Kompas.com; 9 September 2020
KOMPAS.com – Pembahasan mengenai bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium dan Pertalite baru-baru ini kembali ramai diperbincangkan masyarakat.
Setelah sebelumnya muncul wacana menghapus keduanya, anggota Komisi VII DPR RI, Mulan Jameela, mengusulkan penyetaraan harga Pertamax dengan Premium.
Hal itu diungkapkan Mulan saat rapat dengar pendapat Komisi VII dengan direksi Pertamina pada Senin (31/8/2020) sebagai solusi atas rencana Pertamina yang akan menghapus BBM jenis Pertalite dan Premium.
Harga BBM Cukup Bersaing
Pengamat energi dari Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, mengungkapkan, harga BBM sudah cukup bersaing dalam konteks pasar dalam negeri.
Menurut dia, harga-harga BBM Pertamina juga dijadikan patokan oleh pelaku usaha bahan bahan bakar yang lainnya.
“Karena volume yang mayoritas, sering kali harga Pertamina menjadi referensi atau acuan pemain yang lain,” kata Komaidi saat dihubungi Kompas.com, Rabu (9/9/2020).
Komaidi menjelaskan, tidak bisa membandingkan harga BBM Pertamina dengan yang ada di luar negeri. “Tentu tidak bisa aple to aple,” ucap Komaidi lagi. Lebih lanjut, dia memaparkan sedikit catatan mengenai harga BBM Pertamina dari era Presiden Soeharto hingga kini Presiden Joko Widodo. Pertama, pada era Presiden Soeharto lebih dipilih mekanisme subsidi, disesuaikan dengan kondisi pada saat itu. “Era awal pembangunan perlu daya dorong dan produksi masih berlimpah,” ucap Komaidi.
Kemudian, era Presiden BJ Habibie, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dan Megawati, lanjut Komaidi, merupakan era transisi yang mana harga BBM masih belum lepas dari kebijakan lama. Pada periode ini gejolak politik masih tinggi sehingga kebijakan harga BBM yang relatif sensitif secara politik tidak banyak diubah. Lalu, imbuh dia, era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki kemiripan dengan era Presiden Soeharto, tetapi sudah tertekan dalam aspek fiskal. “Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan menjadi target utama. Banyak subsidi yang diberikan. Kalaupun BBM dinaikkan, diganti dengan kompensasi lain seperti BLT,” jelas Komaidi.
Saat ini, pada zaman Presiden Joko Widodo, menurut dia, masih berusaha lepas dari ketergantungan subsidi energi, terutama BBM. Selain itu, juga relatif tertolong dengan tren harga minyak mentah yang rendah.
“Namun, ketika harga minyak menuju normal, masalah fiskal datang yang sejauh ini sebagian menjadi beban bagi pelaksana penugasan, yaitu Pertamina,” kata Komaidi.
Seperti diketahui, PT Pertamina (Persero) tercatat mengalami kerugian sekitar Rp 11 triliun pada semester 1 tahun 2020. Menyoal dari hal itu, Komaidi menuturkan, berdasarkan laporan keuangan yang ada, sebenarnya kegiatan operasional penjualan-biaya pokok penjualan masih untung. “Untuk kerugian, jika mencermati laporan keuangan yang ada relatif dapat dipahami. Artinya rugi datang dari biaya lain-lain di luar biaya pokok penjualan,” kata Komaidi. Menurut Komaidi, dalam konteks laporan keuangan (akuntansi) umum, semester 1 tidak lebih baik dari semester 2.
Salah satu penyebabnya yakni banyak biaya-biaya yang sudah keluar di semester 1, penerimaan atas biaya tersebut belum terealisasi di semester 1. “Ada pula sebab lain, pada semester 1 masih ada peluang adanya pembebanan biaya dari tahun sebelumnya,” ungkap dia. “Misalnya tagihan-tagihan dari vendor yang disampaikan di Desember tahun sebelumnya misalnya akan dibayar di semester 1 tahun berikutnya mengingat proses invoice juga memerlukan waktu,” sambung Komaidi. Laporan kerugian di semester 1 ini, Komaidi melanjutkan, tidak bisa digunakan menjadi indikator akhir karena masih ada semester berikutnya.
Maksimalkan penjualan di semester 2
Komaidi memiliki satu saran utama untuk Pertamina jika ingin menutup kerugian yang mereka alami di semester 1 ini. Saran itu yakni dengan memaksimalkan di semester 2 nanti. “Saya kira memaksimalkan di semeter kedua. Maksimalkan penjualan dan minimalkan biaya,” jelas Komaidi. Saat disinggung soal kebijakan Pertamina di masa pandemi virus corona ini, Komaidi melihat upaya yang serius perusahan pelat merah itu.
Sebaliknya, Komaidi justru menyoroti beberapa kebijakan pemerintah. “Saya kira dari sisi perusahaan (Pertamina) terlihat banyak upaya yang dilakukan untuk menaikkan penjualan. Yang perlu menjadi catatan adalah kebijakan pemerintah. Misalnya menugaskan Pertamina untuk membangun RS untuk Covid,” kata Komaidi. Hal itu, lanjut dia, berdampak bagus dari sisi sosial, namun, dari kacamata usaha akan menjadi beban tersendiri bagi kelangsungan usaha. “Dari sisi sosial bagus namun dari kacamata usaha tentu ini menjadi beban usaha. Sehingga pemerintah perlu lebih baik lagi ke depan,” pungkas Komaidi.
Mekanisme pasar
Hal senada juga diungkapkan oleh pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhy. Fahmy menjelaskan, harga BBM non-subsidi Pertamina ditetapkan berdasarkan mekanisme pasar. Hal itu, lanjut Fahmy, dipastikan dapat bersaing di pasar dalam negeri, dan juga dipastikan menjadi market leader. ” Harga BBM non-subsidi Pertamina ditetapkan berdasarkan mekanisme pasar, pasti bisa bersaing. Bahkan dalam penetepan harga, Pertamina menjadi merket leader,” kata dia. Kemudian, kata Fahmy, saat Pertamina tidak menurunkan harga BBM dan harga minyak dunia sedang terpuruk, SPBU asing juga tidak menurunkan harga jualnya. “Harga BBM subsidi dan penugasan ditetapkan pemerintah, seringkali di bawah harga keekonomian, sehingga tidak ada pesaing,” imbuh dia.
Disarankan menurunkan harga BBM
Fahmy memiliki beberapa saran yang dapat dilakukan oleh Pertamina untuk menutup kerugian di semester 1 ini. “Naikkan lifting minyak dan efisiensi besar-besaran dalam pengadaan impor BBM, termasuk efisiensi pengeluaran gaji direksi dan komisaris,” jelas dia. Selain itu, Pertamina disarankannya untuk menurunkan harga BBM pada saat harga minyak dunia terpuruk karena pandemi. Meskipun penurunan harga BBM akan memperbesar kerugian semeseter 1 di tahun 2020 ini. “Namun, penurunan harga tersebut dapat memberikan kontribusi menaikan daya beli rakyat yang lagi terpuruk akibat pandemi. Ujung-ujungnya, penurunan harga BBM akan menaikkan pertumbuhan ekonomi,” papar Fahmy.