Harga BBM Subsidi dan LPG Tak Naik Menolong Rumah Tangga Masyarakat Miskin

Liputan6.com; 27 Juni 2022

Liputan6.com, Jakarta Ekonom menilai jika kebijakan pemerintah dan Pertamina yang tetap mempertahankan harga BBM subsidi jenis Solar dan Pertalite hingga LPG 3 kg memberikan dampak baik. Kenaikan tak dilakukan meski harga minyak mentah global terus bertahan di atas USD 110 per barel.

Peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan subsidi BBM dan LPG 3 kg berdampak positif terhadap konsumsi rumah tangga khususnya kelompok 40 persen pengeluaran terbawah.

Selama ini penduduk miskin dan rentan memanfaatkan subsidi BBM dan LPG sehingga terdapat disposable income yang digunakan untuk belanja kebutuhan lain.

“Kalau ada sisa belanja karena BBM-nya disubsidi, orang miskin bisa beli keperluan sekolah anak, misalnya. Ini sangat membantu menjaga daya beli terlebih saat ini ancaman dari kenaikan harga pangan terjadi,” ujar Bhima melansir Antara di Jakarta, Senin (27/6/2022).

Langkah pemerintah mengalokasikan dana Rp500 triliun untuk subsidi energi dan dana kompensasi jelas tidak percuma. Ini sangat membantu percepatan pemulihan konsumsi rumah tangga dan jaga stabilitas inflasi.

“Bayangkan kalau harga Pertalite naik menjadi harga keekonomian di Rp 14.000 per liter yang pusing bukan hanya pemilik kendaraan bermotor tapi guncangan inflasi bisa melemahkan kurs rupiah dan membuat aliran modal keluar. Indonesia bisa terjun ke resesi ekonomi,” jelas Bhima.

Namun sebaiknya subsidi BBM dan LPG 3 kg tersebut bisa lebih tepat sasaran mengingat menahan harga BBM dan LPG subsidi memiliki konsekuensi terhadap peningkatan beban subsidi energi dan kompensasi yang harus digelontorkan pemerintah hingga mencapai Rp 500 triliun pada 2022.

Perbaiki Data 

Bhima menegaskan pendistribusian subsidi ini tidak boleh lagi serampangan. Perbaikan data demi memastikan penyaluran subsidi tepat sasaran jadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah.

Bhima menyatakan subsidi bisa lebih tepat sasaran kuncinya ada pada integrasi data kependudukan dengan data kendaraan.

Kriteria penduduk yang rentan dan miskin sudah ada di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), namun itu belum sinkron dengan data kendaraan bermotor.

2 Fungsi Subsidi BBM

Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Padjadjaran, Yayan Satyakti, mengungkapkan subsidi BBM memiliki dua fungsi yang sangat efektif di tengah ketidakpastian global.

Pertama, subsidi BBM dapat menahan laju inflasi yang dapat memberikan bantuan terhadap kebijakan pembiayaan sehingga Bank Indonesia (BI) tidak meningkatkan suku bunga.

Hingga saat ini, berdasarkan rilis kebijakan BI per 23 Juni 2022, BI masih berani tidak meningkatkan suku bunga REPO rate, masih tetap di 3,5 persen. BI juga cenderung untuk meningkatkan GWM agar menarik dana overliquid di sektor perbankan yang terjadi selama pandemi.

“Hal ini sangat membantu saat pemulihan ekonomi dimana masyarakat membutuhkan pembiayaan untuk kredit modal kerja, konsumsi, dan lain-lain,” kata Yayan.

Penggerak Ekonomi

Menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, secara konsep subsidi seharusnya untuk membantu peningkatan daya beli masyarakat. Namun untuk subsidi BBM, tidak sepenuhnya tepat.

“Mengingat ada filosofi yang kurang tepat karena yang dapat subsidi justru yang mampu atau pemilik mobil,” katanya.

Komaidi menyebutkan subsidi telah menggerakkan ekonomi nasional, meskipun tidak sepenuhnya. Subsidi menjadi katalis ekonomi, terutama subsidi untuk angkutan umum dan barang.

“Kalau dari sejumlah kajian (dampaknya) positif meskipun ada temuan bahwa dampaknya masih bisa dimaksimalkan,” kata doktor ekonomi dari Universitas Trisakti yang menulis disertasi soal BBM dan LPG Subsidi.

Mekanisme yang dipilih dalam pemberian subsidi, lanjut Komaidi, seharusnya menggunakan subsidi langsung sehingga bisa tepat sasaran. Penerapan subsidi langsung lebih memungkinkan masyarakat relatif siap. “Saya melihat kuncinya justru ada pada kesiapan pemerintah,” katanya.

Pentingnya Peran Migas dalam Transisi Energi dan Dukungan Insentif pada Sektor Hulu

Kontan.co.id 15 Juni 2022

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Transisi energi yang tengah gencar dilakukan di Indonesia dipastikan tidak akan menggeser peran energi fosil baik minyak maupun gas bumi. Sampai beberapa tahun bahkan puluhan tahun mendatang peran migas masih sangat vital untuk memenuhi kebutuhan energi Indonesia, termasuk menggerakkan perekonomian nasional.

Namun sayang, lapangan–lapangan migas yang saat ini berproduksi umurnya sudah sangat tua (mature) yang mempengaruhi keekonomian proyek maupun lapangan migas tersebut. Pemerintah masih optimistis produksi migas masih bisa ditingkatkan melalui investasi yang dalam praktiknya tidak mudah. Salah satu usaha yang harus dilakukan adalah memberikan insentif bagi kegiatan usaha hulu migas.

Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PKS, Mulyanto mengatakan produksi migas harus terus didorong meskipun ada anggapan migas sudah habis masanya tapi pada kenyataannya migas berdampak langsung terhadap perekonomian Indonesia. Selain itu, di tengah kondisi sekarang saat harga minyak tinggi, negara juga menikmati keuntungan tersebut.

Akhir-akhir ini dengan harga minyak naik sudah tentu hilir tertekan, hulu ini menambah suasana kondusif. Harga naik, investasi diharapkan naik, harganya naik. Dugaan ini terkonfirmasi Pertamina di hulu makin bagus. Bu Sri Mulyani (Menkeu) mengakui migas berikan tambahan cukup besar PNBP maupun pajak ke pendapatan negara,” jelas Mulyanto dalam acara webinar, Rabu (15/6).

Dewan Perwakilan Rakyat, menurut Mulyanto, bahkan mendorong pemerintah untuk lebih serius dalam mengejar target lifting migas sebesar 1 juta barel per hari (BPH) dan 12.000 juta kaki kubik per hari (MMscfd). Salah satunya dengan menjadikan target tersebut dituangkan dalam regulasi yang jelas.

Target 1 juta bph itu jadikan Peraturan Presiden (Perpres) atau Instruksi Presiden (Inpres). Kalau ada itu, dorongan kuat dari sisi keuangan,” ujar dia.

Anggota Dewan Energi Nasional Satya W Yudha mengatakan, transisi energi perlu dilakukan secara bertahap. Hal itu otomatis membuat hulu migas masih sangat diperlukan.

Menurut dia cara tepat dalam pengembangan energi fosil atau migas adalah dengan memperhatikan keseimbangan pengembangan hulu migas dengan penurunan emisi melalui penggunaan energi. “Teman-teman di industri migas tidak usah khawatir dengan kehadiran EBT, kita masih gunakan fosil tapi dengan teknologi bersih,” ujar Satya.

Dia menegaskan, DEN terus mendorong perbaikan iklim investasi migas agar investor betah berinvestasi di Indonesia dengan memonetisasi dari lapangan yang ada. DEN mewanti-wanti agar produksi migas jangan terus turun. Pasalnya, berdasarkan skenario yang telah disusun oleh DEN, gas menjadi backbone dalam strategi transisi energi di Indonesia.

Migas masih jadi andalan sampai EBT siap mengambil sehingga tren migas ke depan bisa menuju energi lebih bersih,” ungkap Satya.

Dalam transisi energi menuju net zero emission, porsi energi fosil dalam bauran energi Indonesia pada tahun 2060 mendatang diproyeksikan masih akan sekitar 34%.

Gas bumi diproyeksi memiliki kontribusi besar dalam bauran energi primer Indonesia. Melalui RUEN pemerintah memproyeksikan kebutuhan gas bumi dalam negeri pada 2050 sebesar 25.869,1 MMSCFD.

Sekretaris SKK Migas Dr Taslim Z Yunus  mengungkapkan dalam outlook kebutuhan energi Indonesia menunjukkan bahwa masih ada ruang bagi industri migas untuk terus tumbuh. Apalagi pemerintah telah memberikan beberapa insentif kepada beberapa kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).

“Target kami pada 2030 produksi minyak mencapai 1 juta BOPD dan gas 12 BScf,” katanya.

Upaya pemerintah untuk mencapai target produksi tersebut salah satunya dilakukan melalui pemberian paket insentif hulu migas di antaranya, penundaan sementara pencadangan biaya kegiatan pasca operasi atau abandonment and site restoration (ASR), penundaan atau penghapusan PPN LNG (penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN).

Kemudian, pembebasan biaya pemanfaatan barang milik negara (BNN) sepanjang masih digunakan untuk kegiatan usaha hulu migas, lalu penundaan atau pengurangan hingga 100% atas pajak-pajak tidak langsung, memberikan insentif hulu migas, di antaranya depresiasi dipercepat, perbaikan split untuk KKKS, dan DMO price yang lebih baik. Dan masih banyak paket insentif hulu migas lainnya.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Dr Komaidi Notonegoro menambahkan, semua pihak sudah sepakat bahwa industri hulu migas masih sangat penting dan kini tinggal bagaimana mengelolanya secara bijaksana.

Indonesia harus belajar dari beberapa negara seperti Brasil, Australia, dan Kanada yang memberikan insentif kepada operator sehingga produksi migas di ketiga negara tersebut ikut meningkat. Hal ini pada gilirannya juga meningkatkan penerimaan negara dari sektor tersebut.

Kajian yang dilakukan Reforminer memperlihatkan bahwa dari 185 sektor industri di Indonesia, sekitar 145 sektor atau 70%-80 %, memiliki keterkaitan dengan sektor hulu migas. “Index multiplier effect mencapai 39. Jadi setiap investasi migas memberikan dampak 3,9 kali dalam perekonomian kita,” katanya.

Menurut Komaidi, sektor hulu migas masih berperan penting bagi perekonomian nasional kendati ada transisi energi melalui pengembangan energi baru dan terbarukan. Apalagi, banyak produk derivatif yang dihasilkan dari minyak dan gas. “Kalau mau melangkah ke transisi energi tentu banyak hal-hal detail perlu bijak dalam melihatnya,” katanya.

 

 

Industri Migas Pegang Peranan Kunci Dalam Transisi Energi, Keseriusan Pemerintah Berikan Insentif Diperlukan

Dunia-energi.com; 15 Juni 2022

JAKARTA – Transisi energi gencar-gencarnya dilakukan di Indonesia dipastikan tidak akan menggeser peran energi fosil baik minyak maupun gas begitu saja. Sampai beberapa tahun bahkan puluhan tahun mendatang peran migas masif vital untuk memenuhi kebutuhan energi Indonesia.

Sayangnya lapangan – lapangan migas yang saat ini berproduksi umurnya sudah sangat tua atau mature yang turut mempengaruhi keekonomian proyek maupun lapangan migas tersebut.

Pemerintah sendiri masih optimistis produksi migas masih bisa ditingkatkan namun target tersebut tentu perlu investasi dan mendatangkan investasi ini untuk sekarang jadi perkara yang tidak mudah. Salah satu usaha yang harus dilakukan adalah memberikan insentif bagi kegiatan hulu migas.

Mulyanto, Anggota Komisi VII DPR RI, mengungkapkan produksi migas harus terus didorong meskipun ada anggapan migas sudah habis masanya tapi pada kenyataannya migas berdampak langsung terhadap perekonomian Indonesia. Selain itu ditengah kondisi sekarang saat harga minyak tinggi negara ternyata juga menikmati keuntungan hal itu diakui sendiri oleh pemerintah.

“Akhir-akhir ini dengan harga minyak naik sudah tentu hilir tertekan, hulu ini menambah suasana kondusif. Harga naik, investasi diharapkan naik, harganya naik. Dugaan ini terkonfirmasi Pertamina di hulu makin bagus. Bu Sri Mulyani (Menkeu) mengakui migas berikan tambahan cukup besar PNBP maupun pajak ke pendapatan negara,” jelas Mulyanto disela webinar digelar Reforminer Institute bertajuk Kebijakan Insentif untuk Mendukung Peran Penting Industri Hulu Migas dalam Transisi Energi dan Perekonomian Indonesia, Rabu (15/6).

DPR kata Mulyanto bahkan mendorong pemerintah untuk lebih serius dalam mengejar target lifting migas sebesar 1 juta barel per hari (BPH) dan 12 ribu juta kaki kubik per hari (MMscfd). Salah satunya dengan menjadikan target tersebut dituangkan dalam regulasi yang jelas.

“1 juta bph itu jadikan Peraturan Presiden (Perpres) atau Instruksi Presiden (Inpres) deh. Kalau ada itu dorongan kuat dari sisi keuangan,” ujar Mulyanto.

Satya Widya Yudha, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), menuturkan transisi energi perlu dilakukan secara bertahap. Hal itu otomatis membuat hulu migas masih sangat diperlukan. Menurut dia cara tepat dalam pengembangan energi fosil atau migas adalah dengan memperhatikan keseimbangan pengembangan hulu migas dengan penurunan emisi melalui penggunaan energi.

“Teman-teman di industri migas tidak usah khawatir dengan kehadiran EBT, kita masih gunakan fosil tapi dengan teknologi bersih,” ujar Satya.

Perbaikan kata Satya memang perlu dlilakukan. DEN mewanti-wanti jangan sampai  produksi migas terus turun karena berdasarkan skenario yang telah disusun oleh DEN gas itu backbone dalam strategi transisi energi di Indonesia.

“Tinggal bagaimana membuat gas kompetitif. Itu sudah berubah skenario, tadinya kan batu bara lalu tinggal lihat pengembangan industri migas sudah bisa membuat mereka betah berinvestasi di Indonesia, kita bisa lakukan monetisasi dari lapangan-lapangan yang ada. Migas masih jadi andalan sampai EBT siap mengambil sehingga tren migas ke depan bisa menuju energi lebih bersih,” ungkap Satya.

Sementara itu, Taslim Z Yunus, Sekretaris Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), mengungkapkan dalam outlook kebutuhan energi Indonesia menunjukkan bahwa masih ada ruang bagi industri migas untuk terus tumbuh.

“Dampak insentif fiscal revenue naik dan investasi naik goverment take naik. Pemberian insentif tidak kurangi penerimaan negara kalau kita tidak berikan insentif kita juga tidak dapat penerimaan negara,” ujar Taslim.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, menegaskan semua pihak sudah sepakat sebenarnya industri hulu migas masih sangat penting dan kini tinggal bagaimana mengelolanya secara bijaksana. “Kajian yang kita lakukan sekarang ini 185 sektor industri di indonesia dimana sekitar 145 sektor atau 70-80 % memiliki keterkaitan dengan sektor hulu migas. Index multiplier effect mencapai 39. Jadi setiap investasi migas memberikan dampak 3,9 kali dalam perekonomian kita,” jelas Komaidi.

