Petrominer.com; 5 Agustus 2021
Petrominer – Investasi industri hulu dan minyak gas (migas) tanah air masih menjadi penopang dalam menggerakan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pasalnya, investasi yang masuk dalam lima tahun terakhir masih di kisaran double digit. Untuk itu diperlukan blueprint (cetak biru) yang lengkap dan mendukung agar kebijakan penurunan emisi karbon tidak kontraproduktif terhadap investasi yang akan masuk ke Indonesia.
Meski hulu migas terus mendapat tantangan, para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tetap berkomitmen mendukung kebijakan Pemerintah dalam penurunan emisi karbon (CO2). Caranya, dengan terus beradapatasi sehingga target produksi 1 juta barel minyak dan 12 miliar kaki kubik gas bumi pada 2030 dapat tercapai, dan pemanfaatan gas yang maksimal dari sejumlah lapangan produksi yang ada.
Pengamat Migas, Pri Agung Rakhmanto, menyebutkan bahwa upaya pencapaian net zero carbon bukan berarti harus dengan mengurangi aktivitas-aktivitas seperti eksplorasi dan produksi migas. Namun, bagaimana seluruh pihak dapat mengurangi atau menetralkan (dampak emisi) karbon yang dihasilkan dari aktivitas-aktivitas tersebut.
Menurut Pri Agung, perusahaan migas global telah memasukkan parameter netralitas karbon sebagai salah satu faktor yang diperhitungkan dalam strategi dan portofolio investasinya di tingkat global. Kini, perusahaan-perusahaan tersebut akan lebih selektif dan benar-benar mengalokasikan investasinya ke negara-negara yang tidak saja memberikan jaminan pengembalian investasi lebih tinggi dan investor friendly, namun juga yang secara infrastruktur baik ekonomi mauun non-ekonomi sudah lebih siap untuk memfasilitasi kebijakan net zero carbon.
“Kata kuncinya bukan pada adanya kebijakan net zero carbon (balancing emission), tetapi pada seberapa kondusif dan kompetitif iklim investasi hulu migas kita sendiri untuk dapat menarik investasi eskplorasi dan produksi,†paparnya.
Pendiri ReforMiner Institute ini menekankan bahwa Indonesia harus kompetitif dalam hal iklim investasi. Segala hal yang sifatnya memberikan persepsi negatif di mata investor dan hal-hal yang menghambat investasi seperti halnya birokrasi perizinan ataupun kondisi yang over-regulated mesti dihilangkan.
Pada kesempatan berbeda, Wakil Kepala SKK Migas, Fatar Yani Abdurrahman, menjelaskan bahwa target produksi minyak 1 juta barel per hari sebenarnya masih kurang bila dibandingkan kebutuhan energi di masa mendatang. Untuk itu, sejumlah aktivitas mulai dari percepatan proses dari reserves menjadi produksi hingga eksplorasi sejumlah cekungan yang belum dieksplorasi guna menemukan sumber migas menjadi hal yang harus dilakukan segera.
“Maka dari itu, SKK Migas membuat rencana jangka panjang agar mampu mencapai target yang kami nilai tidak terlalu agresif,†ungkap Fatar Yani dalam acara 2nd Pre-Event of IPA Convex 2021 dengan judul “Carbon Policies in Indonesia, Striking the Balance Between Carbon Emission Target and the 1 MMBOPD/12 BSCFD Target,†Rabu (28/7).
Dia mengakui, target tersebut memang penuh tantangan. Mulai dari investasi besar, regulasi tumpang tindih, stagnasi lifting migas sepanjang satu dekade terakhir, hingga pandemi Covid-19 yang turut mempengaruhi industri hulu migas.
Selain itu, industri migas juga mendapat tekanan dari adanya target penurunan emisi karbon atau gas rumah kaca hingga 29 persen pada tahun 2030. Alhasil, KKKS harus bisa menyeimbangkan antara target produksi dengan target penurunan emisi karbon sehingga dapat memenuhi persyaratan kebijakan dekarbonisasi. Usaha mencapai keseimbangan tersebut jelas membutuhkan upaya yang besar.
“Saat ini, sebanyak 60 persen lapangan migas di Indonesia sudah mature, sehingga perlu biaya yang tinggi. Beberapa lapangan migas juga memproduksi karbon cukup tinggi,†ujar Fatar Yani.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Repsol Indonesia, Greg Holman, memaparkan bahwa investor migas tidak hanya melihat pada hal-hal yang klasik seperti bagaimana dan di mana harus menempatkan investasinya. Secara umum, keputusan menempatkan investasi akan memperhatikan beberapa hal, seperti prospek bisnis yang ada, rencana pembiayaan pembangunan, waktu yang diperlukan untuk pengembangan, akses terhadap pasar, dan kebijakan fiskal yang ada pada negara tersebut, hingga bagaimana peraturan yang ada dapat mendukung atau tidak terhadap investasi yang dilakukan.
“Sejauh ini Indonesia sudah banyak sesuai dengan hal-hal tersebut. Kami melihat pasar energi yang begitu besar di sini,†ujar Greg.