Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com
Investor Daily: Rabu, 23 Mei 2018 | 8:54
Kebijakan holding BUMN Migas telah mulai bergulir setelah pemerintah menerbitkan PP No 6/2018 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina. Sebelumnya, pemerintah merevisi PP No 44/2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, dengan PP No 72/2016.
Meski telah mulai bergulir, pelaksanaan kebijakan holding BUMN Migas belum sepenuhnya diterima. Dalam hal ini terdapat perhatian dari sejumlah stakeholder agar regulasi holding BUMN Migas, PP No 44/2005 jo PP No 72/2016 dan PP No 6/2018 tidak bertentangan dengan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopali dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Salah satu perhatian yang mengemuka terkait UU Keuangan Negara adalah mengenai perlu tidaknya persetujuan DPR dalam pelaksanaan holding BUMN Migas. Perhatian ini mengemuka terkait adanya pendapat bahwa setiap tindakan yang berkaitan dengan BUMN terutama yang menyangkut pengalihan saham harus melalui persetujuan DPR.
Sementara itu, perhatian terkait UU Persaingan Usaha yang mengemuka adalah mengenai adanya potensi pelanggaran terhadap Pasal 4 ayat (2), Pasal 13 ayat (2), Pasal 17 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 25 ayat (1 & 2), Pasal 27, dan Pasal 28 UU No 5/1999 akibat pembentukan holding BUMN Migas. Poin sejumlah pasal tersebut adalah mengenai larangan pelaku usaha mendominasi pasar, baik dari aspek pembelian maupun penjualan.
Dalam hal ini satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha dilarang menguasai lebih dari 50% pangsa pasar untuk satu jenis barang atau jasa tertentu.
Telaah UU
Berdasarkan telaah terhadap UU Keuangan Negara, dapat dikatakan pelaksanaan kebijakan holding BUMN Migas relatif sejalan dengan UU ini. Ketentuan Pasal 3 ayat (8) UU Keuangan Negara yang mengamanatkan penyertaan modal pada BUMN harus melalui persetujuan DPR dapat dikatakan tidak berlaku bagi penyertaan modal saham dalam konteks holding BUMN Migas.
Penyertaan modal negara yang dimaksud oleh pasal ini yang mana harus melalui persetujuan DPR adalah untuk penyertaan modal negara yang berasal dari surplus APBN. Ketentuan Pasal 24 ayat (5) UU Keuangan Negara yang mengamanatkan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan negara yang harus mendapat persetujuan DPR dapat dikatakan berbeda dan tidak dapat diberlakukan terhadap kebijakan holding BUMN Migas.
Berdasarkan ketentuan UU BUMN, pengalihansaham BUMN dapat dilakukan melalui dua mekanisme; privatisasi dan non privatisasi. Pengalihan saham BUMN melalui mekanisme privatisasi harus memperoleh rekomendasi Menteri Keuangan dan persetujuan DPR.
Sementara itu, pengalihan saham non privatisasi tidak diharuskan memperoleh rekomendasi Menteri Keuangan dan persetujuan DPR. Hal yang sama juga diatur oleh Pasal 24 ayat (5) UU Keuangan Negara, khususnya mengenai kebijakan privitasisasi.
Dalam hal penambahan penyertaan modal negara sebanyak 13.809.038.755 (tiga belas miliar delapan ratus sembilan juta tiga puluh delapan ribu tujuh ratus lima puluh lima) saham seri B pada PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk ke dalam saham PT Pertamina (Persero) yang dilakukan pemerintah dapat dikatakan merupakan pengalihan saham BUMN melalui mekanisme non privatisasi. Sehingga dalam hal ini ketentuan Pasal 24 ayat (5) UU Keuangan Negara tidak dapat diberlakukan untuk kebijakan holding BUMN Migas.
Sementara itu, terkait ketentuan UU Persaingan Usaha, meskipun berpotensi melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (2), Pasal 13 ayat (2), Pasal 17 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 25 ayat (1 & 2), Pasal 27, dan Pasal 28 UU No.5/1999, kebijakan holding BUMN Migas tidak dapat diberlakukan ketentuan UU Larangan Praktik Monopoli. Karena merupakan kebijakan untuk melaksanakan sebuah UU yang berlaku (UU BUMN), holding BUMN Migas dikecualikan dari ketentuan UU No 5/1999 sebagaimana diatur dalam Pasal 50 UU ini.
Dalam hal ini holding BUMN Migas termasuk dalam definisi Pasal 50 karena kebijakan ini untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (4) dan Pasal 4 ayat (6) UU BUMN (UU No 19/2003). Pasal 51 UU No 5/1999 juga memperbolehkan dilakukan monopoli sepanjang kegiatan monopoli berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pelaksanaan holding BUMN Migas juga berpotensi untuk dapat memenuhi ketentuan pasal ini.
Berdasarkan telaah terhadap ketentuan yang tertuang di dalamnya tersebut, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan holding BUMN yang saat ini berjalan pada dasarnya telah menggunakan rujukan hukum yang sejalan dengan UU BUMN dan tidak bertentangan dengan UU Keuangan Negara maupun UU Larangan Praktik Monopoli.