Menurutnya melihat migas dalam konteks investasi nilai tambah ekonomi dalam kontribusi pendapatan negara dan daerah masih sangat signifikan. “Sehingga kalau mau melangkah ke transisi energi tentu banyak hal-hal detail perlu bijak dalam melihatnya,” kata Komaidi.

Problem Pembatasan Konsumsi BBM dan Peran Penting Insentif Hulu Migas

Katadata.co.id; 10 Juni 2022

Opsi pembatasan konsumsi BBM yang sedang mengemuka kemungkinan tidak menyelesaikan akar permasalahan. Pemberian insentif untuk industri hulu migas dapat menjadi solusi.

Jika level produksi dan cadangan minyak Indonesia pada 1990-an dapat dipertahankan, wacana kebijakan pembatasan konsumsi BBM mungkin tidak pernah terjadi. Dengan level produksi minyak pada tahun tersebut, pemerintah memiliki ruang untuk mengintervensi kebijakan harga BBM. Hal itu karena konsumsi BBM dalam negeri masih dapat dipenuhi dari produksi sendiri.

Akan tetapi, realisasi produksi minyak Indonesia menurun signifikan, dari1,66 juta barel per hari pada 1991 menjadi 743 ribu barel per hari pada 2020. Sementara konsumsi justru meningkat dari 692 ribu barel per hari pada 1991 menjadi 1,44 juta barel per hari pada 2020.

Dengan kondisi tersebut, Indonesia menjadi relatif tidak banyak memiliki pilihan untuk menutup defisit selain melalui impor. Kondisi yang ada saat ini menggambarkan bahwa ruang gerak pemerintah untuk mengintervensi kebijakan harga BBM relatif terbatas.

Pekerjaan yang sulit bagi siapapun ketika dalam proses pengadaannya harus membeli sebagian besar minyak dengan harga pasar tetapi kemudian mesti menjual dengan harga subsidi. Intervensi pemerintah terhadap kebijakan harga BBM relatif hanya dapat dilakukan jika harga minyak berada pada level rendah. Akan tetapi, jika harga minyak tinggi pemerintah tidak memiliki banyak pilihan selain menaikkan harga BBM.

Opsi pembatasan konsumsi BBM yang saat ini sedang mengemuka kemungkinan tidak akan menyelesaikan akar permasalahan. Pembatasan konsumsi justru akan kontraproduktif dengan tujuan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan berpotensi menimbulkan sejumlah masalah ikutan dalam implementasinya.

Peran Penting Insentif Hulu Migas

Dalam konteks Indonesia, kebijakan pemberian insentif untuk industri hulu migas dapat menjadi solusi permasalahan. Sejumlah studi menunjukkan bahwa insentif hulu migas berperan penting untuk dapat menahan laju penurunan atau bahkan dapat meningkatkan produksi migas. Kebijakan pemberian insentif cukup relevan jika mengingat sebagian besar lapangan migas di Indonesia adalah mature field.

Hasil riset Inter-American Development Bank (IDB) 2020 menemukan bahwa pemberian insentif untuk mature field dapat menambah umur keekonomian proyek rata-rata sekitar 30 tahun. Insentif untuk mature field umumnya ditujukan untuk menahan laju penurunan produksi migas dari lapangan tertentu. Sementara pada lapangan baru yang belum mencapai puncak produksi, pemberian insentif umumnya dimaksudkan untuk meningkatkan produksi.

Riset Haliburton menemukan bahwa sekitar 70 % lapangan migas produksi di dunia merupakan mature field. Karena itu, insentif fiskal menjadi kunci dan instrumen penting untuk dapat menjaga keekonomian dan tingkat produksi migas. Berdasarkan gambaran tersebut, dapat dikatakan bahwa sebagian besar insentif lebih banyak dialokasikan untuk mempertahankan tingkat produksi.

Praktik kebijakan pemberian insentif hulu migas di sejumlah negara menunjukkan bahwa kebijakan tersebut berdampak positif terhadap produksi migas mereka. Brazil, misalnya, memberikan insentif hulu migas melalui pengurangan royalti dan penggantian kerugian biaya eksplorasi.

Pemerintah Brazil mengurangi tarif royalti pada mature field sebesar 5 % untuk skala kecil dan 7,5 % untuk skala besar. Pengurangan royalti sebesar 5 % juga diberlakukan untuk setiap tambahan produksi.

Selain dalam bentuk pengurangan royalti, pemerintah Brazil memberikan insentif dengan mengganti kerugian pada tahap eksplorasi sebesar 30 % dari total kerugian tanpa batasan waktu. Kebijakan pemberian insentif tersebut berdampak positif yang tercermin dari produksi minyak dan gas Brazil selama 2010-2019 masing-masing meningkat 35,36 % dan 71,89 %.

