Sunday, November 24, 2024
HomeReforminer di MediaArtikel Tahun 2019Regulasi Pengelolaan dan Pengusahaan Bisnis LNG

Regulasi Pengelolaan dan Pengusahaan Bisnis LNG

Komaidi Notonegoro
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute
Email: komaidinotonegoro@gmail.com

Investor Daily: Selasa, 5 November 2019 | 11:14 WIB

Dalam beberapa tahun ke depan, prospek bisnis liquefied natural gas (LNG) di dalam negeri kemungkinan semakin meningkat. Terdapat dua faktor utama yang menjadi pendorong meningkatnya prospek tersebut. Pertama, konsumsi gas di dalam negeri oleh sektor industri, listrik, komersial, dan rumah tangga tercatat terus meningkat. Kedua, terjadi ketidaksesuaian antara lokasi cadangan (produksi) gas dengan lokasi pengguna gas.

Saat ini sebagian besar pengguna gas berada di wilayah Indonesia bagian barat. Sementara itu, sebagian besar cadangan gas di wilayah Indonesia bagian timur. Karena itu, penyediaan infrastruktur distribusi gas menjadi kunci agar produksi gas Indonesia dapat dioptimalkan untuk kepentingan dalam negeri.

Permasalahannya, keberlanjutan pasokan dan komitmen pembelian gas oleh konsumen seringkali menyebabkan keekonomin proyek penyediaan infrastruktur pipa transmisi dan distribusi gas tidak dapat terpenuhi.

Berdasarkan kondisi yang ada tersebut, mengubah gas menjadi cair (LNG) seringkali menjadi pilihan utama agar produksi gas dapat didistribusikan kepada konsumen tanpa harus tergantung terhadap penyediaan infrastruktur pipa transmisi dan distribusi gas dari sumber produksi sampai dengan pengguna.

Sejauh ini Indonesia pada dasarnya telah melakukan hal tersebut, namun sebagian besar LNG yang diproduksikan dialokasikan untuk kepentingan ekspor.

Pengaturan Pengelolaan dan Pengusahaan

Mengingat LNG akan memiliki peran penting, pengaturan untuk pengelolaan dan pengusahaan LNG menjadi penting. Akan tetapi, berdasarkan review dalam Undang undang Migas No.22/2001 tidak terdapat ketentuan yang secara eksplisit mengatur mengenai bisnis LNG. Tidak terdapat satu pasal pun di dalam UU Migas No 22/2001 yang menyebut kata liquified natural gas (LNG) atau gas alam cair.

Kata LNG tercatat hanya satu kali disebut di dalam UU No 22/2001, yaitu dalam penjelasan Pasal 63 huruf ‘d’. Bisnis LNG hanya diatur secara implisit melalui ketentuan pada kegiatan usaha hilir. Pasal 1 ayat (10) UU No 22/2001 mendefinisikan kegiatan usaha hilir adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan/atau niaga.

Dalam hal ini bisnis LNG dikelompokkan dalam kegiatan usaha pengolahan. Pasal 1 ayat (11) mendefinikan pengolahan merupakan kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah minyak bumi dan/atau gas bumi, tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan.

Dalam UU No 22/2001 bisnis LNG dikategorikan sebagai bagian dari kelompok usaha hilir migas, yaitu usaha pengolahan. Secara implisit, bisnis LNG juga diatur dalam ketentuan Pasal 23, Pasal 30, dan Pasal 53 UU Migas No 22/2001. Pengaturan bisnis LNG secara eksplisit ditemukan dalam PP No 36/2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi. Pasal 1 ayat (5) PP ini mendefinisikan LNG adalah gas bumi yang terutama terdiri atas metana yang dicairkan pada suhu sangat rendah (sekitar minus 1600C) dan dipertahankan dalam keadaan cair untuk mempermudah transportasi dan penimbunan.

