Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com
Investor Daily: Rabu, 15 Agustus 2018 | 9:27
Pemerintah terpantau sedang mengkaji rencana pencabutan kebijakan domestic market obligation (DMO) batu bara untuk pembangkit listrik. Dari informasi yang terhimpun, rencana pencabutan tersebut untuk meningkatkan kinerja ekspor dan memperbaiki defisit transaksi berjalan (current account deficit/ CAD) Indonesia. Sebagai tindak lanjut dari rencana tersebut, pemerintah tercatat telah mengundang pihak-pihak terkait seperti PLN, Asosiasi Pengusaha Batubara, dan Kadin.
Sebagaimana diketahui, sebelumnya pada Maret 2018, melalui Kepmen ESDM No 1395 K/30/MEM/2018, pemerintah menetapkan harga jual batu bara untuk penyediaan tenaga listrik bagi kepentingan umum maksimal US$ 70 per metrik ton free on board (FOB) vessel. Kepmen ini menetapkan bahwa harga tersebut berlaku untuk tahun 2018 dan 2019, serta ditetapkan berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 2018.
Kepmen ESDM No 1395 K/30/ MEM/2018 merupakan bagian dari kebijakan pemerintah yang memutuskan untuk tidak menyesuaikan tarif listrik sampai dengan tahun 2019. Dengan kondisi bahwa batu bara merupakan porsi terbesar dalam bauran energi primer pembangkit listrik di Indonesia, kebijakan DMO batu bara untuk penyediaan tenaga listrik tersebut diharapkan dapat meminimalkan risiko keuangan PLN.
Biaya dan Manfaat Kebijakan DMO
Dengan porsi batu bara dalam bauran energi primer pembangkit listrik yang signifikan, kebijakan DMO batu bara memiliki peran penting dan menjadi penentu kinerja keuangan PLN. Berdasarkan data, selama tahun 2017 realisasi produksi listrik dari pembangkit listrik yang menggunakan batu bara (PLTU) tercatat sekitar 58,30% dari total produksi listrik nasional. Dengan porsi PLTU dalam proyek pembangkit 35.000 MW sekitar 55%, porsi batu bara dalam bauran energi primer pembangkit listrik pada tahun-tahun mendatang akan semakin meningkat.
Berdasarkan informasi yang terhimpun, total volume kontrak pembelian batu bara untuk pembangkit oleh PLN pada 2018 adalah sekitar 93,28 juta matrik ton. Karena itu, jika mengacu pada ketentuan Kepmen ESDM No 1395 K/30/MEM/2018 dan nilai tukar rupiah saat ini, maka total biaya pengadaan batu bara yang harus dikeluarkan PLN tahun 2018 adalah sekitar Rp 94,67 triliun.
Jika tidak terdapat kebijakan DMO atau harus mengacu pada harga pasar, biaya pengadaan batu bara yang harus dikeluarkan oleh PLN akan lebih besar lagi. Mengacu pada ketentuan Kepmen ESDM No 917 K/30/MEM/2018 yang menetapkan bahwa harga batubara acuan (HBA) untuk periode Agustus 2018 sebesar US$ 107,83 per metrik ton misalnya, biaya pengadaan batu bara yang harus dikeluarkan PLN dengan volume tersebut akan meningkat menjadi sekitar Rp 145,84 triliun.
Dengan demikian, kebijakan DMO tersebut dapat dikatakan memberikan penghematan biaya pengadaan batu bara PLN sekitar US$ 37,83 atau Rp 548.535 per metrik ton. Berdasarkan total volume kontrak batu bara tersebut, penghematan biaya pengadaan batu bara yang dapat diperoleh PLN selama 2018 dari kebijakan DMO adalah sekitar Rp 51,16 triliun. Karena itu, jika diasumsikan kebijakan DMO batu bara untuk listrik dicabut dan efektif berlaku sejak September 2018, maka PLN harus menambah alokasi anggaran untuk biaya pengadaan batu bara paling tidak sekitar Rp 17,05 triliun sampai dengan akhir tahun.
Dari sisi tujuan sebagaimana disampaikan pemerintah tersebut, jika pencabutan kebijakan DMO batu bara untuk listrik dimaksudkan untuk memperbaiki defisit neraca berjalan, kiranya perlu ditinjau kembali tingkat efektivitasnya. Dari sisi hitungan di atas kertas, jika alokasi batu bara untuk PLN tersebut seluruhnya diekspor maka akan terdapat tambahan devisa sekitar US$ 10,05 miliar atau sekitar 8% dari total cadangan devisa Indonesia.
Jika kebijakan diberlakukan sejak September 2018, maka devisa yang akan diperoleh sampai dengan akhir tahun adalah sekitar US$ 3,35 miliar atau sekitar 2,79% dari total cadangan devisa Indonesia. Hitungan devisa tersebut dapat diperoleh jika seluruh batu bara yang sebelumnya dialokasikan untuk PLN kemudian diekspor dan/atau PLN membayar transaksi batu bara tersebut dengan menggunakan mata uang asing (devisa). Akan tetapi, dalam realisasinya hampir dapat dipastikan kondisinya tidak seperti sekenario tersebut.
Kebijakan alokasi batu bara untuk PLN kemungkinan akan relatif lebih sulit direvisi. Dalam hal ini yang masih memungkinkan untuk dapat direvisi oleh pemerintah adalah mengenai besaran harganya. Akan tetapi, jika PLN di dalam transaksinya tetap menggunakan mata uang rupiah, tujuan memperbaiki defisit neraca berjalan tersebut tetap tidak akan tercapai meskipun harga batu bara untuk PLN disesuaikan dengan harga pasar.
Mencermati permasalahan yang ada tersebut, pemerintah perlu lebih cermat dalam melakukan evaluasi terhadap kebijakan DMO batu bara untuk listrik. Dalam kondisi pemerintah yang telah menetapkan tarif listrik yang tidak naik sampai dengan tahun 2019, pencabutan kebijakan DMO batu bara secara otomatis akan menjadi beban bagi keuangan PLN. Jika konsumsi batu bara PLN dan nilai tukar rupiah diasumsikan sama seperti saat ini, tambahan biaya yang harus dikeluarkan PLN dari pencabutan kebijakan DMO batu bara kemungkinan tidak kurang dari Rp 50 triliun untuk setiap tahunnya.