Investor Daily; Senin, 10 Februari 2020 | 12:30 WIB
Diskusi mengenai opsi mekanisme penyaluran atau distribusi tertutup LPG 3 kg dalam beberapa waktu terakhir terus menguat. Hal tersebut salah satunya karena dalam beberapa tahun terakhir, besaran subsidi LPG menjadi komponen signifikan dalam anggaran subsidi energi di APBN. Untuk tahun 2020, alokasi subsidi LPG 3 kg ditetapkan sebesar Rp 49,39 triliun, setara 39,40% dari total subsidi energi pada tahun yang sama.
Peningkatan nilai subsidi LPG ditentukan atau dipengaruhi oleh sejumlah variabel seperti volume LPG subsidi, harga bahan baku –CP Aramco–, dan nilai tukar rupiah. Volume LPG subsidi tercatat meningkat signifikan dari sekitar 64 ribu metrik ton (MT) pada 2007 menjadi 7 juta metrik ton (MT) pada APBN 2020. Peningkatan tersebut menjadi salah satu penyebab nilai subsidi LPG yang pada 2007 hanya sekitar Rp 210 miliar, meningkat menjadi Rp 49,39 triliun pada APBN 2020.
Distribusi Tertutup
Terkait dengan besaran subsidi LPG yang terus meningkat tersebut, pemerintah merencanakan untuk mengubah meknisme distribusi LPG 3 kg yang saat ini menggunakan mekanisme distribusi terbuka menjadi distribusi tertutup. Dalam hal ini, pesan yang dapat dibaca dari rencana kebijakan pemerintah tersebut adalah setelah diimplementasikan hanya masyarakat golongan tertentu atau penerima manfaat subsidi yang dapat mengakses LPG 3 kg.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, wacana mengenai penerapan distribusi LPG dengan mekanisme tertutup bukan ide yang baru. Selama kurun 2009-2012 pemerintah melalui KESDM terpantau telah melakukan uji coba distribusi tertutup di beberapa kota. Pada 2016 pemerintah kemudian terpantau melakukan pilot project distribusi LPG 3 kg tepat sasaran di Kota Tarakan.
Pada 2018, Tim Nasinal Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) terpantau merencanakan uji coba penyaluran LPG 3 kg tepat sasaran. Pada awal 2019, TNP2K terpantau melakukan uji coba penyaluran LPG 3 kg tepat sasaran dengan biometric dan e-voucher. Kemudian pada akhir 2019, TNP2K terpantau merencanakan uji coba penyaluran LPG 3 kg dengan mekanisme nontunai.
Dari pencermatan yang dilakukan, terdapat sejumlah kendala yang ditemukan dari beberapa opsi mekanisme distribusi LPG 3 kg tertutup atau tepat sasaran. Di antara kendala yang ditemukan adalah (1) proses transaksi di lapangan akan dipengaruhi oleh kualitas sinyal HP (internet), jika sinyal tidak bagus transaksi akan terganggu; (2) terdapat tantangan besar dalam perubahan perilaku masyarakat, salah satu contohnya jika menggunakan e-voucher mengharuskan masyarakat menghafal PIN; (3) sebagian besar penjual LPG belum siap melayani sesuai dengan SOP; (4) masih memerlukan peningkatan sosialisasi dan edukasi; dan (5) masih diperlukan peningkatan kualitas aplikasi untuk mendukung kelancaran pelaksanaan program secara nasional.
Kebijakan Subsidi Langsung
Kebijakan distribusi tertutup dapat dikatakan masih merupakan bagian dari subsidi produk, tetapi dengan mekanisme yang diperbaiki. Sejumlah negara maju umumnya memberikan subsidi kepada penerima manfaat atau mereka yang berhak menerima subsidi secara langsung, bukan melalui subsidi produk. Konsep subsidi tersebut seringkali terintegrasi pada satu program seperti program jaminan sosial atau social security. Sementara untuk Indonesia, sebagian besar subsidi diberikan dalam bentuk subsidi harga produk.
Pada satu sisi, dibandingkan dengan subsidi langsung, subsidi harga produk memang relatif lebih menguntungkan karena tidak memerlukan data detail mengenai siapa saja penerima manfaat dari subsidi tersebut. Pemerintah cukup menggunakan data pada level makro untuk kemudian digunakan sebagai basis di dalam menetapkan kuota dan nilai subsidi atas produk tertentu yang ditetapkan sebagai produk subsidi.
Akan tetapi, model kebijakan subsidi melalui harga produk meskipun telah melalui distribusi tertutup umumnya masih menghadapi sejumlah kendala. Dengan basis data yang tidak detail, alokasi subsidi juga berpotensi dinikmati oleh masyarakat yang semestinya bukan penerima manfaat. Dalam konsep ekonomi ketika terdapat satu produk dengan dua harga yang berbeda maka konsumen akan cenderung memilih harga yang lebih murah.
Karena itu, ketika subsidi LPG dilakukan melalui subsidi harga produk dan dengan distribusi terbuka, masalah penyimpangan dapat dikatakan sudah hampir pasti terjadi. Peluang masyarakat yang sudah berdaya tetapi ikut mengakses LPG 3 kg cukup besar. Potensi penyimpangan kemudian akan ditentukan oleh sejauh mana tingkat kesadaran masyarakat yang sudah berdaya beli untuk tidak ikut serta mengakses dan menikmati LPG 3 kg.
Indikasi adanya penyimpangan cukup kuat jika mengacu pada hasil studi TNP2K. Studi TNP2K menyebutkan pemerintah berpotensi menghemat anggaran subsidi sekitar Rp 40,4 triliun jika subsidi LPG tepat sasaran dan hanya dialokasikan untuk Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Besaran penghematan akan turun menjadi sekitar Rp 29 triliun jika subsidi LPG selain dialokasikan untuk KPM juga dialokasikan untuk UMKM, Petani, dan Nelayan.
Mencermati kondisi yang ada tersebut, kiranya sudah saatnya pemerintah mengubah kebijakan dan mekanisme pemberian subsidi dari subsidi terhadap harga produk menjadi subsidi terhadap penerima manfaat. Kebijakan subsidi terhadap harga produk berpotensi menimbulkan permasalahan yang umumnya hanya masalah waktu dan akan sangat ditentukan oleh sejauh mana kapasitas fiskal mampu memberikan toleransi terhadap permasalahan yang ada tersebut.
Pada tahap awal, perubahan mekanisme subsidi dari subsidi produk menjadi subsidi langsung kepada penerima manfaat memang tidak sederhana. Untuk dapat melakukan hal tersebut pemerintah wajib menyediakan basis data yang lebih detail dan tepat terhadap siapa saja yang berhak menerima manfaat subsidi. Sementara itu, sampai saat ini masalah data dan pencatatan seringkali menjadi masalah utama bagi bangsa kita ini. Tidak hanya mengenai soal data yang berbeda antarinstansi, tetapi definisi dan kriteria mengenai siapa saja yang berhak menerima manfaat subsidi seringkali juga tidak sama antara instansi yang satu dangan yang lainnya.
Meskipun tidak mudah dan harus dilakukan dengan kerja keras oleh seluruh stakeholder, perubahan kebijakan dan mekanisme pemberian subsidi dapat dikatakan sebagai keniscayaan. Pilihan mekanisme distribusi tertutup jika menggunakan kebijakan subsidi terhadap harga produk masih akan menyisakan sejumlah masalah. Karena itu, pilihan terhadap mekanisme subsidi langsung pada dasarnya merupakan keharusan. Jika tidak, kita semua hanya akan berputar-putar, sulit menemukan solusi, dan terperangkap pada permasalahan yang sama dari waktu ke waktu.