Program Kompor Listrik Dibatalkan, Momentum Pengembangan Jaringan Gas

Bisnis.com; 29 September 2022 

Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Eksekutif Reforminer Komaidi Notonegoro menilai pembatalan program kompor listrik dapat menjadi momentum akselerasi pembangunan jaringan gas bumi untuk rumah tangga yang selama ini dinilai terkendala realisasinya setiap tahun.

Kendati demikian, Komaidi mengatakan bahwa akselerasi itu relatif sulit dilakukan lantaran isu keekonomian pembangunan jaringan gas bumi rumah tangga yang tidak menguntungkan pengembang hingga saat ini.

“Peluang untuk pengembangan jaringan gas ini bisa jadi lebih cepat ya, kan yang disampaikan pemerintah ada dua poin pertama untuk mengurangi devisa impor lalu subsidi elpiji,” kata Komaidi saat dihubungi, Rabu (28/9/2022).

Hanya saja, Komaidi meminta pemerintah untuk segera menyiapkan sejumlah paket insentif dan kemudahan bagi pengembang untuk mempercepat realisasi pembangunan jaringan gas tersebut. Menurutnya, keekonomian proyek jaringan gas rumah tangga terpaut cukup lebar dari jaringan pipa khusus untuk industri yang jauh lebih menguntungkan pengembang.

“Capaiannya belum begitu masif karena harganya belum cukup kompetitif untuk rumah tangga kalau diserahkan ke mekanisme business-to-businesspengembangannya relatif lambat,” kata dia.

Seperti diberitakan sebelumnya, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) membatalkan program pengalihan kompor LPG 3 Kilogram ke kompor listrik. Keputusan itu belakangan diambil setelah parlemen dan sebagian masyarakat mengajukan keberatan terhadap inisiatif konversi kompor yang diajukan eksekutif tersebut.

“PLN memutuskan program pengalihan ke kompor listrik dibatalkan. PLN hadir untuk memberikan kenyamanan di tengah masyarakat melalui penyediaan listrik yang andal,” kata Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo melalui siaran pers, Selasa (27/9/2022).

Kendati demikian, PLN sempat menghitung setiap 1 kilogram konversi LPG 3 kilogram ke kompor induksi dapat memberikan manfaat penghematan bagi masyarakat Rp720 lebih murah dari pengadaan gas melon konvensional. Sementara penghematan untuk APBN mencapai 8.186 setiap kilogramnya.

Dengan demikian, potensi penghematan subsidi dapat menyentuh di angka Rp17,13 triliun setiap tahunnya untuk 15,3 juta pelanggan.

“Jika program konversi LPG 3 kilogram ke kompor induksi diperluas untuk seluruh pelanggan PLN yang menjadi pengguna LPG 3 kilogram sebanyak 69,4 juta, maka akan menghemat belanja impor LPG 3 kilogram sebesar Rp44 triliun per tahun,” tuturnya.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan mencatat realisasi subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan LPG 3 kilogram naik rata-rata 26,58 persen setiap tahunnya selama kurun waktu 2017 hingga 2021. Kenaikkan nilai subsidi itu dipengaruhi fluktuasi harga ICP dan nilai tukar rupiah.

Adapun, realisasi subsidi BBM 2021 mencapai Rp16,17 triliun, termasuk di dalamnya kewajiban kurang bayar Rp7,15 triliun. Kendati demikian, masih terdapat kewajiban pembayaran kompensasi BBM Rp93,95 triliun untuk periode 2017 hingga 2021.

Sementara itu, realisasi subsidi LPG 3 kilogram 2021 mencapai Rp67,62 triliun, termasuk di dalamnya kewajiban kurang bayar Rp3,72 triliun. Di sisi lain, outlook subsidi BBM dan LPG 3 kilogram 2022 diperkirakan mencapai Rp149,37 triliun atau 192,61 persen dari postur anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) 2022.

Kemenkeu mencatat lebih dari 90 persen kenaikkan nilai subsidi itu berasal dari alokasi LPG 3 kilogram yang disebabkan oleh kesenjangan antara HJE dengan harga keekonomian yang berlanjut melebar didorong harga minyak mentah dunia.

 

Konversi Kompor Elpiji Ke Kompor Listrik, Pengamat: Apa Kabar Program Jargas?

Kompas; 23 September 2022

JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah mulai melakukan uji coba konversi kompor elpiji ke kompor listrik. Namun bayak pihak yang mengeluhkan mahalnya biaya penggunaan kompor listrik ini, serta ketidaksesuaiannya dengan model memasak masyarakat Indonesia. Di sisi lain anggaran pengadaan kompor listrik juga tidak kecil.

Rencananya pemerintah akan membagikan kompor listrik 1.000 watt kepada 300.000 rumah tangga, dengan harga per unitnya Rp 1,8 juta. Dengan demikian maka anggaran yang dibutuhkan untuk pengadaan kompor listrik sekitar Rp 540 miliar.

“Tidak hanya di harga kompor yang mahal, awal-awal mungkin memang gratis, kalau terjadi kerusakan, atau ganti baru kan ini enggak tanggungan pemerintah lagi. Alat masaknya juga spesifik, juga tidak cocok dengan karakteristik memasak masyarakat Indonesia,” kata pengamat Energi dari Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, kepada Kompas.com, Jumat (23/9/2022).

Komaidi juga mengungkapkan, karakteristik masyarakat Indonesia dalam memasak dalam jumlah besar, tentunya harus dipertimbangkan lagi jika pemerintah tetap melanjutkan program konversi kompor elpiji ke kompor listrik. Di sisi lain, juga perlu antisipasi saat ada pemadaman listrik yang tentunya akan menghambat proses memasak.

“Kalau masak dalam jumlah besar cocok enggak dengan karakteristik masyarakat Indonesia. Hal seperti itu teknisnya harus diperhatikan. Kalau untuk masak besar, selain masalah waktu, pasokan listriknya juga akan menjadi masalah, jika sewaktu-waktu mati listrik misalnya,” ujar dia.

Komaidi menjelaskan, kurang bijaksana jika pemerintah melakukan konversi kompor elpiji ke kompor listrik, karena sebagian masyarakat masih perlu kompor gas elpiji. Ada baiknya jika kompor listrik dijadikan sebagai pelengkap saja, sebagai bentuk diversifikasi energi, karena jika semua beralih ke listrik maka pertahanan energi-nya cukup rawan.

“Ini bijaksananya sebagai pelengkap atau diversifikasi energi, bukan untuk menggantikan. Enggak apa-apa kompor listrik jalan, tapi segmennya dipilih, jangan semua pakai listrik. Kalau semua pakai listrik, pertahanan energinya bisa rawan,” tambah dia.

Dia juga mengingatkan soal Pembangunan jargas untuk rumah tangga merupakan salah satu Program Strategis Nasional (PSN) yang mendukung diversifikasi energi. Komaidi mengungkapkan, dalam program konversi kompor elpiji ke kompor listrik ini memiliki tujuan mengurangi impor migas, maka program jargas tentunya bisa menjadi solusi.

“Kalau tujuannya mengurangi impor elpiji, kan pakai gas bumi juga bisa, dan kita punya. Tapi jika mengurangi masalah oversupply PLN, ini mungkin akan lebih relevan ya,” lanjut dia.

Menurut dia, jargas merupakan energi primer yang tentunya harganya lebih murah. Berbeda dengan jaringan listrik yang sekunder, dimana ada ada ketergantungan pada bahan bakar fosil batu bara yang dominan di hulu.

“Jargas lebih murah daripada elpiji. Kalau elpiji itu kan energi primer, kalau kompor listrik kan energi skunder. Secara logika harganya lebih mahal di bandingkan yang primer. Kenapa jargas tidak dipakai? Inikan anggarannya besar, apalagi menjelang tahun politik, jangan sampai menimbulkan kekhawatiran,” tegas dia.

