MediaIndonesia.com; 4 November 2021
DIREKTUR Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro berharap agar Indonesia realistis dalam upayanya menggunakan energi bersih. Jangan sampai ambisi tersebut justru menjadi pupuk permasalahan baru di masa mendatang.
“85% energi kita itu masih fosil, kalau ingin meninggalkan itu sepertinya tidak cukup logis. Dari Kemenkeu sendiri mengatakan untuk memensiunkan batu bara Indonesia membutuhkan sekitar Rp3.900 triliun, sementara APBN hanya sekitar Rp2.000 triliun, kebutuhan lebih besar dari anggarannya,” tuturnya kepada Media Indonesia, Kamis (4/11).
“Dengan angka itu semestinya kita sudah bisa mengukur mungkin atau tidak. Kalau bicara peluang, probabilitas itu meski hanya 0,001% ya itu mungkin. Tapi untuk apa juga kalau probabilitasnya kecil?” sambungnya.
Komaidi bilang, penggunaan energi bersih perlu dan menjadi penting. Namun menurutnya, komitmen dari pemangku kepentingan menjadi jauh lebih penting untuk mewujudkan misi tersebut.
Indonesia juga perlu memastikan upaya pengurangan energi fosil dilakukan oleh negara-negara yang telah membuat komitmen. Celaka, menurut Komaidi bila komitmen dalam forum-forum internasional hanya sekadar tutur kata semata.
“Jangan sampai hanya sekadar komitmen, tapi tidak ada implementasinya,” kata dia.
Itu merujuk dari apa yang dilakukan oleh Inggris. Komaidi bilang, belum lama ini Britania Raya menyatakan menghentikan penggunaan batu bara. Namun tak selang sebulan, justru kembali memanfaatkan batu bara karena melonjaknya tarif listrik.
Hal itu menurutnya perlu menjadi perhatian bagi pengambil kebijakan. Komaidi berharap pemerintah tak gegabah mendorong penggunaan energi bersih dan meninggalkan energi fosil.
Terlebih, dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dalam Peraturan Presiden 22/2017 diperkirakan konsumsi minyak akan mencapai 4 juta barel per hari. Angka itu justru melonjak dari konsumsi minyak yang saat ini hanya 1,5 juta barel per hari.
“Jadi penggunaan energi bersih secara bertahap itu wajar. Tapi kalau kemudian dipercepat dan kemudian ingin menjadi yang paling depan, saya rasa ada risiko ekonomi dan fiskal di sana,” kata Komaidi. Menurutnya, Indonesia tak bisa serta merta meninggalkan energi fosil. Selain tercantum dalam RUEN, ketergantungan Indonesia akan energi fosil sejatinya juga tercermin dalam Paris Agreement.
Sebab, Indonesia berkomitmen menggunakan energi bersih hingga 23% di 2030 dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional.
Persentase itu menurut Komaidi menunjukkan betapa bergantungnya Indonesia pada energi fosil. Pasalnya, bila komitmen dengan upaya sendiri itu tercapai, Indonesia masih bergantung pada energi fosil hingga 77% dari total penggunaan energi.
“Jadi seolah-olah yang 77% ditiadakan, tidak diberikan perhatian, tapi yang 23% dipuji-puji. Padahal kita masih bergantung pada yang 77% itu. Saya kira ada kampanye yang tidak proporsional dalam beberapa waktu terakhir. Modusnya apa saya tidak paham, yang paham mereka yang melakukan kampanye,” jelas Komaidi.
Sementara itu pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menuturkan, keputusan dan kesepakatan yang dibuat dalam forum Conference of The Parties (COP) kerap sukar untuk dicapai oleh banyak negara. Itu terjadi karena adanya perbedaan kepentingan dari tiap-tiap negara.
“USA dan Masyarakat Eropa selalu berbeda dalam penerapan program untuk pengendalian perubahan iklim. Tiongkok dan Inggris kembali menggunakan energi fosil pada saat negaranya dilanda krisis energi,” kata dia.
Belum lagi sebut Fahmy, negara-negara dengan ekonomi besar kerap bertentangan pendapat dengan negara-negara berkembang. Program B100 misalnya, ditolak dan ditentang oleh negara-negara Eropa lantaran re-planting tanaman sawit membutuhkan pembabatan hutan.
Padahal penggunaan B100 disebut Fahmy juga merupakan wujud komitmen Indonesia menerapkan energi bersih. Karena gejolak dan kemampuan, Indonesia dinilai perlu realistis menerapkan transisi energi bersih.
“Indonesia realistis saja tanpa harus memaksakan kehendak dalam proses penggantian fosil menjadi EBT sesuai kemampuan. Dalam kondisi tersebut, Indensia tetap saja konsisten dalam pengambangan B100 untuk menggantikan energi fosil,” pungkas Fahmy. (OL-7)