Katadata.co.id; 09 Maret 2022
Mengacu harga Indonesian Crude Price (ICP) Februari 2022, membuat keekonomian Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG) turut mengalami perubahan.
Harga minyak mentah dunia terus melonjak ke level tertinggi dalam beberapa waktu terakhir. Berdasarkan data Bloomberg, Rabu pagi (9/3) harga minyak jenis Brent tembus ke level US$ 130,23 per barel.
Kenaikan minyak mentah dunia tersebut, turut mengerek harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP). Pada Februari 2022, ICP tercatat tembus di angka 95,72 per barel. Dengan harga ICP tersebut, maka keekonomian Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG) pun turut mengalami perubahan.
Kondisi ini lantas membuat beban subsidi BBM dan LPG, serta kompensasi BBM di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara alias APBN berpotensi membengkak.
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, subsidi energi pada Januari 2022 membengkak menjadi Rp 10,2 triliun, level tersebut naik lebih dari empat kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Lonjakan harga minyak bulan lalu juga menyebabkan subsidi energi lebih besar dari realisasi Januari 2021, yang hanya Rp 2,3 triliun. Subsidi tersebut mencakup subsidi untuk BBM dan LPG tabung 3 kilogram (kg).
Kenaikan harga minyak dunia ini kemudian berpotensi membuat kondisi keuangan perusahaan migas pelat merah, yakni Pertamina babak belur. Pasalnya, hingga saat ini Pertamina belum menaikkan harga jual BBM jenis Pertamax, Pertalite dan Premium.
Sementara itu, perusahaan hanya menaikkan harga jual terhadap sejumlah produk seperti Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex. Ketiga produk BBM umum tersebut mengalami kenaikan harga bervariasi berdasarkan masing-masing wilayah, di mana kenaikannya hingga Rp 1.000 per liter.
Pjs. Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting mengatakan pihaknya hingga kini masih memonitor pergerakan harga minyak mentah di pasar internasional. “Terkait harga masih kami review,” kata dia kepada Katadata.co.id, Rabu (9/3).
Namun, jika dilihat dari harga minyak dunia saat ini, harga BBM jenis Pertamax, Pertalite dan Premium dinilai sudah tidak sesuai dengan harga keekonomian. Jika dibandingkan produk milik SPBU Shell misalnya, BBM jenis Shell Super (bensin RON 92) atau setara Pertamax harganya sudah terpaut jauh.
Untuk harga Pertamax (RON 92), Pertamina masih menjualnya seharga Rp 9.000 per liter, sementara untuk Shell Super sudah tembus ke harga Rp 12.990 per liter. “Itu bisa dilihat di operator sebelah,” kata Irto.
Di samping itu, kenaikan harga minyak dunia tidak meluputkan tugas perusahaan migas pelat merah untuk memasok BBM subsidi dan LPG subsidi ke seluruh wilayah di Indonesia. Alhasil, perusahaan juga terpaksa harus menanggung beban subsidi terlebih dahulu. Irto menilai, pembayaran subsidi dapat dilakukan setelah adanya verifikasi.
“Kalau subsidi akan dibayar setelah ada verifikasi dan kalau tersedia anggarannya tentu dibayarkan,” kata Irto. Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan peningkatan harga minyak yang signifikan akibat perang Rusia-Ukraina, berpotensi memberikan tekanan terhadap kondisi fiskal, moneter dan perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Komaidi menilai, peningkatan harga tersebut menuntut pemerintah untuk menyiapkan formulasi kebijakan proporsional dalam meminimalkan dampak. Di samping itu, dia juga menegaskan pentingnya meningkatkan produksi minyak dalam negeri. Kondisi tersebut juga menjadi momentum untuk mendorong pengembangan dan pemanfaatan EBT di dalam negeri.
Dengan posisi Indonesia sebagai net oil importer, dan porsi ketergantungan konsumsi energi nasional terhadap migas yang cukup besar (51 %), Komaidi memandang kenaikan harga minyak akan semakin memberikan tekanan terhadap neraca perdagangan migas nasional. Defisit neraca perdagangan migas yang ada akan semakin membesar.
Adapun perolehan tambahan devisa dari kenaikan harga, tidak akan mampu menutup tambahan devisa yang diperlukan untuk impor migas. Kebutuhan devisa untuk impor migas dengan asumsi harga minyak US$ 120 per barel dapat mencapai sekitar US$ 49,27 miliar, terdistribusi untuk impor minyak dan produk BBM sekitar US$ 44,04 miliar dan impor LPG sekitar US$ 5,23 miliar. “Kebutuhan devisa impor migas tersebut kurang lebih setara 35 % dari cadangan devisa Indonesia saat ini yang tercatat sekitar US$ 141 miliar,” katanya.
Komaidi menyadari setiap kenaikan harga minyak sebesar US$ 1 per barel, di satu sisi akan menambah penerimaan migas (Pajak & PNBP) pada APBN 2022 sekitar Rp 3 triliun. Namun di sisi lain kenaikan harga tersebut juga akan meningkatkan kebutuhan tambahan anggaran subsidi dan kompensasi migas dalam jumlah yang lebih besar.
Kenaikan harga yang dipicu konflik geopolitik dan perang seperti saat ini menegaskan bahwa meskipun di dalam era transisi energi, security supply atau keamanan pasokan migas tetap menjadi isu utama yang tidak dapat diabaikan.
“Penyelesaian mendasar atas persoalan di atas adalah melalui peningkatan produksi migas nasional dan pengembangan EBT secara masif untuk mengurangi ketergantungan ekonomi energi Indonesia dari migas. Dua hal ini memerlukan landasan payung hukum yang kuat,” ujarnya.
Oleh karena itu, pekerjaan rumah besar yang perlu segera dituntaskan adalah penyelesaian Revisi Undang-Undang Migas dan penyelesaian Undang-Undang Energi Baru Terbarukan sebagai payung hukum yang kuat. Khususnya, untuk mendorong kegiatan pengusahaan dan pengembangan migas.