Kontan.co.id; 07 Desember 2020
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengembangan dan pembangunan kilang minyak terus digenjot. Sejumlah kalangan dan stakeholders pun ikut mendorong terwujudnya ketahanan energi melalui pengelolaan kilang dalam negeri.
Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal menegaskan, pembangunan kilang minyak sangat krusial bagi ketahanan energi Indonesia. Kata dia, proyek ini tak hanya penting untuk memperbaiki neraca perdagangan dan devisa negara, namun juga dampaknya untuk menciptakan peluang kerja, meningkatkan investasi serta pengembangan industri penunjang.
“Kilang-kilang minyak saat ini sudah cukup tua, dan revitalisasi harus dilakukan segera untuk meningkatkan kualitas hasil produksi, efisiensi dan juga kapasitas produksinya,” ungkap Rizal saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (7/12).
Apalagi, dengan proyeksi kebutuhan energi termasuk Bahan Bakar Minyak (BBM) yang terus meningkat, maka harus diimbangi dengan produksi di dalam negeri. “Agar devisa kita tidak terus tergerus oleh impor,” sambung Rizal.
Senada, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro berpandangan bahwa ketersediaan kilang memiliki peran strategis dalam ketahanan dan keberlanjutan pasokan energi di dalam negeri. Termasuk untuk memasok produk petrokimia yang dibutuhkan dalam pengembangan industri.
Oleh sebab itu, Komaidi menegaskan bahwa pengembangan dan pembangunan kilang tak hanya soal hitungan bisnis, melainkan juga soal kedaulatan energi. “Secara bisnis dan ekonomis jelas kita perlukan. Lebih lagi jika kita mengedepankan ketahanan nasional dalam aspek ekonomi dan energi,” ujar Komaidi.
Dia menilai, industri kilang memang pada umumnya tidak terlalu ekonomis jika dibandingkan dengan sektor hulu. Dengan begitu, perlu ada kesadaran bahwa nilai strategis kilang tidak hanya dilihat dalam aspek mikro di bisnis proyek tersebut, tetapi mesti diletakkan secara makro dengan menghitung dampak turunannya.
“Itu yang perlu disadari oleh para stakeholders, khususnya pemerintah. Harus ada kesadaran bahwa nilai strategisnya tidak dapat dilihat dalam aspek mikro bisnisnya itu sendiri, tetapi perlu secara makro, keberadaan kilang memiliki peran penting dalam banyak aspek,” terang Komaidi.
Dihubungi terpisah, pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Madja Fahmy Radhi menyampaikan, pengembangan dan pembangunan kilang juga penting untuk memproduksi BBM dengan kualitas yang lebih ramah lingkungan. Sehingga nantinya produk BBM bisa dihasilkan dengan standar Euro-4.
“Pada saat diberlakukan Euro-4, seluruh kebutuhan BBM akan di impor dalam jumlah besar. Pembangunan dan upgrade kilang untuk menghasilkan BBM dengan standar Euro-4 suatu keniscayaan, yang prospektif dalam memenuhi permintaan konsumen,” ungkap Fahmy.
Di sisi lain, proyek kilang ini juga bisa melepaskan Indonesia dari ketergantungan impor BBM. Dalam hal ini, Fahmy juga menegaskan bahwa upgrade dan pembangunan kilang penting dalam memberantas praktik korupsi dalam impor BBM, atau yang dalam beberapa waktu belakangan dikenal dengan mafia migas.
“Selain prospek, kedua tujuan (ketahanan energi dan memberantas mafia migas) harus dapat dicapai. Jadi perlu dipastikan dan dicegah agar mafia migas tidak lagi intervensi dalam pembangunan dan upgrade kilang,” ujar Fahmy yang pernah menjabat sebagai anggota tim pemberantasan mafia migas tersebut.
Komisi VII DPR RI yang membidangi urusan energi juga mendorong proyek kilang di dalam negeri agar bisa terakselerasi. Wakil Ketua Komisi VII Eddy Soeparno menyampaikan, pengembangan dan pembangunan kilang baru dibutuhkan untuk mengolah produksi minyak (lifting) yang ditargetkan akan meningkat, bahkan hingga 1 juta barel per hari pada tahun 2030 sesuai target yang sudah dicanangkan.
Saat ini, lifting minyak masih sekitar 700.000 barel per hari. “Sehingga target yang telah dicanangkan peningkatan lifting minyak itu bisa diantisipasi. Jadi kilang itu sangat penting, sehingga pengolahannya bisa dilakukan di dalam negeri” kata Eddy.
Oleh sebab itu, lanjut Eddy, Komisi VII DPR RI mendorong percepatan proyek kilang PT Pertamina (Persero) sesuai dengan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP). “Kami juga ingin meminta agar pembangunan tersebut bisa terakselarasi, mengingat memang saat ini kebutuhan kita untuk mengolah di dalam negeri perlu ditingkatkan dalam rangka mengurangi impor BBM,” tegas Eddy.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII pada Oktober lalu, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati mengungkapkan bahwa modernisasi kilang lama dan pembangunan kilang baru akan membuat perubahan pada konfigurasi jenis minyak mentah (crude) yang akan diolah.
Pasalnya, kilang-kilang Pertamina saat ini masih didesain untuk mengolah jenis crude dengan pasokan (supply) yang cukup langka. “Kondisi hari ini, jenis crude yang bisa diolah di kilang kita ini sangat terbatas jumlahnya, sekitar 3% dari supply crude dunia. Ini yang menyebabkan terjadinya harga yang lebih tinggi karena masalah supply dan demand yang tidak seimbang,” jelas Nicke.
Dengan adanya modernisasi dan pembangunan kilang baru, maka pengolahan jenis crude bisa lebih fleksible. Sehingga, bisa menekan Harga Pokok Produksi menjadi lebih ekonomis. “Dengan demikian nantinya kita harapkan harga BBM akan semakin kompetitif, semakin affordable bagi masyarakat Indonesia,” pungkas Nicke.