Kebijakan insentif untuk hulu migas juga terbukti berhasil meningkatkan produksi migas di Kanada. Dalam kebijakannya, Kanada (Negara bagian Alberta) memberikan insentif dalam bentuk lain yaitu melalui pengurangan pajak pendapatan dan penangguhan kerugian pajak.

Pemerintah Kanada menurunkan bagian pajak pendapatan bagi pemerintah federal dari 30 % menjadi 15 %. Pemerintah Kanada juga menangguhkan kerugian pajak hingga 20 tahun untuk setiap WK Migas.

Untuk mendorong investasi hulu migas di wilayahnya, Negara Bagian Alberta menerapkan tarif corporate income tax sebesar 12 %. Tarif pajak tersebut lebih rendah dibandingkan negara bagian lainnya.

Pemerintah Negara Bagian Alberta juga memberikan kredit pajak sebesar 10 % dengan batasan maksimal USD 400.000 untuk setiap tahunnya. Dengan pemberian insentif tersebut, produksi minyak dan gas di Kanada selama periode 2010-2019 masing-masing tercatat meningkat 63,47 % dan 15,72 %.

Pemberian insentif untuk hulu migas sesungguhnya sangat relevan dan dapat menjadi instrumen untuk mempertahankan tingkat laju penurunan produksi migas nasional. Berdasarkan data sekitar 70 % WK Migas, produksi di Indonesia telah mengalami penurunan produksi alamiah.

Produksi migas Indonesia sebagian besar dikontribusikan oleh mature field yaitu 4 WK Migas berumur lebih dari 50 tahun dan 36 WK Migas berumur 25-50 tahun. Biaya produksi dan pemeliharaan mature field dilaporkan terus meningkat sejalan dengan penurunan kemampuan produksinya.

Mencermati kondisi dan perkembangan yang ada tersebut, serta belajar dari kisah sukses negara lain seperti Brazil dan Kanada, perbaikan tata kelola pada industri hulu merupakan solusi terbaik untuk menyelesaikan permasalahan sektor migas di Indonesia. Permasalahan tekanan fiskal yang hampir selalu datang setiap kali harga minyak meningkat kemungkinan relatif dapat diredam atau bahkan dapat dibalikkan menjadi windfall profit jika potensi dan cadangan migas yang dimiliki Indonesia dapat dioptimalkan.

Tata Kelola Hulu-Hilir Migas Bermasalah, ReforMiner Minta Pemerintah Kaji Efektivitas Pembatasan Konsumsi BBM

Dunia Energi.com; 6 Juni 2022

JAKARTA- ReforMiner Institute, lembaga kajian independent di sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM), menyatakan rencana pembatasan konsumsi BBM Subsidi dan BBM Khusus Penugasan (JBKP) adalah refleksi adanya permasalahan tata kelola hulu dan hilir migas nasional. Peningkatan harga minyak yang signifikan menyebabkan kapasitas fiskal 2022 menjadi semakin terbatas dan tidak cukup lagi untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang ada.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Insitute, mengatakan pemerintah perlu mengkaji efektivitas terutama menyangkut biaya dan manfaat yang akan diperoleh dari rencana pembatasan konsumsi BBM sebelum kebijakan tersebut diimplementasikan. Efektivitas dari penerapan kebijakan serupa yang telah dilaksanakan sebelumnya perlu menjadi pertimbangan.

“Meskipun tidak populis, menyesuaikan harga BBM Subsidi dan JBKP secara terbatas perlu dipertimbangkan karena kemungkinan relative lebih efektif untuk dapat menyelesaikan permasalahan dibandingkan melakukan pembatasan konsumsi BBM,” ujar Komaidi dalam keterangannya kepada Dunia Energi, Senin (6/6/2022).

Selain kompleksitas dalam implementasinya cukup tinggi, lanjut Komaidi, pembatasan konsumsi BBM akan kontraproduktif dengan tujuan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) mengingat porsi terbesar penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah dari sektor konsumsi.

Menurut Komaidi, edukasi mengenai meningkatnya kebutuhan anggaran subsidi dan kompensasi BBM perlu tersampaikan secara utuh kepada publik. Kebutuhan subsidi BBM meningkat salah satunya karena harga Solar Subsidi dipertahankan sebesar Rp 5.150 per liter, sedangkan harga Solar di negara tetangga seperti Filipina misalnya sudah dikisaran Rp 20.800 per liter.

“Kebutuhan kompensasi BBM meningkat karena pemerintah melalui Kepmen ESDM No.37.K/HK.02/MEM.M/ 2022 memperluas wilayah distribusi JBKP dari sebelumnya hanya untuk wilayah di luar Jawa-Madura-Bali menjadi seluruh Indonesia. Jenis JBKP juga diubah dari BBM RON 88 menjadi BBM RON 90 yang harganya lebih tinggi dan volume konsumsinya lebih besar,” katanya

Komaidi menyebutkan, pemerintah dan publik juga dapat memilih opsi kebijakan untuk tetap mempertahankan harga BBM subsidi dan tidak membatasi konsumsi BBM subsidi dan JBKP dengan catatan para pihak telah memahami dan konsekuen dengan pilihan tersebut. Termasuk dapat memahami jika alokasi anggaran untuk kepentingan yang lain seperti subsidi pendidikan, subsidi kesehatan, subsidi pupuk, dan subsidi lainnya berkurang.

