Validnews.co, 11 Februari 2019
JAKARTA – Megaproyek Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk membangun pembangkit listrik hingga 35 ribu megawatt dinilai mesti ditata kembali dengan memperhatikan kondisi ekonomi terkini. Pasalnya, kondisi ekonomi Indonesia yang selama beberapa tahun hanya tumbuh di kisaran 5% akan membuat energi listrik menjadi tidak terserap kalaupun megaproyek tersebut sukses terbangun.
Direktur Eksekutif Research Institute for Mining and Energi (ReforMiner) Komaidi Notonegoro menjelaskan, rencana penyelesaian pembangunan pembangkit dengan daya 35 ribu megawatt mestinya kembali diundur 2–3 dari revisi yang sudah ada sebelumnya. Tujuannya agar tidak memengaruhi bisnis korporasi yang berpusat pada Perusahaan Listrik Negara (PLN).
“Nanti enggak keserap produksinya karena pertumbuhan ekonominya di bawah target awal. Jadi memang kalau pertumbuhan ekonominya turun, waktunya akan lebih panjang,†ulasnya kepada Validnews, Senin (11/2).
Pertumbuhan ekonomi dalam 4 tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla memang terpantau hanya di kisaran 5,04% per tahunnya. Tahun 2018 sendiri menjadi momen pencapaian pertumbuhan ekonomi tertinggi, namun masih hanya berada di angka 5,17%.
Mengenai proyek ini sendiri, sebenarnya pemerintah pada awalnya menargetkan dapat membangun pembangkit listrik hingga 35 ribu megawatt sampai tahun 2019. Hanya saja dengan berbagai pertimbangan, pada 2017 kemarin pemerintah memang telah merevisi target pembangunan proyek 35 Megawatt menjadi ke kisaran tahun 2023—2024.
Namun karena pertumbuhan ekonomi mentok, Komaidi menjelaskan, pertumbuhan kebutuhan energi pun menjadi kurang sesuai dengan yang diharapkan. Jika dipaksakan selesai sesuai target, aka ada ekses ke korporasi.
“Tapi bagi negara, enggak ada problem karena dalam jangka panjang pasti akan terserap,†tegas pengamat energi.
Optimisme Komaidi akan mampu terserapnya energi dalam jangka panjang dikarenakan kondisi elektrifikasi yang saat ini belum menyentuh 100%. Ditambah lagi potensi pertambahan penduduk yang cukup besar serta adanya peralihan struktur ekonomi diyakini dapat menjadi pendongkrak pertumbuhan kebutuhan energi nasional.
“Struktur ekonomi juga geser dari yang dulunya ekstraktif, sekarang lebih ke arah industri dan jasa yang tentu butuh support energi, khususnya listrik, lebih kuat lagi,†tukasnya.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sampai tahun 2018 kemarin tingkat elektrifikasi nasional sebenarnya telah mencapai 98,3%. Sebanyak 95,45% di antaranya merupakan elektrifikasi yang dihasilkan oleh PLN.
Tidak hanya dari serapan, Komaidi melanjutkan, pengentasan proyek 35 ribu megawatt juga mesti diselaraskan antar para pelaksananya, khususnya terkait PLN dengan independent power plant (IPP). Pasalnya, masih terlihat adannya kurang sepemahaman antarkedua belah pihak terkait harga jual beli energi, istimewanya mengenai energi baru dan terbarukan (EBT).
“Masih ada kendala dalam kesepakatan harga beli dan harga jualnya,†ucapnya.
Mengenainya perlu adanya penataan ulang mengenai target penyelesaian program 35 ribu Megawatt turut dicetuskan oleh Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa. Dipandangnya, program ini menjadi kurang relevan saat ini dikarenakan rencananya pembangkit energi sebesar itu dikalkulasikan dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 7% persen dan pertumbuhan listrik di atas 8,5 % per tahun.
Ia pun menyatakan, pemerintah pun sebenarnya mulai menyadari hal tersebut dengan mengubah target awal penyelesaian proyek dari tahun 2019 menjadi kisaran 2023-2024 pada dua tahun kemarin.
“Jadi memang begitu kondisinya dan memang perlu di-review dan sudah dilakukan. Sah-sah saja pemerintah ubah target,” katanya.
Kondisi program listrik 35.000 MW tersebut ditengarai akan jadi salah satu hal yang dibahas dalam debat capres kedua 17 Februari mendatang. Program listrik 35.000 MW merupakan bentuk komitmen pemerintah untuk menciptakan kemandirian energi dengan memanfaatkan secara optimal sumber-sumber energi terbarukan.
Febby merincikan, sebenarnya saat ini sekitar 2 ribu MW dari program tersebut telah beroperasi. Kesuksesan tersebut dikarenakan pembangkit yang telah aktif merupakan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) yang masa konstruksinya kurang dari setahun.
Lebih daripada itu, sebanyak 15 ribu MW pembangkit listrik kini juga tengah dalam konstruksi. Sisa 14 ribu Megawatt ditunda hingga 2021 dan sekitar 2 ribu Megawatt sisanya belum dimulai dibangun.
Namun ia mengingatkan, belum tentu semua pihak mengerti akan kondisi ini. Tugas pemerintah untuk bisa menjelaskan perubahan target program 35 ribu megawatt ini agar tidak dianggap gagal.
“Harusnya pemerintah jelaskan program 35 ribu Megawatt bukan gagal, tapi memang harus disesuaikan karena ada perubahan kondisi,” sarannya.