Pasal 12 huruf “a” mendefinisikan kegiatan usaha pengolahan meliputi kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah minyak dan gas bumi yang menghasilkan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, hasil olahan, LPG dan/ atau LNG tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan. Pasal 24 ayat (1) mendefinisikan pengolahan gas bumi menjadi LNG, LPG, dan gas to liquefied (GTL) termasuk dalam dan/atau merupakan Kegiatan Usaha Hilir selama ditujukan untuk memperoleh keuntungan dan/atau laba serta bukan merupakan kelanjutan dari Kegiatan Usaha Hulu.

UU No 22/2001 dan PP No 36/2004 menetapkan kewenangan pemberian izin usaha dan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan usaha penyediaan dan pendistribusian LNG melekat pada menteri ESDM. Ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf “a” PP No 36/2004 menetapkan bahwa pengajuan dan pemberian izin usaha untuk kegiatan usaha pengolahan yang menghasilkan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan/atau hasil olahan diajukan kepada dan diberikan oleh menteri ESDM.

Pasal 13 PP No 36/2004 menetapkan bahwa menteri ESDM dapat melimpahkan kewenangan pemberian Izin Usaha Hilir Migas yang akan diatur lebih lanjut melalui Keputusan Menteri ESDM. Pasal 16 Permen ini menetapkan jika badan usaha melaksanakan kegiatan usaha pengolahan dengan kegiatan pengangkutan, penyimpanan, dan/atau niaga sebagai kelanjutan dari kegiatan usaha pengolahannya, maka kepada badan usaha hanya diwajibkan untuk memiliki Izin Usaha Pengolahan.

Sementara itu, jika badan usaha melakukan kegiatan usaha pengolahan dengan kegiatan usaha pengangkutan, penyimpanan, dan niaga yang tidak sebagai kelanjutan dari kegiatan usaha pengolahannya, maka kepada badan usaha wajib mempunyai Izin Usaha Pengolahan, Izin Usaha Pengangkutan, Izin Usaha Penyimpanan, dan Izin Usaha Niaga Umum (wholeshale) atau Izin Usaha Niaga Terbatas (trading) secara terpisah.

Relatif sama dengan ketentuan UU Migas No 22/2001, dalam draf revisi UU Migas inisiatif DPR yang telah diparipurnakan pada 3 Desember 2018 juga tidak ditemukan adanya ketentuan yang mengatur secara eksplisit mengenai bisnis LNG. Pengaturan bisnis LNG hanya dilakukan secara implisit melalui ketentuan Pasal 1 ayat (17), (20), (29), Pasal 3 huruf “d”, Pasal 18 ayat (1), Pasal (19) ayat (3), Pasal (20), Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (4) huruf “d”, dan Pasal 28.

Melalui Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Migas yang disampaikan pemerintah pada 21 Januari 2019, pemerintah mengusulkan sejumlah perubahan dan penambahan ketentuan baru yang di antaranya terkait dengan kebijakan pengelolaan dan pengusahaan LNG.

Berdasarkan review terdapat 18 kali kata “LNG” disebut di dalam DIM RUU Migas yang disampaikan oleh pemerintah tersebut. Ketentuan terkait pengelolaan dan pengusahaan LNG di antaranya diusulkan masuk pada Pasal 1 ayat (4), Pasal 1 ayat (9), Pasal 26 ayat (3), (4), Pasal 48 ayat (1), (2), (4), Pasal 49 ayat (6), dan Pasal 50 ayat (5).

Mencermati permasalahan dalam pengelolaan sektor gas bumi dalam negeri, usulan pemerintah dalam DIM Revisi UU Migas tersebut sesungguhnya cukup relevan. Karena itu, meskipun secara administrasi nantinya pambahasan revisi UU Migas yang telah bergulir sejak tahun 2008 harus dimulai dari awal lagi oleh DPR yang baru, substansi pembahasan yang telah dilakukan dalam proses sebelumnya dapat dikatakan sudah cukup progresif.

Sehingga dalam konteks substansi, pemerintah dan DPR yang baru semestinya tidak harus memulai segala sesuatunya dari nol, tetapi tinggal melakukan penyempurnaan untuk beberapa poin pengaturan yang dinilai perlu disempurnakan.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular

Recent Comments