Penurunan kinerja hulu migas Indonesia dapat dikatakan sebagai bagian dari akar masalah permasalahan subsidi dan kompensasi BBM. Kemampuan produksi dan cadangan migas Indonesia turun signifikan yang mengakibatkan harus bergantung pada impor. Produksi minyak Indonesia turun dari 1,58 juta barel per hari pada 1980 menjadi 743 ribu barel per hari pada 2020.Sementara cadangan minyak turun dari 11,60
miliar barel pada 1980 menjadi 2,44 miliar barel pada 2020,” katanya.

Penurunan produksi salah satunya akibat produksi migas Indonesia bergantung pada mature field yang memerlukan perlakuan khusus. Selama 10 tahun terakhir produksi minyak dan gas Indonesia masing-masing tercatat turun sekitar 31% dan 19%.

Produksi minyak Indonesia turun sekitar 31% selama 10 tahun terakhir. Produksi gas Indonesia turun sekitar 19% selama 10 tahun terakhir. Berdasarkan data, sekitar 70% WK Migas produksi di Indonesia telah mengalami penurunan produksi alamiah. Produksi migas Indonesia diantaranya dikontribusikan oleh mature field yaitu 4 WK Migas berumur lebih dari 50 tahun dan 36 WK Migas berumur 25-50 tahun. Biaya produksi dan pemeliharaan mature field dilaporkan terus meningkat sejalan dengan penurunan kemampuan produksinya.

“Insentif fiskal menjadi kunci dan instrument penting untuk menjaga keekonomian dan tingkat produksi migas pada mature field. Hasil riset Inter-American Development Bank (IDB) 2020 menemukan bahwa pemberian insentif untuk mature field dapat menambah umur keekonomian proyek rata-rata sekitar 30 tahun,” ujarnya.

Riset Haliburton, lanjut Komaidi, menemukan bahwa sekitar 70% lapangan migas produksi di dunia merupakan mature field. Akan tetapi data menunjukkan bahwa produksi migas dunia dalam 15 tahun terakhir tercatat masih meningkat. Produksi minyak rata-rata meningkat sekitar 1,08% per tahun dan produksi gas meningkat sekitar 2,67% per tahun.

Penerapan insentif pengurangan royalti dan insentif penggantian kerugian biaya eksplorasi terbukti telah dapat meningkatkan produksi migas di Brazil. Selama periode 2010-2019 produksi minyak dan gas di Brazil masing-masing meningkat sekitar 35,35 % dan 71,89%. Kanada (Negara bagian Alberta) menerapkan insentif model lain yaitu melalui pengurangan pajak pendapatan dan penangguhan kerugian pajak. Selama periode 2010-2019 produksi minyak dan gas Kanada masing-masing meningkat sekitar 63,47 % dan 15,7%.

Data menunjukkan dalam 5 tahun terakhir investasi hulu migas global rata-rata meningkat 1,30% per tahun. Selama tahun 2016-2020 investasi hulu migas global tercatat meningkat sebesar 9,52%. Investasi hulu migas global diproyeksikan akan meningkat dari US$418 miliar pada 2021 menjadi sekitar US$476 miliar pada 2024. Realisasi dan proyeksi investasi tersebut menegaskan bahwa peran hulu migas masih penting di tengah tren transisi energi.

Peningkatan harga minyak kemungkinan tidak secara otomatis meningkatkan nilai investasi hulu migas global. Pertumbuhan investasi kemungkinan masih akan tetap bervariasi dengan mempertimbangkan stabilitas global dan geopolitik, penanganan pandemi covid-19, komitmen COP-26, dan kebijakan transisi energi,” jelas Komaidi.

Sementara itu, investasi hulu migas Indonesia selama periode 2016-2021 rata-rata tercatat mengalami penurunan sekitar 1,70% per tahun. Sementara pada periode yang sama, investasi hulu migas di Australia, Brazil, dan Malaysia masing-masing meningkat sekitar 5%, 4%, dan 1% per tahun. Faktor-faktor yang diidentifikasi menjadi penyebab menurunnya investasi hulu migas di Indonesia diantaranya WK mature field, risiko eksplorasi tinggi, insentif hulu migas terbatas, perizinan hulu migas kompleks, dan isu transisi energi.

“Pengaturan dalam tata kelola hilir migas yang kurang tegas diidentifikasi menjadi salah satu penyebab terjadinya kompleksitas dalam penanganan permasalahan subsidi dan kompensasi BBM di Indonesia,” ujarnya.

Komaidi mengatakan, penetapan kuota BBM subsidi dan JBKP dilakukan oleh pihak yang tidak berperan sebagai pemegang kuasa anggaran maupun pelaksana PSO/penugasan. Akibatnya risiko bisnis, teknis operasional, dan konsekuensi anggaran subsidi/kompensasi seringkali belum menjadi bagian dari variabel penentu di dalam menetapkan target kuota BBM subsidi dan JBKP.

“Penyelesaian proses revisi UU Migas yang telah berjalan sejak tahun 2008 (14 tahun yang lalu) merupakan kunci utama untuk dapat menyelesaikan tidak hanya permasalahan subsidi dan kompensasi BBM, tetapi perbaikan terhadap tata kelola hulu-hilir migas nasional secara keseluruhan. Perbaikan tata kelola hulu-hilir migas melalui revisi UU Migas berpotensi dapat mengembalikan era kejayaan hulu migas Indonesia. Jika hal tersebut dapat terjadi, Indonesia akan memperoleh windfall profit ketika harga minyak meningkat bukan mengalami tekanan fiskal di APBN seperti saat ini, “katanya. (RA)

 

BBM bersubsidi: Akankah pembatasan pembelian Pertalite dan solar efektif membuat subsidi tepat sasaran?

BBCNews.com; 30 Mei 2022

Alih-alih menghemat anggaran BBM subsidi, rencana pemerintah membatasi pembelian Pertalite dan solar yang disubsidi pemerintah justru membuat anggaran membengkak karena adanya “biaya tambahan” untuk pengawasan, kata pengamat.

Pengamat energi dari Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, mengusulkan pemerintah menempuh kebijakan subsidi langsung, atau menaikkan harga BBM subsidi secara berkala, agar subsidi BBM lebih tepat sasaran.

“Kalau memang tidak ada ruang lagi untuk memberikan subsidi dan kompensasi, ya sederhana saja, dilakukan penyesuaian harga dalam rentang tertentu yang masih di batas toleransi daya beli masyarkaat. Jadi itu yang harus dilakukan pemerintah.

“Kalau pembatasan yang akan dilakukan, kira-kira kegaduhan nanti yang akan menyertainya sementara belum tentu target penghematan itu diterima pemerintah,” ujar Komaidi kepada wartawan BBC News Indonesia, Ayomi Amindoni, Senin (30/05).

Kenaikan harga BBM non-subsidi Pertamax pada April lalu, memicu migrasi besar-besaran konsumen Pertamax ke Pertalite yang disubsidi pemerintah.

Kendati telah mengusulkan tambahan kuota Pertalite sebanyak 5,45 juta kilo liter (kl) menjadi 28,5 juta kl dan tambahan kuota solar subsidi 2,28 juta kl menjadi 17,39 juta kl untuk mengantisipasi kelangkaan, pemerintah kini ancang-ancang untuk melakukan pengaturan konsumsi Pertalite dengan pembatasan pembelian.

Sebab, penambahan kuota Pertalite tak hanya membuat belanja subsidi energi membengkak, tapi juga kompensasi yang harus dibayarkan pemerintah kepada Pertamina atas BBM subsidi tersebut.

Hingga kini pemerintah masih merumuskan kebijakan teranyar tentang BBM subsidi tersebut, tapi Komaidi mengatakan alih-alih penghematan, langkah ini justru memicu “biaya tambahan”.

“Karena di konteks pembatasan, itu butuh pengawasan, mungkin nanti akan melibatkan Polri, TNI, BPH Migas, Pemda, yang itu tentu ada additional cost yang harus dikeluarkan.”

Kebijakan pembatasan pembelian Pertalite ini diharapkan bisa diimplementasikan pada dua hingga tiga bulan mendatang, dengan alokasi subsidi BBM difokuskan sesuai kriteria masyarakat yang berhak mendapatkannya.

“Enggak usah khawatir, karena ini aturannya belum selesai, yang jelas pemerintah itu berkewajiban memenuhi kebutuhan masyarakat yang sesuai dengan pemanfaatannya atau konsumennya.”

“Masyarakat yang berhak dapat, ya dapat. Intinya begitu aja lah,” kata Djoko Siswanto, Sekjen Dewan Energi Nasional – lembaga yang merancang dan merumuskan kebijakan energi nasional.

Akan berpengaruh ke mana-mana’

Pemerintah tengah menggodok aturan terkait penunjukan teknis pembelian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalite dan solar.

Langkah pembatasan pembelian Pertalite dan Solar ini agar penyalurannya dapat lebih tepat sasaran.

Namun sejumlah pihak, termasuk asosiasi pedagang pasar – salah satu konsumen BBM subsidi – menentang kebijakan ini.

Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Ngadiran mengatakan, jika konsumsi Pertalite – BBM khusus bersubsidi yang dijual dengan harga Rp7.650 per liter – dibatasi, dampaknya akan dirasa tak hanya oleh pedagang, tapi juga rakyat banyak.

Pembatasan konsumsi Pertalite, menurutnya, akan berdampak pada operasional pedagang pasar, yang kemudian berimplikasi pada kenaikan harga barang dan kebutuhan yang dijual ke masyarakat.

“Memang yang banyak memakai [Pertalite] sekarang boleh dikatakan orang kecil, buruh-buruh atau pegawai rendah, baik untuk motor atau kendaraan angkutan umum dan angkutan komoditi pasar dan hasil tani.

“Kalau itu dibatasi, terus bagaimana nanti mereka? Katakanlah sehari mengangkutnya bisa kali dua kali bolak-balik. Apa kalau dibatasi terus hanya boleh ngangkut sekali? Itu kan akan berpengaruh ke mana-mana,” kata Ngadiran.

