

Jika PLTS Atap nanti sudah masif digunakan, minimal di pulau Jawa akan ada konsekuensi baru yakni berkurangnya penggunaan pembangkit lain. Selama ini ada dua jenis pembangkit yang jadi penopang utama pemasok listrik di Jawa Bali yakni Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) serta Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG). Kementerian ESDM memilih pembangkit listrik bertenaga gas yang akan diganti nantinya dengan PLTS Atap.

Rida Mulyana, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, mengatakan apabila PLTS Atap nanti masuk ke sistem PLN dan tidak diikuti dengan penambahan demand listrik yang tinggi maka mau tidak mau akan ada pembangkit yang dimatikan.

“Tentu saja kalau demand tidak tambah tapi dengan mengurangi pembangkit yang ada. Dalam hal ini yang paling mungkin ada dua yang berbasis gas dan batu bara. Yang paling gampang dari sisi ekonomi dan teknis yakni mengurangi pembangkit listrik berbasis gas yang melalui pipa, LNG atau CNG,” kata Rida.

Berdasarkan kajian Ditjen Ketenagalistrikan, untuk PLTS kapasitas 1 Gigawatt (GW), ada pengurangan konsumsi gas sebesar 62,788 MMBTUD, atau 7% dari total pemakaian gas per hari untuk pembangkitan listrik. “Itu di wilayah Jawa Madura Bali,” tukas Rida.

ReforMiner: Konsistensi Aturan, Kunci Penghapusan BBM Premium

Katadata.co.id; 6 September 2021

Pengamat menduga program “Langit Biru” dengan mendiskon harga BBM Pertalite karena penyediaan Premium semakin membebani keuangan Pertamina.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menganggap penugasan pemerintah ke Pertamina dalam distribusi BBM jenis Premium (RON 88) sebagai kebijakan abu-abu. Pasalnya, pemerintah tidak mempunyai kewenangan penuh dalam menetapkan harga BBM tersebut meski tak disubsidi lagi.

Alhasil, peran negara terkait subsidi penyaluran BBM jenis Premium menjadi tanggung jawab Pertamina. “Sebagai perusahaan negara, Pertamina, mau tak mau, harus menanggung semua beban itu,” ujarnya dalam acara Energy Corner, Senin (6/9).

Oleh karena itu ia mendorong agar pemerintah menghapuskan BBM Premium. Apalagi menurut Menteri ESDM Arifin Tasrif, hanya ada 4 di negara di dunia yang masih mengkonsumsi BBM jenis RON 88 ini.

“Dalam konteks pemerintahan dan konteks pengadaan, kalau sedikit, harga jadi gak jelas. Ini ekspor impor jadi celah, jangan-jangan kebijakan langit biru gak semata-mata dorong masyarakat untuk lingkungan tapi juga karena rugi Pertamina makin besar,” ujarnya.

Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman menilai masih banyak faktor yang perlu dibahas kembali dalam rencana penghapusan BBM Premium. Pasalnya, pertimbangan dari segi tekno ekonomi dan demografi menjadi sesuatu yang sangat penting sebelum hal itu diterapkan.

“Saat ini kita bagaimana mendorong masyarakat kita ini untuk terus menerus beralih kepada penggunaan bahan bakar minyak yang berkualitas,” katanya.

Apalagi dunia saat ini juga mulai mengarah pada penggunaan kendaraan listrik. Untuk itu, menurut dia pihaknya akan tetap konsisten dalam mendukung penggunaan BBM ramah lingkungan.

“Pemerintah tentu memikirkan hal ini dan kebijakan terbaik sehingga masyarakat itu tetap terjamin energinya, BBM-nya, sambil perlahan-lahan kita dorong untuk menggunakan BBM ramah lingkungan,” katanya.

Menteri ESDM Arifin Tasrif sebelumnya memastikan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) jenis premium di dalam negeri akan mulai dibatasi. Terutama untuk yang berada di wilayah Jawa, Madura, dan Bali (Jamali).

Pernyataan tersebut menjawab pertanyaan dari Anggota Komisi VII yang mempertanyakan mengenai tidak adanya premium dalam daftar asumsi dasar sektor energi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2022.

Adapun dalam materi yang dipaparkan Arifin, disebutkan volume BBM bersubsidi hanya mencakup minyak tanah dan BBM Solar. Kebijakan ini lantaran BBM beroktan rendah seperti Premium tidak ramah lingkungan, sedangkan pemerintah tengah berupaya menekan emisi gas rumah kaca.

“Premium ini memang menyebabkan masalah emisi, itu yang memang akan dikurangi di daerah Jamali. Sebagai gantinya untuk Jamali ini masuk Pertalite, karena lebih ramah lingkungan,” kata Arifin beberapa waktu lalu.

Meski demikian, khusus di luar Jamali, dia menjamin pasokan BBM berjenis premium masih dapat ditemui. Kebijakan ini baru diwacanakan untuk di tiga pulau itu saja. Wacana penghapusan premium ini sebenarnya bukan kali ini saja terjadi. Di tahun lalu misalnya, Arifin mendorong masyarakat untuk beralih dari penggunaan Premium ke Pertalite.

 

 

 

Penghapusan BBM Ron 88, Pengamat Soroti Konsistensi Pemerintah Dalam Implementasi Regulasi

RuangEnergi.com; 6 September 2021

Jakarta, Ruangenergi.com – Anggota Komite BPH Migas, Saleh Abdurrahman, mengungkapkan bahwa dalam 5 tahun terakhir ini terjadi kecenderungan penurunan penggunaan BBM Ron 88 alias Premium.

Hal tersebut sebagaimana rencana yang dilakukan pemerintah dalam penggunaan BBM ramah lingkungan melalui pengurangan konsumsi BBM Ron 88 di masyarakat.

“Catatan kami di 2016 dari 12,9 juta KL kuota Ron 88, ini yang terserap 10,6 juta KL atau 81%. Kemudian di 2017 juga demikian, dari 12 juta KL Kouta yang terserap hanya 7 juta KL, 2018 dari 11 juta KL kouta hanya terserap 9 juta KL. Di 2019 ada kenaikan sedikit, namun di 2020 kembali turun dari 11 juta KL kuota hanya terserap 8 juta KL atau 77%, dan di 2021 ini hingga Juli kemarin konsumsi Premium baru sekitar 2 juta KL,” katanya dalam program acara Squawk Box, CNBC Indonesia, (06/09).

Secara bersamaan, Direktur Eksekutif ReforMiner, Komaidi Notonegoro, mengatakan bahwa kunci kesuksesan dari kebijakan penghapusan BBM Ron 88 itu ada di konsistensi Pemerintah.

“Kalau energi itu, saya selalu menyampaikan teorinya seperi air, akan mengalir ketempat yang lebih rendah. Sepanjang di pasar ada harga yang lebih rendah biasanya masyarakat yang relatif belum teredukasi, apalagi aspek lingkungan belum menjadi perhatian utama biasanya akan memilih harga produk (BBM) yang lebih murah. Jadi kalau BBM Premium disediakan akan kesana mereka,” jelas Komaidi.

“Ketika Peraturan Presiden 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak diterbitkan, sebenarnya kami sangat senang sekali bahwa disitu ada niat baik pemerintah untuk mengurangi penggunaan BBM Ron 88 secara bertahap,” terang Komaidi.

Ia melanjutkan, kebijakan ini juga sangat relevan dengan apa yang direkomendasikan oleh Tim Anti Mafia Migas, yang diketuai oleh Faisal Basri pada saat itu. Di mana pada 2015, Tim Anti Mafia Migas merekomendasikan bahwa ini harus dihapus secara bertahap.

Kemudian, lanjutnya, pada saat itu, PT Pertamina (Persero) sebagai pelaksana dan Pemerintah berkomitmen paling tidak butuh waktu sekitar 2 tahun untuk penghapusan BBM Ron 88. Sehingga ekspektasinya tahun 2017 sudah selesai.
“Akan tetapi, yang kami sayangkan kemudian Pemerintah merevisi Perpres 191 tahun 2014 dengan Perpres 23 tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, yang disana ada pelonggaran,” paparnya.

Komaidi mengungkapkan, data yang disampaikan oleh Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman tersebut sangat betul. Akan tetapi di aspek regulasi perlu komitmen kuat dari pemerintah karena pelonggaran Perpres 23/2018.

“Di 2018 itu datanya ke baca, realisasi penggunaan BBM Ron 88 dari 7 juta KL di 2017 meningkat menjadi 9 juta KL di 2018. Di 2021 serapannya masih sedikit yakni sekitar 2 juta KL, karena mungkin ada beberapa faktor, saya melihatnya Pandemi Covid-19 juga dan ada program langit biru yang dilaksanakan oleh Pertamina yaitu memberikan diskon harga khusus Pertalite setara Premium di beberapa titik termasuk di Jabodetabek,” imbuhnya.

Dia menilai ada multi faktor terhadap penurunan penggunaan BBM Ron 88 di 2021. Meski begitu, dia menyoroti konsistensi Pemerintah di dalam mengimplementasikan regulasinya.

“Saya soroti konsistensi Pemerintah dalam implementasi regulasi. Sudah turun kemudian kok diperlonggar kembali,” tuturnya.

Lebih jauh, ia menjelaskan, di Perpres 191/2014 wilayah Jamali tidak boleh ada BBM Premium, artinya harus di luar Jamali. Akan tetapi dengan adanya Perpres 43/2018 kemudian dilonggarkan kembali di mana Jamali bisa menggunakan kembali Premium.