Ilustrasi gambar: shutterstock/brizmaker

Investasi Hijau Perlu Dipacu Lewat Realokasi Subsidi

Investor.id; 22 September 2022

JAKARTA, investor.id – Komitmen mendorong pemanfaatan energi hijau kerap mengalami kendala karena besarnya biaya investasi yang dibutuhkan. Alhasil potensi energi hijau yang melimpah di Indonesia tidak belum bisa dimanfaatkan maksimal.

Direktur Promosi Wilayah ASEAN, Australia, Selandia Baru dan Pasifik BKPM Sarimbua Siahaan mengakui,  potensi investasi hijau di Indonesia sangat luar biasa.  Pemerintah, kata dia, sangat concern membuat sistem perijinan investasi agar investor yang tertarik di bidang dalam mengembangkan ekonomi hijau.

“Jadi Pemerintah benar-benar memikirkan dampak lingkungan. Tren investasi hijau, sektor-sektor di ekonomi hijau ini harus benar-benar kita kawal agar investornya bisa berinvestasi dengan nyaman,” papar Sarimbua dalam Acara “Potensi Investasi Hijau dan Desain Insentif Yang Atraktif” yang diselenggarakan BKPM bekerja sama dengan Majalah Investor di Jakarta pada Rabu (21/9).

Meski dipermudah dari sisi perizinan, realisasi investasi untuk pengembangan ekonomi hijau ternyata tidak mudah. Direktur dan Group Chief Investment Officer PT Indika Energy Tbk Purbaja Pantja mengatakan tantangan pelaku usaha dalam bidang ekonomi hijau yakni terkait pendanaan dan TKDN.

“Dari sisi pendanaan ini, banyak sekali bisnis-bisnis yang kami lakukan ini “lapar” dengan pendanaan. It’s capex heavy terutama hal-hal berkaitan dengan renewable energy. Kemudian mengenai TKDN itu suatu hal yang menarik buat kami terutama di motor listrik  karena itu sangat-sangat berkaitan dengan bisnis kita ke depan,”  ujar Purbaja.

Meski sebelumnya pemerintah memberikan insentif  berupa tax allowance  bagi perdari 40% untuk penggunaan komponen lokal. Meski demikian, berbagai kebijakan insentif tersebut belum cukup mampu mendongkrak investasi untuk ekonomi hijau.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan investasi hijau punya karakter berbeda. Pada level investasi untuk energi terbarukan,  ada problem  ketidakstabilan pasokan. “Kalau energi fosil, pembangkit listrik bisa operating 24 jam penuh. Sementara PLTS misalnya, di dalam satu hari produksinya 4-6 jam, sementara kita punya waktu 24 jam sehingga kita perlu back up,” terang Komaidi.

Pada kondisi seperti ini,  menurut Komaidi, insentif  dari pemerintah diperlukan agar harga  jual tidak cenderung mahal.  Insentif juga bisa dipertimbangkan dengan realokasi anggaran subsidi.  Hal ini dibutuhkan jika dikaikan dengan  pertumbuhan GDP Indonesia yang komponen terbesarnya pada sisi konsumsi.

Faktor konsumsi  itu sangat elastis dengan daya beli  yang juga  berkaitan dengan cost structure di sektor produksi. “Kalau cost structure-nya tidak ada insentif kemudian akan mahal.  Kalau itu dibebankan kepada konsumen maka daya belinya akan turun. Dan ini yang terjadi pada kenaikan BBM bersubsidi (yang diikuti) kompensasi,” terang Komaidi.

Lebih Komaidi menuturkan, investasi hijau atau EBT ini perlu intervensi semua pihak,  selain karena mahal dari sisi biaya juga tergolong barang baru. “Sebelumnya Pak Jokowi dan Ibu Sri Mulyani beberapa kali menyampaikan message Indonesia perlu bantuan  dari luar negeri kalau memang targetnya perlu dipercepat di dalam pencapaian net zero emisi,” katanya.

Ia juga membenri contoh insentif investasi energi terbarukan di beberapa negara. “Misalnya di Brazil untuk kendaraan triple bahan bakar misalnya pakai BBG, bensin dan energi terbarukan itu ada insentif pembebasan pajak BPKB selama lima tahun.  Pembuatan STNK juga diberikan potongan,” katanya.

Hal itu, lanjut Komaidi membutuhkan kebijakan lintas sektor dan mudah-mudahan itu bisa kita adopsi. Bila ingin memajukan EBT, Komaidi menegaskan perlunya komunikasi dan edukasi publik yang masif. “Masyarakat harus diberitahu ini di dalam jangka panjang kita perlu moving karena keanekaragaman EBT kita sangat luar biasa potensinya,” kata Komaidi.

“Pilihan EBT kita punya cadangan terbesar itu panas bumi, kita punya 30GW dan dari 30GW itu hanya sekitar 2000-an yang sudah dikembangkan artinya dibawah 10%,” kata Komaidi. Komaidi menyarankan kedepannya agar Pemerintah merealokasi subsidi energi fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT).

Pakar Nilai Subsisi BBM Tak Efektif: Banyak Dinikmati Orang Mampu

CNNIndonesia; 16 September 2022

Jakarta, CNN Indonesia — Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro menilai, kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) selama ini terbukti tidak efektif dalam menurunkan angka kemiskinan, karena praktiknya yang salah sasaran.
Dia mencontohkan BBM subsidi jenis Pertalite yang ternyata masih lebih banyak dinikmati oleh masyarakat mampu atau orang-orang kaya.

Hal ini diungkapkan Komaidi saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk ‘Mengurai Polemik Kenaikan BBM Bersubsidi’ yang diselenggarakan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) di Jakarta, Rabu (14/9).

Dalam kesempatan itu, Komaidi mengurai data yang diperoleh lembaganya bahwa sepanjang 2022 pemerintah telah menganggarkan subsidi energi yang amat besar, mencapai Rp502 triliun. Namun, dana sebesar itu lebih banyak habis untuk mensubsidi BBM yang 80 persennya dinikmati masyarakat mampu.

Dia mencontohkan pada BBM subsidi jenis Pertalite, yang sebanyak 70 persen atau 20,3 juta Kiloliter (KL) per tahun, dikonsumsi oleh kendaraan roda empat. Sedangkan kendaraan roda dua hanya menggunakan sebanyak 8,7 juta KL per tahun, atau sekitar 30 persen.

Rata-rata konsumsi BBM kendaraan roda dua hanya 2,5 liter sekai transaksi, sedangkan roda empat mencapai 23,5 liter sekali transaksi.

“Kalau roda empat yang mengkonsumsi Pertalite itu angkutan umum kita bisa terima. Karena masyarakat bawah yang tidak punya mobil naik angkutan umum. Tapi faktanya dari 20,3 juta KL konsumsi roda empat itu, sebagian besar atau 98,7 persennya adalah mobil pribadi,” kata dia.

“Angkutan umum hanya 0,4 persen, taksi online 0,6 persen, dan taksi 0,3 persen. Yang punya mobil pribadi kan orang mampu,” tambah Komaidi.

Maka dari itu, lanjut Komaidi, sudah saatnya mendukung pengurangan anggaran subsidi BBM, untuk dialihkan pada anggaran yang betul-betul dibutuhkan masyarakat miskin. Antara lain untuk bantuan langsung tunai, serta peningkatan fasilitas kesehatan dan pendidikan.

“Artinya subsidi dialihkan dari si kaya ke si miskin yang benar-benar membutuhkan,” tandasnya.

Terkait dengan potensi naiknya harga-harga barang akibat kenaikan BBM bersubsidi, menurut Komaidi harus ada pengawalan tersendiri dari pemerintah. Karena sebenarnya, harga energi hanyalah sebagian kecil dari komponen penentu harga barang.

Komponen terbesar penentu harga barang adalah harga bahan baku yang mencapai 79 persen. Selain itu, komponen terbesar lainnya adalah upah tenaga kerja.