Sekjen Dewan Energi Nasional Djoko Siswanto, yang juga pernah menjabat sebagai Dirjen Migas di Kementerian ESDM, mengusulkan agar pengaturan itu akan dibuat “sesederhana mungkin” dan tidak memberatkan masyarakat ekonomi menengah ke bawah.

“Sebagai contoh, yang berhak kendaraan motor, kendaraan umum, angkutan barang dan orang. Udah itu aja. Itu akan lebih mudah dalam pelaksanaannya di lapangan,” ujar Djoko Siswanto lewat sambungan telepon kepada BBC News Indonesia.

Sementara anggota Komisi VII DPR dari Partai PKS, Muyanto, “mendorong agar mobil mewah dan mobil dinas tidak diperkenankan membeli Pertalite”

“Nah, revisi Perpres akan mengatur definisi mobil mewah, agar mudah implementasinya di lapangan,” imbuh Mulyanto.

Perpres yang dimaksud Mulyanto adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) yang sedang digodok revisinya oleh BPH Migas dan Pertamina.

Revisi Perpres – dan petunjuk teknis yang menyertainya – menjadi dasar dari kebijakan teranyar tentang BBM subsidi Pertalite dan solar.

Mulyanto menganggap kebijakan ini “sudah cukup bagus” guna menjaga kuota Pertalite agar lebih tepat sasaran, “agar beban APBN tidak bertambah”.

‘Pilihannya hanya dua’

Konsumsi Pertalite melonjak setelah kenaikan harga Pertamax – BBM non-subsidi – menjadi Rp12.500 hingga Rp13.000 per liter, dari sebelumnya Rp9.000-Rp9.400 per liter berlaku sejak Jumat (01/04) silam.

Harga Pertamax yang naik drastis membuat penggunanya beralih menggunakan Pertalite, yang disubsidi pemerintah, dengan harga Rp 7.650 per liter.

Akibat disparitas yang lebar antara harga Pertalite dan Pertamax, Pertamina mencatat terjadi migrasi pembelian BBM dari Pertamax ke Pertalite sebanyak 25%.

Lonjakan konsumsi Pertalite, membuat Kementerian ESDM mengajukan rencana penambahan kuota tak hanya Pertalite, tapi juga solar subsidi, pada awal April lalu.

Kuota Pertalite ditambah 5,45 juta kl menjadi 28,50 juta kl, sementara kuota solar subsidi ditambah 2,28 juta kl menjadi 17,39 juta kl.

Dalam rapat dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR pada 19 Mei lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani memaparkan bahwa tingginya harga komoditas dan energi menyebabkan adanya selisih antara asumsi harga minyak atau Indonesia crude price (ICP) yang tercantum dalam APBN, yakni US$63 per barel.

Padahal, rata-rata harga ICP saat ini telah mencapai US$99,4 per barel.

Hal tersebut menyebabkan adanya kekurangan kebutuhan anggaran untuk subsidi BBM dan pembayaran kompensasi kepada Persero.

Sri Mulyani menyebut bahwa kebutuhan biaya subsidi akan melonjak dari Rp134 triliun menjadi Rp208,9 triliun dan kompensasi melonjak dari Rp18,5 triliun menjadi Rp234,6 triliun.

“Pilihannya hanya dua, kalau ini [anggaran subsidi dan kompensasi] tidak dinaikkan harga BBM dan listrik naik, kalau harga BBM dan listrik tidak naik ya ini yang naik. Tidak ada in between, pilihannya hanya dua,” ujar Sri Mulyani, Kamis (19/05)

Apakah tepat sasaran?

Namun, pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, mempertanyakan mekanisme yang dipilih pemerintah dalam kebijakan pembatasan BBM subsidi.

“Jadi artinya harus dirumuskan dulu bagaimana validasi pendataannya, jangan membuat syarat-syarat sendiri, tapi berbeda dengan pendataan-pendataan lainnya, nanti yang terjadi adalah subsidinya tetap sasaran.”

Bhima mewanti-wanti, akibat dari pandemi yang berlangsung selama dua tahun terakhir, membuat banyak masyarakat menengah “jatuh ke bawah garis kemiskinan”.

“Jadi kalau pemerintah tidak hati-hati pada verifikasi dan validasi data yang berhak, terutama dalam kondisi yang sekarang, maka yang terjadi adalah kekacauan, yang terjadi adalah chaos.

Chaos dalam artian banyak yang daya belinya terpukul, kemudian banyak yang akhirnya mengurungkan niat untuk ekspansi bisnis, atau merekrut karyawan baru. Jadi implikasinya cukup panjang,” kata Bhima.

Lebih jauh, Bhima menganggap pemerintah semestinya melakukan penyesuaian harga BBM subsidi pada tiga – empat tahun terakhir, ketika disparitas harga antara Pertalite dan Pertamax belum selebar sekarang.

“Jadi pemerintah telah membuang tiga – empat tahun terakhir ini yang harusnya ketika harga mentah sedang rendah, disparitas Pertalite dan Pertamax sedang tipis tidak terlalu lebar seperti sekarang, itu semestinya dilakukan penyesuaian pada saat itu.” tegasnya.