Bisnis.com; 02 Oktober 2020
Pasalnya, untuk tahun depan saja, pemerintah telah mematok target lifting minyak sebesar 750.000 barel minyak per hari (BPH), angka yang moderat jika dibandingkan dengan target tahun ini.
Namun, pada 2022 target lifting minyak justru lebih loyo dibandingkan dengan 2021 dan 2020 yakni hanya dipatok pada level 700.000 bph untuk sepanjang tahun.
Plt Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Susana Kurnia menjelaskan, pada 2020 produksi minyak nasinal masih akan turun karena usaha yang dilakukan baru bisa digunakan untuk menutup peunurunan produksi dari lapangan-lapangan yang ada.
Menurut dia, pada industri migas, perlu waktu untuk proses mengubah cadangan menjadi produksi. Untuk itu dia mengatakan peningkatan produksi diperkirakan baru akan terjadi pada 2024.
“Kami mengasumsikan peningkatan produksi dari kegiatan EOR [enhanced oil recovery] di Blok Rokan dan lapangan-lapangan pengembangan yang saat ini dilakukan,” katanya kepada Bisnis, Jumat (2/10/2020).
Sementara itu, guna menahan laju penurun produksi di Blok Rokan, SKK Migas dan PT Chevron Pasific Indonesia telah menandatangani head of agreement untuk investasi jelang habisnya kontrak di Blok Rokan.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan dengan adanya perjanjian itu diharapkan CPI akan mengucurkan investasi senilai US$150 juta untuk pengeboran 112 sumur untuk peningkatan produksi sebesar 5.000 bph.
Per Juli 2020, produksi minyak di wilayah kerja Rokan telah merosot mencapai 170.000 bph.
“Investasi pemboran akan mulai pada November 2020 sebagai usaha menahan laju penurunan produksi setelah 2 tahun tanpa kegiatan pengeboran,” jelasnya.
Staf Pengajar Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto menilai tren penurunan produksi yang dipaparkan SKK Migas tersebut memang sesuai.
Dia berpendapat, untuk memenuhi target lifting minyak 1 juta barel per hari dibutuhkan temuan lapangan besar setidaknya 3–4 lapangan atau lapangan berkapasitas sebesar Blok Cepu.
Dia menuturkan, penemuan giant field biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan migas besar juga karena dalam prosesnya membutuhkan biaya investasi yang besar.
Selain itu, pada umumnya dalam eksplorasi giant field mempertaruhkan risiko yang tidak kecil, sehingga pada umumnya pemain besar yang biasanya mau dan mampu untuk melakukan hal tersebut.
“Giant players hanya akan masuk kalau iklim investasi kondusif,” katanya kepada Bisnis, Jumat (2/10/2020).