Sunday, November 24, 2024
HomeReforminer di Media2019Jalan Panjang RUU Migas, Mau Jadi Apa SKK Migas?

Jalan Panjang RUU Migas, Mau Jadi Apa SKK Migas?

CNBC Indonesia; Kamis,  31 January 2019 10:42

Jakarta, CNBC Indonesia- Setelah delapan tahun tak ada kabarnya, kini Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas) telah menjadi fokus pemerintah untuk segera diselesaikan.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM Djoko Siswanto menuturkan pemerintah telah menyerahkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) terkait RUU migas yang nantinya akan dibahas dengan DPR.

Salah satu isu strategis yang dibahas di RUU ini dan masuk dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) pemerintah adalah soal status Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Status lembaga ini memang jadi polemik, apalagi sejak BP Migas dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2012 lalu.

Djoko menuturkan pada intinya konsep pemerintah ingin kepemilikan negara jadi lebih kuat karena dapat mengontrol aset-aset migas di Indonesia. Sebab, dalam usulan DIM RUU migas dari pemerintah, SKK Migas diperbolehkan memiliki hak partisipasi (participating interest/PI) atas aset-aset hulu migas di Indonesia.

Ia menjelaskan diberikannya PI untuk SKK Migas agar badan kegiatan hulu migas tersebut dapat menjalankan fungsi kontrol, terutama dari segi keuangan agar pengelolaan proyek di blok migas efisien.

“Misalnya begini, SKK Migas punya ahli pemboran, karena dia punya PI di situ, maka dia punya hak menentukan, oh teknologi cementing-nya di sini. Selain itu, misalnya SKK Migas punya kemampuan budgeting, dia bisa kontrol juga kan? Kalau cost besar-besar, kan rugi, begitu,” tutur Djoko, di Jakarta, Selasa (30/1/2019).

Lebih lanjut, ia menjelaskan, tujuannya adalah hal positif, dan dimungkinkan bisa membantu memberi kinerja baik untuk proyek-proyek hulu migas strategis, misalnya di Blok Rokan.

Kendati demikian, lanjut Djoko, SKK Migas tidak diwajibkan untuk ikut memiliki PI di setiap blok. Tergantung di mana blok yang diinginkan, atau yang strategis saja.

Djoko juga menuturkan, pemerintah inginnya agar SKK Migas dan BPH Migas berjalan terpisah seperti yang sekarang ini dilakukan.

“Hanya fungsinya ditambah, jadi bisa mengelola dana (managing fund),” tutur Djoko.

Nantinya, SKK Migas dapat berperan sebagai institusi yang mengumpulkan dan mengelola dana, yang didapat bisa didapatkan dari bonus tanda tangan, penerimaan, atau dana Abandonment and Site Restoration (ASR). Adapun, dana tersebut bisa digunakan salah satunya untuk menunjang kegiatan hulu migas seperti pembiayaan kegiatan eksplorasi.

Apakah ini artinya SKK Migas akan jadi seperti BUMN?

Djoko tidak menjawab pasti soal ini, namun mengarah ke sana. Ia menjelaskan SKK Migas menjadi BUMN sesuai dengan amanat putusan MK pada 2012.

Pendiri Reforminer Institute sekaligus pengamat migas Pri Agung Rakhmanto mengatakan, langkah tersebut justru merupakan langkah penguatan bagi SKK Migas. Sehingga, menurutnya dalam hal ini, konsep pemerintah sudah benar.

“Sesuai putusan MK, bentuk badan yang mengelola usaha hulu kan memang harus Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Jadi, dalam hal ini konsep dari pemerintah sudah betul, termasuk dalam hal ini kewenangan untuk mengelola dana dan memiliki hak partisipasi (PI),” ujar Pri saat dihubungi Rabu (30/1/2019).

Lebih lanjut, ia mengatakan, hanya saja, BUMN yang dimaksud haruslah yang bersifat khusus dan mendapatkan kuasa pertambangan di hulu berdasarkan pengaturan UU Migas dan lex specialis. Baik dalam fungsi maupun kewenangan, termasuk kekhususan untuk penyederhanaan perizinan hulu dan pengurusan perpajakan menjadi satu atap.

Lalu, bagaimana nasib holding migas?

Pakar hukum pertambangan Ahmad Redi mengatakan dilihat dari putusan MK No 36/PUU-X/2012 ditulis bahwa dalam menjalankan penguasan negara atas sumber daya alam Migas, pemerintah melakukan tindakan pengurusan atas migas dengan memberikan konsesi kepada satu atau beberapa BUMN untuk mengelola kegiatan usaha migas pada sektor hulu.

BUMN itulah yang akan melakukan Kontrak Kerja Sama dengan BUMD, Koperasi, Usaha Kecil, badan hukum swasta, atau BUT.

Artinya, jika SKK menjadi BUMN, maka, jelasnya, akan berbenturan dengan tugas Pertamina dan Holding Migas yang sudah dibentuk juga oleh pemerintah sebelumnya.

Akan tetapi, berbeda dengan Redi, menurut Pri Agung, holding migas masih tetap bisa berjalan dan tidak berbenturan jika dengan konsep BUMN khusus versi pemerintah tersebut. Namun, akan menjadi rancu fungsinya jika mengacu pada badan usaha khusus yang dimaksud dalam rancangan RUU Migas versi DPR.

“Tapi kalau BUK yang ada dalam draft RUU Migas versi DPR, itu masih dan bakal ada komplikasi dan kerancuan dengan holding migas yang ada sekarang. Jadi, jangan dirancukan antara BUK dengan BUMN khusus ya,” pungkasnya.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments