Investor.id; 02 Desember
JAKARTA, investor.id  – Mandatori penggunaan biodiesel perlu dinaikkan dari tahun ini sekitar 9,2 juta kilo liter (kl) menjadi 20,8 juta kl, guna mendukung rencana penghentian impor BBM pada 2027 atau dipercepat tiga tahun dari rencana semula 2030. Dana yang dibutuhkan untuk menutup selisih biaya produksi dengan harga biodiesel subsidi diperkirakan akan naik, dari sekitar Rp 50 trliun tahun ini menjadi Rp 113 triliun.
Selain meningkatkan penggunaan bahan bakar nabati biodiesel dari minyak sawit, untuk menyetop impor BBM harus didukung pula tiga rencana strategis yang lain. Ini mencakup program percepatan peningkatan kapasitas kilang minyak melalui pembangunan 1 kilang baru dan 4 pengembangan untuk memproduksi solar sesuai kebutuhan, mendorong penggunaan kendaraan bahan bakar gas (BBG) sebanyak 440 ribu unit, serta mendorong penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) sebanyak 2 juta mobil dan 13 juta sepeda motor.
Peningkatan penggunaan biodiesel yang dapat diproduksi di dalam negeri ini akan mengurangi defisit neraca perdagangan minyak dan gas (migas) yang masih tinggi, yang selama ini banyak menggerogoti surplus neraca perdagangan nonmigas.
Selain itu, renewable fuel ini akan mendorong laju pemulihan ekonomi nasional; mendukung implementasi environmental, social, and governance (ESG) atau tata kelola lingkungan, sosial, dan perusahaan yang baik; serta bisa menopang komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca 29% tahun 2030 dengan upaya sendiri atau 41% dengan bantuan internasional.
Hal ini juga mendorong transformasi green economy, termasuk transformasi energi menuju energi baru dan terbarukan yang sejalan dengan tren global.
Demikian benang merah rangkuman keterangan Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) Tungkot Sipayung, Menteri ESDM Arifin Tasrif, Ketua Umum Gapki Joko Supriyono, Sekretaris Jenderal DEN Djoko Siswanto, serta Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana. Mereka memberikan keterangan secara terpisah.
Komaidi Notonegoro mengatakan, secara objektif, kebijakan pemerintah mempercepat penghentian impor BBM berbasis fosil ini tentu baik dalam program pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) maupun memperbaiki defisit neraca perdagangan.
Ia mengapresiasi arah kebijakan pemerintah menyetop impor BBM, yang di antaranya ditempuh dengan melanjutkan mandatori penggunaan biodiesel dan mengoptimalkan produksi bahan bakar nabati (BBN) dalam negeri.
“Penghentian impor BBM itu tentu juga akan menghemat devisa hingga meningkatkan nilai tambah dari hilirisasi kelapa sawit, dan pada ujungnya akan menaikkan penerimaan pajak. Kebijakan tersebut perlu dikalkulasi secara matang dari tinjauan aspek fiskal dan moneter, ini ibarat masuk kantong kanan, keluar dari kantong kiri untuk subsidi,†ujarnya kepada Investor Daily, Rabu (1/12) malam.
Sebagai gambaran, Komaidi menyebutkan, selisih biaya produksi solar dari minyak mentah dibanding solar dari minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) berkisar Rp 2.000-3.000 per liter. Biaya produksi pencampuran fatty acid methyl esters (FAME) dalam minyak diesel berbasis minyak fosil sebesar 30% (B30), lanjut dia, masih lebih mahal dari solar biasa. Apalagi, harga CPO saat ini sedang tinggi- tingginya.
Dengan menggunakan asumsi selisih biaya produksi tersebut, lanjut Pengajar Program Magister Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti ini, bisa dihitung gambaran besaran dana subsidi yang mesti disiapkan pemerintah untuk menyetop impor BBM. Saat ini, kuota solar subsidi sebesar 15,8 juta kilo liter per tahun dan premium sekitar 11 juta kilo liter per tahun.
Berdasarkan kuota itu, selisih biaya produksi dengan harga jual B30 mencapai Rp 50 triliunan per tahun. Selisih yang disebut sebagai insentif untuk program biodiesel ini dibayar dari sebagian hasil pungutan ekspor sawit yang dikumpulkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
“Nah, berapa kilo liter yang akan disubsidi pemerintah per tahun dan besaran subsidi tetap yang akan diberikan pemerintah? Bagaimana agar dana subsidi itu setara dengan dampaknya pada laju perekonomian dan transformasi ke green economy? Ini perlu dikaji lebih mendalam dari aspek finansial dan moneter,†ujarnya.
Komaidi menuturkan, program mandatori biodiesel yang berjalan saat ini baru sampai pada tahap biodiesel 30% (B30).
Komaidi mendukung keberlanjutan mandatori penggunaan B30 yang akan dinaikkan menjadi B40. Ia berharap pemerintah juga memperbaiki masalah teknis penggunaan biodiesel ini, sehingga serapannya lebih optimal.
Dadan Kusdiana (Direktur Jenderal EBT KESDM) menjelaskan, pada tahun 2021, pemerintah menargetkan serapan biodiesel mencapai 9,20 juta kl untuk pelaksanaan mandatory B30.
“Penyerapan akan naik, dan alokasi biodiesel tahun 2022 menjadi sekitar 10 juta kilo liter,†ujarnya dalam acara “17th Indonesian Palm Oil Conference and 2022 Price Outlook (IPOC 2021)â€, Rabu (1/12).
Sementara itu, Djoko Siswanto mengatakan dalam kesempatan terpisah, pemerintah sebelumnya menargetkan untuk menghentikan impor BBM tahun 2030. Ini antara lain dengan didukung pemakaian bahan bakar nabati atau BBN yang dinaikkan menjadi 20,8 juta kl, dari tahun 2020 yang sekitar 8 juta kl, sesuai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
“Penghentikan impor BBM itu dilakukan dengan empat langkah utama. Ini mencakup percepatan peningkatan kapasitas kilang minyak melalui pembangunan 1 kilang baru dan yang untuk 4 pengembangan produksi solar disesuaikan dengan kebutuhan, mendorong penggunaan kendaraan BBG sebesar 440 ribu kendaraan, mendorong penggunaan KBLBB sebesar 2 juta mobil dan 13 juta motor dan untuk itu butuh insentif pembebasan pajak 10 tahun, serta mengoptimalkan biofuel dengan mengintensifkan penggunaan B30-B100, serta produksi BBN,†katanya belum lama ini. (es/en)