Investordaily, 29 April 2021
Komaidi Notonegoro
Pemerintah menargetkan tahun 2030 sudah tidak lagi mengimpor BBM dan LPG. Target tersebut disampaikan Menteri ESDM dalam telekonferensi pers di Kantor Kepresidenan usai menghadiri Sidang Kabinet Dewan Energi Nasional (DEN).
Dalam telekonferensi pers tersebut pemerintah menyebut strategi yang akan di tempuh untuk mencapai target Indonesia tidak mengimpor BBM la gi pada 2030, di antaranya: (1) mening katkan kapasitas kilang melalui pembangunan 1 kilang baru dan 4 kilang pengembangan; (2) mendorong pemanfaatan Bahan Bakar Gas (BBG); (3) mendorong penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB); dan (4) mengoptimalkan pemanfaatan biofuel.
Sedangkan strategi untuk mencapai target agar Indonesia tidak lagi mengimpor LPG pada 2030 di antaranya melalui: (1) menambah jaringan gas kota (jargas) sebanyak 10 juta sambungan rumah tangga, (2) mendorong pemanfaatan kompor listrik, (3) memproduksi rich gas sebesar 500 ribu ton per tahun mulai 2022, (4) meningkatkan produksi LPG dari pengembangan kilang minyak, dan (5) mengembangkan Dimethyl Ether (DME) dan metanol.
Realistis atau Tidak?
Realistis atau tidaknya target tersebut pada dasarnya akan ditentukan oleh rencana, instrumen, dan strategi kebijakan yang akan diambil dan dijalankan pemerintah untuk mencapai target. Dari semua itu, yang lebih fundamental adalah konsistensi pemerintah di dalam melaksanakan rencana dan implementasi kebijakan yang telah ditetapkan sendiri. Jika mengingat tenggat waktu dari pencapaian target tinggal 9 tahun lagi, meskipun masih mungkin untuk dapat dicapai, untuk mencapai target tersebut pemerintah hampir dapat dipastikan memerlukan kerja keras, terobosan, dan tidak cukup hanya dengan business as usual.
Menetapkan breakdown target yang akan dicapai untuk setiap tahunnya selama kurun waktu tersebut menjadi penting dilakukan agar angka-angka dalam target dapat lebih bermakna. Berdasarkan review, target dan instrumen pemerintah untuk menyetop impor BBM dan LPG pada 2030 tidak konsisten atau tidak sama dengan apa yang telah tertuang dalam Rencana Umum Energi Nasional, sebagaimana ter tuang dalam lampiran Perpres No 22/2017. Untuk impor BBM, misalnya, Perpres No 22/2017 menargetkan bahwa paling lambat tahun 2025 Indonesia sudah menghentikan impor BBM.
Instrumen yang dipilih Perpres tersebut untuk mencapai target adalah meningkatkan kapasitas kilang menjadi lebih dari 2 juta barel per hari tahun 2025. Peningkatan kapasitas kilang direncanakan melalui pembangunan kilang baru dan Rencana Induk Pembangunan Kilang/Refinery Development Master Plant (RDMP). Tambahan kapasitas dari pembangunan kilang baru ditargetkan sebesar 906 ribu barel per hari. Sementara tambahan kapasitas dari program RDMP adalah sekitar 402 ribu barel per hari. Sedangkan untuk impor LPG,
Perpres No 22/2017 menargetkan masih terdapat impor LPG sebesar 4 juta ton pada 2025 dan 4,2 juta ton pada 2030. Perpres tersebut memproyeksikan konsumsi LPG Indonesia pada 2025 sekitar 9,5 juta ton, pada 2030 10,2 juta ton dan meningkat menja di 13,2 juta ton pada 2050. Dalam regulasi tersebut juga disebutkan bahwa produksi LPG domestik Indonesia relatif tidak dapat ditingkatkan karena keterbatasan dalam ketersediaan bahan baku.
Berdasarkan dokumen RUEN, permintaan LPG pada tahun 2030 diproyeksikan mencapai 10,2 juta ton dan akan dipenuhi dari pro duksi LPG domestik 3,7 juta ton, im por LPG 4,2 juta ton, jaringan gas kota 1 juta ton, DME 1,2 juta ton, dan tabung ANG 0,1 juta ton. Sementara dalam program/rencana pemerintah yang lebih baru tersebut impor LPG yang diproyeksikan sekitar 4,2 juta ton pada 2030 akan digantikan dengan peningkatan pasokan energy dari program pemerintah yang meliputi menambah jaringan gas kota (jargas), mendorong pemanfaatan kompor listrik, memproduksi rich gas, meningkatkan produksi LPG dari pengembangan kilang minyak, dan mengembangkan DME.
Berdasarkan kondisi tersebut, saya menilai target untuk tidak mengimpor BBM pada 2030 relatif lebih dapat dicapai dibandingkan target tidak mengimpor LPG pada tahun yang sama. Meskipun dengan skenario program pemanfaatan Bahan Bakar Gas (BBG); penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB); dan pemanfaatan biofuel tidak berjalan atau belum optimal, target untuk tidak mengimpor BBM pada 2030 masih berpeluang dapat dilakukan dengan meningkatkan kapasitas kilang BBM menjadi lebih dari 2 juta barel per hari. Sementara hampir seluruh instrumen kebijakan yang akan digunakan untuk menghentikan impor LPG seperti menambah jaringan gas kota (jargas), mendorong pemanfaatan kompor listrik, memproduksi rich gas, meningkatkan pro duksi LPG dari pengembang an kilang minyak, dan mengembangkan DME, masih disertai sejumlah catatan.
Untuk jargas, misalnya, pengembangannya tidak sederhana dan memerlukan intervensi pemerintah. Sampai sejauh ini, pengemba ngan jargas menggunakan APBN karena tidak menarik minat swasta. Terdapat dua penyebab mengapa jargas tidak menarik bagi swasta, pertama volume gas untuk jargas relatif kecil. Kedua, harga jual gas ke sektor rumah tangga ditetapkan relatif lebih murah dibandingkan harga jual gas kepada sektor pengguna yang lainnya. Kedua faktor tersebut menyebabkan investasi untuk jargas dinilai tidak cukup menguntungkan dibandingkan investasi jaringan pipa gas untuk industri dan kelistrikan, misalnya.
Penggunaan kompor listrik masih dihadapkan pada masalah biaya pemanfaatannya, terutama terkait peralatan memasak yang tidak otomatis dapat menggunakan peralatan yang sudah ada. Begitu pula dengan pengembangan DME, juga dihadapkan pada permasalahan yang relatif serupa. Mencermati permasalahan dan perkembangan yang ada, saya mengapresiasi rencana dan niat baik pemerintah yang akan menghentikan impor BBM dan LPG pada 2030.
Jika dapat direalisasikan, kebijakan tersebut tidak hanya positif bagi ketahanan energi, tetapi juga berpotensi menciptakan nilai tambah ekonomi domestik yang lebih besar lagi. Namun demikian, segala sesuatunya tentu perlu dilakukan secara cermat dan hati-hati. Optimisme dalam menetapkan target seringkali memang diperlukan, akan tetapi optimisme yang tidak disertai dengan breakdown target dan instrument untuk mencapainya justru berpotensi memberikan dampak negatif bagi ketahanan energi dan ekonomi nasional. Apalagi jika kebijakan tersebut tidak konsisten atau tidak sejalan dengan kebijakan yang telah digariskan dan ditetapkan di dalam RUEN.
*) Direktur Eksekutif ReforMiner Institute dan Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti