Duniaenergi.com – 20 September 2021
Pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) saat ini tampak sedang memperoleh perhatian dari publik dan stakeholder pengambil kebijakan. Tren global yang mendorong adanya proses transisi energi dinilai menjadi momentum yang baik untuk dapat mengembangkan EBT yang sejauh ini relatif belum kompetitif. Hal tersebut juga didasari pada komitmen negara-negara di dunia untuk meningkatkan porsi EBT dalam bauran energi mereka.
Sejalan dengan menguatnya isu transisi energi, pengembangan dan pengusahaan energi fosil termasuk industri hulu migas secara relatif tampak tidak lagi memperoleh perhatian. Para penggiat lingkungan dan EBT bahkan dalam beberapa kesempatan menyerukan agar pengusahaan dan pemanfaatan energi fosil yang dinilai kotor untuk segera ditinggalkan.
Keberpihakan kepada pengembangan EBT dan ketidakberpihakan kepada industri fosil saat ini terpantau tidak hanya sebatas seruan, tetapi sudah mulai diformulasikan dalam konsep kebijakan yang secara bertahap didorong untuk diimplementasikan. Salah satunya adalah adanya wacana kebijakan green investment yang akan diimplementasikan secara masif.
Prinsip dari kebijakan green investment adalah mendorong agar lembaga pembiayaan tidak lagi membiayai kegiatan eksplorasi dan eksploitasi energi fosil. Perbankan dan lembaga pembiayaan yang lain didorong agar hanya memberikan pembiayaan untuk industri energi yang ramah lingkungan. Termasuk memberikan insentif kepada industri yang menggunakan EBT di dalam proses produksi mereka.
Kesiapan Indonesia
Apakah Indonesia sudah siap untuk melakukan transisi energi dalam jangka pendek? Jika melihat kondisi eksisting bauran energi nasional dan praktik transisi energi di sejumlah negara, Indonesia dapat dikatakan belum cukup siap jika harus melakukan transisi energi dalam jangka pendek. Transisi energi di Indonesia harus dilakukan secara bertahap dan tidak dapat tergesa-gesa.
Dalam Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) yang ditetapkan melalui Perpres No 22/2017 cukup jelas bahwa pemerintah memproyeksikan sampai dengan 2050 Indonesia masih akan cukup bergantung pada pemanfaatan energi fosil. Untuk minyak bumi misalnya, meskipun RUEN menetapkan porsi minyak bumi dalam bauran energi Indonesia akan menurun dari paling banyak 25 % pada 2025 menjadi paling banyak 20 % pada 2050, secara volume konsumsi minyak Indonesia justru meningkat sekitar 111 % dari 2,19 BOPD pada 2025 menjadi 4,62 BOPD pada 2050.
Sementara, porsi gas dalam bauran energi Indonesia diproyeksikan meningkat dari 22,4 % pada 2025 menjadi 24 % pada 2050. Volume konsumsi gas diproyeksikan meningkat sekitar 171% dari 1,76 BOEPD pada 2025 menjadi 4,79 BOEPD pada 2050. Dengan demikian total konsumsi minyak dan gas bumi Indonesia akan meningkat sekitar 137 %, meningkat dari 3,95 BOEPD pada 2025 menjadi 9,40 BOEPD pada 2050.
Selain memiliki peran penting dalam bauran energi, sektor minyak dan gas bumi juga memiliki peran strategis dalam struktur perekonomian Indonesia. Data Input-Output (IO) Indonesia menunjukkan bahwa dari sekitar 185 sektor ekonomi di Indonesia, sekitar 150 sektor ekonomi diantaranya memiliki keterkaitan (linkage) dengan sektor migas. Sektor hulu migas juga memiliki peran penting dalam realisasi invesatasi di Indonesia. Data menunjukkan, rata-rata realisasi investasi hulu migas selama periode 2015-2020 sekitar 27 % terhadap total realisasi investasi seluruh sektor ekonomi di Indonesia.
Dari aspek konsep dan teori terkait transisi energi, Environmental Kuznet Curve (EKC) menyebutkan bahwa hubungan antara degradasi lingkungan (produksi emisi) dengan pendapatan per kapita suatu negara akan membentuk kurva parabola. Pada tahap awal, suatu negara akan berfokus pada meningkatkan pendapatan per kapita yang disertai dengan meningkatnya produksi emisi. Titik balik akan terjadi ketika produksi emisi telah mencapai level tertinggi dan pendapatan per kapita suatu negara pada saat yang sama telah berada pada level yang juga tinggi.
Kajian ReforMiner menemukan bahwa titik balik produksi emisi dari negara-negara di Kawasan Eropa rata-rata terjadi ketika pendapatan per kapita mereka telah mencapai lebih dari 30.000 USD per kapita. Secara umum, negara-negara di Kawasan Eropa terlebih dahulu berfokus meningkatkan pendapatan per kapita baru kemudian memberikan perhatian terhadap pengembangan dan pemanfaatan EBT ketika tingkat kesejahteraan meraka telah berada pada level yang cukup tinggi.
Amerika Serikat meskipun dapat dikatakan telah memiliki level kesejahteraan yang cukup tinggi, relatif belum memberikan perhatian terhadap pengembangan EBT mereka. Porsi EBT pada bauran energi primer Amerika Serikat pada tahun 2020 tercatat baru sekitar 12 % terhadap total konsumsi energi mereka. Sementara pada tahun yang sama pendapatan per kapita Amerika Serikat tercatat sekitar 64.000 USD per kapita.
Pada tahun 2020, pendapatan per kapita Indonesia tercatat baru sekitar 3.900 USD per kapita atau hanya sekitar 6 % dari pendapatan per kapita Amerika Serikat. Karena itu, ketika porsi EBT Amerika Serikat dalam bauran energi mereka saat ini tercatat baru sekitar 12 %, sementara Indonesia memaksakan diri untuk mencapai porsi 23 % dalam bauran energi primer nasional dapat dikatakan bahwa hal tersebut tidak cukup proporsional.
Berdasarkan sejumlah catatan yang ada tersebut, stakeholder pengambil kebijakan kiranya perlu memberikan perhatian terhadap kebijakan pengelolaan dan pengusahaan pada industri hulu migas. Hal tersebut mengingat bahwa berdasarkan kondisi eksisting dan proyeksi pemerintah untuk tahun 2050, cukup jelas bahwa transisi energi tidak akan mengurangi peran penting migas dalam bauran energi Indonesia. Hal tersebut tercermin dari konsumsi migas Indonesia pada 2050 yang diproyeksikan masih akan sekitar 9,40 BOEPD. (*)