Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com
Bisnis Indonesia; Senin 04 Juni 2018 | 02:00 WIB
Kebijakan holding BUMN migas telah mulai bergulir. Pemerintah menerbitkan PP No. 6/2018 sebagai payung hukum di dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut. Sebelumnya, pemerintah telah merevisi PP No.44/2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara melalui PP No.72/2016 yang menetapkan bahwa mekanisme inbreng seluruh saham seri B Negara di PGN kepada Pertamina tidak perlu melalui mekanisme APBN. Argumentasi yang mendasarinya adalah bahwa penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada PGN kepada modal saham Pertamina merupakan bagian kekayaan negara yang telah dipisahkan dari APBN.
Argumentasi yang mendasarinya adalah bahwa penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pacta PGN kepada modal saham Pertamina merupakan bagian kekayaan negara yang telah dipisahkan dari APBN.
Jika ditinjau lebih jauh, dasar atau rujukan hukum pemerintah dalam menerbitkan PP No.44/2005 jo PP No.72/2016 dan PP No.6/2018 adalah UU BUMN. PP No.44/2005 jo PP No.72/2016 merupakan aturan pelaksana Pasal 4 ayat (6) UU No.19/2003. Sementara, PP No.6/2018 merupakan aturan pelaksana atas Pasal 4 ayat (4) UU No.19/2003.
Pasal 4 ayat (6) UU No.19/2003 mengatur bahwa pemerintah diberikan kewenangan menetapkan peraturan mengenai tata cara penyertaan dan penatausahaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan ke dalam BUMN dan/atau perseroan terbatas yang sebagian sahamnya dimiliki oleh negara.
Berdasarkan ketentuan ini, pengalihan saham PGN yang sebagian sahamnya dimiliki oleh negara menjadi kewenangan pemerintah dan oleh karenanya penggunaan PP No.44/2005 jo PP No.72/2016 sebagai payung hukum kebijakan menjadi logis.
Ketentuan lain yang menjadi dasar pelaksanaan holding BUMN Migas adalah Pasal 4 ayat (4) UU No.19/2003. Pasal ini memberikan kewenangan pemerintah untuk mengatur kebijakan perubahan penyertaan modal negara baik berupa penambahan maupun pengurangan, termasuk perubahan struktur kepemilikan negara atas saham Persero atau perseroan terbatas. Ketentuan ini kemudian menjadi dasar terbitnya PP No.6/2018 tersebut.
Berdasarkan ketentuan UU BUMN, mekanisme pengalihan saham BUMN meliputi pengalihan melalui privatisasi dan non-privatisasi. Pengalihan saham BUMN melalui privatisasi harus memperoleh rekomendasi Menteri Keuangan dan persetujuan DPR.
Sementara pengalihan saham non-privatisasi tidak diharuskan memperoleh rekomendasi Menteri Keuangan dan persetujuan DPR. Pengalihan saham BUMN melalui mekanisme non-privatisasi dapat dilakukan melalui penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pembubaran BUMN.
Pengalihan saham melalui privatisasi BUMN ditetapkan dapat dilaksanakan melalui tiga cara yaitu pertama, penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal. Kedua, penjualan saham langsung kepada investor. Ketiga, penjualan saham epada manajemen dan/atau karyawan yang bersangkutan. “Teknis dan tata cara privatisasi BUMN kemudian diatur lebih lanjut melalui PP No. 33/2005.
Mencermati ketentuan UU BUMN, kebijakan holding BUMN dapat dikatakan relatif berbeda dengan privatisasi BUMN. UU BUMN mendefinisikan privatisasi merupakan penjualan saham BUMN, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai BUMN, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.
Sementara holding BUMN lebih merujuk pada ketentuan Pasal 63 – Pasal 65 UU BUMN yang mengatur mengenai penggabungan, peleburan, pengambilalaihan, dan pembubaran BUMN, sehingga mendefinisikan hal yang berbeda dengan definisi privatisasi tersebut.
UU BUMN menetapkan penggabungan atau peleburan suatu BUMN dapat dilakukan dengan BUMN lain yang telah ada. Suatu BUMN dapat mengambil alih BUMN dan/atau perseroan terbatas lainnya.
RUJUKAN PEMERINTAH
Hal inilah yang tampaknya menjadi rujukan utama pemerintah di dalam mengimplementasikan holding migas melalui penambahan penyertaan modal negara sebanyak 13.809.038.755 (tiga belas miliar delapan ratus sembilan juta tiga puluh delapan ribu tujuh ratus lima puluh lima) saham seri B pada PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk ke dalam saham PT Pertamina (Persero).
Berdasarkan hasil telaah regulasi sebagaimana yang telah diuraikan tersebut dapat dikatakan bahwa pelaksanaan holding BUMN yang saat ini berjalan pada dasarnya telah menggunakan rujukan hukum yang sejalan dengan UU BUMN.
Namun demikian, beberapa hal teknis tetap perlu mendapat perhatian. Diantaranya adalah perlunya penegasan terhadap kedudukan kekayaan anak perusahaan BUMN yang semestinya tidak dikategorikan sebagai kekayaan negara yang dipisahkan, karena negara hanya melakukan penyertaan melalui BUMN tetapi tidak melakukan penyertaan langsung kepada anak perusahaan BUMN tersebut.
Sinkronisasi dan penyempurnaan lebih lanjut terhadap kerangka peraturan perundangan lain yang ada tetap perlu dilakukan agar kebijakan holding BUMN migas memiliki landasan hukum yang lebih kuat dan lebih jelas, dan dapat berjalan dengan baik.