“Ini kalau tidak dikawal oleh pemerintah, pelaku usaha akan menaikkan harga barang seenaknya, dengan alasan harga BBM naik. Pengawalan ini harus detail di semua lini, dan jelas hitungannya. Domain terbesarnya ada di Kementerian Perdagangan,” ujarnya.

“Kebijakan pengawalan kenaikan harga barang ini dilakukan semua negara. Contohnya di Malaysia, kalau dalam menaikkan harga barang pengusaha tidak mau ikut ketentuan pemerintah, maka bisa dicabut izin usahanya,” pungkas Komaidi.

Jokowi Pertimbangkan Beli Minyak Rusia, Pengamat: Belum Tentu Harga BBM Turun…

Kompas.com; 13 September 2022

JAKARTA, KOMPAS.com – Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah mempertimbangkan untuk membeli minyak mentah Rusia. Hal ini karena harga minyak yang lebih murah dibandingkan dengan harga minyak di pasar international. Namun, pengamat Energi dari Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan jika pemerintah membeli minyak mentah Rusia, ini bukan berarti harga Bahan Bakar Minyak (BBM) mengalami penurunan. Komaidi mengatakan, meskipun harga minyak mentah mendapatkan diskon dari Rusia, namun asumsi dalam APBN akan berada di atas harga asumsi yakni 63 dollar AS per barrel. Sehingga, ekspektasi bahwa harga BBM bisa kembali ke harga sebelumnya, belum tentu terjadi.

Namun, pengamat Energi dari Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan jika pemerintah membeli minyak mentah Rusia, ini bukan berarti harga Bahan Bakar Minyak (BBM) mengalami penurunan.

Komaidi mengatakan, meskipun harga minyak mentah mendapatkan diskon dari Rusia, namun asumsi dalam APBN akan berada di atas harga asumsi yakni 63 dollar AS per barrel. Sehingga, ekspektasi bahwa harga BBM bisa kembali ke harga sebelumnya, belum tentu terjadi.

“Artinya bahwa pembelian minyak Rusia itu belum tentu memberikan peluang untuk pemerintah bisa mengoreksi kembali harga BBM yang sudah disesuaikan. Publik berekspektasi kalau dapat minyak Rusia, harga BBM bisa diturunkan kembali, dari hitungan kami ini belum tentu,” ujar Komaidi kepada Kompas.com, Senin (13/9/2022).

Komaidi mengatakan, harga BBM ditentukan oleh dua faktor penentu, pertama, harga minyak mentah, dan kedua, nilai tukar rupiah.

Dalam kaitannya dengan opsi pembelian minyak Rusia, Komaidi menilai benefit yang akan diperoleh merupakan kebijakan pemerintah sepenuhnya, apakah akan menurunkan harga BBM atau dialihfungsikan ke yang lainnya.

“Apakah nanti dengan harga minyak Rusia yang murah kemudian, subsidi ditambah dengan harga diturunkan, atau subsidinya tetap kemudian dan dana dialokasikan untuk pengeluaran yang lebih produktif, itu masalah pemerintah di anggaran nantinya,” lanjut dia.

Komaidi menilai dengan membeli minyak Rusia yang memiliki harga murah, maka ini sangat positif untuk berbagai aspek. Tinggal bagaimana pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri meyakinkan global bahwa apa yang dilakukan murni hubungan bisnis.

“Ini tentu tugas Kemenlu untuk meyakinkan publik global bahwa ini terlepas dari kepentingan invasi Rusia ke Ukraina. Memang ada label bahwa kalau beli minyak Rusia artinya mendukung invasi Rusia ke Ukraina berlanjut, tapi saya kira ini bisnis murni, dan Indonesia menganut politik bebas aktif dan bukan negara non blok,” tegas dia.

Sebelumnya, Jokowi mempertimbangkan untuk membeli minyak mentah asal Rusia. Pertimbangan ini diambil karena Moskow menawarkan diskon besar-besaran. “Semua opsi selalu kami pantau. Kalau ada negara dan mereka memberikan harga yang lebih baik, tentu saja. Ada kewajiban bagi pemerintah untuk mencari berbagai sumber untuk memenuhi kebutuhan energi rakyatnya,” kata Presiden Joko Widodo kepada Financial Times, Senin (12/9/2022).

Bakal Hapus BBM Oktan Rendah, Pemerintah Terkendala 2 Hal Ini

CNBCIndonesia; 12 September 2022

Jakarta, CNBC Indonesia- Per 1 Januari 2023, Pemerintah berencana akan menghapuskan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis bensin dengan nilai oktan (RON) 88 dari pasaran.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan belum ada aturan yang melarang penjualan BBM dengan RON dibawah 90, meski pemerintah lewat Permen LHK No. 20/Setjen/Kum.1/3/2017telah merekomendasikan penggunaan BBM dengan oktan di atas 91 demi pengurangan polusi dan kesehatan.

Namun persoalan daya beli dan teknis terkait produksi membuat aturan penggunaan RON diatas 91 belum terimplementasi 100%.

Seperti apa aturan dan urgensi penggunaan BBM dengan Oktan yang lebih tinggi? Selengkapnya simak dialog Mira Rahmalia dengan Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro dalam Squawk Box, CNBC Indonesia (Senin, 12/09/2022)

Harga BBM Malaysia Kok Lebih Murah dari RI, Ternyata Ini Sebabnya

Viva.co.id; 07 September 2022

VIVA Bisnis – Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang ditetapkan Pemerintah Malaysia tercatat lebih murah dibandingkan harga BBM yang berlaku di Indonesia. Namun, harga BBM itu tidak bisa dibandingkan begitu saja dengan harga saat ini. Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan harga BBM tersebut banyak perbedaan komponen pembentuknya di kedua negara. Bahkan, harga BBM Malaysia bisa lebih murah karena hasil penerapan subsidi besar-besaran yang diterapkan Pemerintah Malaysia.

Komaidi mengungkapkan pada dasarnya Pemerintah Malaysia juga memberikan subsidi bahan bakar sehingga harga bahan bakarnya juga tidak mengikuti skema pasar. Hanya saja tujuan pemberian subsidinya berbeda dengan skema pemberian subsidi yang ada di Indonesia.

“Fokus Malaysia dengan kita (Indonesia) berbeda. Mereka fokus pertumbuhan sehingga memberikan subsidi yang besar,” ungkap Komaidi di Jakarta, dikutip dari Antara, Rabu 6 September 2022.

Menurut dia, informasi yang beredar di masyarakat terkait harga BBM di Malaysia yang lebih murah dibandingkan di Tanah Air harus bisa dijelaskan secara gamblang juga oleh pemerintah maupun Pertamina. Dengan begitu, isu di masyarakat tidak menjadi bola liar dan memperkeruh suasana.

“Kalau ada yang menyampaikan bahwa Malaysia tidak ada subsidi mungkin belum mendapat info lengkap. Semestinya hal-hal semacam ini dengan sederhana dijelaskan oleh pemerintah atau Pertamina,” kata Komaidi.

Perlu diketahui, Subsidi yang diberikan pemerintah Malaysia agar BBM mereka lebih murah ternyata lebih besar jika dibandingkan subsidi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia.

Dan faktanya selain Harga Jual Eceran (HJE) di Malaysia lebih murah, produk yang dijual adalah BBM yang ramah lingkungan. Dan penetapan HJE di Malaysia telah berlaku sejak 1983 ditetapkan berdasarkan biaya operasional, margin untuk distributor produk minyak bumi, komisi untuk pemilik SPBU, pajak penjualan dan subsidi.

Dengan komponen pemberian subsidi dan pengecualian pajak penjualan membuat harga BBM di Malaysia menjadi yang termurah dibanding negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara.

Selain itu, ada fakta lain yang membuat tidak bisa membandingkan harga BBM di Malaysia dengan di Indonesia secara apple to apple. Pertama, Malaysia adalah negara pengekspor (Net Eksportir) minyak sementara Indonesia pengimpor (Net Importir). Kedua, jumlah penduduk Malaysia 32 juta jiwa. Ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 260 juta jiwa.

Dari sisi populasi kendaraan, di Malaysia ada 33 juta kendaraan, sedangkan di Indonesia jumlah kendaraannya lebih dari empat kalilipatnya, yaitu sebanyak 145 juta kendaraan. Terakhir adalah terkait luas dan kompleksitas pendistribusian di Malaysia yang jauh lebih sederhana dibanding Indonesia.

Seperti diketahui Malaysia hanya daratan sementara Indonesia negara kepulauan sehingga ragam moda transportasi yang digunakan untuk distribusi otomatis menambah komponen biaya. (Ant)

Harga Minyak Dunia Turun, Disparitas Harga BBM Subsidi Masih Tinggi

Investor.id; 02 September 2022

JAKARTA, investor.id – Harga minyak dunia saat ini terus mengalami penurunan. Meski demikian, masih terdapat disparitas yang cukup besar antara harga keekonomian dengan harga harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi saat ini, yaitu Pertalite dan Solar.

Tercatat pada Kamis (1/9) pagi, harga minyak minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Oktober jatuh 2,3 persen menjadi US$ 89,55 per barel di New York Mercantile Exchange. Sementara, minyak mentah berjangka Brent diperdagangkan turun 2,8 persen menjadi US$96,49 per barel di London ICE Futures Exchange.

Menurut pengamat energi yang juga Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro, meski saat ini terdapat tren penurunan harga minyak dunia yang menyebabkan harga BBM nonsubsidi mengalami sedikit penurunan, namun jumlahnya tidak signifikan untuk menurunkan biaya pokok produksi.

Pemerintah, kata dia, sepanjang semester I sudah berupaya menahan agar harga BBM subsidi tidak naik meski tekanannya sangat berat, yakni harga minyak dunia yang tinggi dan angka konsumsi yang terus meningkat.

“Jadi, kalau ditanya kapan momentum yang tepat untuk menaikkan harga BBM subsidi, tergantung keberanian pemerintah. Sebenarnya lebih cepat, lebih baik. Karena semakin lama harga ditahan, konsekuensinya semakin besar beban subsidi yang harus ditanggung pemerintah,” papar Komaidi kepada Investor Daily.

Menurut Komaidi, penurunan harga minyak dunia yang saat ini terjadi, belum secara signifikan menurunkan biaya pokok produksi BBM. “Artinya, dengan harga BBM yang berlaku saat ini, masih jauh di bawah harga keekononiannya, terutama solar yang harganya sangat tidak logis,” ujarnya.

Tercatat rata-rata realisasi ICP Januari – Juli) sebesar US$ 104,58 per barel, jauh diatas asumsi APBN 2022 sebesar US$ 63 per barel.

Komaidi mengatakan, mempertahankan harga BBM subsidi seperti saat ini, membawa dampak jangka panjang yang tidak sehat, antara lain pengembagan energi baru terbarukan (EBT) yang akan terhambat karena sulit bersaing dari segi keekonomian. Harga energi yang murah juga, kata dia, menimbulkan perilaku masyarakat yang boros. Padahal, Indonesia saat ini adalah negara net importer minyak.

Berdasarkan perhitungan Komaidi, harga BBM subsidi bisa disesuaikan masing-masing pada harga Rp 10 ribu untuk Pertalite dan Solar. Khusus untuk Pertalite, harga bisa diberlakukan dua macam, yakni khusus untuk roda dua dan plat kuning (angkot) tetap di harga saat ini selebihnya yakni untuk kendaraan roda 4 berlaku harga baru.

Mengacu data Pertamina yang diolah Beritasatu Research dikutip Jumat (2/9), harga Pertalite (RON 90) plus subsidi pemerintah kini dijual di angka Rp 7.650 per liter. Sementara harga keekonomian Pertalite per Agustus 2022 mencapai Rp 14.450 per liter, atau naik 43% dari harga keekonomian pada Januari 2022 sebesar Rp 10.100 per liter. Dengan demikian, pemerintah memberikan subsidi sekitar Rp 6.800 per liter.

Sementara Solar subsidi yang tergolong jenis BBM tertentu (JBT) saat ini dibanderol Rp 5.150 per liter. Adapun harga keekonomian Solar subsidi per Agustus 2022 mencapai Rp 13.950 per liter, atau naik 46,8% dari harga keekonomian pada Januari 2022 sebesar Rp 9.500 per liter. Dengan demikian, pemerintah memberikan subsidi sekitar Rp 8.800 per liter.

Tak hanya itu, harga Pertamax (RON 92) saat ini dibanderol Rp 12.500 per liter. Adapun harga keekonomian Pertamax per Agustus 2022 mencapai Rp 17.300 per liter, atau naik 57,2% dari harga keekonomian pada Januari 2022 sebesar Rp 11.000 per liter. Dengan demikian, ada selisih sekitar Rp 4.800 per liter yang ditanggung Pertamina.

Adapun harga LPG PSO saat ini dibanderol Rp 4.250 per kg, Sedangkan harga keekonomian LPG per Agustus 2022 mencapai Rp 18.500 per kg, atau naik 23,3% dari harga keekonomian pada Januari 2022 sebesar Rp 15.000 per kg. Dengan demikian, pemerintah memberikan subsidi sekitar Rp 14.250 per kg.

Menelaah Rencana Kenaikan BBM Subsidi Saat Minyak Dunia Anjlok

Tirto.id; 01 September 2022

tirto.id – Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro memberi pandangan mengenai pemerintah yang akan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi di tengah turunnya harga minyak dunia. Rencana pemerintah untuk menaikan harga BBM bersubsidi semakin kencang sementara penurunan malah terjadi pada BBM non subsidi.

“Jadi kalau non subsidi ini turun kemudian dievaluasi tiap bulan kan memang mereka kalau bahan bakunya turun ya mereka akan turunkan ya. Kalau yang subsidi malah ada rencana naik kan memang agak bertabrakan ya logikanya, tapi memang tetap bisa dilakukan karena kan memang sudah lama ditahan ya. Toh bisa juga pakai justifikasi itu ya, jadi kapanpun menjadi tepat,” jelas dia kepada Tirto, Kamis (1/9/2022).

Komaidi menuturkan harga BBM subsidi sudah ditahan sejak lama hingga harga dasar yang dijual dan harga yang sebenarnya sudah terpaut jauh. Komaidi mencontohkan, misalnya untuk Pertalite memiliki harga asli sekitar Rp15.000 kemudian karena disubsidi harganya menjadi Rp7.650, jika memang perlu ada penyesuaian harga masyarakat perlu dijelaskan mengenai kondisi tersebut.

“Pertalite kan jauh di bawah harga [asli], hitung-hitungan harga wajar sebenarnya ya jadi memang ada ruang untuk [naik] itu memang jauh di bawah harganya. Sebetulnya sangat logis ya kalau BBM subsidi itu disesuaikan tapi kan yang gak mudah itu sering kali pertimbangannya gak hanya fiskal anggaran, tapi lebih ke aspek politisnya juga cukup dominan,” kata dia. Komaidi menjelaskan, memang tidak pernah ada waktu yang tepat untuk memilih apakah BBM subsidi naik atau tetap ditahan. Keduanya kata dia, sama-sama buruk untuk perekonomian Indonesia.

“Kalau memang gak mau naik ya tinggal bilang saja. Nanti pilihan yang akan dilakukan tambah utang aja ya untuk tambah subsidi. APBN nya di 2022 ini belanjanya udah Rp3.000 triliun kemudian pendapatannya hanya Rp2.000 ini kan sebenarnya kena defisit sekitar Rp1.000 triliun ya saya kira itu angka yang besar ya, yang paling penting itu komunikasinya, sampaikan pilihan dan jelaskan apa dampak buruknya karena saya lihat mau naik atau tidak sama sama buruk. Kalau naik ya masyarakat tertekan, demo dan ada ancaman lainnya daya beli turun,” pungkasnya.