Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com
Investor Daily; Jumat, 27 September 2019 | 11:14 WIB
Setelah serangan terhadap fasilitas kilang dan fasilitas produksi minyak mentah Saudi Aramco, rata-rata harga minyak mentah dunia terpantau meningkat berkisar 10–15%. Pada 17 September 2019, harga minyak jenis Brent meningkat menjadi US$ 69,02 per barel dan WTI menjadi US$ 62,90 per barel. Kenaikan tersebut tercatat sebagai kenaikan harian tertinggi sejak 1988. Sejumlah analis memproyeksikan harga minyak mentah dunia dapat menyentuh level US$ 100 per barel.
Jika mengacu pada faktor fundamental, peluang harga minyak mentah dunia untuk dapat menyentuh level US$ 100 per barel, sesungguhnya relatif kecil. Pertumbuhan ekonomi global pada 2019 dan 2020 yang akan menjadi penentu utama meningkatnya konsumsi dan harga minyak dunia, diproyeksikan melambat. Perang dagang antara AS dan Tiongkok merupakan penyebab utama terjadinya perlambatan ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi global tercatat turun dari 3,8% pada 2017 menjadi 3,6% pada 2018 dan diproyeksikan turun lagi menjadi 3,3% pada 2019. Pada 2020, pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan tumbuh lebih rendah.
Perang dagang antara AS dan Tiongkok juga telah memberikan dampak langsung terhadap menurunnya volume perdagangan dunia. Volume ekspor dan impor dari mitra dagang utama dunia seperti Tiongkok, Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman turun signifikan. Perang dagang mendorong indeks manufaktur global turun di bawah nilai 50, yang mengindikasikan industri manufaktur global sedang tumbuh melambat atau bahkan dalam fase kontraktif (tumbuh negatif). Akibatnya, indeks harga komoditas global turun menjadi 80 atau dalam hal ini rata-rata harga komoditas global –termasuk harga minyak– sekitar 20% lebih rendah dibandingkan sebelum terjadinya perang dagang.
Arab Saudi menyampaikan bahwa kerusakan fasilitas produksi minyak mereka di Khurais akan berdampak terhadap berkurangnya produksi minyak mentah Negara tersebut sekitar 5,7 juta barel per hari. Bagi neraca minyak dunia, angka tersebut cukup signifikan karena sama halnya dunia kehilangan sekitar 6% total produksi. Namun, efek yang ditimbulkan terhadap pergerakan harga minyak sampai sejauh ini relatif tidak seperti yang dikhawatirkan. Space kapasitas produksi dari anggota OPEC yang lain dan Amerika Serikat yang dapat mengisi penurunan produksi Arab Saudi adalah di antara penyebabnya.
Permasalahan yang Perlu Diwaspadai
Saya menilai, dalam kaitannya dengan permasalahan tersebut, manajemen pengadaan LPG merupakan yang lebih prioritas untuk diwaspadai oleh Indonesia. Dalam hal ini, tidak berarti antisipasi terhadap potensi dampak kenaikan harga minyak dunia tidak perlu diwaspadai. Akan tetapi, jika melihat konteks permasalahan yang ada, sesungguhnya cukup berdasar untuk tidak terlalu khawatir mengenai potensi lonjakan harga minyak di dalam jangka pendek.
Terlepas dari berbagai kemungkinan yang dapat terjadi, serangan terhadap fasilitas kilang dan fasilitas produksi minyak mentah Saudi Aramco berpotensi memberikan dampak langsung maupun tidak langsung terhadap kelancaran proses pengadaan LPG Indonesia. Saat ini sekitar 75% konsumsi LPG Indonesia dipenuhi dari impor. Sementara itu, sejauh ini sekitar 90% impor LPG Indonesia dipenuhi dari wilayah Timur Tengah terutama Arab Saudi. Pilihan tersebut cukup berdasar mengingat untuk saat ini lima dari sepuluh besar negara produsen LPG utama dunia merupakan negara-negara dari wilayah Timur Tengah.
Peran Saudi Aramco bagi Indonesia tidak hanya menyangkut pengadaan LPG, tetapi sedikit banyak juga berperan penting terhadap fiskal Indonesia. Sudah sejak lama, Contract Price Saudi Aramco (CP Aramco) menjadi acuan dalam penetapan harga indeks pasar (HIP) LPG Tabung 3 Kg. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Kepmen ESDM No.3298 K/12/MEM/2013 dan Kepmen ESDM No.61 K/12/ MEM/2019.
Mengingat HIP LPG Tabung 3 Kg yang merupakan produk subsidi menggunakan acuan CP Aramco, maka besaran anggaran untuk subsidi LPG yang harus dialokasikan di APBN dipengaruhi oleh CP Aramco. Besaran anggaran subsidi yang harus dialokasikan untuk setiap tahun anggaran akan berbanding lurus dengan pergerakan CP Aramco. Ketika CP Aramco meningkat, kebutuhan alokasi anggaran untuk subsidi LPG juga meningkat. Begitu pula sebaliknya.
Kerusakan fasilitas kilang Saudi Aramco di Abqaid akan menurunkan jumlah produk yang dapat dihasilkan oleh Saudi Aramco, termasuk LPG. Sebagaimana hokum ekonomi, berkurangnya pasokan umumnya akan berdampak terhadap meningkatnya harga produk yang bersangkutan. Tidak hanya harga produk LPG yang dihasilkan oleh Saudi Aramco, harga produk serupa yang dihasilkan oleh pihak yang lain juga berpotensi meningkat.
Terkait dengan permasalahan yang ada tersebut, kiranya penting bagi Indonesia untuk tidak terlalu tergantung kepada satu wilayah apalagi kepada satu negara untuk memenuhi kebutuhan impor LPG. Bagaimanapun strategi pemenuhan kebutuhan LPG dalam negeri melalui diversifikasi sumber pasokan memiliki nilai strategis baik dalam aspek daya tawar, harga, maupun keberlanjutan pasokan dalam jangka panjang.